Anda di halaman 1dari 15

SYOK ANAFILAKTIK

Disusun oleh :

Regina Janet A. Sitepu

1765050342

Pembimbing:

DR. Med. dr. Abraham Simatupang, M.Kes

KEPANITERAAN FARMAKOTERAPI & FARMASI TERAPAN


PERIODE 22 JULI 2019 – 24 AGUSTUS 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Reaksi anafilaktik atau anafilaksis adalah respon imunologi yang berlebihan terhadap
suatu bahan dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut. Saat pasien
kontak dengan bahan tersebut, histamin, serotonin, tryptase dan bahan vasoaktif lainnya
dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi anafilaktoid secara klinik tak dapat dibedakan
dengan anafilaksis, tetapi reaksi ini dimediasi langsung oleh obat atau bahan tertentu, dan tidak
melalui sensitasi antibodi IgE.
Pelepasan sejumlah kecil histamin secara langsung sering dijumpai pada pemberian
obat seperti morfin dan relaksan otot non depolarisasi (tubokurare, alkuronium, atrakurium).
Manifestasi klinik biasanya ringan, terdiri dari urtikaria (kemerahan dan pembengkakan kulit),
biasanya sepanjang vena, kemerahan pada tubuh dan kadang-kadang hipotensi ringan.
Berbagai macam obat secara potensial dapat menyebabkan reaksi alergi tidak
terkecuali bahan yang digunakan dalam praktek anestesi, yang terlibat dalam menyebabkan
reaksi anafilaktik antara lain tiopenton, suksametonium, obat pelumpuh otot non depolarisasi,
anestetik lokal golongan ester, antibiotik, plasma ekspander (dextran, kanji dan glatin) serta
lateks.
Gambaran Klinik Anafilaksis yang paling sering adalah berasal dari kardiovaskuler.
Tidak semua gejala terjadi pada setiap pasien – satu gejala mungkin lebih mencolok
dibandingkan gejala yang lain. Reaksi berkisar dari yang ringan sampai yang mengancam
hidup. Pasien yang sadar akan mengeluhkan serangkaian gejala, tetapi diagnosis lebih sulit
pada pasien yang telah dianestesi.
Anafilaksis dicurigai terjadi pada pasien yang telah dianestesi jika timbul hipotensi
atau bronkhospasme secara tiba-tiba, terutama jika hal tersebut terjadi setelah pemberian suatu
obat atau cairan. Alergi lateks mungkin mempunyai onset yang lambat, kadang-kadang
memerlukan waktu sampai 60 menit untuk bermanifestasi.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI SYOK ANAFILAKTIK

Syok adalah suatu keadaan dimana pasokan darah tidak mencukupi untuk
kebutuhan organ-organ di dalam tubuh. Syok juga didefinisikan sebagai gangguan
sirkulasi yang mengakibatkan penurunan kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya
volume darah yang bersirkulasi secara efektif dan biasanya berhubungan dengan
tekanan darah rendah serta kematian sel maupun jaringan.1
Menurut WHO pada tahun 2003, anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas
generalista atau sistemik yang berat dan mengancam kehidupan. Anafilaksis sendiri
dibagi menjadi tiga: alergi, non alergi, dan idiopatik. Anafilaksis alergi terjadi bila
diperantarai suatu mekanisme imunologi, diperantarai IgE, atau diperantarai antibodi-
IgE. Sedangkan anafilaksis non alergi atau pseudo alergi (atau anafilaktoid)
diperantarai penyebab non imunologi. Sedangkan anafilaksis idiopatik, yaitu
anafilaksis yang tidak diketahui penyebabnya. 2
Syok anafilaktik adalah sindrom klinis syok yang terjadi akibat reaksi
hipersensitivitas tipe 1 (alergi) sistemik. Syok anafilaktik merupakan salah satu
manifestasi klinis dari anafilaksis dan merupakan bagian dari syok distributif (yang
ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang menyebabkan terjadinya
sinkop dan kematian pada beberapa pasien. Syok anafilaktik meruapakan kasus
kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan,
karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi
saluran napas merupakan gejala utamanya.

B. KLASIFIKASI SYOK ANAFILAKTIK


1. Reaksi Sistemik Ringan
Gejala klinis berupa rasa gatal serta hangat, rasa penuh di mulut, dan
tenggorokan, hidung tersumbat dan terjadi edema di sekitar mata, kulit gatal, mata
berair, bersin. Biasanya gejala terjadi dua jam setelah paparan antigen.4

2
2. Reaksi Sistemik Sedang
Gejala sistemik ringan ditambah spasme bronkus dan/atau edema saluran
napas sehingga muncul keluhan sesak, batuk, atau mengi. Dapat juga herupa
urtikaria menyeluruh, mual, muntah, gatal, gelisah. Biasanya awitan muncul
seperti reaksi anafilaktik ringan.4
3. Reaksi Sistemik Berat
Gejala sistemik ringan dan sedang yang lebih berat. Spasme bronkus, edema
laring, suara serak, stridor, sianosis, hingga terjadi henti napas. Edema dan
hipermotilitas saluran cerna sehingga nyeri menelan, spasme otot perut, diare, dan
muntah. Dapat juga terjadi spasme otot uterus, hingga kejang umum, gangguan
kardiovaskuler, aritmia hingga koma.

C. FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah: 1,3
 Sifat alergen
 Asma
Merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian
karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
 Jalur pemberian obat
Berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih
sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak
berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi
setelah menelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama
dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali.
Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE
spesifik seiring waktu.
 Riwayat atopi
Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis
memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi
merupakan faktor risiko untuk reaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi
anafilaksis yang diinduksi oleh latihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi

3
terhadap radio kontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak
didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.
 Kesinambungan paparan alergen.
Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan,
obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan
kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan
yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, OAT, vitamin B1, asam folat,
agen kometerapi seperti carboplatin dan doxorubicin serta agen biologis seperti
antibody monoclonal, selain itu dapat juga disebabkan oleh obat-obatan herbal.
Pencetus anafilaksis lain yang juga sering terjadi adalah pemakaian media
kontras untuk pemeriksaan radiologic. Media kontras menyebabkan reaksi yang
mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang fatal terjadi antara 1 : 10.000
dan 1 : 50.000 prosedure intravena. Kasus berkurang setelah dipakainya media
kontras yang hyperosmolar.selain itu imunoterapi dan uji kulit (terutama
intradermal) juga dapat berpotensi menyebabkan anafilaksis. Lateks (Natural
Rubber Latex) yang terdapat pada peralatan medis seperti masker, endotracheal
tube, sarung tangan juga dapat mencetuskan reaksi anafilaksis.

Penyebab reaksi anafilaksis dan anafilaktoid


Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja,
dan dewasa muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan
gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi
ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua. Sebagian besar
pemicu spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat universal, seperti
di Amerika Utara, dan beberapa negara di Eropa dan Asia, susu sapi
telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab tersering. Di
beberapa negara Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu
tersering. Obat-obatan, seperti antivirus, antimikroba, anti jamur
adalah penyebab paling sering reaksi anafilaksis di dunia. Reaksi
anafilaksis juga dapat dipicu oleh agen kemoterapi, seperti
carboplatin, doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen lain yang

4
dapat menyebabkan reaksi ini adalah radiocontrast media, latex yang
biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal tube, cuff tensimeter,
kateter, torniket, udara yang terlalu dingin atau air yang dingin.
Sensitivitas host, dosis, kecepatan, cara, dan waktu paparan dapat
mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan oral lebih jarang
menimbulkan reaksi.5

D. PATOFISIOLOGI

Sel B naive
(membran monomer Alergen
IgG & IgM)
Ditangkap makrofag

Berubah menjadi Antigen Presenting Cell (APC)

Diperkenalkan ke sel B naive Sel Th 2 (helper)

Sel B naive berikatan dengan antigen dan sel Th 2

Sel B naive berubah


Th 2 mengeluarkan sitokin tipe 2 (IL-4, IL-10)
menjadi sel plasma

Mengubah membran monomer IgG dan IgM pada sel B naive menjadi IgE

IgE terlepas dari sel B dan menempel pada FcεR di sel Mast

Paparan ulang alergen


Fase sensitisasi
Alergen menempel pada IgE yang satu dengan yang lainnya

Terjadi Crosslink pada sel Mast

Eksositosis mediator inflamasi histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic


(ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF) oleh sel Mast

Manifestasi klinis Fase efektor

Hipotensi, pusing, kemerahan, takikardia, sesak, peningkatan sekresi mukus


pada jalan nafas, gatal, hidung tersumbat

5
E. DIAGNOSIS

1) Anamnesis

a. Onset

Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang
terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan allergen, reaksi
moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan allergen,serta reaksi
lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan allergen. Namun pada
1,2
umumnya berlangsung cepat dan bersifat mendadak.

b. Riwayat konsumsi makanan susu, telur, gandum, kedelai. Kemudian kacang tanah,
kacang kenari, ikan, kerang.
c. Riwayat konsumsi obat-obatan seperti antibiotik, analgetik, golongan opiat, foto
kontras.
d. Riwayat terkena racun hewan seperti sengatan lebah, gigitan ular.
e. Riwayat penyakit jantung congenital
f. Riwayat diare atau muntah-muntah hebat

2) Pemeriksaan Fisik

a. Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
b. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak.
c. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin,
lembab/basah, dan diaphoresis.
d. Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan
saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan
volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian
paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas
bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.
e. Penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf
pusat.

6
f. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin,
tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan
terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia.
g. Pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran
urine (oligouri atau anuri)

3) Pemeriksaan Penunjang

a. Hematologi rutin: hemokonsentrasi, eosinofilia


b. Foto thoraks: hiperinflasi dengan atau tanpa atelektasis yang disebabkan mukus di
jalan nafas
c. EKG: konduksi yang abnormal, atrial atau disritmia ventrikular, perubahan
gelombang ST-T karena iskemia miokardial atau jejas, dan kor pulmonale akut.
d. Plasma histamine dan serum tryptase meningkat
e. Diagnostik imunologis: untuk menentukan diagnosis, diperlukan berbagai tes
immunologis untuk mengetahui ada atau tidak adanya IgE antibodi, diantaranya
yaitu:
o Skin test
o Wheal and Flare skin test
o Test prick
o RAST (radioallergosorbent test)
f. Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan
fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara
gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar
adrenal, resistensiinsulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.
g. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat.
h. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi
mitokondria. 1,2

Organ Systems Signs and Symptoms


Cardiovascular Hypotension, tachycardia, arrhythmias
Pulmonary Bronchospasm, cough, dyspnea, pulmonary
edema, laryngeal edema, hypoxia
Dermatogical Urticaria, facial edema, pruritus

7
F. TATALAKSANA
1. Posisi Trendelenburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikkan venouse return sehingga tekanan darah
ikut meningkat.
2. Pemberian oksigen 3-5 liter/menit harus dilakukan, pada keadaan yang sangat
ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
3. Pemasangan infus, cairan plasma expander (dextran) merupakan pilihan utama
untuk mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tidak tersedia,
ringer laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Cairan
infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
4. Adrenalin 0,3 – 0,5 ml dari larutan 1:10.000 diberikan secara intramuskular (IM)
dan dapat diulangi 5-10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, karena lama
kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskular kurang
efektif, dapat diberikan secara intravena setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan
dalam spuit 10 ml dengan NaCl fisiologisnya, diberikan secara lambat. Pemberian
secara subkutan sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya sangat
lambat bahkan tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat
tidak terjadi.
5. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua
obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan
setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi ketingkat
selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa
digunakan adalah difenhidramin HCl 5-20 mg IV dan untuk golongan
kortikosteroid dapat digunakan dexamethasone 5-10 mg IV atau hidrokortison 100-
250 mg IV.
6. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantun (cardiac
arrest), maka prosedur resusitasi kardiopulmoner harus segera dilakukan.

8
TERAPI TAMBAHAN
 Kortikosteroid untuk semua kasus berat, berulang, dan pasien dengan asma
- Methyl prednisolone 125 – 250 mg IV
- Dexamethasone 20 mg IV
- Hydrocortisone 100 – 500 mg IV pelan
 Inhalasi short acting 2-agonist pada bronkospasme berat
 Vasopressor IV
 Antihistamin IV
 Bila keadaan stabil, dapat mulai diberikan kortikosteroid dan antihistamin

9
G. PILIHAN OBAT
1. Adrenalin
a) Farmakodinamik
Adrenalin memiliki tindakan vasokonstriktor kuat melalui -adregenik
stimulasi. Kegiatan ini menetralkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah menyebabkan hilangnya cairan intravaskular dan hipotensi
berikutnya, yang merupakan fitur utama dalam farmakologi syok anafilaksis.
Adrenalin merangsang bronkial -adregenik reseptor dan memiliki tindakan
bronkodilator kuat. Adrenalin juga meredakan pruritus, urtikaria dan
angioedema terkait dengan anafilaksis.5
b) Farmakokinetik
Adrenalin dengan cepat tidak aktif dalam tubuh, terutama di hati oleh enzim
katekol-o-methyltransferase (COMT) dan monoamine oxidase (MAO). Banyak
dosis adrenalin diekskresikan sebagai metabolit dalam urin, plasma paruh
adalah sekitar 2-5 menit. Namun, ketika diberikan oleh subkutan atau injeksi
intramuskular, vasokonstriksi lokal dapat menunda penyerapan sehingga efek
dapat berlangsung lebih lama dari waktu paruh yang disarankan.5
c) Indikasi
Reaksi hipersensitivitas terhadap obat-obatan dan alergi lainnya, pengobatan
darurat syok anafilaksis, pada henti jantung, asma, angiodema, metastasis
kanker kolorektal, anestesi lokal guna memperpanjang efeknya, glaukoma
dengan efek midriatik.5
d) Kontraindikasi
Hipertensi, Diabetes Melitus (DM), Hipertiroidisme.
e) Efek Samping Obat
Bronkospasme berat, pada pasien dengan sindrom Parkinson dapat
meningkatkan kekakuan. Pada jantung mengalami gangguan irama jantung dan
dapat menyebabkan tingkat palpitasi dan takikardi. Nyeri dada/ angina mungkin
terjadi. Adrenalin dapat menyebabkan aritmia ventrikel berpotensi fatal
termasuk fibrilasi, terutama pada pasien dengan penyakit jantung organik.
f) Interaksi Obat
Reseptor  meningkatkan kalsium sel otot jantung, dengan segala akibat
perubahan listrik dan mekaniknya. Efek obat simpatomimetik terhadap tekanan

10
darah dapat diuraikan berdasarkan efeknya terhadap jantung, tekanan vaskuler
perifer, dan aliran balik vena.5

2. Anti Histamin (Chlorfeniramin)


a) Farmakodinamik
AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-
macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen
berlebihan. Reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap
pemberian AH1, karena bukan histamin saja yang berperan, tetapi autokoid lain
yang dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan beratnya reaksi hipersensitivitas
berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
b) Farmakokinetik
Lama kerja AH1 generasi I setelah pemberian dosis tunggal umumnya 4-6 jam,
sedangkan beberapa derivat piperizin seperti meklizin dan hidroksizin memiliki
masa kerja yang lebih panjang, seperti juga umumnya antihistamin generasi II.
Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot,
dan kulit kadarnya lebih rendah. Tempat utama biotransformasi AH1 ialah hati,
tetapi dapat juga pada paru-paru dan ginjal.
c) Indikasi
AH1 berguna untuk mengobati alergi tipe eksudatif akut misalnya pada
polinosis dan urtikaria. Efeknya paliatif, membatasi dan menghambat efek
histamin yang dilepaskan sewaktu reaksi antigen-antibodi terjadi. AH1 tidak
berpengaruh terhadap intensitas reaksi antigen-antibodi yang merupakan
penyebab berbagai gangguan alergi.5
d) Kontraindikasi
Alergi terhadap obat atau komponen obat, pasien dengan profiria atau gangguan
fungsi ginjal.5
e) Efek Samping Obat
Mengantuk, nyeri kepala, gangguan psikomotor, edek antimuskarinik (retensi
urin, mulut kering, pandangan kabur, gangguan saluran cerna).5
f) Interaksi Obat
Penggunaan bersama dengan alkohol, antidepresan trisiklik, barbiturat atau
depresan SSP lain dapat memperkuat efek sedatif antihistamin.5

11
3. Kortikosteroid (Hydrocortison)
a) Farmakodinamik
Hidrokortison adalah antiinflamasi steroid dengan butiran zat aktif memasuki
sel dan membran lysoma sehingga menurunkan mediator yang terlibat dalam
respon antiinflamasi dan mengurangi pelepasan enzim dalam sintesis
prostaglandin.5
b) Farmakokinetik
Dengan penyerapan bervariasi menurut anatomi yang berkisar 1% di lengan
bawah kulit, 26-29% di membran mukosa. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penetrasi, yaitu konsentrasi, anatomi, usia, dan kondisi kulit. Tingkat plasma
hidrokortison di menit 90 turun menjadi 50%, waktu paruh biologis hidrokarbon
adalah 8-12 jam.5
c) Indikasi
Hidrokortison adalah suatu senyawa anti radang dari golongan kortikosteroid
yang sangat efektif untuk obat kulit. Pada penyakit kulit yang disebabkan oleh
alergi, sehingga memberikan efek berkurangnya radang, rasa gatal dan sakit.5
d) Kontraindikasi
Diabetes Melitus, Ulkus Peptikum.5
e) Efek Samping Obat
Hiperglikemia, osteoporosis, moonface, obesitas.5
f) Interaksi Obat
Kortikosteroid dengan antidiabetik oral akan menambahkan efek hipoglikemia.

12
BAB III
KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang
dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun serangga.
Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi
pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis anafilaksis
sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter
dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok anafilaktik harus cepat dan tepat
mulai dari hentikan alergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki
diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian
adrenalin dan obat- obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu
berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.
Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenarjo, Jatmiko Dwi H. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran UNDIP/ RSUP Dr.Kariadi, Semarang. 2010
2. Muhiman, Muhardi, dkk, Anestesiologi, Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Penerbit : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
Cetakan Pertama, 1989
3. Omoigui, Sota, Buku Saku Obat-obatan Anestesia, Edisi ke-II, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Cetakan Pertama, Tahun 1997
4. Salam SH. Penatalaksanaan Syok Anafilaksis. Bagian ilmu Anestesia, Terapi
Intensif dan Manajemen Nyeri. Fakultas Kedokteran Unhas/ RS dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar 2016;1-4
5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia.
Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-5. 2016
6.
7. Price Sylvia, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Penyakit Edisi 6. EGC,
Jakarta. 2006
8. Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013 Update Of
The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193– 204.

14

Anda mungkin juga menyukai