Anda di halaman 1dari 50

LABORATORIUM KEPANITRAAN REFERAT

KLINIK RADIOLOGI SEPTEMBER 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

MALFORMASI ANOREKTAL

PENYUSUN :
Fahrul Rahman, S.Ked
K1B1 21 070

PEMBIMBING :
dr. Achi Rasma Welaty, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Fahrul Rahman, S.Ked
Nim : K1B1 21 070
Program Studi : Profesi Dokter
Fakultas : Kedokteran
Judul referat : Malformasi Anorectal
Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, September 2021

Mengetahui,

Pembimbing,

dr. Achi Rasma Welaty, Sp. Rad


DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II. INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI.....................................................3
BAB III. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI..................................................4
BAB IV. ANATOMI DAN FISIOLOGI .............................................................6
BAB V. DIAGNOSIS.............................................................................................9
A. Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik..............................................9
B. Pemeriksaan Radiologi....................................................................... 17
1. Radiologi konvensional.................................................................. 16
2. USG................................................................................................ 20
3. CT Scan.......................................................................................... 21
4. MRI.................................................................................................21
C. Pemeriksaan Laboratorium................................................................. 22
BAB VI. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS.......................................................... 23
BAB VII. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS................................................. 39
BAB VIII. PENGOBATAN................................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................42
1

MALFORMASI ANOREKTAL

Fahrul Rahman, Achi Rasma Welaty

(Subdivisi Gastroenterohepatologi Bagian Radiologi FK-UHO)

BAB 1

PENDAHULUAN

Malformasi anorektal merupakan spektrum luas dari kelainan

pembentukan anus dan rektum mulai dari stenosis hingga agenesis

anorektal.Insidensi kejadian ini di seluruh dunia 1 per 5000 kelahiran hidup

walaupun pada beberapa wilayah tertentu ditemui lebih banyak. Penyebabnya

belum diketahui, tetapi beberapa penderita memiliki predisposisi genetik

malformasi anorektal pada generasi sebelumnya.(1)

Faktor-faktor yang berhubungan dengan adanya kelainan kongenital

penyerta pada pasien malformasi anorektal sampai saat ini masih belum

diketahui.Beberapa literatur menyebutkan ada hubungan jenis kelamin dan tipe

malformasi anorektal dengan adanya kelainan kongenital penyerta.Pasien lakilaki

cenderung memiliki kelainan kongenital penyerta daripada perempuan. Pasien

dengan malformasi anorektal letak tinggi juga cenderung memilki kelainan

kongenital penyerta daripada pasien dengan malformasi anorektal letak

intermediet dan letak rendah. Prematuritas dan berat badan lahir masih belum

jelas hubungannya dengan adanya kelainan kongenital penyerta pada pasien

malformasi anorektal. Namun, anomali VACTERL biasanya cenderung

menyebabkan bayi lahir prematur dan berat badan lahir rendah(1)


2

Mortalitas pada pasien malformasi anorektal jarang disebabkan oleh

malformasi anorektal itu sendiri, tetapi ada beberapa faktor yang memengaruhi

mortalitas pasien malformasi anorektal.Pasien dengan tipe malformasi anorektal

letak tinggi angka bertahan hidupnya lebih rendah dibanding pasien malformasi

anorektal letak rendah yaitu 81,9% berbanding 93,8%, akan tetapi perbedaan

tersebut tidak signifikan. Tipe malformasi anorektal juga memiliki hubungan

dengan adanya kelainan kongenital penyerta. Mortalitas pasien malformasi

anorektal letak tinggi lebih tinggi daripada letak rendah oleh karena

kecenderungan munculnya kelainan penyerta lebih tinggi pada letak tingi. Pada

tipe malformasi anorektal letak tinggi insidensi kelainan kongenital penyerta lebih

tinggi daripada letak intermediet dan letak rendah. Kelainan kongenital penyerta

ditemukan pada 50,88% pasien malformasi anorektal letak tinggi, 19,30% pada

pasien malformasi anorektal letak intermediet, dan 29,82% pada pasien

malformasi anorektal letak rendah. Pasien malformasi anorektal yang memiliki

kelainan kongenital penyerta akan meningkatkan risiko kematiannya dan adanya

kelainan kongenital penyerta berhubungan signifikan dengan mortalitas pasien

malformasi anorektal. Sepsis juga merupakan faktor yang mempengaruhi

mortalitas pasien malformasi anorektal. (1)


3

BAB II

INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI

Malformasi anorektal (ARM) terjadi pada sekitar 1 dari setiap 5.000

kelahiran dan sedikit lebih sering terjadi pada laki-laki, dengan risiko 1% untuk

sebuah keluarga memiliki anak kedua dengan ARM. Fistula rektourethral adalah

yang paling sering terjadi pada pria dan fistula rektovestibular pada wanita.

Memiliki nofistula sama sekali jarang (5% dari pasien) dan berhubungan dengan

sindrom Down. Kloaka, di masa lalu, dianggap sebagai cacat langka, sedangkan

fistula rektovaginal dilaporkan umum, tetapi sebaliknya adalah benar, karena

kloaka terdiri dari ketiga cacat paling umum pada wanita (setelah fistula vestibular

dan perineum). Fistula rektovaginal kongenital sejati jarang terjadi, terjadi pada

kurang dari 1% kasus (2)


4

BAB III

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

A. etiologi

Etiologi malformasi anorektal belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli

berpendapat bahwa kelainan ini sebagai akibat dari abnormalitas perkembangan

embriologi anus, rektum dan traktus urogenital, dimana septum tidak membagi

membran kloaka secara sempurna. Terdapat beberapa faktor prognostik yang

mempengaruhi terjadinya morbiditas pada malformasi anorektal, seperti

abnormalitas pada sakrum, gangguan persarafan pelvis, sistem otot perineal yang

tidak sempurna, dan gangguan motilitas kolon (3)

B. Patofisiologi

Atresia ani dapat terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal

pada kehidupan embrional, klinis tampak adanya obstruksi dan adanya fistula.(4)

C. Embriologi

Secara embriologis saluran cerna berasal dari : (4)

 Foregut (faring-sistem pernafasan bawah-esofagus-lambung, dan sebagian

duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas)

 Midgut (sebagian duodenum, jejunum, ileum, sekum, apendix, kolon

asendens sampai pertengahan 2/3 kolon transversum)

 Hindgut (meluas dari 1/3 kolon transversum s/d anus)


5

Usus belakang terbentuk lebih awal sebagai bagian dari saluran usus

primitif yang memanjang ke lipatan ekor pada minggu ke-2 kehamilan. Pada

sekitar hari ke-13, ia mengembangkan divertikulum ventral, allantois atau

kandung kemih primitif. Persimpangan allantois dan hindgut menjadi kloaka, di

mana saluran kelamin, saluran kemih, dan usus kosong. Ini ditutupi oleh membran

kloaka. Septum urorektal turun untuk membagi saluran umum ini dengan

membentuk tonjolan lateral, yang tumbuh dan menyatu pada pertengahan minggu

ke-7. Pembukaan bagian posterior membran (membran anal) terjadi pada minggu

ke-8. Kegagalan di bagian mana pun dari proses ini dapat menyebabkan spektrum

klinis anomali anogenital (5)


6

BAB IV

ANATOMY DAN FISIOLOGI

A. Anatomy
7

Gambar. 1. anatomi rectum dan kanalis anal (dikutip dari kepustakaan 6)


8

1. Rectum

Rektum merupakan bagian bawah kolon mulai 12 cm anocutan line (ACL)

ke arah anus diatas anal kanal dan dibagi menjadi 3 bagian: 1/3 atas, 1/3 tengah

dan 1/3 bawah. Struktur rektum terletak retroperitoneal, dan berdasar aliran getah

beningnya, rektum memiliki beberapa kelenjar getah bening regional, yaitu KGB

presakral, KGB iliaka interna, dan untuk bagian distal, KGB iliaka eksterna dan

inguinal. Letak anatomi ini berperan memberikan morbiditas yang besar pada

bedah ekstirpasi dan terjadinya rekurensi lokoregional. Anatomi dari rektum yang

terletak distal dan terdapatnya sfingter anus juga merupakan hal yang penting

diperhatikan demi kualitas hidup pasien. (7)

2. kanalis anal

Kanalis anal merupakan bagian paling sempit, tetapi normal dari ampulla

rekti, menurut definisi maka sambungan anorektal terletak pada permukaan atas

dasar pelvis yang dikelilingi muskulus sfingter eksternus, 2/3 atas bagian kranial

merupakan derivat hindgut, sedang 1/3 bawah berkembang dari anal pit.

Penggabungan epitelium ini adalah : derivat ektoderm dari anal pit dan endoderm

dari hindgut letak linea dentata. Garis linea dentata: tempat anal membrana dan

sebagai tempat perubahan epitellium columner ke stratified squamous cell. (4)

Anal kanal berbentuk cerobong, bagian atas bangunan ini : m. Levator ani

dan bagian terbawah m. Sfingter externus. Bangunan antara cerobong batas atas

dan bawah merupakan muscle komplek / vertikal fiber (m. Ischiococcygeus, m.


9

Fleococcygeus, m. Pubococcygeus, m. Puborectalis, m. Deep external sfingter

externus dan m. Superficial external sfingter)(4)

B. Fisiologi

1. Rectum

Rektum adalah organ yang dapat membesar dan mampu mempertahankan

tekanan intraluminal yang rendah ketika diisi dengan feses (sampai batas tertentu).

Hal ini memungkinkan rektum untuk menyimpan feses dan menunda buang air

besar, dengan mekanisme yang dikenal sebagai 'compliance rectum'. Penurunan

kemampuan penyesuaian rectum akan menghasilkan tekanan intraluminal yang

lebih tinggi, sehingga akan menyebabkan urgensi dan mungkin inkontinensia (8)

Sensasi di rektum, seperti bagian usus lainnya, tidak jelas, Nyeri dan suhu

tidak dapat dirasakan. Akan tetapi, peningkatan tekanan dapat dirasakan dan dapat

menimbulkan keinginan untuk buang air besar. Di mana saraf yang merasakan

sensasi ini letak nya tidak begitu jelas, tetapi sarafnya mungkin terletak di jaringan

sekitar rektum (8)

2. kanal anal

Saluran anus sangat sensitif terhadap sentuhan, rasa sakit, dan suhu.

Sfingter anal internus (IAS) memiliki kemampuan untuk relaksasi, sehingga

memungkinkan saluran anus atas berhubungan dengan rektum. Pada saat yang

sama terjadi refleks kontraksi sfingter anal externus (EAS) yg dikenal sebagai

“sampling reflex” atau “rectoanal inhibitory reflex” (RAIR) dan memungkinkan

kita untuk membedakan sifat (gas, encer atau padat) dari isi rektum. kondisi
10

Relaksasi tonus dari kanalis anal bergantung pada Sfingter anal externus, sfingter

anal internus dan anal cushions. IAS bertanggung jawab atas 55-60% dari saat

relaksasi, EAS selama 25-30% dan anal cushions sekitar 15%, sebagaimana

dinyatakan diatas, EAS dan kompleks levator ani adalah otot lurik yang dapat

dikendalikan, pada saat ‘kontinensia urgensi’ EAS dan levator ani dapat

berkontraksi baik secara spontan maupun tidak, dan menunda buang air besar.(8)

BAB V

DIAGNOSIS

A. gambaran klinis dan pemeriksaan fisis

Atresia anal harus dicurigai secara klinis selama evaluasi postpartum rutin

atau segera setelah bayi baru lahir, dan saat bayi tidak dapat buang air besar

dalam waktu 24 jam setelah lahir (mis., Gagal mengeluarkan mekonium). Pasien

mungkin datang dengan distensi abdomen. Kadang-kadang mekonium dapat

muncul dari fistula di perineum atau dari uretra. Pemeriksaan perineum yang

menyeluruh harus dilakukan saat lahir, dan setelah 24 jam. Ini mungkin

mengindikasikan kurangnya lubang anus atau depresi kecil (lubang anus).

Adanya lubang kecil, bukan pada posisi normal anus, dapat mengindikasikan

fistula perineum. Defek ini biasanya terdapat di anterior kompleks sfingter ani.

Mungkin ada fistula ke saluran genitourinari jika tinja keluar dari uretra atau

vagina dan bukan dari anus. Namun, mungkin diperlukan lebih dari 24 jam untuk

mengetahu adanya fistula karena tekanan yang signifikan diperlukan untuk

memaksa mekonium melalui lubang fistula. Pemeriksaan urin sangat penting pada
11

bayi baru lahir laki-laki untuk mencari bukti mekonium. Pada anak perempuan

dengan ARM, pemeriksaan di vestibulum diperlukan. Vestibulum normal

memiliki dua lubang, uretra di anterior dan vagina di posterior. Adanya satu

lubang menunjukkan kloaka persisten, dan adanya tiga lubang menunjukkan

fistula vestibular. Adanya dua lubang di vestibulum dengan tidak adanya anus

menunjukkan adanya fistula rektovaginal atau rektum yang buntu. Pasien dengan

malformasi anorektal tinggi mungkin memiliki perineum yg datar, dan tidak

adanya lipatan gluteal. Ini menunjukkan otot yang kurang berkembang di

perineum atau deformitas sakral, dan pasien tersebut cenderung memiliki

prognosis yang buruk untuk mencapai kontrol usus. Pasien dengan malformasi

anorektal memiliki insiden yang tinggi dari anomali terkait, dan pemeriksaan

harus dilakukan untuk mendeteksinya. Penting untuk mengenali jika ada temuan

spesifik lainnya pada pemeriksaan fisik yang dapat dikaitkan dengan sindrom

tertentu, misalnya, cacat tulang belakang, kelainan tulang radial di lengan.

Nasogastric tube harus ddi periksa untuk mendeteksi apakah terdapat atresia

esofagus. Klinisi harus memeriksa tali pusat saat lahir; adanya arteri umbilikalis

tunggal mungkin menunjukkan malformasi ginjal. Pemeriksaan kardiovaskular

dapat ditemukan murmur.(9)

1. Klasifikasi (10)

a. Pria

1) Letak rendah

 Anal stenosis (normal lokasi, diameter sempit)

 Ano-cutaneus fistula
12

 Anterior ectopic anus

2) Intermediate

 Recto bulbar urethral fistula

3) Letak tinggi

 Recto-prostatic urethral fistula

 Recto-vesicular fistula

 Anorectal atresia without fistula

b. Wanita

1) Letak rendah

 Anal stenosis

 Ano-cutaneus fistula

 Anterior ectopic anus

 Ano vestibular fistula

2) Intermediate

 Recto-vestibular fistula

 Recto-lower vaginal fistula

3) Letak tinggi

 Recto-upper vaginal fistula

 Anorectal atresia without fistula

c. Persisten cloaca

 Cloacal exstrophy

2. Kondisi yang berhubungan(10)


13

a. Vertebral

b. Anorectal

c. Cardiac

d. Tracheoesophageal fistula

e. Renal

f. Limb

I. Letak rendah

Gambar. 2. Malformasi anorectal letak rendah (dikutip dari kepustakaan 5 )


14

Pemeriksaan bayi baru lahir meliputi pemeriksaan perineum. Tidak adanya

lubang anus pada posisi normal memerlukan evaluasi lebih lanjut. Bentuk ringan

dari anus imperforata sering disebut stenosis anal atau anus ektopik anterior. Ini

merupakan anus imperforata dengan fistula perineum. Posisi normal anus pada

perineum kira-kira setengah (rasio 0,5) antara tulang ekor dan skrotum atau

introitus. Meskipun gejala, terutama konstipasi disebabkan anus ektopik anterior

(rasio : < 0,34 pada anak perempuan, < 0,46 pada anak laki-laki), banyak pasien

tidak memiliki gejala. Jika tidak ada anus atau fistula yang terlihat, mungkin ada

lesi rendah atau “anus tertutup”. Dalam kasus ini, ada bokong yang terbentuk

dengan baik dan seringkali raphe yang menebal atau “bucket handle”. Setelah 24

jam, mekonium dapat terlihat, terlihat biru atau hitam. Dalam kasus ini, prosedur

perineum langsung sering dapat dilakukan, diikuti dengan program pelebaran.

Pada anak laki-laki, fistula perineum (kutaneus) dapat terlihat secara

anterior sepanjang median raphe melintasi skrotum dan bahkan ke bawah penis.

Ini biasanya terlihat tipis, dengan rektum yang normal seringkali hanya beberapa

milimeter dari kulit. Anomali ekstraintestinal terlihat pada < 10% pasien ini.

Pada anak perempuan, lesi rendah memasuki vestibulum atau fourchette.

Dalam hal ini, rektum telah turun melalui kompleks sfingter. Anak-anak dengan

lesi letak rendah biasanya dapat diobati dengan manipulasi dan pelebaran

perineum. Mendeteksi fistula rendah ini sangat penting dalam evaluasi dan

pengobatan sehingga seseorang harus menggunakan selang nasogastrik selama 24

jam pertama untuk memungkinkan perut dan usus membesar, mendorong

mekonium turun ke rektum distal. (5)


15

II. Letak tinggi

Gambar. 3. Malformasi anorectal letak tinggi (dikutip dari kepustakaan 5 )

Pada anak laki-laki dengan anus imperforata letak tinggi, perineum tampak

rata. Mungkin ada udara atau mekonium yang lewat melalui penis (uretra) pada

fistula tinggi, memasuki bulbar atau uretra prostat, atau bahkan kandung kemih.
16

Pada fistula rektobulbar uretra (paling sering pada anak laki-laki), mekanisme

sfingter baik, sakrum mungkin kurang berkembang, dan anal dimple ditemukan.

Pada fistula uretra rektoprostatik, sakrum kurang berkembang, skrotum mungkin

bifid, dan anal dimple di dekat skrotum. Pada fistula rektovesikular, mekanisme

sfingter kurang berkembang dan sakrum hipoplastik atau tidak ada. Pada anak

laki-laki dengan trisomi 21, semua gambaran lesi tinggi mungkin ada, tetapi tidak

ada fistula, mekanisme sakrum dan sfingter biasanya berkembang dengan baik,

dan prognosisnya baik. (5)

Pada anak perempuan dengan anus imperforata tinggi, mungkin ada

fistula rektovaginal. Fistula rektovaginal jarang terjadi. Sebagian besar merupakan

fistula fourchette yang dijelaskan sebelumnya atau merupakan bentuk anomali

kloaka. (5)

III. Persisten cloaca


17
18

Gambar. 4. Persisten cloaca (dikutip dari kepustakaan 5 )

Pada kloaka persisten, tahap embriologis berlanjut di mana rektum, uretra,

dan vagina terhubung dalam lubang yang sama, yaitu di kloaka. Penting untuk

mengetahui hal ini, karena perbaikan seringkali membutuhkan reposisi uretra dan

vagina serta rektum. Anak-anak dari kedua jenis kelamin dengan lesi tinggi

memerlukan kolostomi sebelum perbaikan. (5)

B. Pemeriksaan radiologi

1. radiologi konvensional

a. prone cross lateral view

Bayi dijaga dalam posisi genupectoral selama 3 menit dengan telungkup

dengan pelvis flexi. Radiografi prone cross lateral view didapatkan, yang berpusat

di atas trokanter mayor seperti pada invertogram. The prone cross lateral view

'memiliki beberapa keuntungan seperti bayi nyaman, sedangkan dalam

invertogram membutuhkan belat dan pita perekat dan bayi terus menangis karena

puborectalis sling berkontraksi dan dapat mengakibatkan kesalahan dalam

penentuan rektum bagian bawah (11)


19

Gambar. 5. Radiologi cross table prone lateral view menunjukkan malformasi

anorectal letak tinggi (dikutip dari kepustakaan 11 )

Hubungan rectal gas dengan coccyx sangat penting untuk memutuskan

terapi selanjutnya. Jika rectal gas berada di atas coccyx, maka dilakukan

kolostomi, tetapi jika berada di bawah, maka perbaikan primer lebih disukai.

 Letak tinggi / intermediet : Jarak bayangan gas usus (A) ke perineum (B)

> 1 cm / malformasi setinggi urethra (pria) /setinggi vestibuler (wanita)

pada malformasi intermediet sedangkan apabila malformasi setinggi

prostat (pria) atau vagina (wanita) maka dikatakan lesi letak tinggi

 Letak rendah : Jarak bayangan gas usus (A) ke perineum (B) < 1 cm /

malformasi berada di anus

b. Invertogram

Invertogram adalah teknik pengambilan foto untuk menilai jarak antara

gas bubble dalam usus terminal (A) dengan perineum (B). invertogram
20

direkomendasikan setelah 18 jam kelahiran untuk memungkinkan udara usus

mencapai rektum bagian bawah. Pengukuran antara gas bubble dalam usus dan

kulit perineum dilakukan dengan menempatkan marker radioopaq pada kulit

perineum. Potongan koin /logam ditempatkan diatas anus dan bayi terbalik

(minimal 3 menit).

Jarak antara gas bubble di rectum dengan marker radioopaq dicatat:

 Letak tinggi / intermediet : Jarak gas bubble (A) dengan marker (B) >2 cm

/ malformasi setinggi urethra (pria) /setinggi vestibuler (wanita) pada

malformasi intermediet sedangkan apabila malformasi setinggi prostat

(pria) atau vagina (wanita) maka dikatakan lesi letak tinggi

 Letak rendah : Jarak gas bubble (A) dengan marker (B) <2 cm /

malformasi berada di anus


21

Gambar. 6. Invertogram menunjukkan malformasi letak tinggi (dikutip dari

kepustakaan 12)
22

Gambar 7. Invertogram menunjukkan malformasi letak rendah (dikutip dari

kepustakaan 12)

2. USG
23

Pemeriksaan ultrasonografi telah digunakan untuk mengetahui jarak pouch

perineum. Ini dapat dilakukan dengan rute transperineal atau infracoccygeal. Rute

infracoccygeal dapat secara langsung menunjukkan puborektalis sebagai pita

berbentuk U hypoechoic. Sifat non-invasif dan tidak adanya paparan radiasi

adalah keuntungan utama dari pemeriksaan ini, tetapi sangat tergantung pada

pengamat.(11)

Gambar 8. Radiologi usg pada pasien malformasi anorectal (dikutip dari

kepustakaan 13 )

Gambar USG pada usia kehamilan 36 minggu menunjukkan bagian bawah

perut janin. Di belakang kandung kemih (diameter 25 mm) terlihat struktur kistik

ekogenik (diameter 14,7 mm) (panah), mewakili rektum yang melebar. B,

kandung kemih; R, rektum.(13)

3. Ct scan
24

Gambar .9 ct scan pada pasien currarino triad (dikutip dari kepustakaan 14 )

CT scan panggul menunjukkan massa lemak di daerah presacral yang

menggeser rektum secara anterolateral ke kiri. (14)

4. MRI

Gambar 10. mri pada pasien malformation anorectal (dikutip dari kepustakaan )
25

Tingkat rectal pouch, diidentifikasi oleh hiperintens mukosa lying above,

di bawah dasar panggul (panah) pada T2 weighted gambar sagital. (A) Tipe

tinggi. (B) Tipe intermediet. (C)Tipe rendah. (15)

C. Pemeriksaan laboratorium dan patologi anatomi

Hitung sel darah lengkap (cbc), golongan darah, dan skrining dan kadar

elektrolit harus diukur pada semua anak yang memerlukan operasi.(16)

Urinalisis harus dilakukan untuk menentukan adanya fistula rektourinaria

pada semua kasus dimana diagnosis tidak dapat dibuat hanya berdasarkan temuan

pemeriksaan fisik. Anak memiliki fistula perineum, fistula vestibular, atau satu

lubang perineum, urinalisis tidak diperlukan, urinalis diperlukan pada semua anak

lain yang terkena(16)


26

BAB VI

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

A. Penyakit hirschprung

Definisi

Penyakit Hirschsprung (megakolon kongenital) adalah suatu kelainan

bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari sfingter anal internal ke arah

proksimal dengan panjang segmen tertentu, selalu termasuk anus, dan setidak-

tidaknya sebagian rektum.(17)

Epidemiologi

insidens diperkirakan 1 per 5000 kelahiran hidup dengan perbandingan

antara laki-laki perempuan sebesar 4:1. Panjangnya segmen aganglionik

bervariasi, sekitar 75-80%, biasanya terjadi pada kolon rektosigmoid distal dan

5% terjadi pada usus halus. Kolon aganglionik total jarang ditemukan. namun

dapat terjadi. Terdapat kecenderungan familial pada penyakit ini. Sekitar 80%

kasus terdiagnosis pada periode neonatus sedangkan 20% terdiagnosis setelahnya.


(17)

Etiologi dan patogenesis

Penyebab dari penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan,

terjadi defek migrasi sel-sel krista neural yang merupakan prekursor sel ganglion

intestinal. Normalnya, sel-sel tersebut bermigrasi sefalokaudal. Proses tersebut

selesai pada minggu ke-12 kehamilan. Namun, migrasi dari kolon tranversal
27

bagian tengah ke anus memerlukan waktu selama 4 minggu. Pada periode inilah

paling rentan terjadi defek migrasi sel krista neural. Hingga saat ini penyakit

Hirschsprung diasosiasikan dengan mutasi tiga gen spesifik: proto-onkogen RET,

gen EDNRB (endothelin B receptor), dan gen EDN3 (endothelin 3). (17)

Manifestasi klinis

Pasien dengan kemungkinan penyak.it Hirschsprung dapat menunjukkan

tanda dan gejala berikut ini:

1. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan

(keterlambatan evakuasi mekonium);

2. Tanda obstruksi intestinal nonspesifik: distensi abdomen, muntah hijau,

dan intoleransi dalam pemberian makan. Hal ini terjadi karena tidak

adanya peristalsis yang bersifat propulsif pada segmen aganglionik;

3. Enterokolitis yang ditandai dengan demam, distensi abdomen, tinja

menyemprot bila dilakukan pemeriksaan colok dubur. tinja berbau busuk

serta berdarah. Enterokolitis diperkirakan terjadi karena stasis obstruktif

dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan (misalnya C. difficile dan

rotavirus);

4. Apabila sudah terjadi komplikasi berupa peritonitis ditemukan edema,

bercak kemerahan di sekitar umbilikus, punggung, serta pada daerah

genitalia;

5. Pada anak yang lebih dewasa: konstipasi berulang, gaga! tumbuh, serta

tampak letargis. (17)


28

Diagnosis

Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis. serta

penunjang. Anamnesis dan pemeriksaan fisis mencakup tanda dan gejala yang

telah diuraikan sebelumnya. Selain itu perlu dilakukan anamnesis mengenai

riwayat kehamilan dan kelahiran. (17)

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan kecurigaan

penyakit Hirschsprung adalah:

 Pemeriksaan definitif: biopsi rektal. Biopsi rektal dapat dilakukan secara

bedside pada pasien neonatus. sedangkan pada anak yang lebih besar

diperlukan sedasi intravena. Pengambilan sampel meliputi lapisan mukosa

serta submukosa. 1 cm, 2 cm. dan 3 cm dari linea dentata. Sediaan

histopatologi penyakit Hirschsprung menunjukkan tidak adanya sel

ganglion pada pleksus myenterikus, adanya hipertrofi bundel saraf. serta

pewarnaan yang menyangat dengan asetilkolin;

 Roentgen abdomen. Pemeriksaan ini bersifat nonspesifik. Hasil foto

menunjukkan usus-usus yang terdistensi dan terisi oleh udara. Biasanya

sulit membedakan usus halus dan usus besar saat usia neonatus;

 Pemeriksaan barium enema. Dilakukan untuk menunjukkan lokasi zona

transisi antara segmen kolon dengan ganglion yang mengalami dilatasi


29

dengan segmen aganglionik yang mengalami konstriksi. Terdapat tanda

klasik radiografis penyakit Hirschsprung. yakni:

1. Segmen sempit dari sfingter anal,

2. Zona transisi (daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen

dilatasi).

3. Segmen dilatasi.

Pemeriksaan barium enema sangat berguna untuk menyingkirkan

diagnosis banding seperti atresia kolon, sindrom sumbatan mekonium,

atau small left colon syndrome.

Tata Laksana

Semua pasien dengan penyakit Hirschsprung dirujuk ke dokter spesialis

bedah anak untuk mendapatkan tata laksana definitif. Namun, tata laksana awal

dapat diberikan pada pasien dengan distensi abdomen (biasanya pada kasus

aganglionik total):

1. Dekompresi saluran cerna dengan selang nasogastrik (NGT). Cairan

dihisap setiap 15-20 menit karena cairan jejunum akan mulai mengisi

lambung dalam rentang waktu ini. Dekompresi rektal juga dapat dilakukan

dengan menggunakan rectal tube. Apabila dekompresi tidak berhasil,

kolostomi menjadi pilihan terapi bedah sementara.

2. Rehidrasi (diberikan kebutuhan rumatan dan rehidrasi). Hindari pemberian

cairan dengan kecepatan tinggi untuk menghindari terjadinya edema paru.


30

3. Pemasangan kateter urine untuk memantau urine output. Normalnya 1,5

cc/KgBB/jam.

4. Pemberian antibiotik apabila terjadi enterokolitis.

Tata laksana operatif dilakukan dalam beberapa tahap:

1. Kolostomi, dilakukan pada periode neonatus. pasien anak dan dewasa

yang terlambat terdiagnosis, dan pasien enterokolitis berat dengan keadaan

umum yang buruk. Apabila pasien tidak termasuk kedalam tiga kelompok

ini, tindakan bedah definitif dapat dilaksanakan.

2. Pull-through operation. Prinsip operasi ini adalah membuang segmen

aganglionik dan membuat anastomosis segmen ganglion dengan anus. Ada

tiga buah teknik yang sering digunakan oleh dokter bedah anak, yakni

prosedur Swenson, Duhamel, dan Soave. Teknik Duhamel dan Soave

memberikan hasil yang lebih baik dan dapat digunakan pada kasus

aganglionik total. Teknik lain yang sering digunakan dengan transanal pull

through. Pada kasus aganglionik total, ileum digunakan sebagai

anastomosis. (17)

B. Atresia duodenum

Definisi

Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang

baik. Pada kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit

sehingga menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk


31

mengalami proses absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka

kondisi ini disebut dengan doudenal stenosis(18)

Etiologi

Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini

belum diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan

malformasi pada neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa

anomali ini disebabkan karena gangguan yang dialami pada awal kehamilan.5,6,7

Pada beberapa penelitian, anomali ini diduga karena karena gangguan pembuluh

darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena volvulus, malrotasi,

gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia duodenum, juga

diduga disebabkan karena kegagalan proses rekanalisasi. Faktor risiko maternal

sampai saat ini tidak ditemukan sebagai penyebab signifikan terjadinya anomali

ini.

Pada sepertiga pasien dengan atresia duodenal menderita pula trisomi

21 (sindrom down), akan tetapi ini bukanlah faktor risiko yang signifikan

menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Beberapa penelitian menyebutkan

bahwa 12-13% kasus atresis duodenal disebabkan karena polihidramnion

Disamping itu, beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular pankreas

berhubungan dengan terjadinya atresia duodenal. (18)

Perkembangan embriologi duodenum

Deodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian sefalik dari

usus tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di sebelah distal
32

pangkal tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum mengambil bentuk

melengkung seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini bersama-sama

dengan tumbuhnya kaput pankreas, menyebabkan duodenum membelok dari

posisi tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga abdomen. Deodenum dan

kaput pankreas ditekan ke dinding dorsal badan, dan permukaan kanan

mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritonium yang ada didekatnya. Kedua

lapisan tersebut selanjutnya menghilang dan duodenum serta kaput pankreas

menjadi terfikasasi di posisi retroperitonial. Mesoduodenum dorsal menghilang

sama sekali kecuali di daerah pilorus lambung, dengan sebagian kecil duodenum (

tutup duodenum) yang tetap intraperitonial.

Selama bulan ke dua, lumen duodenum tersumbat oleh ploriferasi sel di

dindingnya. Akan tetapi, lumen ini akan mengalami rekanalisasi sesudah bulan

kedua. Usus depan akan disuplai oleh pembuluh darah yang berasal dari arteri

sefalika dan usus tengah oleh arteri mesenterika superior, sehingga duodenum

akan disuplai oleh kedua pembuluh darah tersebut. (18)

Patogenesis

Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya

atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali

ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian

akhir
33

foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat

oleh proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke

8- 10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum.

Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang

tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan

kegagalan rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak penelitian

yang menunjukkan bahwa epitel duodenum berploriferasi dalam usia kehamilan

30-60 hari ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan

menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi proses

vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis yang timbul

pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel

epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini

mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini

mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan.

Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor

ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur

tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular.

Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling

duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan

gangguan perkembangan duodenum(18)

Klasifikasi
34

Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia tipe I

terjadi pada lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan

lumen diafragma meliputi mukosa dan submukosa. Terdapar windsock deformity,

dimana bagian duodenum yang terdilatasi terdapat pada bagian distal dari

duodenum yang obstruksi. Pada tipe I ini, tidak ada fibrous cord dan duodenum

masih kontinu. Atresia tipe II, dikarakteristikan dengan dilatasi proksimal dan

kolaps pada segmen area distal yand terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe III

memiliki gap pemisah yang nyata antara duodenal segmen distal dan segmen

proksimal. (18)

Manifestasi klinis

Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala

akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul

gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang

terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan

atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien..

Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu

(biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosa

apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri.

Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus

mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika

atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang

tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang mengental.
35

Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampak

adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran

ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan

pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami

obstruksi usus.

Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk

menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki

mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan

berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa

kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal. Pengeluaran

mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi, pada

beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani

dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan,

gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi

alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik

akan mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.

Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik

dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik

berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya

gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi

ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º

F, maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis.


36

Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi

ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat.

Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat

tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak

nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang

dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentari

menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari ke

tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus

sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia

duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid.

Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati

epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran

kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka

gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun saat

postnatal.

Prenatal

Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan menggunakan prenatal

ultrasonografi. Sonografi dapat meng-evaluasi adanya polihidramnion dengan

melihat adanya struktur yang terisi dua cairan dengan gambaran double bubble

pada 44% kasus. Sebagian besar kasus atresia duodenum dideteksi antara bulan ke
37

7 dan 8 kehamilan, akan tetapi pada beberapa penelitian bisa terdeteksi pada

minggu ke 20. (18)

Postnatal

Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan

kecurigaan atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

radiografi. Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksaan serum,

darah lengkap, serta fungsi ginjal pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin

progresive sehingga pasien akan mengalami gangguan elektrolit. Biasanya mutah

yang lama akan menyebabkan terjadinya metabolik alkalosis dengan hipokalemia

atau hipokloremia dengan paradoksikal aciduria. Oleh karena itu, gangguan

elektrolit harus lebih dulu dikoreksi sebelum melakukan operasi. Disamping itu,

dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui apakah pasien

mengalami demam karena peritonitis dan kondisi pasien secara umum.

Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain abdominal

x-ray. X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign tanpa gas pada distal

dari usus. Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak gambaran gambaran lambung

yang terisi cairan dan udara dan terdapat dilatasi dari duodenum proksimal pada

garis tengah agak kekanan. Apabila pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut

tidak mengekslusi atresia duodenum. Pada neonatus yang mengalami dekompresi

misalnya karena muntah, maka udara akan berangsur-angsur masuk ke dalam

lambung dan juga akan menyebabkan gambaran double-bubble.

Tata laksana
38

Tata laksana yang dilakukan meliputi tata laksana preoperatif, intraoperatif

serta postoperatif. (18)

Tata Laksana Preoperatif

Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan

dengan melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas

elektrolit serta melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan

orogastrik tube dan menjaga hidrasi IV. Managemen preoperatif ini dilakukan

mulai dari pasien lahir. Sebagian besar pasien dengan duodenal atresia merupakan

pasien premature dan kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga

panas tubuh bayi dan mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus

berat badan lahir yang sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi.

Sebaiknya pesien dirawat dalam inkubator. (18)

Tata Laksana Intraoperatif

Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang dipilih

untuk mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis maupun atresia.

Kemudian, berdasarkan perkembangannya, ditemukan berbagai teknik yang

bervariasi, meliputi side-to-side duodenoduodenostomi, diamnond shape

duodenoduodenostomi, partial web resection with heineke mikulick type

duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty. Side-to-side duodenoplasty yang

panjang, walaupun dianggap efektif, akan tetapi pada beberapa penelitian teknik

ini memyebabkan terjadinya disfungsi anatomi dan obstruksi yang lama. Pada

pasien dengan duodenoduodenostomi sering mengalami blind-loop syndrome.


39

Saat ini, prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi maupun open

duodenoduodenostomi. Teknik untuk anastomosisnya dilakukan pada bagian

proksimal secara melintang ke bagian distal secara longitudinal atau diamond

shape.

Dilakukan anastomosis diamond-shape pada bagian proksimal secara

tranversal dan distal secara longitudinal. Melalui teknik ini akan didapatkan

diamater anatomosis yang lebih besar, dimana kondisi ini lebih baik untuk

mengosongkan duodenum bagian atas. Pada beberapa kasus,

duodenoduodenostomi dapat sebagai alternatif dan menyebabkan proses

perbaikan yang lebih mudah dengan pembedahan minimal.

Untuk open duodenoduodenostomi, dapat dilakukan insisi secara

tranversal pada kuadran kanan atas pada suprambilikal. Untuk membuka abdomen

maka diperlukan insisi pada kulit secara tranversal, dimulai kurang lebih 2 cm

diatas umbilikus dari garis tengah dan meluas kurang lebih 5 cm ke kuadran

kanan atas. Setelah kita menggeser kolon ascending dan tranversum ke kiri,

kemudian kita akan melihat duodenal yang mengalami obstruksi. Disamping

mengevaluasi duodenal stresia, dapat dievaluasi adanya malrotasi karena 30%

obstruksi duodenal kongenital dihubungkan dengan adanya malrotasi. Kemudian

dilakukan duodenotomi secara tranversal pada dinding anterior bagian distal dari

duodenum proksimal yang terdilatasi serta duodenostomi yang sama panjangnya

dibuat secara vertikal pada batas antimesenterik pada duodenum distal. Kemudian

akan dilakukan anstomosis dengan menyatukan akhir dari tiap insisi dengan

bagian insisi yang lain.


40

Disamping melakukan open duodenoduodenostomi, pada negara maju

dapat dilakukan teknik operasi menggunakan laparoscopic. Teknik dimulai

dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi, kemudian akan diinsersikan

dua instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada mid-epigastik kanan.

Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio yang mengalami obstruksi.

Kemudian dilakukan diamond shape anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan

laparoscopik anatomosis dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi teknik ini

memerlukan banyak jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan, kondisi ini dapat

diselesaikan dengan menggunakan nitinol U-clips untuk membuat

duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan bayi akan lebih untuk dapat

segera menyusui dibandingkan open duodenoduodenostomi secara konvensional.

Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular pankreas, maka

dilakukan duodenoduodenostomi antara segmen duodenum diatas dan dibawah

area cincin pankreas. Operator tidak boleh melakukan pembedahan pada pankreas

karena akan menyebabkan pankreatik fistula, kondisi demikian menyebabkan

stenosis atau atresia duodenum akan menetap. (18)

Tata Laksana Postoperatif

Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan. Pasien

menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat mulai

menyusui setelah 48 jam pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi jangka panjang,

maka dapat dipasang kateter intravena baik sentral maupun perifer apabila

transanastomotic enteral tidak adekuat untuk memberi suplai nutrisi serta tidak
41

ditoleransi oleh pasien. Semua pasien memiliki periode aspirasi asam lambung

yang berwarna empedu. Kondisi ini terjadi karena peristaltik yang tidak efektif

atau distensi pada duodenum bagian atas. Permulaan awal memberi makanan oral

tergantung pada penurunan volume gastrik yang diaspirasi.

Prognosis

Angka harapan hidup untuk bayi dengan duodenal atresia yakni 90-95%.

Mortalitas yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas

kongenital yang multiple. Komplikasi post operatif dilaporkan pada 14-18%

pasien, dan beberapa pasien memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi yang

sering terjadi dan menyebabkan pasien perlu dioperasi kembali, yakni kebocoran

anstomosis, obstruksi fungsional duodenal, serta adanya adhesi. (18)


42

BAB VII

KOMPLIKASI

Ada beberapa komplikasi yang terkait dengan operasi perbaikan ARM.

Infeksi luka, dehiscence, dan striktur adalah masalah awal pascaoperasi. Banyak

komplikasi yang berhubungan dengan ketegangan yang berlebihan atau suplai

darah yang tidak memadai dari struktur yang dimobilisasi. Mislokasi anoplasti di

luar kompleks sfingter dan cedera pada struktur yang berdekatan seperti vas

deferens, vesikula seminalis, ureter ekoptik, atau uretra. Konstipasi adalah

gangguan fungsional yang paling umum diamati pada pasien yang menjalani

PSARP Pasien dengan prognosis buruk, seperti mereka dengan fistula leher

kandung kemih, memiliki insiden rendah. konstipasi dan tingkat inkontinensia

yang tinggi. Pasien-pasien ini memerlukan pengobatan konstipasi yang proaktif

dan agresif setelah penutupan kolostomi untuk menghindari masalah di masa

depan. Prolaps rektum kadang-kadang terjadi, lebih sering terjadi pada

malformasi tinggi dengan sfingter yang buruk, dan diperparah oleh konstipasi
43

pasca operasi. Akhirnya, kelumpuhan saraf femoralis sementara dapat terjadi

sebagai akibat dari tekanan berlebihan pada pangkal paha saat dalam posisi

tengkurap. (2)

BAB VIII

PENGOBATAN

Tindakan kolostomi merupakan prosedur yang ideal untuk

penatalaksanaan awal malformasi anorektal. Tindakan kolostomi merupakan

upaya dekompresi, diversi dan sebagai proteksi terhadap kemungkinan terjadinya

obstruksi usus. Pena menganjurkan dilakukan kolostomi kolon desenden. (3)

Postero sagittal anorectoplasty merupakan operasi pembuatan anus yang

memberikan beberapa keuntungan dalam operasi fistula rektourinaria maupun

rektovaginal dengan cara membelah otot dasar pelvis, sling dan sfingter. PSARP

dibagi menjadi tiga yaitu: minimal, limited dan full PSARP(3)

A. penatalaksanaan pada wanita


44

Gambar 11. Penatalaksanaan pada wanita malformasi anorectal (dikutip dari

kepustakaan 3 )

B. penatalaksanaan pada pria


45

Gambar 12. Penatalaksanaan pada wanita malformasi anorectal (dikutip dari

kepustakaan 3 )

DAFTAR PUSTAKA

1. Indra B, Dastamuar S, Hidayat R. Hubungan tipe malformasi anorektal,

kelainan kongenital penyerta, sepsis, dan prematuritas dengan mortalitas

pasien malformasi anorektal. Majalah Kedokteran Sriwijaya 2018;50(1):P

13-19.

2. Richard J, Wood, MD, Levitt MA. Anorectal malformations. Clinics

Colon Rectal Surgery. 2018;31:P 61-70.

3. Lokananta I, Rochadi. Malformasi anorectal. Sub Division Of Pediatric

Surgery, Sardjito Hospital. 2016;P 1-7

4. Yusriadi T. Pintar bedah anak. 2016.P 141-142.

5. kliegman RM, Stanton, Geme ST, et al. Nelson textbook of pediatrics

ed.20. Elsevier. 2016,P 1894-896.

6. Netter FH et al. Atlas of human anatomy. ed 6. Elsevier. 2014. p 371.


46

7. Anonim, Panduan nasional penanggulangan kanker rectum. Kementerian

kesehatan republik Indonesia. ed 1. 2015. p 1.

8. Danielson J, Anorectal malformations. Uppsala Universitiet. 2015. p 12-

13.

9. meenakshi s, mehra k. Imperforate Anus. Statpearls Publ LLC [internet].

2021. Available from : https://emedicine.medscape.com/article/929904-

workup#c4

10. Coppola CP, Kennedy AP, Scorpio RJ. Pediatric surgery diagnosis and

treatment. Springer. 2014. P 171-73

11. Gangopadhyay AN, Pandey V. Anorectal malformations. Journal of

Indian Association of Pediatric Surgeons. 2015. P 1-7

12. Choudhury SR. Pediatric surgery a quick guide to decision maker.

Springer. 2018. P. 222-223

13. Taipale P, Rovamo L, Hiilesma v. First trimester diagnosis of imperforate

anus. ultrasoun obstet gynecol. 2005. p 187 – 188

14. Vinod LCM, Shaw CSC, Devgan CA. Et al. The Currarino triad. Medical

journal Armed Force India. 2017. P.1-3

15. Madhusmita, Ghasi RG, Mittal MK, et al. anorectal malformations: role

of mri in preoperative evaluation. Journal of Radiology and Imaging.

2018. P 187-93

16. Rosen NG. Pediatric imperforate anus (anorectal malformation) workup.

Medscape [internet]. 2019. Available from :

https://emedicine.medscape.com/article/929904-workup#c4
47

17. Tanto, Chris dkk. 2016. Kapita selekta iedokteran essentials of medicine.

Jakarta: Media Aesculapius.

18. Widiastuti, i dewa ayu, dkk. 2013. Diagnosis dan tatalaksana atresia

duodenum. E jurnal Medika Udayana. 2(5):798-814.

Anda mungkin juga menyukai