Anda di halaman 1dari 12

TUGAS ESSAY

Reaksi anafilaksi

BLOK HEMATOIMUNOLOGI

Disusun Oleh:

Nama : Lalu muhammad farros fikri


NIM : 021.06.0051
Kelas : B
Dosen : dr. Mamang Bagiansah, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

ISLAM AL-AZHAR MTARAM

TAHUN AJARAN 2022/2023


LATAR BELAKANG

Pada essay kali ini membahas reaksi analfila merupakan salah satu kasus yang dapat
dijumpai di unit gawat darurat. Tidak ada definisi pasti dari anafilaksis, namun pada umumnya
istiah tersebut digunakan untuk menggambarkan reaksi alergi akut, progresif, dan juga
mengancam nyawa.1 Anafilaksis disebabkan oleh degranulasi sel mast dan basofil serta
pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin, leukotrin, sitokin, dan
juga kemokin. 2 Mediator tersebut menyebabkan munculnya kontraksi otot halus, vasodilatasi,
dan meningkatnya permeabilitas vaskuler yang nantinya menimbulkan gambaran urtikaria,
angioedema, bronkokonstriksi dan juga hipotensi.

Diagnosa dari anafilaksis dapat ditegakkan secara klinis berdasar dari gejala yang
dimiliki seorang pasien.1 Reaksi anafilaksis dapat dipicu oleh semua agen yang dapat
mengaktifasi sel mast dan basofil, namun pada umumnya terdapat beberapa alergen seperti
makanan, obat-obatan, sengatan atau racun dari hewan, latex, dan injeksi alergen saat
immunoterapi. Pada sepertiga kasus anafilaksis tidak ditemukan adanya pencetus.
PEMBAHASAN

Bicara mengenai reaksi Anafilaksi atau sering kali akan mengalami syok Anafilaktif,
oleh karena itu kita harus paham ap aitu syok, syok adalah kondisi yang mengancam jiwa akibat
ketidakmampun sistem sirkulasi dalam menyuplai oksigen dan nutrisi ke jaringan, jika sistem
sirkulasi gagal maka akan terjadi Hipoksia dan tidak ada kautnya fungsi seluler yang pada
akhrinya organ-organ yang lain yang membutuhkan oksigen dan nutrisi juga akan mengalami
kegagalan. Terjadinya syok ini atau sistem sirkulasi yang dimaksud gagal itu memiliki 3
komponen yaitu :

1 Pompa jantung yang adekuat


2 Sistem sirkulasi atau pembuluh darahnya yang efektif
3 Volume darah adekuat

Berdasarkan 3 komponen sistem sikrulasi tersebut muncul lah beberapa klasifikasi syok
sebagai berikut :

1. Syok Hipovolemik, diinduksi oleh penurunan volume darah, yang terjadi secara
langsung karena perdarahan hebat atau tidak langsung karena hilangnya cairan yang
berasal dari plasma (misalnya diare berat, pengeluaran urin berlebihan atau keringat
berlebihan).
2. Syok Kardiogenik, disebabkan oleh kegagalan jantung yang melemah untuk memompa
darah secara adekuat.
3. Syok Distributif, disebabkan oleh vasodilatasi luas yang dicetuskan oleh adanya zat-zat
vasodilator. Terdapat tiga jenis syok vasogenik: Syok septik dan Syok Anafilaktik yang
dapat menyertai infeksi luas, ditimbulkan oleh zat-zat vasodilator yang dikeluarkan
oleh penyebab infeksi. Demikian juga pengeluaran histhistamineg berlebihan pada
reaksi alergi hebat dapat menyebabkan vasodilatasi luas (syok anafilaktik) dan syok
neurogenik, vasodilatasi terjadi sebagai akibat kehilangan tonus simpatis
4. Syok Obstruktif, syok yang diakibatkan adanya gangguan pada distribusi volume
sirkulasi baik pada perubahan resistensi pembuluh darah ataupun akibat
permeabilitasnya.
DEFINISI

Reaksi alergi atau hipersensitivitas merupakan respon imun yang berlebihan dan yang
tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh
Gell dan Coombs dibagi menjadi empat tipe reaksi berdasar kecepatan dan mekanisme imun
yang terjadi. Reaksi tersebut dapat terjadi secara tunggal, namun dalam praktek sehari-hari
sering ditemukan adanya dua atau lebih jenis reaksi yang terjadi secara bersamaan.13 Reaksi
anafilaksis atau reaksi tipe I merupakan reaksi cepat dimana gejala muncul segera setelah
alergen masuk ke dalam tubuh. Terdapat berbagai definisi mengenai anafilaksis, namun pada
umumnya para pakar sepakat bahwa anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial dan
dapat mengancam nyawa. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi dikenal
dengan reaksi anafilaktik, sedangkan reaksi yang tidak melalui reaksi imunologik disebut
reaksi anafilaktoid, namun karena gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak dapat
dibedakan, maka kedua reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis.

EPIDEMIOLOGI

Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap gigitan serangga


sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-obatan berbedabeda tergantung dari jenis
obatnya, seperti penisilin dengan prevalensi sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian
tahun 2007-2010, pencetus reaksi hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang
sebagian besar terjadi melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak 27,8%. 3,6
Berdasarkan World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok infantile, remaja, wanita
hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan kerentanan terhadap anafilaksis. Penyakit
concomitant seperti asma berat yang tidak terkontrol, mastositosis, penyakit kardiovaskuler,
dan penggunaan medikasi seperti beta blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal.

ETIOLOGI

Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah
sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu
timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua. Sebagian besar pemicu
spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat universal, seperti di Amerika Utara, dan beberapa
negara di Eropa dan Asia, susu sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab tersering.
Di beberapa negara Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu tersering. Obat-obatan,
seperti antivirus, 3 antimikroba, anti jamur adalah penyebab paling sering reaksi anafilaksis di
dunia. Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu oleh agen kemoterapi, seperti carboplatin,
doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen lain yang dapat menyebabkan reaksi ini adalah
radiocontrast media, latex yang biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal tube, cuff tensimeter,
kateter, torniket, udara yang terlalu dingin atau air yang dingin. Sensitivitas host, dosis,
kecepatan, cara, dan waktu paparan dapat mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan
oral lebih jarang menimbulkan reaksi.

PATOFISIOLOGI

Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat dimana
reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase,
yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.

Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel
imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan merangsang
sel B untuk membentuk antibodi sehingga terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat
oleh sel yang memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh
terpajan kembali dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat
oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi.

Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan basofil
dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga mengakibatkan perubahan membran sel
mast dan basofil akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang penuh berisikan
mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi granul yang mengandung
mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil. Adanya degranulasi sel mast menimbulkan
pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat
meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak
klinis pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.
Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala dari anafilaksis dapat berupa :

1 Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus) Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema,


pilor erection Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema konjunctiva, mata berair
Gatal pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori eksternus, bengkak di bibir, lidah, dan
uvula. Gatal di genital, telapak tangan dan kaki.
2 Respirasi (70%) Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea, pilek Gatal pada
tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk kering.dry staccato cough
Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada terasa terikat, wheezing, sianosis, gagal
nafas.
3 Gastrointestinal (45%) Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia.
4 Sistem kardiovaskuler (45%) Nyeri dada, takikardia, bradikardia (jarang), palpitasi,
hipotensi, merasa ingin jatuh, henti jantung.
5 Manifestasi primer pada jantung tampak dari perubahan EKG yaitu Tmendatar, aritmia
supraventrikular, AV block.
6 Sistem saraf pusat (15%) Perubahan mood mendadak seperti iritabilitas, sakit kepala,
perubahan status mental, kebingungan.
7 Lain-lain Metallic taste di mulut, kram dan pendarahan karena kontraksi uterus.

KLASIFIKASI

klasifikasi derajat klinis reaksi hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004) yaitu.

1) Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti: eritema
generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.
2) Sedang (melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal) seperti : sesak
nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope), rasa tidak enak di
tenggorokan dan dada serta nyeri perut.
3) Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti: sianosis (SpO2 ≤
90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa), kolaps, penurunan kesadaran dan
inkontinensia. Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas
akut, sedangkan untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis anafilaksis.
DIAGNOSIS

Dalam menegakkan diagnosis, sangat penting untuk mengetahui riwayat pajanan sebelum
reaksi muncul. Kunci diagnosis adalah adanya gejala yang muncul dalam menit atau jam
setelah terpapar dari pemicu dan diikuti oleh gejala yang progresif dalam beberapa jam.
Adapun kriteria klinis untuk menegakkan diagnosis anafilaksis dapat dilihat pada tabel berikut.

Kriteria klinis untuk anafilaksis.

Apabila terdapat minimal satu dari tiga kriteria di bawah ini, sangat mendukung diagnosa
anafilaksis

1. Serangan yang bersifat akut (menit-beberapa jam) dengan adanya keterlibatan kulit,
jaringan mukosa, atau keduanya (seperti urtikaria generalis, pruritus atau kemerahan,
bengkak pada bibirlidah-uvula) Ditambah dengan minimal satu dari:
• Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor,
penurunan PEF*, hypoxemia)
• Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ
(hipotonia, sinkop, inkontinensia)
2. Minimal dua dari gejala di bawah ini yang muncul segera setelah paparan alergen yang
dicurigai (menit-beberapa jam)
• Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria generalis, gatal dan kemerahan,
bengkak pada bibir-lidah-uvula)
• Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan
PEF*, hypoxemia)
• Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ
(hipotonia, sinkop, inkontinensia)
• Gejala gastrointestinal yang persisten (kram, nyeri perut, dan muntah)
3. Penurunan tekanan darah setelah paparan alergen yang telah diketahui sebelumnya

• Balita dan anak-anak : sistolik rendah (spesifik menurut usia) atau sistolik
menurun >30%**
• Dewasa: sistolik 30% dari baseline

*PEF : Peak Expiratory Flow

**Definisi tekanan darah sistolik yang rendah untuk anak-anak


• 1 bulan-<1tahun : <70mmHg
• 1-10 tahun: kurang dari (70mmHg + [2 x usia])
• 11-17 tahun <90mmHg

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan adanya reaksi alergi,
bukan untuk menetapkan diagnosis.

Jumlah leukosit

Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi. Eosinofilia sering
dijumpai tetapi tidak spesifik.

Serum IgE total

Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80% pasien.

IgE spesifik

Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu secara in
vitro dengan cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzim Linked
Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak dapat dilakukan.

Serum tryptase

Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis yang
baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase merupakan protease yang berasal
dari sel mast.

Tes kulit

Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit pasien yang
secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit dapat
dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test, friction test, tes tempel (patch test),
intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan meneteskan alergen dan kontrol pada tempat yang
disediakan kemudian dengan jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah
diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika dan eritema
yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara menempelkan pada kulit bahan yang dicurigai
sebagai alergen. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.1

Tes provokasi

Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung kepada pasien
sehingga timbul gejala.

TATALAKSANA

Penanganan pasien dengan anafilaksis didahului dengan penanganan airway, breathing


dan circulation. Saat seorang pasien memenuhi kriteria, pemberian epinephrine harus segera
diberikan karena merupakan terapi utama anafilaksis. Epinephrine 1:1000 diberikan secara
intra muskuler dengan dosis 0,01 mg/kg untuk anak-anak dengan dosis maksismum 0,5mg atau
0,3-0,5mg untuk dewasa, dapat diulang setiap 5-15 menit bila dibutuhkan. Dosis tersebut
direkomendasikan untuk mengontrol gejala dan mempertahankan tekanan darah. Pemberian
melalui rute intra muskuler terutama pada anterolateral paha dikatakan dapat meningkatkan
konsentrasi epinephrine dalam darah dengan waktu yang lebih cepat bila dibandingkan dengan
rute subkutan ataupun intra muskuler pada deltoid. Rute intra vena dapat dipilih dalam kondisi
khusus seperti hipotensi yang berat atau henti jantung yang tidak memberikan respon pada
pemberian intra muskuler ataupun resusitasi cairan. Dosis epinephrine intra vena dapat
diberikan secara bolus 5-10ug (0,2ug/kg) pada kasus hipotensi dan 0,1-05mg pada henti
jantung. Pemberian secara intra vena harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat
menyebabkan aritmia sehingga pemasangan monitor jantung sangat direkomendasikan. Infus
epinephrine dosis rendah yang diberikan secara kontinyu merupakan pilihan yang sangat aman
dan efektif apabila pemberian dengan rute intra vena harus dilakukan.

Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan atau hipoksemia, dianjurkan


pemberian oksigen melalui sungkun non rebreathing ataupun endotracheal tube. Beta 2 agonis
yang diberikan secara inhalan, seperti albuterol, dapat berguna untuk mengatasi spasme
bronkus yang refrakter terhadap epinephrine. Resusitasi cairan harus dilakukan secara agresif
(10-20ml/kg) apabila kondisi hipotensi tidak teratasi dengan pemberian epinephrine.
Pemberian kristaloid dalam volume besar diperlukan pada 5-10menit pertama, dan dapat
dilanjutkan dengan pemberian koloid. Vasopresor seperti noradrenalin, vasopressin, atau
metaraminol dibutuhkan untuk mengatasi vasodilatasi yang tidak dapat terkoreksi dengan
pemberian epinephrine ataupun resusitasi cairan. Terapi lini kedua untuk anafilaksis adalah
antihistamin (H1 dan H2 antagonis), dimana obat ini memiliki waktu kerja yang lebih lambat
dari epinephrine, dan hanya memiliki efek minimal dalam tekanan darah. Pemberian
antihistamin sangat berperan dalam penanganan simptomatik seperti urtikaria, angioema,
ataupun pruritus. Dipenhydramine dapat diberikan secara intra vena atau intra muskuler dengan
dosis 25-50mg, sediaan oral dapat diberikan untuk kasus ringan. Kombinasi dari H1 dan H2
antagonis akan memiliki hasil yang lebih efektif dalam penanganan manifestasi pada kulit.
Ranitidin dan cimetidine merupakan obat pilihan dari golongan H2 antagonis. Efektivitas
pemberian kortikosteroid yang tinggi pada kasus alergi lainnya membuat para klinisi
menggunakan obat ini sebagai terapi pada anafilaksis untuk mencegah reaksi berkepanjangan
ataupun reaksi bifasik. Metilprednisolone dapat diberikan 1-2mg/kg setiap 6jam atau dapat
dipertimbangkan pemberian prednison oral 1mg/kg dengan dosis maksimal 50mg pada
serangan ringan. Setelah penanganan reaksi anafilaksis diberikan, observasi satu hingga 72jam
terhadap pasien harus dilakukan untuk mencegah fase bifasik yang muncul karena efek
epinephrine yang sudah mulai hilang. Munculnya fase bifasik pada anafilaksis dilaporkan pada
1-20% kasus, terutama serangan berat. Keterlambatan pemberian epinephrine ataupun
diperlukannya dosis ekstra untuk mengontrol serangan awal memiliki hubungan dengan
munculnya fase ini.
REFERENSI :
Sampson H, Munoz FA, Campbell R. Second Sympsosium on the Definition and Management
of Anaphylaxis-Second National Institute of Allergy and Infectious Disease/Food
Allergy and Anaphylaxis Network Symposium. Annals of Emergency Medicine. 2006;
47(4): hal.373-80.

McLean TA. Adrenaline in the Treatment of Anaphylaxis: What is the evidence? British
Medical Journal. 2003; 327: hal.1332-5.

Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik. Edisi kelima.
Jakarta: Interna Publishing:2009:367.

Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian Obat dengan Onset
dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas Akut/Anafilaksis pada Penderita yang
Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Bali. J Penyakit Dalam 2010;vol.11:135-139.

Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.

Anda mungkin juga menyukai