PENDAHULUAN
Epilepsi adalah gangguan neurologis yang paling umum, yang ditandai dengan kejang
berulang. Serangan ini adalah hasil dari muatan listrik yang berlebihan dan mendadak dalam
otak manusia. Hal ini dapat terjadi di otak secara lokal disebut sebagai kejang parsial atau
melibatkan seluruh otak yang disebut sebagai kejang umum. Terjadinya kejang dapat
meningkatkan risiko cedera fisik (Khan dkk, 2012). Epilepsi terjadi dan mengenai sekitar 50
juta orang di dunia. Tidak ada perbedaan usia, jenis kelamin, atau ras, meskipun kejadian
kejang epilepsi yang pertama mempunyai dua pembagian, dengan puncaknya pada saat masa
kanak-kanak dan setelah usia 60 tahun (WHO, 2012).
Masyarakat menganggap bahwa epilepsi yang lebih dikenal dengan berbagai nama
diantaranya ayan dan sawan, disebabkan atau dipengaruhi oleh kekuatan supranatural, dan
tiap jenis serangan dikaitkan dengan namaroh atau setan. Kurangnya pengertian tentang
epilepsi dikalangan keluarga dan masyarakat merupakan sebab utama mengapa masalah
epilepsi belum dapat ditanggulangi dengan baik. Gambaran seperti itu masih cukup kental
dimasyarakat awam, sehingga terapinya menggunakan kekuatan spriritual. Selain itu,
penyakit ini dikenal sebagai penyakit yang memalukan atau menakutkan dan merupakan
penyakit menular melalui buih yang keluar dari mulut penderita yang terkena serangan.
(Pimentel dkk, 2015).
Penyakit epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa yang berlebihan dan
abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya muatan listrik yang berlebihan ini dapat
terjadi di berbagai bagian pada otak dan menimbulkan gejala seperti berkurangnya perhatian
dan kehilangan ingatan jangka pendek, halusinasi sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh
(Miller, 2009).
Mekanisme terjadinya epilepsi karena adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan
listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi neuron disekitarnya, kemudian menyebar
melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal. Tidak ada gejala klinis yang tampak, abnormalitas
EEG tetap terekam pada periode antar kejang. Kemudian cetusan korteks tersebut menyebar
ke korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nucleus subkorteks. Gejala klinis,
tergantung bagian otak yang tereksitasi misalnya salvias, midriasis, dan takikardi. Aktivitas
subkorteks akan diteruskan kembali ke fokus korteks asalnya sehingga akan meningkatkan
aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke neuron – neuron spinal melalui
jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga menyebabkan kejang tonik-klonik umum.
Secara klinis terjadi fase tonik-klonik berulang kali dan akhirnya timbul kelelahan neuron
pada fokus epilepsi dan menimbulkan paralisis dan kelelahan pascaepilepsi. (Harsono, 2007)
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir
sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara
berkembang. Penderita laki – laki lebih banyak daripada wanita, dan sering dijumpai pada
anak pertama.
Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (>65 tahun) di negara maju diperkirakan sekitar
>0,9%, lebih tinggi dari dekade 1 dan 2 kehidupan. Pada usia > 75 tahun prevalensi
meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi pada usia
dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut. Kemungkinan penyebabnya adalah insiden yang
rendah dan angka. Prevalensi epilepsi berdasarkan jenis kelamin di negara-negara asia, di
laporkan laki-laki sedikit lebih tinggi dari wanita.
Laporan WHO pada tahun 2001 memperkirakan bahwa pada tahun 2000 diperkirakan
penderita epilepsi di seluruh dunia berjumlah 50 juta orang dan 80% tinggal di negara
berkembang. Angka prevalensi epilepsi pada umumnya berkisar antara 5-10 per 1000 orang
penduduk (Pinzon dkk, 2005). Kejadian epilepsi pada laki-laki sebesar 5,88dan perempuan
sebesar 5,51 tiap 1000 penduduk. Prevalesi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5-2%
(Paryono dkk, 2003). Sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk Indonesia mengidap penyakit
epilepsi (Depkes, 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kejang berasal dari bahasa Latin sacire, yang berarti untuk mengambil alih. Kejang
adalah suatu kejadian tiba-tiba yang disebabkan oleh lepasnya agregat dari sel-sel saraf di
sistem saraf pusat yang abnormal dan berlebihan (Lowenstein,2010).
Epilepsi adalah gangguan neurologis yang paling umum, yang ditandai dengan kejang
berulang. Serangan ini adalah hasil dari muatan listrik yang berlebihan dan mendadak dalam
otak manusia. Ini dapat terjadi di otak secara lokal disebut sebagai kejang parsial atau
melibatkan seluruh otak yang disebut sebagai kejang umum. Terjadinya kejang dapat
meningkatkan risiko cedera fisik (Khan dkk,2012).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa
perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked) (Shorvon, 2000).
Kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak
akibat perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan
berupa kejang. Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya epilepsi pada penderita
kejang demam adalah :
a. Memiliki riwayat epilepsi dari orang tua atau saudara kandung
b. Terdapat kelainan neurologis / perkembangan sebelum kejang demam terjadi
c. Kejang demam kompleks
Resiko epilepsi 4-6% terjadi karena ditimbulkan dari masing-masing faktor resiko, resiko
epilepsi meningkat menjadi 10-49% karena adanya kombinasi faktor resiko tersebut (Fuadi
dkk, 2010).
Terdapat perbedaan data epidemiologi dari berbagai negara. Hal ini disebabkan oleh (a)
belum punya keseragaman dalam definisi dan klasifikasi, (b) epilepsi bukan merupakan
penyakit yang harus dilaporkan, dan (c) pengambilan data dari kelompok tertentu bukan
populasi umum, misalnya statistik militer dan murid sekolah, sehingga sulit untuk
membandingkan hasil penelitian – penelitian yang sudah dilakukan. Insidensi epilepsi di
berbagai negara bervariasi antara 0,2-0,7 %, pravelensinya bervariasi antara 4-7 %.
Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 900.000 – 1,8 juta penderita. Epilepsi dijumpai
pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, walau pun
beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Penderita laki –
laki lebih banyak daripada wanita, dan sering dijumpai pada anak pertama.
Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi terdapat perbedaan yang mencolok pada
kelompok umur tertentu sekitar 30 – 32,9% penderita mendapat sawan pertama pada usia
kurang dari 4 tahun. 50 – 51.5% terdapat pada kelompok kurang dari 10 tahun dan mencapai
75-83,4% pada usia kurang dari 20 tahun. 15% penderita pada usia lebih dari 25 tahun dan
kurang dari 2% pada usia lebih dari 50 tahun (Harsono, 2007).
Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena
adanya perbedaan muatan ion yang terdapat didalam dan diluar neuron. Perbedaan jumlah
muatan ion – ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang
lebih negatif. Neuron bersinanpsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu
masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi
membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu
potensial aksi akan dikirim sepanjang akson untuk merangsang atau menghambat neuron lain.
Sel glia yang merupakan bagian terbesar dari sel – sel di susunan saraf pusat, memiliki
peranan dalam mempertahankan keseimbangan ionik, agar depolarisasi yang telah terjadi
dapat disusul dengan depolarisasi. Karena kemampuan tersebut, sel glia banyak yang
berperan dalam inhibisi.
Sampai saat ini patofisiologi epilepsi belum diketahui dengan jelas. Ada hipotesis yang
menduga bahwa suatu epileptogenesis dapat terjadi karena adanya sekelompok neuron yang
secara intrinsik memiliki kelainan pada membrannya, ini bisa didapat atau diturunkan.
Neuron abnormal tersebut akan menunjukkan depolarisasi berkelanjutan dan sangat besar,
kemudian melalui hubungan yang efisien akan mengimbas depolarisasi pada sebagian besar
neuron – neuron lainnya. Bila proses inhibisi juga mengalami gangguan, entah karena suatu
cedera, hipotesis iskemia atau genesis akibat gangguan mutasi, maka kumpulan neuron
abnormal yang diimbasnya akan bersama–sama dalam waktu yang hampir bersamaan
melepaskan potensial aksinya, sehingga terjadilah sawan.
Pada sawan umum primer, letak massa neuron yang abnormal sampai saat ini belum
diketahui, ada dugaan terletak pada kelompok sel–sel subkortikal. Sedangkan pada sawan
parsialis, massa neuron abnormal terletak di lapisan–lapisan neuron tertentu di neokorteks
atau hipokampus. Suatu sawan parsialis dapat menjadi umum sekunder bila massa neuron
abnormal di neokorteks atau hipokampus melibatkan neuron yang terletak di subkortikal
(Harsono, 2007).
Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam
munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak
yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis).
Mekanisme Iktogenesis
Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan
dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan neuron.
Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional
dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe,jumlah, dan distribusi
kanal ion gerbang-voltase dan gerbang ligan; atau perubahan biokimiawi pada
reseptor yang meningkatkan permeabilitas terhadap Ca2+, mendukung perkembangan
depolarisasi berkepanjangan yang mengawali kejang.
Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan
fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion,
perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi
pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85%
selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K +. Bagaimanapun,
kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K+.
Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang sel
granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron
eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.
Mekanisme Epileptogenesis
Mekanisme non sinaptik
Perubahan konsentrasi ion terlihat selama hipereksitasi, peningkatan kadar K +
ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na-K akibat hipoksia
atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan Cl-
K, yang mengatur kadar Cl intrasel dan aliran Cl inhibisi yang diaktivasi oleh GABA,
dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung
pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan
rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal
memainkan peran penting pada epileptogenesis.
Mekanisme sinaptik
Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi GABAnergik
dan peningkatan eksitasi glutamatergik.
GABA
Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (Cairan Serebrospinal) pasien
dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari pasien dengan
epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini mengalami
penurunan inhibisi.
Glutamat
Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan kadar
glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar GABA
tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi
GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang non-epileptogenetik.
Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan
inhibisi di daerah yang epileptogenetik (Eisai, 2012).
Suatu bangkitan dapat berasal dari fokus yang melepaskan muatan pada daerah otak
yang terbatas, maka dikenal sebagai bangkitan parsial. Mekanisme dasar terjadinya
bangkitan parsial meliputi dua fase, yakni fase inisiasi dan fase propagasi.
1. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi tinggi yang melibatkan
peranan kanal ion Ca2+ dan Na+ serta hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi
oleh reseptor GABA atau kanal ion K+.
2. Fase propagasi dalam keadaan normal, penyebaran depolarisasi akan dihambat oleh
neuron-neuron inhibisi disekitarnya yang mengadakan hiperpolarisasi. Namun, pada
fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron
disekitarnya), akumulasi Ca2+ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan
neurotransmitor), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion
Ca2+ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan
dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat
menyebabkan epilepsi umum / epilepsi sekunder (Sulistia Gan Gunawan, 2007).
2.5. Gejala
a. Kejang umum
Semua area otak (korteks) yang terlibat dalam kejang umum. Kadang-kadang disebut
sebagai kejang grand mal atau tonic-clonic convulsion. Orang yang mengalami kejang
tersebut mungkin berteriak atau membuat beberapa suara, kaku untuk beberapa detik,
kemudian memiliki gerakan ritmis pada lengan dan kaki. Sering kali gerakan berirama
lambat sebelum berhenti. Mata umumnya terbuka, tidak tampak bernapas. Kembalinya
kesadaran secara bertahap dan harus terjadi dalam beberapa saat. Sering kali orang akan
bingung sebentar setelah kejang umum.
b. Kejang parsial
Hanya bagian dari otak yang terlibat, sehingga hanya bagian tubuh yang terkena.
Tergantung pada bagian otak yang memiliki aktivitas listrik abnormal, gejala dapat
bervariasi. Jika bagian dari gerakan otak pengendali tangan yang terlibat, misalnya, maka
mungkin hanya tangan dapat menunjukkan gerakan ritmis atau masturbasi. Kadang-
kadang orang dengan kejang parsial muncul kebingungan. Ini mungkin merupakan kejang
kompleks parsial. Kompleks istilah digunakan oleh dokter untuk menggambarkan
seseorang yang antara menjadi penuh waspada dan sadar.Kejang parsial dibagi menjadi
dua antara lain : Simple partial seizures pasien tidak kehilangan kesadaranterjadi sentakan-
sentakan pada bagian tertentu dari tubuh dan complex partial seizures pasien melakukan
gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan mengunyah, meringis, dll tanpa kesadaran.
a. Kurang Tidur
Kurang tidur dapat merubah aktifitas sel neuron sehingga memudahkan
terjadinya bangkitan
b. Stres
c. Obat- obatan
Beberapa jenis obat seperti teofilin dan antidepresan trisiklik dapat
menimbulkan bangkitan
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis
epilepsi.Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena
pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami
penderita.Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan
kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik
dan obat-obatan tertentu.Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi
sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan)
merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis dilihat adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus.Pada anak-
anak, diperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan
ukuran antara anggota tubuh.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“, koordinasi, saraf kranialis,
fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat
menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya
nystagmus, diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi
seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu
serangan kejang terjadi. “Dysmorphism” dan gangguan belajar mungkin ada kelainan
kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat
dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa
menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya
distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis (Ahmed,
Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).
3) Tes Laboratorium
Saat ini tidak ada tes laboratorium diagnostik untuk epilepsi. Dalam beberapa
kasus, terutama setelah GTC atau Generalized Tonic Clonic (umum tonik-klonik) atau
mungkin CP (Komplek Parsial) kejang, kadar prolaktin serum dapat meningkat secara
sementara. Tes laboratorium bisa dilakukan untuk menghilangkan penyebab
dalampengobatan kejang (misalnya, hipoglikemia, konsentrasi elektrolit diubah, infeksi,
dll) yang tidak mewakili epilepsi (Dipiro dkk, 2008)
4) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis epilepsi.Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan
prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat anti epilepsi
(OAE).
Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG.Kelainan parsial pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.Sedangkan adanya kelainan
umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal seperti
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang
lambat yang timbul secara paroksimal.
Gambar.Alat EEG
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau pemeriksaan radiologis bertujuan untuk melihat struktur
otak dengan melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan
Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kiri dan kanan.
Indikasi CT Scan kepala adalah:
-Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan
epilepsi di otak.
-Perubahan serangan kejang.
-Ada epilepsi neurologis fokal.
-Serangan kejang parsial.
-Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
-Untuk persiapan operasi epilepsy (Kustiowati dkk 2003).
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun
demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan
untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik epilepsi dengan CT Scan.
Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat
mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya
meliputi: T1 dan T2 “weighted” dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan
coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).
Gambar 6. CT Scan
c. Pemeriksaan Neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga
dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang
bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).
2.8.2. Tujuan
Tujuan terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi kejang,
memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan memungkinkan pasien dapat hidup
dengan normal. Khusus untuk status epileptikus, terapi sangat penting untuk menghindarkan
pasien dari kegawatan akibat serangan kejang yang berlangsung lama (Ikawati, 2011).
2.8.3. Strategi
Strategi terapi epilepsi adalah mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik
syaraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan
neurotransmitter, dan atau mengurangi penyebaran pacuan dari fokus serangan dan mencegah
cetusan serta putusnya fungsi agregasi normal neuron (Ikawati,2011).
3. Diet Ketogenik
Diet ketogenik telah dibuat pada 1920-an merupakan diet tinggi lemak dan rendah
karbohidrat dan protein sehingga menyebabkan asidosis dan ketosis. Protein dan asupan
kalori yang ditetapkan pada tingkat yang akan memenuhi persyaratan untuk pertumbuhan.
Sebagian besar kalori yang diperbolehkan dalam bentuk krim kental dan mentega, dan gula.
Melengkapi kebutuhan vitamin, mineral, mengontrol cairan dalam tubuh. Hal ini
membutuhkan monitoring yang ketat dan kepatuhan pasien. Efek jangka panjang telah
menyebabkan batu ginjal, patah tulang, dan efek samping pada pertumbuhan. Baru-baru ini
diet Atkins dimodifikasi telah ditemukan efektif dalam pengobatan epilepsi anak. (Dipiro
dkk, 2008).
Mekanisme diet ketogenik sebagai antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti,
namun senyawa keton ini diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan kejang. Adanya
senyawa keton secara kronis akan memodifikasi siklus asam trikarbosilat untuk
meningkatkan sintesis GABA di otak, mengurangi pembentukan reactive oxigene species
(ROS), dan meningkatkan produksi energi dalam jaringan otak. Selain itu, beberapa aksi
penghambatan syaraf lainnya adalah peningkatan asam lemak tak jenuh ganda yang
selanjutnya akan menginduksi ekspresi neural protein uncoupling (UCPs), meng-upregulasi
banyak gen yang terlibat dalam metabolisme energi dan biogenesis mitokondria. Efek-efek
ini lebih lanjut akan membatasi pembentukan ROS dan meningkatkan produksi energi dan
hiperpolarisasi syaraf. Berbagai efek ini secara bersama-sama diduga berkontribusi terhadap
peningkatan ketahanan syaraf terhadap picuan kejang (Ikawati, 2011).
4. Lain-lain
Menurut Kumar dkk, 2010 bahwa terapi non farmakologi bagi penderita epilepsi
sebagai berikut :
Diet ketat, istirahat penuh dan olahraga teratur
Menghindari stress dan kelelahan berlebih
Menghindari konsumsi alkohol
Konsumsi susu kambing murni dan keju buatan sendiri
Menghindari konsumsi kopi
Memakan buah selama beberapa hari untuk diet ekslusif
3. Terapi Farmakologi
1. Terapi Faramakologi
a. Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+
Pembukaan saluran Na+ yang dipicu oleh depolarisasi pada membran akson
suatu neuron diperlukan untuk suatu potensial aksi. Setelah membuka, saluran
tersebut menutup secara spontan, proses ini disebut inaktivasi. Bebrapa obat
antiepilepsi dapat memperpanjang inaktivasi saluran Na+ yang akan menurunkan
kemampuan neuron untuk berstimulasi pada frekuensi tinggi
(Gilman&Goodman,2008:296).
Karbamazepin
Karbamazepin merupakan turunan dibenzazepin yang mempunyai spektrum
antikejang luas. Obat ini merupakan lini pertama untuk terapi epilepsi.
Karbamazepin diabsorpsi secara lambat pada saluran cerna, kadar plasma
tertinggi dicapai setelah 6- 12 jam.
Indikasi : mengontrol serangan epilepsi parsial, grand mal dan petit mal.
Efek sampingnya : mengantuk dan iritasi lambung.
Dosis : pada anak usia <6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak
usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800
mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali
sehari (Siswandono. 2008: 262).
Mekanisme kerja :
Karbamazepin bekerja dengan memblokade saluran natrium dan menghambat
cetusan berulang berfrekuensi tinggi pada neuron. Karbamazepin sebagai
antikonsulvan bekerja secara prasinaptik untuk menurunkan transmisi sinaptik
(Goodman&Gilman.Manual Farmakologi dan Terapi : 301).
Fenitoin
Indikasi : epilepsy parsial dan epilepsy tonik klonik
Dosis : dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis
pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam.
Efek samping : pusing, sedasi, gangguan kognitif, penglihatan kabur, banyak
interaksi dengan obat lain
Mekanisme aksi :
Fenitoin memblokadesaluran natrium dan menghambat cetusan berulang
berfrekuensi tinggi pada neuron (Goodman&Gilman.Manual Farmakologi dan
Terapi : 297).
Asam Valproat
Indikasi : epilepsi petit mal dan mioklonik.Aktivitas asam valproat
terhadap serangan petit mal lebih tinggi dibanding klonazepam, tetapi lebih
rendah terhadap serangan mioklonik.
Efek sampingnya : terutama adalah gangguan saluran cerna.
Dosis : 10-15 mg/kg/hari (Siswandono.2008 : 262).
Mekanisme aksi obat :
Asam valproat menghambat inisiasi impuls saraf berulang yang kontinu yang
diinduksi depolarisasi pada neuron.Kerja asam valproat melibatkan metabolisme
GABA dengan menstimulasi aktivitas asam glutamat dekarboksilase dan
menghambat enzim degradatif GABA.
Etosuksimid
Indikasi : epilepsi umum absens
Mekanisme kerja :
Etosuksimid menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam
pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca 2+ tipe T pada kejang
absens, sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangisentakan
pada kejang absens.
Dosis : anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20
mg/kg/hari untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia>6
tahun dan dewasa 500 mg/hari.
Efek samping : mual dan muntah, mengantuk, gangguan pencernaan, goyah
(tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.
Lamotrigin
Indikasi : epilepsi parsial dan tonik klonik
Dosis : 25-50 mg/hari (Siswandono.2008 : 263)
Mekanisme kerja :
Lamotrigin menekan cetusan listrik neuron yang bertahan lama dan menghasilkan
inaktivasi kanal natrium.Lamotrigin juga menurunkan pelepasan glutamate di
sinaps (Betram G katzung.2010: 392)
Efek samping : diplopia, pusing, goyah (tidak bisa tegak)
Tabel 1. Obat Anti Epilepsi (OAE) yang Sering Digunakan untuk Tipe Epilepsi.
Diagnosa positif
Ya Sembuh ? Tidak
Rekonfirmasi
Efek samping dapat ditoleransi ? Efek samping dapat ditoleransi ?
diagnosis,
Hentikan OAE yg
Kembali ke tidak efektif Pertimbangkan
Tingkatkan dosis
Lanjutkan
Hentikan
Tidak Assesment
kambuh Tidak YaPertimbangkan, Tidak
Hentikan OAE
Tambahkan OAE
1pembedahan,
2
Ya 2, cekdosis,
Turunkan
OAE interaksi,
Tetap gunakan OAE 2 tambahkan OAE
Pengobatan
selama
Ya Ya> 2hidup
terapi
Kualitas th ?Tidakawal ?
Tidak
optimal atasi dengan
Turunkan tepat
dosis Lanjutkan
Ya terapi
Sembuh
ygTidak
Tingkatkan ?Tidak
dosis
Efek
lain atau OAE
samping Ya
lain
Sembuh
dapat ? Ya2 ?
Tidak
ditoleransi
cek kepatuhan
Pemilihan obat antiepilepsi didasarkan pada dua hal, tipe serangan dan karakteristik pasien
1. Tipe serangan
(Goodman and Gilman.2008 : 295)
Tipe serangan First-line Second-line/
add on
Parsial sederhana Karbamazepine Gabapentin
Fenitoin Lamotrigin
Asam Valproat
Parsial kompleks Karbamazepine Gabapentin
Fenitoin Lamotrigin
Asam Valproat
Umum absens Etoksuksimid Lamotrigin
Asam valproat
Umum mioklonik Asam valproat Lamotrigin
Topiramat
Fenitoin
Asam Valproat
2. Karakteristik pasien
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah : efek buruk obat, dosis yang tepat, harga,
pola hidup dan usia pasien. Jika ada kontra indikasi atau terjadi reaksi yang intolerir maka
penggantian obat dilakukan.
EDUKASI
Cara menanggulangi kejang epilepsi :
1. Selama Kejang
a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam
atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
2. Setelah Kejang
a) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi, dalam keadaan
demikian jangan diberi makan dan minum pada penderita sampai kesadaran
pulih.
b) Sebelum dibiarkan sendirian perlu dipastikan bahwa penderita sudah sadar penuh
atau belum dengan mengajukan pertanyaan yang jawabannya bukan sekedar ya
atau tidak.
e) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk
menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang
lembut (Harsono,2007:78).
DAFTAR PUSTAKA
Goodman & Gilman. 2008. Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta : EGC.