Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Pada dasarnya
epilepsi merupakan suatu penyakit Susunan Saraf Pusat (SSP) yang timbul akibat
adanya ketidakseimbangan polarisasi listrik di otak. Ketidakseimbangan polarisasi
listrik tersebut terjadi akibat adanya fokus-fokus iritatif pada neuron sehingga
menimbulkan letupan muatan listrik spontan yang berlebihan dari sebagian atau
seluruh daerah yang ada di dalam otak. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas
fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penyandangnya
(pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri,
kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya).
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak. Pada tahun 2000,
diperkirakan penyandang epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang, 37 juta
orang di antaranya adalah epilepsi primer, dan 80% tinggal di negara berkembang.
Laporan WHO (2001) memperkirakan bahwa rata-rata terdapat 8,2 orang penyandang
epilepsi aktif di antara 1000 orang penduduk, dengan angka insidensi 50 per 100.000
penduduk. Angka prevalensi dan insidensi diperkirakan lebih tinggi di negara-negara
berkembang.
Epilepsi dihubungkan dengan angka cedera yang tinggi, angka kematian yang
tinggi, stigma sosial yang buruk, ketakutan, kecemasan, gangguan kognitif, dan
gangguan psikiatrik. Pada penyandang usia anak-anak dan remaja, permasalahan yang
terkait dengan epilepsi menjadi lebih kompleks.
Penyandang epilepsi pada masa anak dan remaja dihadapkan pada masalah
keterbatasan interaksi sosial dan kesulitan dalam mengikuti pendidikan formal. Mereka
memiliki risiko lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan dan kematian yang
berhubungan dengan epilepsi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana dampak
epilepsi terhadap berbagai aspek kehidupan penyandangnya. Masalah yang muncul
adalah bagaimana hal tersebut bisa muncul, bagaimana manifestasinya dan bagaimana
penanganan yang dapat dilakukan untuk kasus ini masih memerlukan kajian yang lebih
mendalam.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah bagaimana
meminimalisasikan  dampak yang muncul akibat penyakit ini bagi penderita dan
keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang penderita epilepsi. Pemahaman
epilepsi secara menyeluruh sangat diperlukan oleh seorang perawat sehingga nantinya
dapat ditegakkan asuhan keperawatan yang tepat bagi klien dengan epilepsi.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk membahas asuhan
keperawatan pada klien dengan epilepsy.

Definisi

Epilepsi merupakan salah satu penyakit kronik dengan angka kejadian tinggi khususnya di
negara berkembang, penyakit epilepsi bersifat kronik, sehingga dapat mengganggu kualitas
hidup dan membutuhkan biaya cukup banyak.

Epilepsi juga dikenal dengan sebutan ayan yang memiliki ciri khas berupa kejang
kambuhan yang seringnya muncul tanpa pencetus, penyakit ini terjadi karena adanya
gangguan sistem saraf pusat (Neuologis) yang menyebabkan kejang atau terkadang
kehilangan kesadaran.
Pada pengidap epilepsi kejang bisa terjadi lebih dari sekali atau berulang-ulang di waktu
yang sama atau di waktu berbeda bahkan bisa menyebabkan kejang di saat tidur ini terjadi
karena adanya perubahan fase tubuh dari bangun tidur yang memicu aktivitas tidak normal
pada otak. Penyakit epilepsi adalah penyakit yang umum terjadi dan bisa menyerang segala
usia, baik itu bayi maupun orang dewasa.

Beberapa faktor yang berpotensi meningkatkan risiko terkena epilepsi antara lain usia,
umumnya dialami oleh usia anak-anak dan lansia. Genetik riwayat kesehatan yang dialami
oleh anggota keluarga, cedera pada kepala, stroke dan penyakit vascular, demensia, infeksi
otak dan riwayat kejang di masa kecil yang disebabkan oleh demam tinggi pada kondisi ini
anak lebih rentan mengalami epilepsi.

Epilepsi berdasarkan penyebabnya dibagi 2 (dua) yaitu :

1.      Epilepsi Idiopatik disebut juga sebagai epilepsi primer, jenis epilepsi yang
penyebabnya tidak diketahui (disebabkan faktor genetik).

2.      Epilepsi Simptomatik juga disebut epilepsi sekunder, jenis epilepsi yang penyebabnya
bisa diketahui. Sejumlah factor seperti luka berat dikepala, tumor otak dan stroke.

Kejang berulang merupakan gejala utama epilepsi, karakteristik kejang bervariasi dan
bergantung pada bagian otak yang terganggu pertama kali. Jenis kejang epilepsi dibagi
menjadi 2 (dua) berdasarkan pada otak yaitu :

1.      Kejang Parsial atau Focal

Otak yang mengalami gangguan hanya sebagian saja. Kejang parsial simple pengidapnya


tidak kehilangan kesadaran gejalanya dapat berupa anggota tubuh yang menyentak, sedang
kejang parsial kompleks mempengaruhi kesadaran pengidapnya sehingga membuatnya
terlihat seperti bingung atau setengah sadar.

2.      Kejang Umum

Gejala ini terjadi pada bagian otak tertentu sehingga menimbulkan gejala yang mungkin
memengaruhi masalah indera, tremor, kejang hanya pada jari atau kaki.

Data Global,indonesia,kaltim dan Samarinda

Global

Epilepsi merupakan salah satu kelainan dengan prevalensi cukup tinggi di antara kelainan
neurologis lainnya. Pada tahun 2021 diperkirakan 50 juta penduduk dunia mengalami
epilepsi. Rata-rata insidensi epilepsi adalah 50,4 per 100.000 populasi per tahun, di mana
negara berpendapatan tinggi (high income countries) memiliki insidensi yang lebih rendah
yaitu 45,0 per 100.000 populasi per tahun sementara di negara yang berpenghasilan rendah
(low middle income countries) insidensinya 81,7 per 100.000 populasi per tahun.
Di negara berpendapatan tinggi insidensi penderita epilepsi lebih tinggi terjadi pada anak
usia dini dan pada usia tua di atas 65 tahun. Sementara itu, di negara berpenghasilan rendah
insidensi epilepsi lebih tinggi pada anak usia lebih muda dan pada pasien dewasa muda
dibandingkan kelompok umur lainnya. Hal itu diperkirakan berkaitan dengan tingginya
insidensi infeksi di daerah negara berpendapatan rendah.

Indonesia

Data epidemiologi epilepsi di Indonesia sangat terbatas. Pada tahun 2013 diperkirakan
terdapat 1,5 juta penderita epilepsi di Indonesia, dengan prevalensi 0,5-0,6% penduduk
Indonesia. Mengacu pada data kejadian epilepsi global, angka kejadiannya adalah 50,3
kasus per 100.000 populasi per tahun. Di Indonesia, frekuensi epilepsi berdasarkan usia
juga sangat terbatas. Namun secara keseluruhan, distribusi penderita epilepsi di negara-
negara berkembang lebih banyak di antara anak-anak dan dewasa muda dibandingkan
kelompok usia lainnya.

Kalimantan Timur

Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim Bulan Januari- Juni 2011. Tercatat
penderita kejang demam sebanyak 625 dibandingkan pada tahun 2010 jumlah penderita
kejang demam sebanyak 729 orang (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2011).

Samarinda

Untuk penderita epilepsi sendiri yang dibawa ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda dari bulan Juli hingga bulan Desember tahun 2016 sebanyak 5 orang. RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Merupakan Rumah Sakit tipe A. Didapatkan dalam
kurun waktu 1 bulan terakhir yaitu bulan Desember 2016 sampai dengan pertengahan bulan
januari 2017 didapatkan 142 pasien anak yang mendapatkan tindakan invasif pemasangan
infus. (Register UGD RSUD AWS Samarinda, 2016).

Patofisiologis

Patofisiologi epilepsi berupa proses iktogenesis atau proses terjadinya serangan


epileptik. Proses ini berawal dari eksitabilitas satu atau sekelompok neuron akibat
perubahan pada membran sel neuron. Perubahan pada kelompok neuron tersebut
menyebabkan hipereksitabilitas.

Proses timbulnya eksitabilitas berbeda pada tiap fokus epilepsi. Asal timbulnya
eksitabilitas dapat berasal dari:
 Neuron individual, yaitu neuron epileptik memiliki konduktansi Ca2+ yang
lebih tinggi yang disebabkan oleh perubahan struktur dan fungsi pada
reseptor membran post sinaptik

 Lingkungan mikro neuronal, perubahan kadar kation dan anion ekstraselular


berupa peningkatan kadar K+ menyebabkan depolarisasi neuron dan
pengeluaran yang berlebihan

 Populasi sel epileptik, perubahan fisiologis neuronal secara kolektif


menyebabkan produksi eksitabilitas yang progresif.[4]

Peran Neurotransmitter
Patofisiologi epilepsi erat kaitannya dengan peranan neurotransmiter karena
kebanyakan obat antiepilepsi bekerja mengikuti fungsi dari neurotransmiter.
Mekanisme peran neurotransmitter dalam epilepsi meliputi:

 Kadar neurotransmitter γ-aminobutyric acidA (GABA) menurun pada fokus


epileptik dan pada epilepsi terjadi penurunan inhibisi terhadap reseptor
GABA dan peningkatan metabolisme GABA post sinaptik
 Glutamat: sinaps glutamatergik berperan penting dalam fenomena epilepsi.
Aktivasi reseptor metabotropik dan ionotropik glutamat post sinaptik bersifat
pro konvulsi. Pada pasien dengan serangan absans, kadar glutamat plasma
ditemukan meningkat

 Katekolamin: didapatkan penurunan kadar dopamin pada fokus epilepsi


sementara pemberian antidopamin mengeksaserbasi serangan epileptic

Dampak bagi tubuh

Dampak epilepsi pada seseorang dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor,
termasuk jenis kejang, frekuensi kejang, usia saat onset, serta dukungan dan pengobatan
yang diterima. Berikut ini adalah beberapa dampak umum yang dapat dialami oleh individu
dengan epilepsi:

1. Kejang: Kejang adalah gejala utama epilepsi dan dapat memiliki dampak fisik dan
emosional yang signifikan. Kejang dapat menyebabkan cedera fisik, kelelahan,
kesulitan dalam aktivitas sehari-hari, dan terkadang mengganggu kehidupan sosial
dan pekerjaan.
2. Gangguan kehidupan sehari-hari: Epilepsi dapat memengaruhi kemampuan
seseorang untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan normal. Seseorang dengan
epilepsi mungkin perlu menghindari situasi tertentu, seperti berenang sendirian,
mengemudi, atau bekerja di lingkungan berbahaya. Ini dapat membatasi kebebasan
dan mobilitas mereka.

3. Kesehatan mental dan emosional: Epilepsi dapat mempengaruhi kesehatan mental


dan emosional seseorang. Beberapa orang dengan epilepsi mengalami depresi,
kecemasan, stres, atau masalah psikologis lainnya. Stigma sosial yang terkait
dengan epilepsi juga dapat memengaruhi kesejahteraan mental.

4. Gangguan perkembangan: Epilepsi pada anak-anak dapat mempengaruhi


perkembangan kognitif, motorik, dan bahasa. Pendidikan dan pembelajaran juga
dapat terpengaruh oleh absensi sekolah atau kesulitan belajar yang terkait dengan
epilepsi.

5. Gangguan tidur: Beberapa orang dengan epilepsi mengalami gangguan tidur, seperti
insomnia atau tidur yang tidak teratur. Hal ini dapat menyebabkan kelelahan dan
mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan.

6. Efek samping obat: Pengobatan epilepsi sering melibatkan penggunaan obat


antiepilepsi. Beberapa obat dapat menyebabkan efek samping seperti gangguan
kognitif, gangguan keseimbangan, atau masalah kesehatan lainnya.

Tanda-tanda & gejala penyakit epilepsi

Penyakit ayan terjadi akibat aktivitas abnormal di otak yang dapat memengaruhi proses apa
pun yang diatur oleh otak Anda. Dalam banyak kasus, gejala epilepsi berlangsung secara
spontan dan singkat.

Berikut ini adalah beberapa tanda dan gejala penyakit ayan (epilepsi) yang umumnya
terjadi, baik pada bayi, anak atau orang dewasa.

 Kebingungan sementara.
 Mata kosong (bengong) menatap satu titik terlalu lama.
 Gerakan menyentak tak terkendali pada tangan dan kaki.
 Hilang kesadaran sepenuhnya atau sementara.
 Gejala psikis.
 Kekakuan otot.
 Gemetar (tremor) atau kejang, pada sebagian anggota tubuh (wajah, lengan,
kaki) atau keseluruhan.
 Kejang yang diikuti oleh tubuh menegang dan hilang kesadaran secara tiba-tiba,
yang bisa menyebabkan orang tersebut tiba-tiba terjatuh.
Faktor-faktor risiko penyakit epilepsi

Meskipun penyebabnya tidak diketahui secara pasti, ilmuwan telah menemukan berbagai
faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit ayan. Berikut ini adalah faktor risiko dari
penyakit epilepsi:

 Usia. Ada lebih banyak kasus epilepsi pada anak dan lansia daripada orang
dewasa usia produktif. Meski begitu, kondisi ini juga dapat dialami oleh semua
kalangan usia yang memang berisiko tinggi memiliki ayan.
 Genetik. Bagi kebanyakan orang, gen dapat menjadi penyebab epilepsi. Jadi,
jika Anda memiliki riwayat keluarga ayan, Anda berisiko lebih tinggi memiliki
kondisi tersebut.
 Cedera pada kepala. Cedera kepala akibat kecelakaan mobil, terjatuh, ataupun
cedera traumatik lainnya ikut berperan menjadi penyebab epilepsi.
 Stroke dan penyakit vaskular. Stroke dan penyakit vaskular (pembuluh darah)
lainnya dapat menyebabkan kerusakan otak yang dapat memicu kondisi ini.
 Demensia. Demensia dapat meningkatkan risiko ayan pada lansia.
 Infeksi otak. Infeksi seperti meningitis, yang menyebabkan peradangan di otak
atau sumsum tulang belakang, dapat meningkatkan risiko Anda terkena
penyakit ini.
 Riwayat kejang di masa kecil. Demam tinggi bisa menjadi penyebab penyakit
epilepsi pada anak. Meski tidak semua, tapi kondisi ini umumnya lebih rentan
dialami anak yang memang memiliki gangguan sistem saraf dan riwayat
keluarga dengan ayan.

Pencegahan Epilepsi

Epilepsi pada dasarnya tidak dapat dicegah karena merupakan gangguan neurologis yang
terjadi akibat aktivitas listrik abnormal di otak. Epilepsi biasanya tidak dapat dihindari atau
dicegah sejak lahir.

Namun, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengurangi risiko kejang
epilepsi pada orang yang memiliki faktor risiko tertentu atau kondisi medis yang dapat
memicu kejang. Berikut adalah beberapa langkah pencegahan yang dapat membantu
mengurangi risiko kejang epilepsi:

1. Mengelola kondisi medis yang mendasari: Beberapa kondisi medis seperti stroke,
tumor otak, infeksi otak, atau gangguan perkembangan dapat meningkatkan risiko
kejang epilepsi. Penting untuk mengelola dan mengobati kondisi medis tersebut
dengan pengawasan medis yang tepat.

2. Menghindari cedera kepala: Cedera kepala sering kali menjadi faktor pemicu
kejang epilepsi. Menggunakan helm saat berkendara sepeda atau motor,
menggunakan sabuk pengaman saat berkendara mobil, dan menghindari aktivitas
berisiko tinggi dapat membantu mencegah cedera kepala yang dapat memicu kejang
epilepsi.

3. Menghindari faktor pencetus: Beberapa orang dengan epilepsi memiliki faktor


pencetus yang dapat memicu kejang, seperti kurang tidur, stres berlebihan,
konsumsi alkohol, atau penggunaan obat-obatan tertentu. Menghindari faktor-faktor
pencetus ini dapat membantu mengurangi frekuensi kejang pada orang dengan
epilepsi.

4. Menjaga pola tidur yang teratur: Kurang tidur atau tidur yang tidak teratur dapat
menjadi faktor pencetus kejang pada beberapa orang dengan epilepsi. Penting untuk
menjaga pola tidur yang konsisten dan cukup tidur untuk mengurangi risiko kejang.

5. Mengikuti pengobatan dan rencana perawatan yang direkomendasikan: Bagi


mereka yang sudah didiagnosis menderita epilepsi, penting untuk mematuhi
pengobatan dan rencana perawatan yang direkomendasikan oleh dokter.
Menggunakan obat antiepilepsi sesuai dengan resep dokter dan menjadwalkan
kunjungan rutin ke dokter dapat membantu mengontrol kejang epilepsi.

Meskipun langkah-langkah ini dapat membantu mengurangi risiko atau frekuensi kejang
epilepsi pada orang dengan faktor risiko tertentu atau kondisi medis yang mendasari,
penting untuk diingat bahwa epilepsi pada dasarnya tidak dapat dicegah secara langsung.
Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami kejang epilepsi, segera
berkonsultasilah dengan dokter atau profesional kesehatan yang kompeten untuk diagnosis,
penanganan, dan pengelolaan yang tepat.

Daftar pustaka

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/71/mari-kenali-gejala-epilepsi

https://hellosehat.com/saraf/epilepsi/epilepsi-ayan/

https://www-who-int.translate.goog/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

https://www.alomedika.com/penyakit/neurologi/epilepsi/epidemiologi

Anda mungkin juga menyukai