oleh:
A. F. Wahyu Dewangga, S. Kep.
NIM 212311101130
1. Kasus
Epilepsi
2. Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Epilespi adalah suatu penyakit kronis dengan angka kejadiannya cukup
tinggi khususnya di Negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini
disebabkan karena sistem pelayanan kesehatan belum berhasil dalam
mengatasi penyebab epilepsi seperti gangguan selama masa kehamilan dan
kelahiran serta adanya penyakit infeksi (Kementrian Kesehatan RI, 2017).
Epilepsi merupakan kejang spontan yang berulang dengan jarak lebih dari
24 jam. Selain itu, epilepsi merupakan penyakit otak yang ditandai oleh
paling tidak dua bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam,
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015). Sedangkan menurut Batticaca
(2008) epilepsy merupakan setiap kelompok sindrom yang ditandai dengan
adanya gangguan pada otak sementara yang sifatnya paroksimal di
manifestasikan berupa penurunan atau gangguan kesadaran yang episodik,
gangguan psikis, sensorik, sistem otonom dan fenomena motorik yang
abnormal. Gejala-gejala tersebut disebabkan akibat aktivitas listrik otak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan gangguan
pada otak yang disebabkan karena aktivitas listrik otak abnormal yang
dicirikan dengan kejang berulang.
b. Etiologi Epilepsi
Umumnya etiologi atau penyebab epilepsi tidak diketahui.
Terminologi epilepsi yang awalnya dari idiopatik, simtomatis atau
kriptogenik dirubah oleh ILAE (2010) menjadi genetic, struktural/
metabolic dan tidak diketahui penyebabnya. Selanjutnya, epilepsi yang
tidak diketahui penyebabnya atau yang biasa disebut dengan “unknown
cause” (Kementrian Kesehatan RI, 2017)
1. Kelainan genetik
Epilepsi yang diduga disebabkan karena kelainan genetik (Genetic
epilepsy syndrome) yang ditandai dengan kejang sebagai menifestasi
utama. Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi menurut
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2017) antara lain:
a. Kelainan kromoso : sindrom fragile X, sindrom Rett
b. Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum
awitan lambat dan leukoensefalopati.
2. Kelainan struktural/metabolik
Epilepsi yang disebabkan karena kelainan struktur atau metabolik
(Structural/metabolic syndrome) terdiri dari :
a. Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis,
hipomelanosis Ito, sindrom Sturge-Weber.
b. Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik
kuadriplegia atau hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau
diskinetik.
c. Malformasi serebral atau kortikal (didapatkan pada 40% epilepsi
intraktabel), hemimegalensefali, focal cortical dysplasia (FCD),
heterotopia nodular periventrikular, agiria, pakigiria, skizensefali,
polimikrogiria.
d. Trauma kepala.
e. Tumor otak dan lesi lain; astrositoma, gangliositoma,
ganglioglioma, angioma kavernosum.
f. Infeksi; ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterial, malaria
serebral, sistiserkosis.
g. Kelainan metabolik bawaan.
d. Klasifikasi Epilepsi
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2017), League Against Epilepsy
(ILAE) membagi epilepsi menjadi tiga berdasarkan etiologinya, antara lain
:
1. Idiopatik
Epilepsi yang idiopatik merupakan epilepsi yang terjadi tanpa adanya
kelainan struktural pada otak atau defisit neurologis. Diduga faktor
genetic menjadi predisposisi dan umumnya berhubungan dengan usia
(Fitriana, 2018). Umumnya klien dengan epilepsi idiopatik hanya
menunjukkan gangguan minor pada kapasitas intelektual global dan
gangguan mayor pada domain psikomotor, visuospasial dan memori
nonverbal. Sedangkan pada kemampuan memori verbal dan bahasa
tidak mengalami gangguan (Lukas dkk., 2016).
2. Kriptogenik
Epilepsi tipe ini diasumsikan simtomatis akan tetapi etiologinya belum
diketahui. Termasuk disini dalam kategori epilepsi kriptogenik yaitu
sindrom west, sindrom Lennox;Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus yaitu gangguan otak
difus yang ditandai dengan paling sedikit dua gejala seperti perubahan
kognisi dan keprobadian, penurunan kesadaran serta adanya kejang
(Fitriana, 2018).
3. Simtomatis
Bangkitan epilepsi pada tipe ini ddisebabkan karena adanya kelainan
atau lesi struktural pada otak sepertu infeksi SSP, cedera kepala, lesi
desak ruang, kelainan kongenital, gangguan peredaran darah otak,
toksik (alkohol, obat),metabolic serta kelainan neurodegeneratife
(Fitriana, 2018). Pada epilepsi simtomatik sebagian besar penderita
akan mengalami gangguan pada tumbuh kembang (Suwarba, 2016).
Pada epilepsy jenis ini ditandai dengan gejala kelainan neurologis,
dan/atau EEG yang abnormal (suppression bursts, hipsaritmia,
perlambatan umum, atau generalized fast rythm) (Tjandrajani dkk.,
2016).
Berdasarkan tipe bangkitnya International League Against Epilepsy (ILAE)
membagi epilepsi menjadi tiga yaitu :
1. Kejang umum
Kejang umum ditandai dengan hilangnya kesadaran yang merupakan
manifestasi awal kejang. Kemudian gejala motorik tampak bersifat
bilateral. Beberapa tIpe kejang umum ditandai dengan gejala dan
gerakan motorik yang terlihat tonik, klonik, mioklonik atau atonik.
2. Kejang Parsial
Kejang parsial atau kejang fokal diawali dengan gejala awal kejang atau
gambaran EEG menunjukkan aktivasi pada neuron terbatas pada satu
hemisfer saja.
3. Kejang yang belum dapat diklasifikasikan.
f. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
sebagai pengirim pesan (implus motorik). Otak tersusun atas serangkaian
berjuta-juta neuron. Hakekatnya neuron berfungsi menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubugan satu dengan yang lainnya
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat neurotransmitter.
Neurotransmiter berupa acetylcholine dan norepinerprinebersifat eksitatif
sedangkan zat lain yaitu GAB (gama-amino-butiricacid) bersifat inhibitif
terhadap penyaluran akitivitas listrik saraf dalam sinaps (Purnamawati dan
Murtiani, 2014). Bangkitan epilepsi disebabkan karena adanya sumber
gaya listrik saraf di otak yang disebut dengan fokus epileptogen. Dari fokus
tersebut aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit menuju
neuron- neuron disekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh
belahan hemisfer otak dapat mengalami depolarisasi atau muatan listrik
berlebih. Kondisi tersebut akan timbul kejang yang awalnya terjadi pada
satu tempat dan selanjutnya akn menyebar ke bagian tubuh atau anggota
gerak yang lain oada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Depolarisasi yang terjadi di belahan hemisfer dapat menyebabkan aktivitas
listrik akan merangsang substansia retikularis dan inti pada thalamus yang
selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otang yang lain
dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai
dengan adanya penurunan kesadaran (Fitriana, 2018).
g. Pemeriksaan Diagnostik
Electroencephalogram (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
informatif yang dapat memastikan diagnosis epilepsi jika ditemukan pola
EEG yang bersifat khas epileptik baik terekam saat serangan maupun di
luar serangan berupa gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat,
paku lambat. Tujuan dari pemeriksaan EEG adalah untuk membantu
menentukan tipe kejang, menunjukkan lokalisasi fokus kejang jika ada,
membantu menentukan sindrom epilepsi, pemantauan keberhasilan terapi
dan membentu menentukan apakah terapi obat antiepilepsi dapat
dihentikan (Kementrian Kesehatan RI, 2017)
Selain itu pencitraan juga perlu dilakukan yaitu dengan pemeriksan MRI
(Magnetic Resonance Imaging). Pem.eriksaan ini dilakukan untuk melihat
adanya kelainan dari hasil MRI yang merupakan faktor prediksi dari
berulangnya kejang misalnya hasil MRI abnormal berupa ensefalomalasia,
disgenesis serebral dan sclerosis temporal mesial. MRI biasanya dilakukan
jika terdapat perlambatan pada pemeriksaan EEG, fokalisasi pada EEG dan
anak menunjukkan adanya kelainan neurologis.
h. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan epilepsi dilakukan dengan tujuan untuk mengupayakan
penyandang epilepsi dapat hidup normal seperti orang lainnya dan mampu
mencapai kualitas hiduo optimal sesuai dengan perjalanan penyakit dan
disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Selain itu dengan
dilakukan penanganan harapanyya penyandang epilepsi bebas dari
bangkitan tanpa efek samping. Guna mencapai tujuan tersebut perlu
dilakukan upaya untuk menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi
bangkitan tanpa efek samping atau dengan efek samping yang minimal, dan
menurunkan angka kesakitan serta kematian. Penatalaksanaan epilepsi
dibagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan farmakologi dan non
farmakologis.
1. Penanganan Medikamentosa
Prinsip pengobatan epilepsi adalah dimulai dengan monoterapi lini
pertama, menggunakan OAE sesuai jenis bangkitan; dimulai dari dosis
rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul
efek samping.9,16 Jika bangkitan tidak dapat dihentikan dengan OAE
lini pertama dosis maksimal, monoterapi lini kedua dimulai; apabila
berhasil, OAE lini pertama diturunkan bertahap. Bila saat penurunan
OAE lini pertama terjadi bangkitan, kedua OAE tetap diberikan
(Wijaya dkk., 2020).
Panduan memilih Obat Anti-Epilepsi (OAE) lini pertama yaitu:
a. Phenobarbital: untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 4-6
mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
b. Phenytoin: untuk epilepsi umum dan parsial. Dosis 5-7 mg/kg/hari
terbagi dalam 2 dosis
c. Valproic acid: untuk epilepsi umum, parsial dan absans. Dosis 15-
40 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
d. Carbamazepine: untuk epilepsi parsial. Dosis 10-30 mg/kg/hari
terbagi dalam 2-3 dosis
Gangguan pada system listrik dari sel – sel saraf pusat pada suatu bagian otak
Sel – sel memberikan muatan listrik yang abnormal, berlebihan di neuron syaraf
pusat
Kejang epileptic
Parsial Umum
Respon fisik :
a. konfusi dan sulit Nyeri
bangun akut
b. keluhan sakit
kepala/ otot
Kesadaran menurun
Aktivitas otot meningkat
Risiko
cedera Reflek menelan Metabolisme meningkat
Suhu tubuh meningkat
B. Diagnosis Keperawatan
1) Risiko cedera b.d perubahan fungsi psikomotor (kejang)
2) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d disfungsi neuromuskuler
3) Hipertermi b.d peningkatan laju metabolism d.d kejang
4) Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
5) Pola nafas tidak efektif b.d Gangguan neurologis
C. Rencana Tindakan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
1. Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pencegahan kejang (1.14542)
…x24 jam diharapkan kontrol kejang meningkat, 1. Observasi
dengan kriteria hasil: a. Monitor status neurologis
b. Monitor tanda-tanda vital
Kontrol kejang (L.06050) 2. Terapeutik
No Kriteria hasil Skala Skala a. Baringkan pasien agar tidak jatuh
awal akhir b. Berikan alas empuk dibawah kepala
1. Kepatuhan meminum c. Jauhkan benda-benda berbahaya
obat terutama benda tajam
2. Melaporkan frekuensi 3. Edukasi
kejang a. Anjurkan segera melapor jika
3. Kemampuan mencegah merasakan aura
faktor risiko/pemicu b. Ajarkan keluarga pertolongan
kejang pertama pada kejang
4. Kolaborasi
Keterangan: Kolaborasi pemberian antikonvulan, jika
1= Meningkat perlu
2= Cukup meningkat
3= Sedang
4= Cukup menurun
5= Menurun
2. Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Pemantauan respirasi (1.01014)
…x24 jam diharapkan bersihan jalan nafas 1. Observasi
efektif
meningkat, dengan kriteria hasil: a. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman, dan upaya nafas
Bersihan Jalan Nafas (L.01001) b. Monitor pola napas
No Kriteria hasil Skala Skala c. Monitor adanya produksi sputum
awal akhir d. Monitor adanya sumbatan jalan
1. Dispnea napas
1. Pola nafas e. Auskultasi bunyi napas
f. Monitor saturasi oksigen
Keterangan no 1 dan 2: 2.Terapeutik
1= Meningkat a. Atur interval; pemantauan respirasi
2= Cukup meningkat sesuai kondisi pasien
3= Sedang 3. Edukasi
4= Cukup menurun a. Jelaskan tujuan dan prosedur
5= Menurun pemantauan
b. Informasikan hasil pemantauan
Keterangan no 3:
1 = Memburuk
2 = Cukup memburuk
3 = Sedang
4 = Cukup membaik
5 = Membaik
3. Hipertermi Termoregulasi (L.14134) Regulasi temperature (1.14578)
No Skala Skala 1. Observasi
Indikator Awal Akhir a. Monitor suhu tubuh anak tiap dua
1. Kejang jam sekali, jika perlu
2. Suhu tubuh
b. Monitor tekanan darah, frekuensi
Keterangan no 1,2: pernapadan, dan nadi
1 = Meningkat c. Monitor warna dan suhu kulit
2 = Cukup meningkat d. Monitor dan catat tanda dan gejala
3 = Sedang hipotermia atau hipertermia
4 = Cukup menurun 2. Terapeutik
5 = Menurun a. Tingkatkan asupan cairan dan
nutrisi yang adekuat
Keterangan no 3: 3. Edukasi
1 = Memburuk a. Jelaskan cara pencegahan
2 = Cukup memburuk hipotermia karena terpapar udara
3 = Sedang dingin
4 = Cukup membaik b. Demonstrasikan teknik
5 = Membaik perawatam metode kanguru
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antipiretik
DAFTAR PUSTAKA
IDAI Jakarta. 2015. Knowledge and Soft Skill Update to Improve Child Health
Care. Jakar: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015. Knowledge and Soft Skill Update to Improve
Child Health Care
Lukas, A., H. Harsono, dan A. Astuti. 2016. Gangguan kognitif pada epilepsi.
Berkala Ilmiah Kedokteran Duta Wacana. 1(2):144.
Suwarba, I. G. N. M. 2016. Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pada anak. Sari
Pediatri. 13(2):123.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.