Anda di halaman 1dari 24

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

SINDROM NEFRITIK AKUT

Alfath Akbar J. Dundu, S.Ked


K1B1 21 035

PEMBIMBING :
dr. Hj. Musyawarah, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Alfath Akbar J. Dundu, S.Ked

NIM : K1B1 21 035

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Sindrom Nefritik Akut / Glomerulonefritis akut

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juni 2022


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hj. Musyawarah, Sp.A


SINDROM NEFRITIK AKUT / GLOMERULONEFRITIS AKUT
Muhamad Zul Iman Sufian, HasniahBombang

A. PENDAHULUAN

Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan salah satu manifestasi klinis

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS), di mana terjadi suatu

proses inflamasi pada tubulus dan glomerulus ginjal yang terjadi setelah adanya

suatu infeksi streptokokus pada seseorang. GNAPS berkembang setelah strain

streptokokus tertentu yaitu streptokokus ß hemolitikus group A tersering tipe 12

menginfeksi kulit atau saluran nafas (Rena, 2010).

Dalam kepustakaan istilah Glomerulonefritis Akut (GNA) dan Sindrom

Nefritik Akut (SNA) sering digunakan secara bergantian. GNA merupakan

istilah yang lebih bersifat histologik, sedangkan SNA lebih bersifat klinik. Dalam

kepustakaan disebutkan bahwa selain GNAPS banyak penyakit yang juga

memberikan gejala nefritik seperti hematuria, edema, proteinuria, sampai

azotemia sehingga digolongkan kedalam SNA (IDAI, 2012).

Angka kejadian GNAPS sukar ditentukan mengingat bentuk asimptomatik

lebih banyak dijumpai dairipada bentuk simptomatis. Di negara maju insiden

GNAPS berkurang akibat sanitasi yang lebih baik, sedangkan dinegara

berkembang insiden GNAPS lebih banyak. Di Indonesia GNAPS lebih banyak

ditemukan pada golongan sosial ekonomi rendah (IDAI, 2012).


B. DEFINISI

Glomerulonefritis Akut (AGN) adalah kumpulan gejala yang ditandai

dengan penurunan laju filtrasi glomerulus secara tiba-tiba dengan manifestasi

klinis seperti edema, hematuria, hipertensi, oliguria, dan insufisiensi ginjal. Oleh

karena itu, AGN sering disebut sebagai acute nephritic syndrome (ANS). Acute

glomerulonephritis after Streptococci (APSGN) merupakan bentuk AGN/ANS

akibat infeksi beta hemolytic group A Streptococcus (BHAS), paling sering

ditemukan pada anak usia 3-8 tahun (Nur, 2016).

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococcus (GNAPS) adalah suatu

sindrom nefritik akut dengan timbulnya hematuria, edema, hipertensi dan

penurunan fungsi ginjal. Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi kuman

streptokokus beta hemolitikus grup A di saluran nafas bagian atas atau dikulit

(IDAI, 2009).

Sindrom nefritik adalah sindrom klinis yang muncul sebagai hematuria,

peningkatan tekanan darah, penurunan output urin, dan edema. Patologi utama

yang mendasari adalah peradangan glomerulus yang menyebabkan sindrom

nefritik. Ini menyebabkan munculnya sel darah merah (RBC) dan proteinuria.

Patologi primer bisa di ginjal, atau bisa menjadi konsekuensi dari gangguan

sistemik (Hashmi, 2021).


C. ETIOLOGI

Sindrom nefritik adalah presentasi umum dari sebagian besar

glomerulonephritides proliferatif (GN). Sindrom nefritik dapat disebabkan oleh

glomerulonefritis proliferatif akut (pasca infeksi dan terkait infeksi),

glomerulonefritis bulan sabit, dan glomerulonefritis lupus proliferatif. Pada anak-

anak, penyebab paling umum dari glomerulonefritis akut adalah

glomerulonefritis pasca-streptokokus. Timbulnya sindrom nefritik secara tiba-

tiba terjadi 7-10 hari setelah tenggorokan terinfeksi streptokokus atau 2-3 minggu

setelah infeksi kulit (impetigo). Patogen yang paling sering terlibat adalah

streptokokus beta hemolitik grup A. Hanya beberapa strain bakteri yang bersifat

nefritogenik. Lebih dari 90% pasien menunjukkan infeksi sebelumnya dengan

Streptococci tipe 12, 4, dan 1. Ini diidentifikasi dengan mengetik protein M dari

dinding sel bakteri (Hashmi, 2021)

D. EPIDEMIOLOGI

WHO mempekirakan 472.000 kasus GNAPS terjadi setiap tahunnya

secara global dengan 5.000 kematian setiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan

di Sri Manakula Vinayagar Medical College and Hospital India pada periode

waktu Januari 2012–Desember 2014 ditemukan 52 anak dengan diagnosis

GNAPS. Dari 52 pasien ditemukan 46 anak (88,4%) dengan GNAPS, usia pasien

berkisar antara 2,6– 13 tahun, 27 anak (52%) pada kelompok usia 5-10 tahun

(Hidayani, 2016).
Di Indonesia pengamatan mengenai GNA pada anakdi sebelas universitas

di Indonesia pada tahun 1997-2002, lebih dari 80% dari 509 anak dengan GNA

mengalami efusi pleura, kardiomegali serta efusi perikardial, dan 9,2%

mengalami ensefalopati hipertensif. Selama 5 tahum sejak 1998-2002,

didapatkan 45 pasien GNA (0,4%) yaitu diantara 10.709 pasien yang berobat di

Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM. Empat puluh lima pasien ini terdiri

dari 26 laki–laki dan 19 perempuan yang berumur antara 4-14 tahun, dan yang

paling sering adalah 6–11 tahun (Hidayani, 2016).

Angka kejadian ini relatif rendah, tetapi menyebabkan morbiditas yang

bermakna. Dari seluruh kasus, 95% diperkirakan akan sembuh sempurna, 2%

meninggal selama fase akut dari penyakit, dan 2% menjadi glomerulonefritis

kronis (Hidayani, 2016).

E. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Ginjal adalah organekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang.

Sebagai bagian dari sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama

urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Di

bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar

suprarenal). Ginjal bersifat retroperitoneal, yang berarti terletak di belakang

peritoneum yang melapisi rongga abdomen. Kedua ginjal terletak di sekitar

vertebra T12 hingga L3. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit di bawah ginjal

kiri untuk memberi tempat untuk hati (Wibawa, 2016).


Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks, bagian lebih dalam lagi

disebut medulla. Bagian paling dalam disebut pelvis. Pada bagian medulla ginjal

manusia dapat pula dilihat adanya piramida yang merupakan bukaan saluran

pengumpul. Ginjal dibungkus oleh lapisan jaringan ikat longgar yang disebut

kapsula. Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah

lebih dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa (Wibawa,

2016).

Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit)

dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan

molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan

dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan dilakukan menggunakan mekanisme

pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan

disebut urine. Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang

disebut korpuskula (atau badan Malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran

(tubulus). Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebut

glomerulus yang berada dalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat

aliran darah dari arteri aferen (Wibawa, 2016).

Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau

penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori

dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan dari darah yang

mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus

ginjal. Darah yang telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen.
Di antara darah dalam glomerulus dan ruangan berisi cairan dalam kapsula

Bowman terdapat tiga lapisan yaitu kapiler selapis sel endotelium pada

glomerulus, lapisan kaya protein sebagai membran dasar dan selapis sel epitel

melapisi dinding kapsula Bowman (Wibawa, 2016).

Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari

glomerulus, melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam

kapsula Bowman dalam bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak

mengandung sel darah ataupun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk

molekul kecil dapat ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal

sebanyak 350 kali setiap hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125

cc filtrat glomerular per menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan

untuk tes diagnosa fungsi ginjal (Wibawa, 2016).

Tubulus ginjal merupakan lanjutan dari kapsula Bowman. Bagian yang

mengalirkan filtrat glomerular dari kapsula Bowman disebut tubulus konvulasi

proksimal. Bagian selanjutnya adalah lengkung Henle yang bermuara pada

tubulus konvulasi distal. Lengkung Henle diberi nama berdasar penemunya yaitu

Friedrich Gustav Jakob Henle di awal tahun 1860-an. Lengkung Henle menjaga

gradien osmotik dalam pertukaran lawan arus yang digunakan untuk filtrasi. Sel

yang melapisi tubulus memiliki banyak mitokondria yang menghasilkan ATP

dan memungkinkan terjadinya transpor aktif untuk menyerap kembali glukosa,

asam amino, dan berbagai ion mineral. Sebagian besar air (97.7%) dalam filtrat

masuk ke dalam tubulus konvulasi dan tubulus kolektivus melalui osmosis.


Ginjal memiliki fungsi sebagai berikut (Wahyuningsih, 2017):

a. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan

dieksresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang encer dalam jumlah besar,

kekurangan air (kelebihan keringat) menyebabkan urine yang dieksresi

berkurang dan konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume

cairan tubuh dapat dipertahankan relatif normal.

b. Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion

yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit). Bila terjadi pemasukan

atau pengeluaran yang abnormal ion-ion akibat pemasukan garam yang

berlebihan atau penyakit perdarahan (diare, muntah) ginjal akan

meningkatkan eksresi ion-ion yang penting (misal Na , K , Cl , Ca dan fosfat).

c. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada apa yang

dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang bersifat agak asam ,

pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir metabolisme protein. Apabila

banyak makan sayur-sayuran, urine akan bersifat basa. pH urine bervariasi

antara 4,8-8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai dengan perubahan pH darah.

d. Eksresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik,

obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).

e. Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon renin yang

mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (sistem renin

angiotensin aldosteron) membentuk eritropoiesis mempunyai peranan penting

untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoiesis).


E. PATOFISIOLOGI

Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulus yang menyebabkan

filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal biasanya normal.

Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang sampai di bawah 1%.

Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus proksimalis berkurang

yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan proses reabsorbsinya,

termasuk Na, sehingga akan menyebabkan retensi Na dan air. Penelitian-

penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan air didukung oleh

keadaan berikut ini (IDAI, 2012):

a. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang

di glomerulus.

b. Overexpression dari epithelial sodium channel.

c. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.

Faktor-faktor inilah yang secara keseluruhan menyebabkan retensi Na dan

air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi. Efek proteinuria yang

terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan edema lebih berat, karena

hormon-hormon yang mengatur ekpansi cairan ekstraselular seperti renin

angiotensin, aldosteron dan anti diuretik hormon (ADH) tidak meningkat. Edema

yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila ketiga hormon tersebut meningkat

F. GEJALA KLINIS
GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 - 15 tahun dan jarang pada

usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periodelaten

1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma. Penelitian multisenter di

Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA terdapat pada 45,8% kasus

sedangkan melalui kulit sebesar 31,6% Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi

dari bentuk asimtomatik sampai gejala yang khas. Bentuk asimto matik lebih

banyak daripada bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik. Bentuk

asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin terutama hematuria

mikroskopik yang disertai riwayat kontak dengan penderita GNAPS simtomatik

(IDAI, 2012).

1. Periode Laten

Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara

infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3

minggu, periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului

oleh ISPA, sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/

piodermi.Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini

berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan

penyakit lain, seperti eksaserbasi dari glomerulonefritis kronik, lupus

eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schöenlein dan benign recurrent

haematuria (IDAI, 2012).

2. Edema

Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul,

dan menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di
daerah periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi

retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia

eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik (IDAI, 2012).

Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gayagravitasi dan

tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol

waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan

menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan

kegitan fisik Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi

edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahuí

setelah terjadí diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting

sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial

yang dalam waktu singkat akan kembali ke kedudukan semula(IDAI, 2012).

3. Hematuria

Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS,

sedangkan hematuria mikroskopikdijumpai hampir pada semua kasus. Suatu

penelitian multisenterdi lndonesia mendapatkan hematuria makroskopik

berkisar 46- 100%, sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100% Urin

tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian daging atau

berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam minggu

pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung sampai

beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,

umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai


hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah

sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun,

sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan

indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya

glomerulonefritis kronik (IDAI, 2012).

4 Hipertensi

Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.

Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu

pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang

lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-

90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang

cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya

hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang

disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran

menurun dan kejang kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan

ensefalopati hipertensi berkisar 4-50%.

5. Oligouria

Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS

dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m² LPB/hari. Oliguria terjadi bila

fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala

sebelumnya, oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan


menghilang bersamaan dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu

pertama. Oliguria bisa pula menjadi anuria yang menunjukkan adanya

kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang jelek (IDAI, 2012).

6. Gejala Lain

Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise,

letargi dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan

subkutan akibat edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung

lama (IDAI, 2012).

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis Umumnya pasien datang dengan hematuria nyata (gross

hematuria) atau sembab di kedua kelopak mata dan tungkai Kadang-kadang

pasien datang dengan kejang dan penurunan kesadaran akibat ensefalopati

hipertensi, Riwayat infeksi saluran nafas atas (faringitis) I-2 minggu

sebelumnya atau infeksi kulit, Oligouria/anuria akibat gagal ginjal atau gagal

jantung.

2. Pemeriksaan Fisik sering ditemukan edema di kedua kelopak mata dan

tungkai dan hipertensi dapat ditemukan lesi bekas infeksi di kulit jika terjadi

ensefalopati, pasien dapat mengalami penurunan kesadaran dan kejang. Pasien

dapat mengalami gejala-gejala hipervolemia seperi gagal jantung, edema paru

(IDAI, 2009).

3. Pemeriksaan penunjang yaitu :

a. Pemeriksan urin
1). Proteinuria

Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai

dengan (++), jarang terjadi sampai dengan (+++). Bila terdapat

proteinuria (+++) harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom

nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria

biasanya kurang dari 2 gram/m² LPB/24 jam, tetapi pada keadaan

tertentu dapat melebihi 2 gram/m² LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria

tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab

lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai

beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6

bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut

proteinuria menetap yang menunjukkan kemungkinan suatu

glomerulonefritis kronik yang memerlukan biopsi ginjal untuk

membuktikannya (IDAI, 2012).

2). Hematuria

Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu

ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang

paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu

glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan

pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak

eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus

GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu
peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk

torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti

nekrosis tubular akut (IDAI, 2012).

b. Pemeriksaan darah

1.) Reaksi serologis

Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis

terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul

antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin 0 (ASO),

antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B).

Titer ASO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa,

karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS.

Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang

meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus

sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14

sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu

ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer

ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan

oleh streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat

pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini

titer ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi.

Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang

menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus sehingga


infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus

menyebabkan titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas

meningkat setelah infeksi melalui kulit (IDAI, 2012).

2). Aktifitas Komplemen

Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena

turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi

infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem komplemen

dalam tubuh, maka komplemen (B,C globulin) yang paling sering

diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa

penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar Cz menurun.

Umumnya kadar C, mulai menurun selama fase akut atau dalam

minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal

sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8

minggu kadar komplemen C, ini masih rendah, maka hal ini

menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada

glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.

3). Laju Endap Darah

LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah

gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat

digunakan sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat


kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah

menghilang (IDAI, 2012).

H. PENATALAKSANAAN

1. Istrirahat

Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya

timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut,

tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan

seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit.

Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan

proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif,

penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada

komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan

pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di

tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari teman-

temannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik (IDAI, 2012).

2. Diet

Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat,

diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian

garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum
meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus

diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu

jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan

cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/ hari) + jumlah

keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal 10 ml/kgbb/hari

Pembatasan jumlah protein yang masuk dapat menurunkan beban kerja

ginjal yang sedang dalam fase perbaikan, pemberian protein yang terbatas tetap

harus mencukupi kebutuhan dengan mempertahankan status nutrisi, karena itu

dibutuhkan protein berkualitas berasal dari daging, ikan, ayam dan telur. Kalori

yang yang dibutuhkan dapat berasal dari pasta, nasi merah dan roti gandum,

sedangkan lemak dapat dipilih sumber lemak monosaturasi seperti kacang,

avokad atau olive oil atau sumber lemak polisaturasi seperti ikan salmon dan

minyak ikan (Rachmadi, 2017)

Hipertensi umumnya terjadi karena peningkatan volume ekstraseluler

sehingga diperlukan pembatasan garam (natrium) untuk memperbaiki kontrol

tekanan darah dan mencegah retensi cairan yang dapat menyebabkan bengkak.

Pembatasan kalium tidak terlalu bermanfaat selama tidak mengalami uremik

atau hiperkalemia (Rachmadi, 2017).

3. Antibiotik

Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering

dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan

tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain


memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat

menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena

telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten

yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin

diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3

dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat

diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari (IDAI, 2012).

4. Simptomatik

a. Bendungan sirkulasi

Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan

cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi

edema berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik,

misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis

peritoneal.

b. Hipertensi

Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi

ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan

darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang

atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2

mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat

tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi

nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang


dapat diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat

atau hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat

diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali

atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut

dapat digabung dengan furosemid (1 - 3 mg/kgbb).

c. Gangguan ginjal akut

Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan,

pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi

asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia

diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat kalium.

I. DIAGNOSIS BANDING
1. Sindrom Nefrotik

Ekskresi protein urin 24 jam lebih dari 3,5 gram/hari disertai

hipoalbuminemia, edema, hipogamaglobulinemia dan peningkatan risiko

trombosis akibat hilangnya prokoagulan (Rawla, 2021).

2. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)

PGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak.

Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut

dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi

pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C yang

menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya
baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal karena

gagal ginjal (IDAI, 2012).

J. KOMPLIKASI
1. Hipertensi Enselopati

EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6

tahun dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan

memberikan nifedipin (0,25 - 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual

pada anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat

diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus dilakukan

secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya

ditambahkan kaptopril (0,3 - 2 kg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal

2. Gangguan ginjal akut

Pengobatan konservatif yaitu dilakukan pengaturan diet untuk

mencegah katabolisme dengan memberikan kalori secukupnya, yaitu 120

kkal/kgbb/hari Mengatur elektrolit bila terjadi hiponatremia diberi NaCl

hipertonik 3%. Bila terjadi hipokalemia diberikan Calcium Gluconas 10% 0,5

ml/kgbb/hari, NaHCO,7,5% 3 ml/kgbb/hari, K exchange resin 1 g/kgbb/hari

dan Insulin 0,1 unit/kg dan 0,5 - 1 g glukosa 0,5 g/kgbb.

3. Edema Paru

Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga

sering disangka sebagai bronkopneumoni (IDAI, 2012).


K. PROGNOSIS
Prognosis sindrom nefritik tergantung pada etiologi yang mendasari dan usia

pasien. Biasanya, anak-anak mengalami glomerulonefritis akut yang sembuh

sendiri, dan prognosisnya baik. Orang dewasa biasanya memiliki perjalanan yang

kronis. Penyakit ini tidak teratasi pada 20 sampai 74% orang dewasa. Pada pasien

ini, gangguan fungsi ginjal berlanjut dan akan mengakibatkan gagal ginjal kronik

(Hashmi,2021).

DAFTAR PUSTAKA

1.Ren NMRA, Suwitra K. 2010. Seorang Penderita Sindrom Nefritik Akut Pasca
Infeksi Streptokokus. J Intern Med. 10(3).
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Konsesus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus. 1-17.

3. Nur S, Albar H, Daud D. 2016. Prognostic factors for mortality in pediatric acute
poststreptococcal glomerulonephritis. Paediatr Indonesian. 56(3):166.

4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anank Indonesia

5. Hashmi, J P. 2021. Nephrotic Syndrome Pathophysiology Histopathology. NCBI


Bookshelf . 1–6.

6. Hidayani AR., Umboh A, Gunawan S. 2016. Profil glomerulonefritis akut pasca


streptokokus pada anak yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado. J e-clinic. 4(2):7–11.

7. Wibawa P. 2016. Diktat Biokimia Ginjal dan urine. Diktat Biokimia. 1–33.

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/bbaf9351825f250354768

68944b4f17f.pdf

8. Wahyuningsih HP, Kusmiyati Y. 2017. Bahan Ajar Kebidanan Anatomi Fisiologi.

148–62.

9. Rawla, Sa P, Ludhwani D. 2021. Poststreptococcal Glomerulonephritis

Pathophysiology Histopathology. NCBI Bookshelf. 1–6.

10. Rachmadi, D., Sekarwana, N., Hilmanto, D. Herry, G. 2017. Buku Ajar Nefrologi

Anak Edisi Ketiga. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai