I. DEFINISI
1
II. EPIDEMIOLOGI
2
III. PENYEBAB/FAKTOR PREDISPOSISI
3
Faktor-faktor pencetus epilepsi pada anak dapat berupa :
1. Kurang tidur
2. Stress emosional
3. Penyakit infeksi
4. Hipersensitif terhadap obat-obat tertentu
5. Konsumsi Alkohol
6. Perubahan hormonal (Periode menstruasi)
7. Terlalu lelah
8. Fotosensitif (Cahaya yang tiba-tiba dan menyilaukan)
menyilaukan)
epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE. Dari kedua tersebut
terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan
prognosis yang baik dan
dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan,
definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai
nilai prediksi sebagai berikut: apabila pada saat lahir telah terjadi defisit
neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan
mengalami bangkitan ulang, Apabila defisit neurologik terjadi pada saat
pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan
b angkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan
pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama. Kecuali itu, bangkitan pertama
yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko
40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan
ulang.
Secara keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak
konstan. Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6
bulan pertama. Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai
berkembang, yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula
diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam
4
kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan
kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ”embrio”
” embrio” epilepsi.
Bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adan
adanya
ya gangguan pada
otak seperti infeksi/radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan
fisik/trauma serta adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga
memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
IV. PATOFISIOLOGI
5
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal
yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang
terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak te
tengah,
ngah,
talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
t ubuh terutama karena pendarahan atau
6
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai
di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
PATHWAY
7
Kelainan pre/intranatal,
pre/intranatal, Cidera Kepala, Tumor Otak, Peny. Infeksi, Keturunan
Epilepsi
Ketidakseimbangan
Ketidakseimbangan ion elektrolit atau asam basa
Homeostasis
Homeostasis kimiawi neuron terganggu
Kejang
Kurang paparan
Kebutuhan energi informasi
Sekresi saliva meningkat
Meningkat
Resiko Stigma buruk
Cidera Prosedur
invasif tentang penyakit
Kelelahan
8
V. KLASIFIKASI
9
Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil).
Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku
kata, kata atau bagian kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya.
Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di masa lalu,
merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil
atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang
bicara, musik, melihat suatu fenomena tertentu, dll.
10
3) Epilepsi Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-
klonik, tonik, klonik)
Epilepsi parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
Epilepsi parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan
umum.
Epilepsi parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum.
b. Epilepsi umum
1) Petit mal/ Lena (absence)
Lena khas (tipical absence)
Pada epilepsi ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka
tampak membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada
reaksi bila diajak bicara. Biasanya epilepsi ini berlangsung
selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
- Hanya penurunan kesadaran
- Dengan komponen klonik ringan
Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada kelopak mata
atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik
Pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan,
tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik
Pada epilepsi ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau
punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi
melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau
mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.
11
Lena tak khas (atipical absence)
Pada epilepsi lena tak khas dapat disertai gangguan tonus yang
lebih jelas atau permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak
mendadak.
2) Grand Mal
Mioklonik
12
Atonik
Manifestasi klinik atau gejala klinis dari epilepsi adalah sebagai berikut :
1. Kejang-kejang, gangguan kesadaran atau gangguan penginderaan
13
12. Hitam bola matanya berputar- putar
13. Terkadang keluar busa dari liang mulut dan diikuti dengan buang air kecil
14
2. Elektroensefalogram(EEG)
Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe
kejang dan waktu serangan.
3. Pemeriksaan kimia darah
- Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah
- Menilai fungsi hati dan ginjal
- Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat
menunjukkan adanya infeksi).
4. Pungsi lumbal
Pemeriksaan Lumbal Pungsi utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi
otak
15
harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di
kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike
spike),
), paku-ombak,
paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal.
Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas,
misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia
hipsaritmia,,
epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3
siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran
EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang
timbul secara serentak (sinkron).
b. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan
hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
16
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi
refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
sangat diperlukan pada persiapan operasi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan
untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila
dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
epilepsi
b. Melakukan terapi simptomatik
c. Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran
pengobatan yang dicapai,
dicapai, yakni:
- Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan
- Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat
yang normal.
- Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal
Penatalaksanaan medis ditujukan terhadap penyebab serangan.
17
2) Anjurkan agar pasien atau keluarga mencatat kejadian serangan
(jumlah, lama, waktu, pola tidur, atau makan) untuk membantu
menentukan terapi.
3) Tekankan pentingnya mendapatkan obat anti epilepsi yang teratur,
dan tidak boleh menghentikan obat tanpa pengawasan doter.
4) Jelaskan pada pasien efek dari obat anti epilepsi.
5) Anjurkan pada pasien untuk periksa darah secara teratur.
18
3) Dorong pasien mampu menggunakan kekuatan-kekuatan atau hal-
hal yang positif pada dirinya sehingga dapat mengurangi stress.
3. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan
lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis pertama. Bila
plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis
ter apeutis namun penderita
masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus
ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila
tak mempan diberikan AED tingkat kedua.
4. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan
untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu
yang menggunakan obat antikonvulsi yang digunakan sepanjang
19
dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman,
tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala.
Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau
hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena
lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering
terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan. Program skrining
untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program
pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti
konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan
bagian dari rencana pencegahan ini.
X. PROGNOSIS
20
B. ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
bicara.
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang adalah kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan
diri.
d. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Riwayat penyakit yang perlu dikaji adalah adanya trauma lahir, Asphyxia
neonatorum cedera kepala, infeksi sistem syaraf, ganguan metabolik
(hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia), tumor otak, kelainan pembuluh
darah, kejang
keja ng demam, gangguan tidur, penggunaan obat, hiperventilasi,
stress emosional.
e. Riwayat Psikososial
Klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita dan adanya
gangguan konsep diri serta hambatan interaksi sosial yang berhubungan
dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di masyarakat)
f. Riwayat Keluarga
Pandangan yang mengatakan penyakit epilepsi merupakan penyakit
keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab terdapat dugaan terdapat 4-
21
j. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan secara Head to Toe yang meliputi
keadaan umum, kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, dada, payudara,
paru-paru, jantung, abdomen, genetalia, anus dan rektum, muskuloskletal
serta neurologi.
Pemeriksaan fisik (ROS) meliputi :
B1 (breath)
Respirasi rate biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
B2 (blood)
Terjadi takikardia, cianosis
B3 (brain)
Penurunan kesadaran
B4 (bladder)
Oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
B5 (bowel)
Nafsu makan menurun, mual, muntah,
muntah, berat badan turun
B6 (bone)
Klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan anggota
tubuh, mengeluh meriang
22
4. Ansietas anak berhubungan dengan perubahan status kesehatan dan efek
hospitalisasi
5. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya paparan
informasi tentang penyakit, prosedur pengobatan dan prognose dari
penyakit epilepsi
6. Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
kebutuhan oksigen dan suplai oksigen
7. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan
8. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan malu dan ketakutan kejang
di muka umum
NO RENCANA TINDAKAN
DX TUJUAN & INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
1 Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau tanda-tanda vital 1. Perubahan TTV merupakan
keperawatan selama 3 x 24 salah satu tanda adanya
jam diharapkan
diharapkan perfusi perubahan perfusi jaringan
jaringan cerebral
cerebral adekuat
adekuat
cerebral
dengan kriteria hasil :
1. Kesadaran CM 2. Pantau status neurologis ( 2. Perubahan tingkat
2. Ukuran dan reaksi pupil kesadaran, reaksi dan kesadaran, reaksi dan
normal ukuran pupil, respon ukuran pupil sebagai tanda
3. Aktifitas kejang tidak ada terhadap stimulus) adanya kerusakan jaringan
4. Menunjukka
Menunjukkan n perhatian, serebral
konsentrasi, dan orientasi 3. Tinggikan kepala pasien 3. Meningkatkan aliran balik
5. TTV dalam batas normal 15-45 derajat sehingga mengurangi
kongesti dan edema
4. Observasi adanya 4. Merupakan indikasi adanya
kegelisahan dan aktifitas gangguan pada jaringan
kejang serebral
5. Kolaborasi 5. Pemberian oksigen untuk
- Pemberian oksigen menurunkan hipoksemia
- Obat anti konvulsan dan obat anti konvulsan
untuk mencegah terjadinya
kejang
23
2 Setelah diberikan tindakan 1. Anjurkan klien untuk 1. Menurunkan resiko aspirasi
perawatan selama
selama 3 x 24 jam mengosongkan mulut dari atau masuknya sesuatu
diharapkan asfiksia tidak benda / gigi palsu jika fase benda asing ke faring
terjadidengan kriteria hasil: aura terjadi dan untuk
1. Menunjukkan patensi jalan menghindari rahang
nafas mengatup jika kejang
3 Setelah diberikan tindakan 1. Jelaskan fase aura sebagai 1. Sebagai tanda untuk
perawatan selama 3 x 24 jam gejala awal terjadinya menghindari cidera sebelum
diharapkan cidera fisik tidak kejang terjadinya kejang
terjadi dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi faktor 2. Mengidentifikasi Barang-
1. Pasien dapat mengenali lingkungan yang barang di sekitar pasien
gejala awal dari serangan memungkinkan resiko yang dapat membahayakan
dan dapat menghindarinya terjadinya cedera saat terjadi kejang
2. Pasien dalam kondisi aman 3. Observasi status neurologis 3. Mengidentifikasi gejala
3. Tidak ada memar atau luka setiap 8 jam kejang secara dini
4. Tidak jatuh 4. Jauhkan benda - benda 4. Mengurangi terjadinya
yang dapat mengakibatkan cedera seperti akibat
terjadinya cedera pada aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
5. Pasang penghalang tempat 5. Penjagaan untuk keamanan,
tidur pasien untuk mencegah cidera atau
jatuh
6. Tinggal bersama pasien 6. Memberi penjagaan untuk
dalam waktu beberapa keamanan pasien untuk
lama setelah kejang kemungkinan terjadi kejang
kembali
24
7. Berikan informasi pada 7. Melibatkan keluarga untuk
keluarga tentang tindakan mengurangi resiko cedera
yang harus dilakukan
selama pasien kejang
8. Kolaborasi pemberian obat 8. Mengurangi dan mencegah
anti konvulsan aktivitas kejang
25
aktivitas yang diinginkan melakukan aktifitas secara kepercayaan diri pasien
2. Menurunnya kelemahan bertahap sesuai
dan keletihan kemampuan
3. Tanda vital dalam batas
4. Selingi periode aktivitas 4. Mengefisienkan
normal
dengan periode istirahat penggunaan energi dan
oksigen
26
V. EVALUASI
27
DAFTAR PUSTAKA
Wong, Donna L., et al. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik .Volume 2. Alih
bahasa Agus Sunarta, dkk. Jakarta: EGC
28