Reaksi anafilaksi
BLOK HEMATOIMUNOLOGI
Disusun Oleh:
Pada essay kali ini membahas reaksi analfila merupakan salah satu kasus yang dapat
dijumpai di unit gawat darurat. Tidak ada definisi pasti dari anafilaksis, namun pada umumnya
istiah tersebut digunakan untuk menggambarkan reaksi alergi akut, progresif, dan juga
mengancam nyawa.1 Anafilaksis disebabkan oleh degranulasi sel mast dan basofil serta
pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin, leukotrin, sitokin, dan
juga kemokin. 2 Mediator tersebut menyebabkan munculnya kontraksi otot halus, vasodilatasi,
dan meningkatnya permeabilitas vaskuler yang nantinya menimbulkan gambaran urtikaria,
angioedema, bronkokonstriksi dan juga hipotensi.
Diagnosa dari anafilaksis dapat ditegakkan secara klinis berdasar dari gejala yang
dimiliki seorang pasien.1 Reaksi anafilaksis dapat dipicu oleh semua agen yang dapat
mengaktifasi sel mast dan basofil, namun pada umumnya terdapat beberapa alergen seperti
makanan, obat-obatan, sengatan atau racun dari hewan, latex, dan injeksi alergen saat
immunoterapi. Pada sepertiga kasus anafilaksis tidak ditemukan adanya pencetus.
PEMBAHASAN
Bicara mengenai reaksi Anafilaksi atau sering kali akan mengalami syok Anafilaktif,
oleh karena itu kita harus paham ap aitu syok, syok adalah kondisi yang mengancam jiwa akibat
ketidakmampun sistem sirkulasi dalam menyuplai oksigen dan nutrisi ke jaringan, jika sistem
sirkulasi gagal maka akan terjadi Hipoksia dan tidak ada kautnya fungsi seluler yang pada
akhrinya organ-organ yang lain yang membutuhkan oksigen dan nutrisi juga akan mengalami
kegagalan. Terjadinya syok ini atau sistem sirkulasi yang dimaksud gagal itu memiliki 3
komponen yaitu :
Berdasarkan 3 komponen sistem sikrulasi tersebut muncul lah beberapa klasifikasi syok
sebagai berikut :
1. Syok Hipovolemik, diinduksi oleh penurunan volume darah, yang terjadi secara
langsung karena perdarahan hebat atau tidak langsung karena hilangnya cairan yang
berasal dari plasma (misalnya diare berat, pengeluaran urin berlebihan atau keringat
berlebihan).
2. Syok Kardiogenik, disebabkan oleh kegagalan jantung yang melemah untuk memompa
darah secara adekuat.
3. Syok Distributif, disebabkan oleh vasodilatasi luas yang dicetuskan oleh adanya zat-zat
vasodilator. Terdapat tiga jenis syok vasogenik: Syok septik dan Syok Anafilaktik yang
dapat menyertai infeksi luas, ditimbulkan oleh zat-zat vasodilator yang dikeluarkan
oleh penyebab infeksi. Demikian juga pengeluaran histhistamineg berlebihan pada
reaksi alergi hebat dapat menyebabkan vasodilatasi luas (syok anafilaktik) dan syok
neurogenik, vasodilatasi terjadi sebagai akibat kehilangan tonus simpatis
4. Syok Obstruktif, syok yang diakibatkan adanya gangguan pada distribusi volume
sirkulasi baik pada perubahan resistensi pembuluh darah ataupun akibat
permeabilitasnya.
DEFINISI
Reaksi alergi atau hipersensitivitas merupakan respon imun yang berlebihan dan yang
tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh
Gell dan Coombs dibagi menjadi empat tipe reaksi berdasar kecepatan dan mekanisme imun
yang terjadi. Reaksi tersebut dapat terjadi secara tunggal, namun dalam praktek sehari-hari
sering ditemukan adanya dua atau lebih jenis reaksi yang terjadi secara bersamaan.13 Reaksi
anafilaksis atau reaksi tipe I merupakan reaksi cepat dimana gejala muncul segera setelah
alergen masuk ke dalam tubuh. Terdapat berbagai definisi mengenai anafilaksis, namun pada
umumnya para pakar sepakat bahwa anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial dan
dapat mengancam nyawa. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi dikenal
dengan reaksi anafilaktik, sedangkan reaksi yang tidak melalui reaksi imunologik disebut
reaksi anafilaktoid, namun karena gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak dapat
dibedakan, maka kedua reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis.
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGI
Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah
sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu
timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua. Sebagian besar pemicu
spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat universal, seperti di Amerika Utara, dan beberapa
negara di Eropa dan Asia, susu sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab tersering.
Di beberapa negara Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu tersering. Obat-obatan,
seperti antivirus, 3 antimikroba, anti jamur adalah penyebab paling sering reaksi anafilaksis di
dunia. Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu oleh agen kemoterapi, seperti carboplatin,
doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen lain yang dapat menyebabkan reaksi ini adalah
radiocontrast media, latex yang biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal tube, cuff tensimeter,
kateter, torniket, udara yang terlalu dingin atau air yang dingin. Sensitivitas host, dosis,
kecepatan, cara, dan waktu paparan dapat mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan
oral lebih jarang menimbulkan reaksi.
PATOFISIOLOGI
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat dimana
reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase,
yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel
imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan merangsang
sel B untuk membentuk antibodi sehingga terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat
oleh sel yang memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh
terpajan kembali dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat
oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi.
Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan basofil
dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga mengakibatkan perubahan membran sel
mast dan basofil akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang penuh berisikan
mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi granul yang mengandung
mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Adanya degranulasi sel mast menimbulkan
pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat
meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak
klinis pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.
Tanda dan Gejala
KLASIFIKASI
1) Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti: eritema
generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.
2) Sedang (melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal) seperti : sesak
nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope), rasa tidak enak di
tenggorokan dan dada serta nyeri perut.
3) Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti: sianosis (SpO2 ≤
90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa), kolaps, penurunan kesadaran dan
inkontinensia. Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas
akut, sedangkan untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis anafilaksis.
DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis, sangat penting untuk mengetahui riwayat pajanan sebelum
reaksi muncul. Kunci diagnosis adalah adanya gejala yang muncul dalam menit atau jam
setelah terpapar dari pemicu dan diikuti oleh gejala yang progresif dalam beberapa jam.
Adapun kriteria klinis untuk menegakkan diagnosis anafilaksis dapat dilihat pada tabel berikut.
Apabila terdapat minimal satu dari tiga kriteria di bawah ini, sangat mendukung diagnosa
anafilaksis
1. Serangan yang bersifat akut (menit-beberapa jam) dengan adanya keterlibatan kulit,
jaringan mukosa, atau keduanya (seperti urtikaria generalis, pruritus atau kemerahan,
bengkak pada bibirlidah-uvula) Ditambah dengan minimal satu dari:
• Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor,
penurunan PEF*, hypoxemia)
• Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ
(hipotonia, sinkop, inkontinensia)
2. Minimal dua dari gejala di bawah ini yang muncul segera setelah paparan alergen yang
dicurigai (menit-beberapa jam)
• Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria generalis, gatal dan kemerahan,
bengkak pada bibir-lidah-uvula)
• Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan
PEF*, hypoxemia)
• Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ
(hipotonia, sinkop, inkontinensia)
• Gejala gastrointestinal yang persisten (kram, nyeri perut, dan muntah)
3. Penurunan tekanan darah setelah paparan alergen yang telah diketahui sebelumnya
• Balita dan anak-anak : sistolik rendah (spesifik menurut usia) atau sistolik
menurun >30%**
• Dewasa: sistolik 30% dari baseline
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan adanya reaksi alergi,
bukan untuk menetapkan diagnosis.
Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi. Eosinofilia sering
dijumpai tetapi tidak spesifik.
Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80% pasien.
IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu secara in
vitro dengan cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzim Linked
Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak dapat dilakukan.
Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis yang
baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase merupakan protease yang berasal
dari sel mast.
Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit pasien yang
secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit dapat
dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test, friction test, tes tempel (patch test),
intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan meneteskan alergen dan kontrol pada tempat yang
disediakan kemudian dengan jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah
diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika dan eritema
yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara menempelkan pada kulit bahan yang dicurigai
sebagai alergen. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.1
Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung kepada pasien
sehingga timbul gejala.
TATALAKSANA
McLean TA. Adrenaline in the Treatment of Anaphylaxis: What is the evidence? British
Medical Journal. 2003; 327: hal.1332-5.
Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik. Edisi kelima.
Jakarta: Interna Publishing:2009:367.
Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian Obat dengan Onset
dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas Akut/Anafilaksis pada Penderita yang
Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Bali. J Penyakit Dalam 2010;vol.11:135-139.
Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.