Anda di halaman 1dari 26

RESPONSI

REAKSI ANAFILAKSIS

Oleh:
Arifianti Latifah 125070107111043
Hanny Prasetiana Y. 150070200011048
Stephanie Evelyn H. 150070200011091

Pembimbing:
dr. C. Singgih Wahono, SpPD-KR

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR – FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reaksi anafilaktik adalah reaksi alergi yang berat, bersifat akut dan

sistemik, serta dapat mengancam nyawa yang terjadi setelah terpajan oleh

alergen atau faktor pencetus (Rengganis, 2014 ; Sampson, 2005). Reaksi

anafilaktik bersifat sistemik, yaitu dapat menimbulkan manifestasi klinis pada

beberapa organ secara bersamaan seperti gangguan respirasi, sirkulasi,

pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat dapat menimbulkan syok

yang disebut sebagai syok anafilaktik (Longecker, 2008). Syok anafilaktik

membutuhkan pertolongan cepat dan tepat.

Anafilaksis dipicu oleh suatu alergen atau faktor pencetus. Penelitian

yang dilakukan di Amerika pada tahun 2014 menunjukkan bahwa dari 1059

responden, 334 individu pernah mengalami reaksi anafilaksis. Penyebab yang

paling sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah obat-obatan (34%),

makanan (30%), gigitan serangga (20%) (Robert et al, 2014). Dari hasil studi

penelitian, prevalensi reaksi anafilaksis yang disebabkan makanan tampaknya

bervariasi dengan kebiasaaan makan suatu daerah. Di Denmark, dilaporkan 3,2

kasus anafilaksis per 100 000 penduduk per tahun meningkat 5%. Dalam

sebuah survei di Amerika yang lebih baru, melaporkan kejadian tahunan food

induced anafilaksis 7,6 kasus per 100.000 penduduk/tahun dan kejadian

anafilaksis makanan-induced meningkat 10,8 per 100 000 orang/tahun.

Sedangkan di Indonesia, data mengenai dalam insiden dan prevalensi terjadinya

anafilaktik sangatlah kurang. Penelitian terakhir yang dilakukan di Bali pada

1
tahun 2006, ditemukan bahwa 4 dari 10.000 pasien meninggal akibat anafilaksis

(Sampson, 2005).

Gambaran klinis anafilaktik sangat heterogen dan tidak spesifik. Gejala

yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai pada gagal gagal

napas atau syok anafilaktik. Salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang

potensial mematikan adalah timbulnya syok anafilaktik berupa hipotensi yang

nyata dan kolaps sirkulasi darah sehingga perfusi dan oksigenasi ke jaringan

tidak adekuat (Rengganis, 2014). Syok anafilaksis biasanya timbul mendadak

dan tiba-tiba, sehingga penting untuk mengetahui penanganan awal yang cepat,

tepat dan adekuat apabila terjadi suatu reaksi anafilaksis sehingga dapat

mencegah keadaan yang lebih berbahaya.

1.2 Tujuan

Untuk dapat mengetahui dan memahami definisi, kriteria diagnosis dan

tatalaksana reaksi anafilaksis.

1.3 Manfaat

Diharapkan dengan adanya responsi ini dapat bermanfaat bagi penulis

dan pembaca khususnya dokter muda agar dapat menangani reaksi anafilaksis

sebagai dokter umum dikemudian hari,

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Reaksi anafilaktik adalah reaksi alergi yang berat, bersifat akut dan

sistemik, serta dapat mengancam nyawa yang terjadi setelah terpajan oleh

alergen atau faktor pencetus (Rengganis, 2014; Sampson, 2005). Hal ini

disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera

setelah suatu antigen yang sensitive masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik

merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok

distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi

mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang

dapat menyebabkan kematian (Longecker, 2008).

2.2 Epidemiologi

Di negara Italia, melaporkan bahwa alergi makanan bertanggung jawab

untuk sekitar satu setengah dari episode anafilaksis parah di anak-anak dirawat

di bagian emergency room. Demikian pula,survei preschool- Australia Selatan

dan anak usia sekolah mengungkapkan orangtua yang melaporkan tingkat

anafilaksis makanan yang meningkat 0,43% per 100 sekolah yang menyumbang

lebih dari setengah semua kasus anafilaksis.Insidens anafilaksis diperkirakan 1-

3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3 tiap satu juta penduduk 1.

Sementara di Indonesia khususnya di Bali, angka kematian dilaporkan 2 kasus

tiap 10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan

2 kali lipat pada tahun 2006 (Sampson, 2005).

3
2.3 Faktor Resiko dan Kofaktor

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan resiko terjadinya

anafilaksis adalah: jenis kelamin, faktor usia, penyakit penyerta, penggunaan

obat-obatan, dan beberapa kofaktor. Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di

dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi

pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi

sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan

laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa

muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi. Penyakit

penyerta yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis yang lebih berat adalah:

asthma dan penyakit saluran nafas yang lain, penyakit kardiovaskular,

mastositosis (penyakit kelainan cloning sel mast), rhinitis alergica, exzema, dan

penyakit psikiatri. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafilaksis seperti

antibiotik khususnya penicillin, obat anestesi intravena, beta bloker, ACE

inhibitor, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-

lain. Media kontras intravena, tranfusi darah, latihan fisik, infeksi akut, stress

emosional dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis (IDI, 2014).

2.4 Etiologi

Reaksi anafilaksis dapat terjadi, baik melalui mekanisme IgE (imunologis),

maupun melalui mekanisme non IgE (non imunologis), atau yang sering disebut

sebagai reaksi anafilaktoid (Rengganis dkk, 2014). Hal-hal yang dapat

mencetuskan terjadinya reaksi anafilaksis dan reaksi anafilaktoid ialah sebagai

berikut:

1) Anafilaksis (melalui IgE)

 Antibiotik (penilisin, sefalosporin, Neomisin, Tetrasiklin, Streptomisin)

4
 Ekstrak allergen (bisa tawon, polen)

 Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)

 Enzim (kemopapain, tripsin)

 Serum heterolog (antitoksin tetanus, globulin antilimfosit)

 Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)

2) Anafilaktoid (tidak melalui IgE)

 Zat pelepas histamine secara langsung:

a. Obat (opiat, vankomisin, kurare)

b. Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol)

c. Obat lain (dekstran, fluoresens)

 Aktivasi komplemen

a. Protein manusia (immunoglobulin dan produk darah lainnya)

b. ACE-inhibitor yang diberikan selama dialisis

 Modulasi metabolisme asam arakidonat

a. Asam asetil salisilat

b. Anti inflamasi non steroid (NSAID)

 Faktor fisik

a. Olahraga

b. Suhu dingin atau suhu panas

2.5 Patofisiologi

Anafilaksis dan reaksi anafilaktoid merupakan hasil dari pelepasan

berbagai mediator dari sel mast dan basofil. Mediator ini terdiri atas berbagai

substansi yang tersimpan di dalam granula dari sel mast dan basofil, seperti:

histamine, tryptase, heparin, chymase dan sitokin, juga molekul yang disintesis

5
dari metabolisme asam arakidonat, seperti: prostaglandin dan leukotriene

(Kemp,2002). Histamin dianggap sebagai mediator utama shock anafilaksis.

Banyak tanda-tanda dan gejala anafilaksis yang disebabkan pengikatan histamin

dengan reseptornya; mengikat reseptor H1 menengahi pruritis, rhinorrhea,

takikardia, dan bronkospasme. Di sisi lain, baik H1 dan H2 reseptor berpartisipasi

dalam memproduksi sakit kepala, muka merah, dan hipotensi.

Mekanisme terjadinya anafilaksis dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Mekanisme tersebut melalui 3 fase, yaitu (IDI, 2014):

1. Fase Sensitisasi

Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya

oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang

masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap

oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut

kepada limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13)

yang menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma (plasmosit).

Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen

tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor FcεRI pada permukaan

sel mast (mastosit) dan basofil.

2. Fase Aktivasi

Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang

sama. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang

menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk

alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat

oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan

mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan

6
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah

preformed mediators, s Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi

asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien

(LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah

degranulasi yang disebut newly formed mediators.

3. Fase Efektor

Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik

pada organ-organ tertentu.Histamin memberikan efek bronkokonstriksi,

meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema,

sekresi mukus dan vasodilatasi.Serotonin meningkatkan permeabilitas

vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.Platelet

Activating Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.Beberapa faktor

kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil.Prostaglandin yang dihasilkan

menyebabkan bronkokonstriksi, demikian juga dengan leukotriene (Kemp,

2002).

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan

terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini

menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung

menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi

penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia

jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan

penderita.

7
Gambar 1.1 Mekanisme reaksi anafilaksis (Abbas, 2010)

2.6 Manifestasi Klinis

Pelepasan mediator dari sel mast dan basofil akan menimbulkan gejala

dan tanda yang bervariasi pada beberapa organ, antara lain: mukokutaneus,

respirasi, kardiovaskular, dan gastrointestinal (Rengganis dkk, 2014).

Tabel 1. Tanda dan gejala anafilaksis berdasarkan organ sasaran (Rengganis dkk, 2014)
Sistem Gejala dan Tanda

Umum Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di

8
Prodromal hidung dan palatum.

Pernapasan

Hidung Hidung gatal, bersin, dan tersumbat.

Laring Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema, spasme.

Lidah Edema

Bronkus Batuk, sesak, mengi, spasme

Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardi, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan


Kardiovaskuler
EKG: gelombang T datar, terbalik, atau tanda-tanda infark miokard.

Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang disertai darah, peristaltik
Gastrointestinal
usus meninggi.

Kulit Urtika, angiodema, di bibir, muka, atau ekstremitas.

Mata Gatal, lakrimasi

Susunan saraf
Gelisah, kejang
pusat

Reaksi anafilaksis hamper selalu melibatkan manifestasi kulit dan membrane

mukus. Lebih dari 90% pasien memiliki manifestasi dari kombinasi urtikaria,

eritema, pruritus, atau angioedema. Pada penelitian yang dilakukan Memphys,

87% pasien memiliki manifestasi urtika dan atau angioedema (Webb, 2006).

Reaksi sistemik yang terjadi dapat dibagi menjadi 3 derajat, yaitu ringan

sedang dan berat, berikut adalah manifestasi yang muncul (Mustafa, 2016):

1. Reaksi sistemik ringan

• Rasa gatal, hangat sering disertai rasa penuh di mulut dan

tenggorokan

• Hidung tersumbat, bersin-bersin

• Edema di sekitar mata serta berair

• Kulit gatal

• Onset biasanya terjadi 2 jam setelah paparan antigen

9
2. Reaksi sistemik sedang

• Serupa reaksi sistemik ringan disertai spasme bronkus &/atau

edema saluran napas

• Sesak, batuk, dan mengi

• Angioedema, urtikaria menyeluruh, mual, dan muntah

• Gatal, badan terasa hangat, serta gelisah

3. Reaksi sistemik berat

• Spasme bronkus, edema laring, serak, stridor, sesak, sianosis,

henti napas

• Sakit menelan, kejang perut, diare, muntah

• Hipotensi, aritmia, syok, koma

• Kejang

• Terjadi mendadak

Syok anafilaktik bagian dari reaksi sistemik berat

2.7 Diagnosis

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinis

sistematik yang muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh

alergen atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus

atau urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan.

Karena itu mengenali tanda-tanda secara dini sangat dibutuhkan agar

pengobatan dapat segera diberikan (Rengganis dkk, 2014). Tetapi kadang-

kadang gejala anafilaksis yang berat seperi syok anafilaktik atau gagal napas

dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal. Kumpulan gejala tersebut dapat

dilihat pada tabel 1.

10
Gejala-gejala tersebut dapat timbul pada satu organ saja, tetapi dapat

pula muncul gejala pada beberapa organ secara serentak atau hampir serentak.

Seringkali gejala yang muncul melibatkan 2 atau lebih sistem organ:

mukokutaneus, saluran pernafasan bagian atas dan bawah, saluran cerna,

sistem kardiovaskular, dan sistem syaraf pusat. Manifestasi pada kulit terjadi 80-

90% pada semua pasien (Simons, 2011). Kombinasi gejala yang sering dijumpai

adalah urtikaria atau angioedema yang disertai dengan gangguan pernapasan

baik karena edema laring atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan

kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskular seperti syok yang berat

sampai terjadi penurunan kesadaran (Rengganis dkk, 2014). Pada beberapa

keaadan, anafilaksis dapat didiagnosa hanya dengan keterlibatan 1 sistem organ

saja, seperti pada: setelah sengatan serangga, gejala kardiovaskular yang tiba-

tiba mungkin hanyalah satu-satunya gejala yang timbul, dan setelah imunoterapi

allergen, gejala urtikaria mungkin menjadi satu-satunya manifestasi yang timbul

(Simons, 2011). Setiap manifestasi sistem kardiovaskular, respirasi atau kulit

juga bisa disertai gejala mual, muntah, kolik usus, diare yang berdarah, kejang

uterus, atau perdarahan vagina (Boyce et al, 2015).

Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy

Organization telah membuat tiga kriteria klinis seperti yang terlihat pada gambar

2.1 (Simons, 2011).

Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit

hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-

duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus,

kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory

compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,

11
penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang

berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop,

inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara

mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut

(beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit

(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,

pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak

nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);

penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia,

sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri

abdominal, kram, muntah).

Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar

pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok

anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah

(spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada

orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan

darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

12
Gambar 2.1 Kriteria Klinis untuk Diagnosis Anafilaksis (Simons, 2011)

13
2.8 Diagnosis banding

Beberapa keadaan yang dapat menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi

vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau

angioedema herediter (Rengganis dkk, 2014). Reaksi vasovagal sering dijumpai

setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak mau pingsan, pucat dan

berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafi laksis, pada reaksi vasovagal

nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun,

tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti pada

anafilaksis.

Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada,

dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi

tidak tampak tatda-tanda obstruksi saluran napas, maupun kelainan kulit.

Pemeriksaan elektrokardiografi dan enzimatik akan membantu diagnosis infark

miokard (Rengganis dkk, 2014).

Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes

atau oleh sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat berkeringat sampai tak sadar.

Tekanan darah kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda

obstruksi saluran napas atau kelainan kulit. Pemeriksaan kadar gula darah dan

pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik (Rengganis

dkk, 2014).

Pada reaksi histerik tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,

hipotensi atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya

sementara. Penilaian tanda-tanda vital dan status neurologik dengan cepat

membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik. Sering pasien mengeluh

parestesia (Rengganis dkk, 2014).

14
. Sindrom angioedema neurotik herediter merupakan salah satu keadaan

yang menyerupai anafilaksis. Sindrom ini ditandai dengan angioedema saluran

napas bagian atas dan sering disertai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan

kulit atau kolaps vaskular. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma

ini disertai penurunan kadar inhibitor C1 esterase mendukung adanya sindrom

angioedema neurotikherediter.

Sindrom karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindrom ini ditandai

dengan adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus, dan rasa panas sekitar

kulit. Tetapi tidak dijumpai adanya urtikaria atau angioedema. Pemeriksaan

laboratorium menunjukkan serotinin darah meninggi serta kadar histamin dan 5

hidroksi indol asam asetat dalam urin meninggi.

Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, tetapi mencari alergen

penyebab maupun pencetusnya tidak mudah dan bahkan kadang-kadang tidak

ditemukan. Dalam hal ini anamnesis yang teliti merupakat cara yang paling

penting. Dengan demikian diagnosis anafilaksis terutama berdasarkan reaksi

anafilaksis yang timbul segera setelah terpajan oleh alergen atau faktor pencetus

serangan dan menimbulkan gejala klinik pada organ-organ sasaran seperti yang

telah disebutkan tadi. Akan halnya pemeriksaan penunjang seperti uji kulit hanya

bermanfaat bila mekanisme anafi laksis tersebut melalui IgE (imunoglobulin E)

dan obat-obat yang dapat diuji pun terbatas pada penisilin. Hormon dan enzim

sangat jarang dilakukan karena prosedur tersebut juga bisa menimbulkan reaksi

anafilaksis.

Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu beberapa menit

setelah terpajan oleh alergen, tetapi adakalanya muncul beberapa jam

kemudian. Obsevasi yang dilakukan oleh Stark dkk menyatakan bahwa bentuk

15
anafilaksis bisa unifasik seperti yang biasa kita temukan, bifasik yang gejalanya

muncul 1-8 jam kemudian dan protrated yaitu suatu bentuk anafilaksis berat yang

dapat berlangsung 5-32 jam meskipun dengan pengobatan yang intensif

(Rengganis dkk, 2014).

2.9 Tatalaksana

Penanganan yang segera saat ditemukan anafilaksis sangat penting,

karena kematian akibat anafilaksis dapat terjadi dalam hitungan menit hingga jam

setelah gejala pertama muncul. Tatalaksana untuk reaksi anafilaksis ini adalah

sebagai berikut:

2.9.1 Medikamentosa

2.9.1.1Epinefrin

Epinefrin merupakan drug of choice sebagai terapi anafilaksis. Epinefrin

sebagai agen α1-adrenergic memiliki efek vasokonstriksi yang kuat di banyak

organ di tubuh dan berperan sebagai bronkodilator disaat yang bersamaan

sehingga mengatasi obstruksi laring dan edema di mukosa. Efek farmakologi dari

epinefrin termasuk peningkatan yang cepat dari tekanan darah dan takikardi

(Ring et al., 2010).

Gejala ringan seperti pruritus dan urtika dapat dikontrol menggunakan

epinefrin 1:1000 (1mg/mL) sebanyak 0,3-0,5 mL yang diberikan secara subkutan

atau intramuskular, dan bisa diulang dengan interval 5-20 menit pada keadaan

yang berat (Boyce et al., 2015). Bila pencetusnya adalah allergen seperti pada

suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan

suntikan ilfiltrasi epinefrin 1:1000 sebanyak 0,1-0,3 mL di bekas tempat suntikan

untuk mengurangi absorbsi allergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket

16
proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan tiap 10 menit (Rengganis dkk,

2014).

Infus epinefrin dapat pula diberikan dengan cara 2,5 mL epinefrin

dilarutkan 1:10.000 pada interval 5-10 menit dengan diberikan juga normal saline

untuk menggantikan cairan intravaskular yang hilang akibat postcapillary venular

leakage. Hal ini disebabkan karena epinefrin yang memberikan efek α- dan ß-

adrenergicnya yang menghasilkan vasokonstriksi, relaksasi otot polos bronkial,

dan menghambat peningkatan permeabilitas venular (Boyce et al., 2015). Dosis

awalan untuk epinefrin yang direkomendasikan adalah 0,01 mg/kg hingga

maksimal 0,5 mg pada orang dewasa dan 0,3 mg pada anak-anak (Ring et al.,

2010).

2.9.1.2 Kortikosteroid

Kortikosteroid tidak bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang

berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone,

tetapi lebih disukai pemberian intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison

atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini dapat diberikan setiap 4-6 jam (Rengganis

dkk, 2014). Pemberian intrave na methylprednisolone juga dapat menurunkan

kejadian bronkospasme, hipotensi dan urtika yang berulang (Boyce et al., 2015).

2.9.1.3 Antihistamin

Antihistamin khususnya kombinasi antihistamin H1 dengan antihistamin

H2 bekerja secara sinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah.

Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral.

Pada anafilaksis berat, antihistamin dapat diberikan secara intravena. Untuk

antihistamin H2 seperti simetidin (300mg) atau ranitidine (150mg) harus

diencerkan dengan 20 mL NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit

17
(Rengganis dkk, 2014). Diphenhydramine 50-100mg intramuskular atau

intravena, dan aminofilin 0,25-0,5g intravena dapat diberikan sebagai terapi

urtika-angioedema dan bronkospasme (Boyce et al., 2015).

2.9.2 Sistem Organ yang Terlibat

Selanjutnya saat terjadi reaksi anafilaksis, terdapat dua hal penting yang

harus diperhatikan dalam penatalaksaannya, yaitu mengusahakan: 1) Sistem

pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan baik, 2) Sistem

kardiovaskular yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi jaringan

memadai. Prioritas ini berdasarkan bahwa kematian pada anafilaksis terutama

disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis (Rengganis

dkk, 2014).

2.9.2.1 Sistem Pernapasan

- Memelihara saluran napas yang memadai sudah bisa diatasi dengan

epinefrin pada kebanyakan kasus, namun kadang masih diperlukan

tindakan trakeostomi untuk edema laring. Bila saluran napas tertutup

sama sekali, hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Tindakan

yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan pungsi

membrane krikotiroid dengan jarum besar, kemudian pasien segera

dirujuk ke rumah sakit.

- Pemberian oksigen 4-6 liter permenit

- Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian

bawah seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dapat diberikan

larutan salbutamol atau agonis beta-2 lain 0,25-0,5cc dalam 2-4mL NaCl

0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg/kgBB yang

18
diencerkan dalam 20cc dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan

perlahan sekitar 15 menit.

2.9.2.2 Sistem Kardiovaskular

- Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan epinefrin

menandakan telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Dibutuhkan

intravena secara cepat baik dengan kristaloid atau koloid. Dianjurkan

untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalam bentuk cairan

kristaloid.

- Oksigen mutlak diberikan disarming pemantauan sistem kardiovaskular

dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.

- Pemasangan CVP digunakan selain untuk memantau kebutuhan cairan

dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dipakai sebagai akses

pemberian obat.

- Bila tekanan darah masih belum teratasi, diberikan vasopressor melalui

cairan infus intravena. Melarutkan 1mL epinefrin 1:1000 dalam 250

dekstrosa (konsentrasi 4mg/mL) diberikan dengan infus 1-4mg/menit atau

15-60 mikrodrip/menit, bila diperlukan dapat dinaikkan sampai maksimum

10mg/mL.

- Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaan anafilaksis

yang berat, AHA menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal

dengan dosis 10ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang

atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5ml epinefrin 1:10.000).

Tindakan ini kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin

absorpsi obat yang cepat (Rengganis dkk, 2014).

19
Gambar 2.2 Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis (Resuscitation

Council, 2012)

20
2.10 Pencegahan

Oleh karena reaksi anafilaksis terutama disebabkan oleh obat-obatan,

berikut ini merupakan pencegahan terjadinya anafilaksis:

1. Sebelum memberikan obat

- Adakah indikasi memberikan obat

- Adakah riwayat alergi obat sebelumnya

- Apakah pasien mempunyai risiko alergi obat

- Apakah obat tersebut perlu diuji kulit dulu

- Apakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi reaksi alergi

2. Sewaktu minum obat

Enam cara memberikan obat:

- Kalau mungkin obat diberikan peroral

- Hindari pemakaian intermiten

- Sesudah memberikan suntikan, pasien harus selalu diobservasi

- Beritahu kemungkinan reaksi yang terjadi

- Sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat

- Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitisasi

3. Sesudah minum obat

- Kenali tanda dini reaksi alergi obat

- Hentikan obat bila terjadi reaksi

- Tindakan imunisasi sangat dianjurkan

- Bila terjadi reaksi berikan penjelasan dasar agar kejadian tersebut

tidak terulang kembali (Rengganis dkk, 2014)

21
2.11 Follow Up dan Syarat KRS

Pasien dengan suspek reaksi anafilaksis harus diobservasi setidaknya 6

jam di fasilitas kesehatan yang memadai dan memiliki peralatan untuk stabilisasi

ABC. Pasien yang sudah diberikan terapi dan memberikan respon baik, masih

harus diobservasi ketat hingga 24 jam. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

1. Reaksi berat yang disebabkan dengan onset lambat oleh karena

idiopathic anaphylaxis.

2. Orang dengan asma yang berat

3. Terpapar allergen secara kontinyu

4. Pasien dengan riwayat reaksi yang bifasik

5. Pasien yang tidak berespon terhadap pengobatan

6. Pasien pada area yang jauh dari pusat emergensi

Pasien-pasien yang sudah mendapatkan terapi, baru boleh keluar rumah

sakit dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. KIE pada pasien dan keluarga apabila muncul gejala yang sama agar

segera kembali

2. Dipertimbangkan pemberian antihistamin dan steroid oral 3 hari, untuk

terapi urtikaria dan menurunkan kejadian anafilaktik berulang

3. Dipertimbangkan untuk pemberian adrenaline auto injector

4. Direncakan untuk kontrol (Resuscitation Council, 2012).

22
BAB III

KESIMPULAN

Reaksi anafilaktik adalah suatu respon hipersensitivitas yang diperantarai

oleh Immnuglobulin E (hipersensitivitas tipe 1) yang ditandai dengan curah

jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat.Reaksi anafilaksis dapat

disebabkan oleh mekanisme imunologis dan non imunologis (reaksi anafilaktoid).

Gejala klinis yang timbul dapat bervariasi pada beberapa organ, antara lain:

mukokutaneus, respirasi, kardiovaskular, dan gastrointestinal. Diagnosis

anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinis sistematik yang muncul

beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh allergen atau faktor

pencetusnya.Penanganan yang segera saat ditemukan anafilaksis sangat

penting, karena kematian akibat anafilaksis dapat terjadi dalam hitungan menit

hingga jam setelah gejala pertama muncul.

23
DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH Pilai S. 2010. Cellular and Molecular Immunology. 6th

ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. P. 423-5.

Boyce, J. A., Austen K. F.. 2015. Allergic, Anaphylaxis, and Systemic

Mastocytosis dalam Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi

kesembilan belas. New York: McGraw-Hill. 2116-2117.

Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi 1. Jakarta: IDI.

Kemp, S., Richard, F., Lockey. 2002. Anaphylaxis: A review of causes and

mechanisms. Journal of Allergy and Clinical Immunology , Volume 110 ,

Issue 3 , 341 – 348.

Longecker, D.E.. 2008.Anafilactic Reaction and Anasthesia dalam

anesteshiology.Chapter 88. 1948-1963.

Mustafa, SS. 2016. Anaphylaxis (Online ). Medscape Medical News. May 21,

2016. http://emedicine.medscape.com/viewarticle/135065, diakses pada 8

September 2016

Rengganis, I., Sundaru, H., Sukmana, N., Mahdi, D.. 2014. Renjatan Anafilaksis

dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Jakarta:

InternaPublishing. 4130-4134.

Resuscitation Council. 2012. Emergency Treatment of Anaphylactic Reactions:

Guideline for Healthcare Providers. London: Resuscitation Council.

Ring J, Brockow K & Behrendt. 2004. History and classification of anaphylaxis. In

Anaphylaxis, Novartis Foundation, p 102

24
Ring, J., Grosber, M., Mohrenschlager, M., Brockow, K.. 2010. Anaphylaxis:

Acute Treatment and Management dalam Chemical Immunology and

Allergy. Vol 95. Munich: Karger. 201-206.

Sampson, H. A.. 2005. Anaphylaxis and Emergency Treatment dalam Pediatrics.

Vol 111

Simons FER, Ardusso LRF, Bilo MB, El-Gamal YM, Ledford DK, Ring J, et al. for

the World Allergy Organization. 2011, World Allergy Organization

guidelines for the assessment and management of anaphylaxis. J Allergy

Clin Immunol. 127:587.

Webb LM., Lieberman P. 2006 Jul. Anaphylaxis: a review of 601 cases. Ann

Allergy Asthma Immunol.. 97(1):39-43.

Wood RA, Camargo CA , Lieberman P, Lawrence B, Collins C, Wilkinson M.

2014. Anaphylaxis in America: The prevalence and characteristics of

anaphylaxis in the United States. J Allergy Clin Immunol. 133:461-7

25

Anda mungkin juga menyukai