Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISi

WAO (World Allergy Organization) pada tahun 2004, mengemukakan


anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas akut, sitemik, dan mengancam nyawa.
Immunologic/allergic anaphylaxis dipergunakan bila reaksi hipersensitivitas yang
terjadi dimediasi oleh mekanisme imunologis seperti; IgE, IgG dan immune complex
complement related. Sedangkan Non-immunologic/Non-allergic Anaphylaxis adalah
bila reaksi yang terjadi dimediasi oleh non immunologic mechanism anaphylactoid
saat ini sudah tidak dipergunakan lagi.
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis
yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respon imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada
melindungi (anti phylaxis atau anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh
Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi
antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam
sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis
yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat
vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah
yang dapat menyebabkan terjadinya kematian

2. ETIOLOGI
Etiologi dan Faktor Resiko Reaksi anafilaksis terjadi ketika sistem imun tubuh
berekasi dengan antigen yang dianggap sebagai penyerang atau benda asing oleh
tubuh. Sel darah putih kemudian memproduksi antibodi dalam hal ini adalah IgE yang
bersirkulasi pada peredaran darah dan bereaksi dengan benda asing yang masuk.
Perlekatan antigen-antobodi ini merangsang pelepasan mediator-mediator seperti
histamin dan menyebabkan berbagai reaksi dan gejala pada berbagai organ dan
jaringan. Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis
adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang,

1
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan
yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi
intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain.
Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa
menyebabkan anafilaksis.
Sedangkan faktor-faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis
antara lain.
Atopi, pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien
anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan
bahwa atopi merupakan faktor risiko untuk reaksi anfilaksis terhadap makanan,
reaksi anafilaksis yang diinduksi oleh latihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi
terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak
didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.
Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis.
Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan
kalaupun ada biasanya tidak berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada
seseorang yang memang alergi setelah menelan makanan. Selain itu, semakin
lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi
anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan
penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90%
kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang berakibat
fatal.

3. PATOFISIOLOGI
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas
tipe I (Immediate type reaction). Reaksi hipersensitivitas tipe I diklasifikasikan
menjadi reaksi atopi dan non-atopi. Kelainan atopi biasanya menyerang kulit atau
traktus respiratorius contohnya pada rhinitis alergi, dermatitis atopi, dan asma alergi.
Kelainan hipersensitivitas non-atopi contohnya urtikaria, angioedema, dan anafilaksis.
Ketika reaksi yang terjadi ringan, maka hanya akan menyerang kulit (urtikaria) atau

2
jaringan subkutan (angioedema), namun ketika reaksi yang terjadi berat maka akan
berakibat menyeluruh (generalisata) dan bersifat life-threatening medical emergency
(anafilaksis).
Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase
sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang
sama sampai timbulnya gejala. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas
atau saluran makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan
antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang
sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan
memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di
sebut dengan istilah preformed mediators.

Gambar 1. Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

3
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran
sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase
Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan
permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan
vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin
menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi
trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin
leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan
aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan
tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada
hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
membahayakan penderita. Hipotensi dan syok dapat terjadi sebagai akibat dari
kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard. Peningkatan
permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang
extravaskuler dalam 10 menit.

Gambar 2. Patofisiologi Reaksi Anafilaksis

4
4. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe
dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam
setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah
terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar
dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi
dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan
kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok. Dapat juga
terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata
berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat
sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan,
hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan
reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis.
Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang.
Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas,
aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal,
kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain.
Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam
mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,
mual, pusing, lemas dan sakit perut.

5
Gambar 3. Manifestasi Klinis Reaksi Anafilaktik

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal,
urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
penurunan volume tidal. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran
napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai
terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal

6
yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat
penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel
sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada
sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot
polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare.
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan
fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan
pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi
insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi
perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam
laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak,
disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium jarang diperlukan untuk membantu menentukan
diagnosis pada reaksi anafilaktik karena reaksi anafilaksis umumnya didiagnosis
secara klinis, namun jika diperlukan penegasan diagnosis terutama pada sindrom yang
berulang atau untuk mengeliminasi kelainan lainnya, maka pemeriksaan penunjang ini
menjadi salah satu indikasi. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat,
demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan
lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test)
atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya
yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab
yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/ SET). Pemeriksaan
lainnya antara lain analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes
fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

SGOT (serum glutamic oxaloacetic transaminase)


Sesungguhnya SGOT adalah enzim yang lebih sensitive untuk mendeteksi
kerusakan otot dan otot jantung daripada kerusakan hati. Sebab utamanya adalah

7
SGOT juga di produksi di otot dan otot jantung. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic
Transaminase), seperti halnya SGPT, SGOT merupakan enzim hati yang terdapat di
dalam sel parenkim hati. SGOT akan meningkat kadarnya di dalam darah jika terdapat
kerusakan sel hati. Produksi SGOT bukan hanya ada pada hati, karena itu peningkatan
SGOT tidak selalu menunjukkan adanya kelainan di sel hati.

SGPT (Serum Glutamic Pyruvate Transaminase)


merupakan suatu enzim yang terdapat di dalam sel hati. Karena itu, SGPT lah yang
lebih menggambarkan fungsi hati seseorang. Ketika sel hati mengalami kerusakan
akibat sesuatu baik itu gangguan virus atau gangguan lainnya, akan terjadi
pengeluaran enzim SGPT dari dalam sel hati ke darah. Hal ini diketahui melalui
pemeriksaan darah di laboratorium. Itu kenapa dokter selalu menganjurkan periksa
SGPT untuk mengetahui kondisi fungsi hati seseorang.
Nilai normal SGOT adalah 3-45 u/L, sedangkan nilai normal SGPT adalah 0-
35 u/L.
Pemeriksaan SGOT dan SGPT sering dilakukan untuk mendeteksi adanya
gangguan fungsi hati akibat dari infeksi atau peradangan hati. Hanya
saja pemeriksaan SGOT dan SGPT tidak dapat mewakili fungsi hati yang
sebenarnya. Banyak pasien yang telah sembuh dari penyakit hatinya (sederhananya
hepatitis) tetapi menunjukkan nilai SGOT dan SGPT yang masih tinggi di dalam
darahnya. Sebaliknya orang yang terlihat mempunyai nilai tes yang normal bisa saja ia
sebenarnya mengalami gangguan fungsi hati. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa
orang yang mengalami hepatitis kronis atau sudah menahun, bahkan mempunyai nilai
SGOT-SGPT yang normal.

6. DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau
lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.

8
Gambar 4. Kriteria Reaksi Anafilaksis
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau keduanya (misalnya
bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan
bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya
hipotonia, sinkop, inkontinensia).
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga
beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik

9
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibirlidah-uvula);
Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing,
penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan
(misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten
(misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada
bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah
sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari
tekanan darah awal.
Sedangkan kriteria dari Syok Anafilaksis sebagai berikut:
1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progres yang cepat dari gejala
Pasien terlihat baik atau tidak baik
Kebanyakan reaksi terjadi dalam beberapa menit, jarang reaksi terjadi lebih
lambat dari onset
Onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena akan lebih
cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung disebabkan lebih cepat
onsetnya dari trigger ingesti oral.
Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami sense of impending
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems
Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
Airway Problem:
Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak
(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa
tenggorokan tertutup.
Suara Hoarse
Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang mengalami
obstruksi.
Breathing Problems:
Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas
Wheezing
Pasien menjadi lelah

10
Kebingungan karena hipoksia
Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
Respiratory arrest Circulation Problems:
o Tanda syok, pucat, berkeringat. Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
o Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),
kolaps.
o Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
o Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah
walaupun individu dengan normal arteri kononer.
o Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi
anafilaksis.
Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
Hanya perubahan kulit, hanya perubahan mukosa, atau keduanya
Eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
Urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna pucar, merah
muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti sengatan.
Angioedema seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan lebih dalam
sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut dan tenggorokan.

7. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang
tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan
penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis
mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan
berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator
tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ.
Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah
reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid
syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien
tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik,

11
pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan
darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti
anafilaktik.
Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada,
dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak
tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada
nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab
lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah
kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada
reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis.
Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda
diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri
kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma.
Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual,
pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr,
bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah,
kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang
diberi makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak,
dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus
seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung,
gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus
seperti debu, terutama di udara dingin.

8. PENATALAKSANAAN
Jika terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah
mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan
reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat

12
lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha
memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari
tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar.
Airway / penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak
ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan
leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula
ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi.
Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai edema laring, dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami
sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus
diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit.
Circulation support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau
a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Medikamentosa
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Adrenalin selalu akan dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir
dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada

13
penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah
pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler
lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan
1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis
diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi
menunjukkan perbaikan.
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan
absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin
diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml dari
pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit
dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis
10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Individu yang mempunyai resiko
tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan
selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu
diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin
tersebut.
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat
yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator.
Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan
peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan
mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan
bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit,
antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam
waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin, pemakaian simetidin
harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Antihistamin yang juga dapat
diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit),
diulang tiap 6 jam selama 48 jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan,

14
kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya
digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7
mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau
aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9%
dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah
bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2
yang lain sebanyak 0,25cc-0,5cc dalam 2-4ml NaCl 0,99% diberikan melalui
nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan
vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250
ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60
mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan
sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau
levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan
2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrose 5%.

Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan
kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan
larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan

15
kehilangan volume plasma.
Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama
dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler,
volume nterstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.

Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa
dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin
sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh
dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih
tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat
dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-
turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik.
Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum,
kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan
komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan
otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan
angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal
ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-
3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.

16
Gambar 4. Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis 24

9. PENCEGAHAN
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat
alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor
risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang
mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi
terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes
kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut,

17
tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang
dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan
reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes
kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian
dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi
selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat.
Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada
status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari
makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus
selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-
alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk
kebutuhan jangka panjang.

10. PROGNOSIS
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan prinsip kegawatdaruratan,
reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut
dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu
dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi
kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis
yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen,
atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan
asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti -blocker dan ACE
Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan
reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

18
KESIMPULAN

Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh


Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi
mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau
racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis,
yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I, terdiri dari
fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang
mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis anafilaksis sangat
bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi berat,
tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ
target.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu
seorang dokter dalam mendiagnosis suatu reaksi atau syok anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen
yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian
adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik
penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita
bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam
penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila
ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi
anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

19
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : An. MRRF


Umur : 9 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : jl. Klamono Gatu no. 61, Balikpapan
Kebangsaan : Indonesia
Pekerjaan : Siswa
Tgl masuk RS : 16 Agustus 2017
No. RM : R 09080XXX

II. ANAMNESIS
Alloanamnesa di RS Pertamina Balikpapan ruang perawatan aster pada tanggal
18 Agustus 2017 pukul 09.00 WITA.

Keluhan utama
Nyeri pada kepala dan lengan

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien bersama Ibunya datang ke IGD RS Pertamina Balikpapan pada tanggal


16 Agustus 2017 dalam keadaan sadar, mengeluhkan nyeri pada kepala dan
kedua lengan setelah disengat tawon sekitar 30 menit yang lalu saat
diperjalanan pulang sekolah. Ibu pasien mengatakan, pasien digigit banyak
tawon berwana hitam hampir diseluruh badan. Dalam waktu 30 menit, bekas
sengatan tawon berwarna merah dan membengkak. Kepala pasien terasa
pusing berdenyut.

Riwayat penyakit dahulu:


Tidak ada.

20
Riwayat penyakit keluarga:
Di keluarga tidak ada riwayat penyakit seperti yang dialami pasien. Penyakit
jantung, tekanan darah tingga, keganasan, dan yang lainnya disangkal. Ibu
pasien memiliki riwayat alergi terhadap makanan dan debu.

Riwayat pribadi dan sosial:


Pasien adalah seorang siswa kelas 3 SD yang suka berolah raga dan aktivitas
lainnya bersama teman sebayanya di sekolah maupun lingkungan rumah.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Sakit sedang


Kesadaran : Composmentis
GCS : E4M6V5
Gizi : Normal
Tekanan darah : 125/80 mmHg
Denyut nadi : 112 kali/menit reguler
Frekuensi napas : 20 kali/menit
Suhu aksila : 36.5 oC
Berat badan : 27 kg
Tinggi badan : 120 cm
BMI : 18,75

STATUS GENERALIS
Kepala
Tampak lesi bekas sengatan tawon berupa kemerahan, bengkak, nyeri tekan
(+), undulasi (-)
Mata
Anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor

THT
Telinga : daun telinga N/N, sekret (-), pendengaran normal
Hidung : sekret -/-

21
Tenggorokan :tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Lidah : ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
Bibir : basah, stomatitis (-)

Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax
Cor : Inspeksi : iktus kordis tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : batas atas jantung ICS 2 sinistra
batas bawah jantung setinggi ICS 5 sinistra
batas kanan jantungparasternal linedekstra
batas kiri jantung midclaviculasinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal regular murmur (-)
Pulmo : Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : vokal fremitus N/N, pergerakan simetris
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : ronkhi -/-, wheezing -/-

Genital
Tidak diperiksa

Ekstremitas
Ekstremitas atas: Tampak lesi bekas sengatan tawon berupa kemerahan,
bengkak, nyeri tekan (+), undulasi (-)
Ekstremitas bawah: nyeri sendi (-), gerakan bebas, pigmentasi normal,
turgor kembali normal

22
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Hematologi 16-08-2017


PARAMETER HASIL UNIT REFERENSI KETERANGAN

Hemoglobin 11.7 g/dL 14.0 18.0 Rendah

Hematocrit 34.0 % 42.0 52.0 Rendah

Eritrosit 4.27 10^6/uL 4.70 6.10 Rendah

Lekosit 20.67 10^3/uL 4.80 10.80 Tinggi

Trombosit 454 10^3/uL 150 450 Tinggi

MCV 80 fL 81 - 99 Rendah

MCHC 34 g/dL 33 - 37 Normal

MCH 27 Pg 27 31 Normal

Basofil 0 % 01 Normal

Eosinofil 0 % 07 Normal

Neutrofil 73 % 40 -47 Tinggi

Limfosit 19 % 19 48 Normal

Monosit 8 % 39 Normal

Masa Protrombin 11.8 10.2 12.1 Normal


(PT)
Masa Trombin 52.1 22.5 30.5 Memanjang
Sebagian (APTT)

23
2. Pemeriksaan Kimia Klinik 16-08-2017

PARAMETER HASIL UNIT REFERENSI KETERANGAN


Glukosa sewaktu 157 mg/dL < 170 Normal
ALTL/SGPT 420 U/L 0 -41 Tinggi
ASTL/SGOT 1409 U/L 0 32 Tinggi
Kreatinin 0.5 mg/dL 0.7 1.2 Rendah
Ureum 34.0 mg/dL 10.0 - 50.0 Normal
Natrium 138.1 mmol/L 136.0 145.0 Normal
Kalium 3.0 mmol/L 3.5 5.1 Rendah
Klorida 102.1 mmol/L 97.0 111.0 Normal

3. Pemeriksaan Hematologi dan LFT 18-08-2017

PARAMETER HASIL UNIT REFERENSI KETERANGAN

Hemoglobin 12.1 g/dL 14.0 18.0 Rendah

Hematocrit 35.4 % 42.0 52.0 Rendah

Eritrosit 4.40 10^6/uL 4.70 6.10 Rendah

Lekosit 14.04 10^3/uL 4.80 10.80 Tinggi

Trombosit 431 10^3/uL 150 450 Normal

MCV 81 fL 81 - 99 Rendah

MCHC 34 g/dL 33 - 37 Normal

MCH 28 Pg 27 31 Normal

Basofil 0 % 01 Normal

Eosinofil 0 % 07 Normal

Neutrofil 84 % 40 -47 Tinggi

Limfosit 8 % 19 48 Rendah

24
Monosit 8 % 39 Normal

ALTL/SGPT 452 U/L 0 -41 Tinggi


ASTL/SGOT 320 U/L 0 32 Tinggi

4. Pemeriksaan LFT 20-08-2017


PARAMETER HASIL UNIT REFERENSI KETERANGAN
ALTL/SGPT 232 U/L 0 -41 Tinggi
ASTL/SGOT 97 U/L 0 32 Tinggi

V. RESUME
Pasien anak 9 tahun datang bersama Ibunya dalam keadaan sadar, mengeluhkan
nyeri pada kepala dan kedua lengan setelah disengat tawon sekitar 30 menit
sebelum ke RS. Bekas sengatan tawon berwarna merah dan membengkak.
Kepala pusing seperti berdenyut.
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
GCS : E4M6V5
Tekanan darah : 125/80 mmHg
Denyut nadi : 112 kali/menit reguler
Frekuensi napas : 20 kali/menit
Suhu aksila : 36.5 oC
Kepala: Tampak lesi bekas sengatan tawon berupa kemerahan, bengkak, nyeri
tekan (+), undulasi (-)
Ekstremitas atas: Tampak lesi bekas sengatan tawon berupa kemerahan,
bengkak, nyeri tekan (+)

25
Hasil pemeriksaan penunjang:
PARAMETER HASIL UNIT REFERENSI KETERANGAN

Hemoglobin 11.7 g/dL 14.0 18.0 Rendah

Hematocrit 34.0 % 42.0 52.0 Rendah

Eritrosit 4.27 10^6/uL 4.70 6.10 Rendah

Lekosit 20.67 10^3/uL 4.80 10.80 Tinggi

Trombosit 454 10^3/uL 150 450 Tinggi

MCV 80 fL 81 - 99 Rendah

Neutrofil 73 % 40 -47 Tinggi

Masa Trombin 52.1 22.5 30.5 Memanjang


Sebagian (APTT)
ALTL/SGPT 420 U/L 0 -41 Tinggi

ASTL/SGOT 1409 U/L 0 32 Tinggi

Kreatinin 0.5 mg/dL 0.7 1.2 Rendah

Kalium 3.0 mmol/L 3.5 5.1 Rendah

VI. DIAGNOSA
Diagnosis kerja
Reaksi Anafilaktik dengan gangguan enzim hati
Diagnosis banding
- Urtikaria

VII. PENTALAKSANAAN
Non Medikamentosia
- Bed rest

26
Medikamentosa
- IVFD RL 10tpm
- Cortidex 3x1 iv
- Ranitidine 2x1 iv
- Sanmol drip 4x27cc
- Lesichol 1x1 iv
- Cinolon cr + Pibaksim cr 3x/hari

VIII. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : ad bonam
Quo Ad Functionam : ad bonam
Quo Ad Sanationam : ad bonam

IX. EDUKASI
Mencegah reaksi ulang dengan menghindari alergen yang dapat menimbulkan
reaksi alergi.

X. FOLLOW UP

Tanggal 17-08-2017
S : nyeri pada luka bekat sengatan tawon di kepala dan tanggan
O : KU Sedang
HR 128, RR 24, S 36.3

A : Reaksi Anafilaktik dengan gangguan fungsi hati

P : Terapi lanjut

Tanggal 18-08-2017
S : nyeri pada luka bekat sengatan tawon di kepala dan tanggan
O : KU Sedang
HR 128, RR 24, S 36.3

A : Reaksi Anafilaktik dengan gangguan fungsi hati

P : Terapi lanjut

27
Tanggal 19-08-2017
S : nyeri pada luka bekat sengatan tawon di kepala dan tanggan
O : KU Sedang
HR 128, RR 24, S 36.3

A : Reaksi Anafilaktik dengan gangguan fungsi hati

P : Terapi lanjut

Tanggal 20-08-2017
S : nyeri pada luka bekat sengatan tawon di kepala dan tanggan
O : KU Sedang
HR 128, RR 24, S 36.3

A : Reaksi Anafilaktik dengan gangguan fungsi hati

P : Boleh rawat jalan


Lesichol 1x1

28
TEORI KASUS
1. Insiden reaksi anafilaktik berdasarkan 1. Pasien merupakan seorang anak laki-
usia, biasanya terjadi pada anak-anak laki berusia 9 tahun.
dan dewasa muda. Sedangkan pada
orang tua dan bayi jarang terjadi.
2. Terdapat 3 tipe reaksi anafilaktik 2. Pasien menunjukkan gejala klinis
setelah paparan allergen. reaksi anafilaktik 30-60menit setelah
Moderate terjadi 1-24jam setelah terpapar alergen.
paparan.
Reaksi lambat terjadi setelah 24jam
terpapar alergen.
3. Kriteria klinis reaksi anafilaktik dibagi 3. Pasien mengalami bentol kemerahan
tiga. Kriteria pertama adalah onset dan bengkak di kulit kepala dan lengan
akut yang terjadi beberapa menit dan terasa nyeri pada bekas sengatan
hingga jam dengan terlibatnya kulit, lebah.
jaringan mukosa, atau keduanya.
Misalnya bintik kemerahan pada
seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir, lidah, uvula, dan
salah satu respiratory compromise.
4. Kortikosteroid digunakan untuk 4. Pasien ini diberikan terapi Cortidex 3xI
menurunkan respon peradangan, intravena
kortikosteroid hanya digunakan pada
reaksi sedang hingga berat untuk
memperpendek episode anafilaksis
atau mencegah anafilaksis berulang.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonym. Anafilaksis (Reaksi Alergi Akut). 2009. Available at:


http://medicastore.com/penyakit/150/Anafilaksis_reaksi_alergi_akut.html Accessed
on November 18, 2017.
2. Longecker, DE. Anaphylactic Reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology. 2008;
Chapter 88, hal 1948-1963.
3. Mustafa, SS. Anaphylaxis. April 8, 2013. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/135065-overview. Accessed on November
18, 2017.
4. Balentine, JR. Severe Allergic Reaction (Anaphylactic Shock). 2008. Available at:
http://www.emedicinehealth.com/severe_allergic_reaction_anaphy
lactic_shock/page2_em.htm . Accessed on November 18, 2017.
5. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal 1442-
1445.
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Perioperative and Critical Care Medicine.
In: Belval B, Lebowitz H. Morgan & Mikhails Clinical Anesthesiology. 5th
edition. United States: McGraw-Hill; 2013. p. 1217-22.
7. Sampson HA, et al. Clinical Immunology and Allergy. Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia; 2006.
8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
Immunology. Hobart, Australia; 2004. p.371-376.
9. Simons FER, Camargo Jr CA. Anaphylaxis: Rapid recognition and Treatment. In:
Bochner BS. August 8, 2013. Available at: http://www.uptodate.com/
contents/anaphylaxis-rapid-recognitionand-treatment . Accessed on November 19,
2017.
10. Mullins RJ, Gold MS, Brown SGA. Anaphylaxis: Diagnosis and Management. 2006.
Available at: https://www.mja.com.au/journal/2006/185/5/2-anaphylaxisdiagnosis-
and-management . Accessed on November 19, 2017.
11. David B.K. Golden, M.D., Anne Kagey-Sobotka, Ph.D., Philip S. Norman, M.D.,
Robert G. Hamilton, Ph.D., and Lawrence M. Lichtenstein, M.D., Ph.D. Outcomes
of Allergy to Insect Stings in Children, with and without Venom Immunotherapy.
Baltimore, 2004.

30

Anda mungkin juga menyukai