Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN EPILEPSI DI


RUANG ASTER RSD Dr. SOEBANDI

oleh:
A. F. Wahyu Dewangga, S. Kep.
NIM 212311101130

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
Epilepsi
Oleh : A. F. Wahyu Dewangga, S. Kep.

1. Kasus
Epilepsi
2. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Epilespi adalah suatu penyakit kronis dengan angka kejadiannya cukup
tinggi khususnya di Negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini
disebabkan karena sistem pelayanan kesehatan belum berhasil dalam
mengatasi penyebab epilepsi seperti gangguan selama masa kehamilan dan
kelahiran serta adanya penyakit infeksi (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
Epilepsi merupakan kejang spontan yang berulang dengan jarak lebih dari
24 jam. Selain itu, epilepsi merupakan penyakit otak yang ditandai oleh
paling tidak dua bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam,
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015). Sedangkan menurut Batticaca
(2008) epilepsy merupakan setiap kelompok sindrom yang ditandai dengan
adanya gangguan pada otak sementara yang sifatnya paroksimal di
manifestasikan berupa penurunan atau gangguan kesadaran yang episodik,
gangguan psikis, sensorik, sistem otonom dan fenomena motorik yang
abnormal. Gejala-gejala tersebut disebabkan akibat aktivitas listrik otak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan gangguan
pada otak yang disebabkan karena aktivitas listrik otak abnormal yang
dicirikan dengan kejang berulang.

b. Etiologi Epilepsi
Umumnya etiologi atau penyebab epilepsi tidak diketahui.
Terminologi epilepsi yang awalnya dari idiopatik, simtomatis atau
kriptogenik dirubah oleh ILAE (2010) menjadi genetic, struktural/
metabolic dan tidak diketahui penyebabnya. Selanjutnya, epilepsi yang
tidak diketahui penyebabnya atau yang biasa disebut dengan “unknown
cause” (Kementrian Kesehatan RI, 2017)
1. Kelainan genetik
Epilepsi yang diduga disebabkan karena kelainan genetik (Genetic
epilepsy syndrome) yang ditandai dengan kejang sebagai menifestasi
utama. Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi menurut
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2017) antara lain:
a. Kelainan kromoso : sindrom fragile X, sindrom Rett
b. Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum
awitan lambat dan leukoensefalopati.
2. Kelainan struktural/metabolik
Epilepsi yang disebabkan karena kelainan struktur atau metabolik
(Structural/metabolic syndrome) terdiri dari :
a. Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis,
hipomelanosis Ito, sindrom Sturge-Weber.
b. Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik
kuadriplegia atau hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau
diskinetik.
c. Malformasi serebral atau kortikal (didapatkan pada 40% epilepsi
intraktabel), hemimegalensefali, focal cortical dysplasia (FCD),
heterotopia nodular periventrikular, agiria, pakigiria, skizensefali,
polimikrogiria.
d. Trauma kepala.
e. Tumor otak dan lesi lain; astrositoma, gangliositoma,
ganglioglioma, angioma kavernosum.
f. Infeksi; ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterial, malaria
serebral, sistiserkosis.
g. Kelainan metabolik bawaan.

c. Faktor Risiko Epilepsi


Faktor risiko dari epilepsi pada anak disebabkan oleh kondisi yang
mengganggu stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi saat prenatal,
perinatal, ataupun postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan
dalam timbulnya gangguan pada janin atau bayi (Hasibuan dan Dimyati,
2020).

d. Klasifikasi Epilepsi
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2017), League Against Epilepsy
(ILAE) membagi epilepsi menjadi tiga berdasarkan etiologinya, antara lain
:
1. Idiopatik
Epilepsi yang idiopatik merupakan epilepsi yang terjadi tanpa adanya
kelainan struktural pada otak atau defisit neurologis. Diduga faktor
genetic menjadi predisposisi dan umumnya berhubungan dengan usia
(Fitriana, 2018). Umumnya klien dengan epilepsi idiopatik hanya
menunjukkan gangguan minor pada kapasitas intelektual global dan
gangguan mayor pada domain psikomotor, visuospasial dan memori
nonverbal. Sedangkan pada kemampuan memori verbal dan bahasa
tidak mengalami gangguan (Lukas dkk., 2016).
2. Kriptogenik
Epilepsi tipe ini diasumsikan simtomatis akan tetapi etiologinya belum
diketahui. Termasuk disini dalam kategori epilepsi kriptogenik yaitu
sindrom west, sindrom Lennox;Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus yaitu gangguan otak
difus yang ditandai dengan paling sedikit dua gejala seperti perubahan
kognisi dan keprobadian, penurunan kesadaran serta adanya kejang
(Fitriana, 2018).
3. Simtomatis
Bangkitan epilepsi pada tipe ini ddisebabkan karena adanya kelainan
atau lesi struktural pada otak sepertu infeksi SSP, cedera kepala, lesi
desak ruang, kelainan kongenital, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol, obat),metabolic serta kelainan neurodegeneratife
(Fitriana, 2018). Pada epilepsi simtomatik sebagian besar penderita
akan mengalami gangguan pada tumbuh kembang (Suwarba, 2016).
Pada epilepsy jenis ini ditandai dengan gejala kelainan neurologis,
dan/atau EEG yang abnormal (suppression bursts, hipsaritmia,
perlambatan umum, atau generalized fast rythm) (Tjandrajani dkk.,
2016).
Berdasarkan tipe bangkitnya International League Against Epilepsy (ILAE)
membagi epilepsi menjadi tiga yaitu :
1. Kejang umum
Kejang umum ditandai dengan hilangnya kesadaran yang merupakan
manifestasi awal kejang. Kemudian gejala motorik tampak bersifat
bilateral. Beberapa tIpe kejang umum ditandai dengan gejala dan
gerakan motorik yang terlihat tonik, klonik, mioklonik atau atonik.
2. Kejang Parsial
Kejang parsial atau kejang fokal diawali dengan gejala awal kejang atau
gambaran EEG menunjukkan aktivasi pada neuron terbatas pada satu
hemisfer saja.
3. Kejang yang belum dapat diklasifikasikan.

e. Tanda dan Gejala Epilepsi


Tanda dan gejala umum epilepsi menurut Hidayat (2009) dalam
Purnamawati dan Murtiani (2014) antara lain:
1. Mengalami gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan serta
dapat berupa kejang-kejang
2. Kelainan pada gambaran EEG.
3. Bagian tubuh yang kejang tergantung pada lokasi dan sifat fokus
epileptogen
4. Mengalami sensasi yang menjadi tanda sebelum kejang epileptik, biasa
disebut dengan aura. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat
sesuatu, mencium bau-bauan tidak enak, mendengar suara gemuruh,
mengecap sesuatu, sakit kepala dll).
5. Kepala dan satu atau kedua mata menjauhi sisa fokus
6. Hilang kesadaran atau masih menyadari adanya gerakan
7. Bola mata membalik keatas, bicara tertahan, mati rasa, kesemutan,
perasaan ditusuk-tusuk dan seluruh otot tubuh menjadi kaku.
8. Kedua lengan dan tangannya kejang, serta dapat pula tungkainya
menendang- menendang
9. Nafas terlihat sesak dan jantung berdebar
10. Mulut tampak berbusa, reflek menelan hilang dan saliva meningkat.

f. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
sebagai pengirim pesan (implus motorik). Otak tersusun atas serangkaian
berjuta-juta neuron. Hakekatnya neuron berfungsi menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubugan satu dengan yang lainnya
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat neurotransmitter.
Neurotransmiter berupa acetylcholine dan norepinerprinebersifat eksitatif
sedangkan zat lain yaitu GAB (gama-amino-butiricacid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran akitivitas listrik saraf dalam sinaps (Purnamawati dan
Murtiani, 2014). Bangkitan epilepsi disebabkan karena adanya sumber
gaya listrik saraf di otak yang disebut dengan fokus epileptogen. Dari fokus
tersebut aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit menuju
neuron- neuron disekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh
belahan hemisfer otak dapat mengalami depolarisasi atau muatan listrik
berlebih. Kondisi tersebut akan timbul kejang yang awalnya terjadi pada
satu tempat dan selanjutnya akn menyebar ke bagian tubuh atau anggota
gerak yang lain oada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Depolarisasi yang terjadi di belahan hemisfer dapat menyebabkan aktivitas
listrik akan merangsang substansia retikularis dan inti pada thalamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otang yang lain
dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai
dengan adanya penurunan kesadaran (Fitriana, 2018).

g. Pemeriksaan Diagnostik
Electroencephalogram (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsi jika ditemukan pola
EEG yang bersifat khas epileptik baik terekam saat serangan maupun di
luar serangan berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat,
paku lambat. Tujuan dari pemeriksaan EEG adalah untuk membantu
menentukan tipe kejang, menunjukkan lokalisasi fokus kejang jika ada,
membantu menentukan sindrom epilepsi, pemantauan keberhasilan terapi
dan membentu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat
dihentikan (Kementrian Kesehatan RI, 2017)
Selain itu pencitraan juga perlu dilakukan yaitu dengan pemeriksan MRI
(Magnetic Resonance Imaging). Pem.eriksaan ini dilakukan untuk melihat
adanya kelainan dari hasil MRI yang merupakan faktor prediksi dari
berulangnya kejang misalnya hasil MRI abnormal berupa ensefalomalasia,
disgenesis serebral dan sclerosis temporal mesial. MRI biasanya dilakukan
jika terdapat perlambatan pada pemeriksaan EEG, fokalisasi pada EEG dan
anak menunjukkan adanya kelainan neurologis.

h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan epilepsi dilakukan dengan tujuan untuk mengupayakan
penyandang epilepsi dapat hidup normal seperti orang lainnya dan mampu
mencapai kualitas hiduo optimal sesuai dengan perjalanan penyakit dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Selain itu dengan
dilakukan penanganan harapanyya penyandang epilepsi bebas dari
bangkitan tanpa efek samping. Guna mencapai tujuan tersebut perlu
dilakukan upaya untuk menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi
bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang minimal, dan
menurunkan angka kesakitan serta kematian. Penatalaksanaan epilepsi
dibagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan farmakologi dan non
farmakologis.
1. Penanganan Medikamentosa
Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini
pertama, menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan; dimulai dari dosis
rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul
efek samping.9,16 Jika bangkitan tidak dapat dihentikan dengan OAE
lini pertama dosis maksimal, monoterapi lini kedua dimulai; apabila
berhasil, OAE lini pertama diturunkan bertahap. Bila saat penurunan
OAE lini pertama terjadi bangkitan, kedua OAE tetap diberikan
(Wijaya dkk., 2020).
Panduan memilih Obat Anti-Epilepsi (OAE) lini pertama yaitu:
a. Phenobarbital: untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 4-6
mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
b. Phenytoin: untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5-7 mg/kg/hari
terbagi dalam 2 dosis
c. Valproic acid: untuk epilepsi umum, parsial dan absans. Dosis 15-
40 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
d. Carbamazepine: untuk epilepsi parsial. Dosis 10-30 mg/kg/hari
terbagi dalam 2-3 dosis

Sedangkan, panduan memilih OAE lini kedua yaitu:


a. Topiramate: untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5-9 mg/kg/hari
terbagi dalam 2-3 dosis
b. Levetiracetam: untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan mioklonik.
Dosis 20-60 mg/kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis
c. Oxcarbazepine: untuk epilepsi parsial dan benign rolandic epilepsy.
Dosis 10-30 mg/ kg/hari terbagi dalam 2-3 dosis
d. Lamotrigine: untuk epilepsi umum, parsial, absans, dan mioklonik.
Dosis 0,5-5 mg/kg/ hari terbagi dalam 2-3 dosis
Apabila bangkitan tidak dapat dihentikan dengan monoterapi lini
kedua, pertimbangkan politerapi (kombinasi 2-3 OAE). Politerapi
seharusnya dihindari sebisa mungkin. Kegagalan monoterapi berisiko
epilepsi refrakter (intraktabel) yaitu kegagalan mengontrol bangkitan
dengan lebih dari dua OAE lini pertama dengan rata-rata serangan lebih
dari satu kali per bulan selama 18 bulan dan interval bebas bangkitan
tidak lebih dari tiga bulan (Wijaya dkk., 2020).
Politerapi disarankan untuk pengobatan epilepsi, merujuk pada
kombinasi penggunaan dua atau lebih obat dengan mekanisme kerja
berbeda. Politerapi membutuhkan pengetahuan mekanisme kerja OAE
yang baik. Sebelum memulai terapi kombinasi (politerapi), beberapa hal
patut dipertimbangkan adalah apakah diagnosis sudah tepat, apakah
kepatuhan minum obat sudah baik; dan apakah pilihan dan dosis OAE
sudah tepat (Wijaya dkk., 2020).
Politerapi OAE pada epilepsi refrakter, yaitu:
a) Valproic + Ethosuximid: untuk bangkitan absence
b) Carbamazepine + Valproic: u n t u k bangkitan parsial/ kompleks
c) Valproic + Lamotrigine: untuk bangkitan parsial/ bangkitan umum
d) Topiramate + Lamotrigine: untuk bangkitan parsial/ bangkitan
umum
1) Penanganan Non-Medikamentosa
a) Diet ketogenik
Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang tinggi,
rendah karbohidrat, dan cukup protein. Diet tersebut menghasilkan
energi untuk otak bukan dari glukosa sebagai hasil glikolisis, namun
dari keton sebagai hasil oksidasi asam lemak. Diet ketogenik dapat
diberikan sebagai terapi adjuvan pada epilepsi intraktabel dan dapat
menurunkan frekuensi kejang (peringkat bukti 1, derajat
rekomendasi B). Namun perlu diingat, diet ketogenik pada anak usia
6-12 tahun dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat, batu
ginjal, dan fraktur (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2017).
b) Tindakan bedah
Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil
penyandang epilepsi yang tetap mengalami kejang meskipun telah
mendapat terapi OAE kombinasi, terdapat kontraindikasi atau gagal
dengan diet ketogenik. Terapi bedah dikerjakan hanya jika tidak ada
sumber epileptogenik lain di luar area yang direncanakan akan
direseksi. Tindakan tersebut dapat berupa pengangkatan area di
mana kejang bermula atau pengangkatan lesi yang menjadi fokus
epileptik. Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe dan lokalisasi
kejang. Jika bedah kuratif tidak mungkin dikerjakan, anak dengan
epilepsi intraktabel harus dirujuk untuk prosedur bedah paliatif
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017)
c) Stimulasi nervus vagus
Stimulasi nervus vagus merupakan terapi adjuvan yang dilakukan
pada pasien dengan kejang intraktabel dan bukan merupakan
kandidat terapi bedah reseksi. Terapi stimulasi nervus vagus
dilaporkan efektif dalam mengurangi frekuensi kejang pada epilepsi
parsial dan epilepsi umum serta sindrom Lennox-Gastaut yang
refrakter terhadap terapi medikamentosa. Evaluasi dan keputusan
tindakan bedah harus dilakukan pada institusi khusus yang
menangani bedah epilepsy (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2017).
3. Pohon Masalah dan Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
Faktor Predisposisi :
1. Pasca trauma kelahiran, asfiksia neonatorum, pasca cedera kepala
2. Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak – kanak
3. Adanya riwayat keracunan
4. Riwayat gangguan sirkulasi serebral
5. Riwayat demam tinggi
6. Riwayat gangguan metabolisme dan nutrisi atau gizi
7. Riwayat intoksikasi obat – obatan atau alcohol
8. Riwayat tumor otak, abses, dan kelainan bentuk bawaan
9. Riwayat keturunan epilepsi

Gangguan pada system listrik dari sel – sel saraf pusat pada suatu bagian otak

Sel – sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan di neuron syaraf
pusat

Ketidakseimbangan implus Periode pelepasan impuls yang tidak


diinginkan

Gerakan fisik yang tidak


Penurunan kesadaran teratur

Kejang epileptic

Respon pasca kejang


Epilepsi

Parsial Umum
Respon fisik :
a. konfusi dan sulit Nyeri
bangun akut
b. keluhan sakit
kepala/ otot
Kesadaran menurun
Aktivitas otot meningkat
Risiko
cedera Reflek menelan Metabolisme meningkat
Suhu tubuh meningkat

Aspirasi Kebutuhan Oksigen


Hipertermi
meningkat

Bersihan jalan nafas


tidak efektif Nafas cepat
Konsentrasi O2 dalam
tubuh menurun

Pola nafas tidak efektif


Metabolisme anaerob

Nyeri akut Asam laktat menumpuk


4. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji
A. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan epilepsi antara lain:
1. Identitas klien
2. Keluhan utama
Pada umumnya klien panas yang meninggi disertai kejang (Hipertermi).
3. Riwayat kesehatan sekarang
Faktor riwayat penyakit saat ini sangat penting diketahui karena untuk
mengetahui pola dari kejang klien.
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, stimulus yang menyebabkan respons kejang, dan seberapa auh
aat kejang dengan respons fisik dan psikologis dari klien. Tanyakan
faktor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari serangan epilepsi,
apakah sebelumnya klien pernah mengalami trauma kepala dan infeksi
serta kemana saja klien sudah meminta pertolongan setelah mengalami
keluhan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami keadaan
yang sama seperti sekarang seperti mengalami kejang berulang).
5. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang.
6. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menulai respons emosi klien terhadap kondisi pasca kejang.setelah
mengalami kejang klien sering mengalami perubahan konsep diri yang
maladaptif. Klien akan lebih banyak menarik diri, ketakutan akan
serangan kejang berulang dan depresi akan prognosis dari kondisi yang
akan datang.
7. Aktivitas dan istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang lain. Tanda
yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan involunter, kontraksi otot
atau sekumpulan otot.
8. Sirkulasi.
Gejala yang terjadi saat kejang: tekanan darah meningkat, peningkatan
nadi, sianosis, peningkatan frekuensi pernafasan. Setelah kejang: tanda-
tanda vital kembali normal
9. Eliminasi.
Gejala yaitu inkontinesia, ditandai dengan (saat kejang): peningkatan
tekanan kandung kemih, dan tonus sfingter, setelah kejang : otot relaksasi
yang mengakibatkan inkontinensia baik urine maupun fekal.
10. Makanan dan cairan.
Gejalanya yaitu sensitivitas terhadap makanan, mual dan muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang. Ditandai dengan kerusakan
jaringan lunak dan gigi (cedera selama kejang).
11. Neurosensori
Gejalanya yaitu riwayat sakit kepala, kejang berulang, pingsan, pusing
dan memliki riwayat trauma kepala, anoksia, infeksi cerebral, adanya
aura (rangsangan audiovisiual, auditorius, area halusinogenik). Ditandai
dengan kelemahan otot, paralisis, kejang umum (kompleks), kejang
parsial (sederhana).
12. Pernafasan.
Gejalanya yaitu fase kejang: gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat
dan dangkal, peningkatan sekresi mucus, fase setelah kejang kembali
normal.
13. Keamanan
Gejalanya yaitu riwayat terjatuh, fraktur, adanya alergi. Ditandai dengan
trauma pada jaringan lunak, ekimosis, penurunan kesadaran, kekuatan
tonus otot secara menyeluruh.
14. Interaksi sosial
Gejalanya yaitu terdapat masalah dalam hubungan interpersonal dalam
keluarga atau lingkungan sosialnya melakukan pembatasan,
penghindaran terhadap kontak sosial.
15. Penyuluhan dan pembelajaran.
Gejalanya yaitu adanya riwayat epilepsi pada keluarga, penggunaan obat
maupun ketergantungan obat termasuk alkohol.
16. Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
Gejala penting pertumbuhan yang terganggu pada penderita Epilepsi
yaitu berat badan, tinggi badan dalam batas normal karena kemampuan
menelan masih baik.jangka pendek perkembangan anak yaitu anak
menjadi apatis, mengalami gangguan bicara. Sedangkan dampak jangka
panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif,
penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan
penurunan rasa percaya diri.
17. Pemeriksaan fisik
Pada pengkaian fisik secara umum sering didapatkan pada awal
pascakejang klien mengalami konfusi dan sulit untuk bangun. Pada
kondisi yang lebih berat sering dijumpai adanya penuruna kesadaran.
Pengkajian untuk peristiwa kejang perlu dikaji tentang: Bagaimana
kejang sering terjadi pada klien, tipe pergerakan atau aktifitas, berapa
lama kejang berlangsung, diskripsi aura yang menimbulkan peristiwa,
status poskial, lamanya waktu klien untuk kembali kejang, adanya
inkontinen selama kejang.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan 6B, yaitu:
a. B1 (Breathing)
Saat kejang: terjadi peningkatan frekuensi pernafasan, setelah
kejang: frekuensi nafas dalam batas normal.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pad asitem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien
epilepsi tahap lanjut apabila klien sudah mengalami syok.
c. B3 (Brain)
Pada pasien epilepsy tidak terjadi penurunan kesadaran.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sitem kemih biasanya didapatkan berkurangnya
volume output urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung keginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien epilepsi menurun
karena anoreksia dan adanya kejang.
f. B6 (Bone)
Pada fase akut setelah kejang sering didapatkan adanya penurunan
kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktifitas perawatan diri.
18. pemeriksaan syaraf kranial
a. Saraf I (Olfaktorius) : biasanya pada klien epilepsy tidak ada
kelainan dan fungsi penciuman
b. Saraf II (Optikus) : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
c. Saraf III (Okulomotorius), IV (Trochlearis),dan VI (Abdusen) :
dengan alas an yang tidak di ketahui klien epilepsy mengalami
fotofobia(sensitive berlabihan terhadap cahaya)
d. Saraf V (Trigeminus) : pada klien epilepsy umumnya tidak
didapatkan paralisis pada otot wajah dan reflex kornea biasanya
tidak ada kelainan

B. Diagnosis Keperawatan
1) Risiko cedera b.d perubahan fungsi psikomotor (kejang)
2) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d disfungsi neuromuskuler
3) Hipertermi b.d peningkatan laju metabolism d.d kejang
4) Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
5) Pola nafas tidak efektif b.d Gangguan neurologis
C. Rencana Tindakan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan

1. Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pencegahan kejang (1.14542)
…x24 jam diharapkan kontrol kejang meningkat, 1. Observasi
dengan kriteria hasil: a. Monitor status neurologis
b. Monitor tanda-tanda vital
Kontrol kejang (L.06050) 2. Terapeutik
No Kriteria hasil Skala Skala a. Baringkan pasien agar tidak jatuh
awal akhir b. Berikan alas empuk dibawah kepala
1. Kepatuhan meminum c. Jauhkan benda-benda berbahaya
obat terutama benda tajam
2. Melaporkan frekuensi 3. Edukasi
kejang a. Anjurkan segera melapor jika
3. Kemampuan mencegah merasakan aura
faktor risiko/pemicu b. Ajarkan keluarga pertolongan
kejang pertama pada kejang
4. Kolaborasi
Keterangan: Kolaborasi pemberian antikonvulan, jika
1= Meningkat perlu
2= Cukup meningkat
3= Sedang
4= Cukup menurun
5= Menurun
2. Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pemantauan respirasi (1.01014)
…x24 jam diharapkan bersihan jalan nafas 1. Observasi
efektif
meningkat, dengan kriteria hasil: a. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman, dan upaya nafas
Bersihan Jalan Nafas (L.01001) b. Monitor pola napas
No Kriteria hasil Skala Skala c. Monitor adanya produksi sputum
awal akhir d. Monitor adanya sumbatan jalan
1. Dispnea napas
1. Pola nafas e. Auskultasi bunyi napas
f. Monitor saturasi oksigen
Keterangan no 1 dan 2: 2.Terapeutik
1= Meningkat a. Atur interval; pemantauan respirasi
2= Cukup meningkat sesuai kondisi pasien
3= Sedang 3. Edukasi
4= Cukup menurun a. Jelaskan tujuan dan prosedur
5= Menurun pemantauan
b. Informasikan hasil pemantauan
Keterangan no 3:
1 = Memburuk
2 = Cukup memburuk
3 = Sedang
4 = Cukup membaik
5 = Membaik
3. Hipertermi Termoregulasi (L.14134) Regulasi temperature (1.14578)
No Skala Skala 1. Observasi
Indikator Awal Akhir a. Monitor suhu tubuh anak tiap dua
1. Kejang jam sekali, jika perlu
2. Suhu tubuh
b. Monitor tekanan darah, frekuensi
Keterangan no 1,2: pernapadan, dan nadi
1 = Meningkat c. Monitor warna dan suhu kulit
2 = Cukup meningkat d. Monitor dan catat tanda dan gejala
3 = Sedang hipotermia atau hipertermia
4 = Cukup menurun 2. Terapeutik
5 = Menurun a. Tingkatkan asupan cairan dan
nutrisi yang adekuat
Keterangan no 3: 3. Edukasi
1 = Memburuk a. Jelaskan cara pencegahan
2 = Cukup memburuk hipotermia karena terpapar udara
3 = Sedang dingin
4 = Cukup membaik b. Demonstrasikan teknik
5 = Membaik perawatam metode kanguru
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antipiretik
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Fitriana, R. 2018. Epilepsi. Rumah Sakit Otak DR.Drs.M.Hatta Bukittinggi

Hasibuan, D. K. dan Y. DImyati. 2020. Kejang demam sebagai faktor predisposisi


epilepsi pada anak. Continuing Medical Education. 47(9):668–672.

IDAI Jakarta. 2015. Knowledge and Soft Skill Update to Improve Child Health
Care. Jakar: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015. Knowledge and Soft Skill Update to Improve
Child Health Care

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Keputusan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/367/2017 Tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedoteran Tata Laksana Epilepsi Pada Anak

Lukas, A., H. Harsono, dan A. Astuti. 2016. Gangguan kognitif pada epilepsi.
Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. 1(2):144.

Purnamawati, I. D. dan R. Murtiani. 2014. Asuhan keperawatan pada anak dengan


epilepsi. Journal of Chemical Information and Modeling

Suwarba, I. G. N. M. 2016. Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pada anak. Sari
Pediatri. 13(2):123.

Tjandrajani, A., J. A. Widjaja, A. Dewanti, dan A. A. Burhany. 2016. Karakteristik


kasus epilepsi di rumah sakit anak dan bunda harapan kita pada tahun 2008-
2010. Sari Pediatri. 14(3):143.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Anda mungkin juga menyukai