Anda di halaman 1dari 28

REFARAT

“LICHEN SCLEROSUS”

Diajukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya di bagian SMF Kulit

& Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Abepura Periode 15 Maret– 22 Mei 2021

Oleh:
Diky A Maulana
2019086016526

Pembimbing:

dr. Inneke Viviane Sumolang, Sp.KK

SMF KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABEPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima oleh Pembimbing “REFARAT” Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih Jayapura, dengan judul “LICHEN SCLEROSUS”

sebagai salah satu syarat mengikuti ujian akhir Kepaniteraan Klinik Madya pada

SMF Kulit & Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Abepura

Yang di laksanakan pada:

Hari :

Tanggal :

Tempat :

Menyetujui Dosen

Penguji / Pembimbing:

dr. Inneke Viviane Sumolang, Sp.KK

(……………………………………………)

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan refarat dengan

judul “Lichen Sclerosus”.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah

memberikan masukan dan bantuan dalam penyusunan laporan kasus ini.

Terutama kepada dokter yang telah membimbing penulis dalam

penyusunan referat ini.

Penulis sangat menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata

sempurna dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran

yang membangun senantiasa diharapkan. Akhirnya, semoga referat ini

bermanfaat bagi pembaca.

Jayapura, 22 Juni 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

DAFTAR TABEL...................................................................................................v

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................vi

DAFTAR SINGKATAN......................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1. Latar Belakang......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................4

2.1. Definisi..................................................................................................4

2.2. Sinonim.................................................................................................4

2.3 Epidemiologi.........................................................................................5

2.4 Etiologi..................................................................................................6

2.5 Klasifikasi............................................................................................13

2.6 Patogenesa...........................................................................................14

2.7 Gejala Klinis Sifilis Sekunder.............................................................18

2.8 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................21

2.9 Diagnosis Banding Sifilis Sekunder....................................................25

2.10 Diagnosis.............................................................................................26

2.11 Tatalaksana..........................................................................................27

2.12 Tindak Lanjut dan Respon Pengobatan...............................................28


2.13 Komplikasi..........................................................................................28

2.14 Pencegahan..........................................................................................31

2.15 Prognosis.............................................................................................32

BAB III KESIMPULAN......................................................................................49

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................50

LAMPIRAN..............................................................................................................
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Morfologi dan Selubung Arsitektur T. Pallidum.............................8

Gambar 2.2 Perjalanan Penyakit Sifilis Yang Tidak Diobati..............................14

Gambar 2.3 Patogenesis Sifilis Didapat..............................................................15

Gambar 2.4 Keratitis Intersisial...........................................................................17

Gambar 2.5 Gigi Huthinson................................................................................18

Gambar 2.6 Sefilis Sekunder Pada Regio Penis, Palmar Manus, Plantar Pedis..19
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lichen sclerosis (LS) merupakan penyakit inflamasi kronik. Pertama kali

digambarkan oleh Hallopeaus di tahun 1881. Sejak saat itu digunakan

beragam nama untuk menggambarkan kondisi ini seperti leukoplakia, vulva

kraurosis, obliterasi balanitis serotika dan lichen sclerosis et atropicus. Di

tahun 1976, International Society fot the Study of Vulvovaginal Disease

menggunakan istilah liken sklerosis/ LS. LS merupakan penyakit

mukokutaneus yang autoimun dengan ciri khas hipopigmentasi dan atropi

kulit. Melibatkan kulit kelamin, sering jarang diluar organ kelamin. LS

menunjukkan penyebaran kejadian, dengan puncak pertama terjadi sebelum

pubertas pada remaja, pra-remaja dan puncak kedua timbul pada masa

dewasa pertengahan hingga akhir, khususnya setelah menopause untuk

wanita dan antara usia 30-50 tahun pada pria (Nilanchali & Prafull, 2020).

Terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan pria. Baru-baru ini,

sebuah laporan tentang prevalensi LS di Botswana mencapai 0,2%,

termasuk dalam kisaran ini. Sebaliknya, forum dermatologi Eropa

mengklasifikasikan LS sebagai penyakit umum dan prevalensi LS diamati

menjadi 1,67% di klinik ginekologi di Amerika Serikat. Data ekstrapolasi

dari klinik di Oxford memperkirakan 150 hingga 200 wanita per satu juta

penduduk mencari perawatan medis untuk LS setiap tahun dan laporan yang
lebih baru menunjukkan insiden LS meningkat, dari 7,4 menjadi 14,6 wanita

per 100.000 antara tahun 1991 dan 2011 di Belanda. Diambil bersama-sama

dari literatur, LS dilaporkan lebih umum pada wanita (3%) daripada pria(>

0,07%) dan umumnya mempengaruhi lebih banyak wanita dewasa (1,5%)

dari pada anak-anak (0,3%) (Davis et all, 2019).

Prevalensi LS mungkin diremehkan karena sepertiga kasus tidak

menunjukkan gejala. Presentasinya adalah bimodal, yaitu, satu pada anak

perempuan prapubertas (usia rata-rata: 7,6 tahun) dan yang lainnya pada

wanita peri dan pascamenopause (usia rata-rata: 52,6 tahun). LS dikenal

sebagai kondisi yang jarang terjadi oleh pusat informasi penyakit genetik

dan langkah (GARD). Dapat mengakibatkan fimosis atau perlukaan di

introitus vagina. Diagnosa didasarkan pada ciri klinis, namun lebih sering

terkonfirmasi dengan biposi. Lesi ini dapat melibatkan destruksi struktur

anatomi, gangguan fungsional dan risiko potensial malignansi. Erosi yang

menetap, ulser dan eritemateous yang menunjukkan keganasan dari hasil

pemeriksaan sampel dan harus segera disingkirkan diagnosa pembanding

seperti neoplasia intraepitel atau invasif sel karsinoma skuamosa.

Pemahaman terhadap LS akan membantu penerapan panduan rekomendasi

tatalaksana liken sklerosis dan dapat membantu tenaga medis mengenal

lebih jauh jenis penyakit ini. Dengan pengetahuan yang memadai akan

berguna dalam memberikan edukasi terkadi phobia steroid yang merupakan

pengobatan utama liken sklerosis.

Pentingnnya pembahasan mengenai LS bukan hanya agar cepat untuk

lakukan penetapan diagnosa, namun dengan membantu pasien untuk


terkontrol dan pasien memiliki protokol yang berkesinambungan untuk tiga

bulan penggunaan obat imunosupresi, mengontrol perkembangan penyakit,

mencegah perlukaan dan keganasan tetapi juga menjaga perkemihan yang

adekuat serta fungsi seksual yang stabil sebagaimana penyakit ini dapat

sangat berdampak terhadap kehidupan penderita. Bukan hanya pengobatan

secara medikamentosa namun ada juga faktor psikososial yang harus di

perhatiakan di klinik konsultasi. Masih kurang mengenai kualitas bukti yang

mampu menjelaskan tentang LS, sehingga penting bagi penulis membahas

lebih jauh mengenai LS demi terjawabnya pertanyaan mengenai

manifestasi dan kondisi yang beragama baik yang mengancam kehidupan

dan keberlangsungan pasien perempuan dan pasien laki-laki (Akel & Fuller,

2018).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Lichen sclerosus (LS) dideskripsikan untuk pertama kalinya dalam 1887.

Sejak itu, banyak sinonim telah digunakan, terutama “Kraurosis vulvae”,

“distrofi vulva”, “penyakit bercak putih” dan “lichen sclerosus et

atrophicus” atau “scleroderma guttate”. Semua istilah ini telah ditinggalkan

dan digantikan oleh “lichen sclerosus”, yaitu sekarang digunakan untuk lesi

genital dan ekstragenital (Gambar 2.1). LS adalah penyakit kronis yang

kambuh dengan potensi atrofi, jaringan parut yang merusak, gangguan

fungsional, dan keganasan evolusi. Oleh karena itu, diagnosis dini,

pengobatan segera, dan tindak lanjut jangka panjang dari pasien yang

terkena adalah wajib. Remisi spontan jarang terjadi. LS tidak bisa sembuh,

tetapi dapat dikendalikan dengan pengobatan yang memadai. Dengan

pengobatan dini, gejala sisa jangka panjang seperti penghancuran struktur

anatomi dan perkembangan menjadi sel skuamosa karsinoma (SCC) dapat

dicegah. Untuk yang terkena dampak pasien sangat penting bahwa dokter

kulit, ginekolog, ahli urologi, histopatologi, ahli bedah, dokter umum, dan

dokter anak, masing-masing, memiliki pengetahuan yang kuat penyakit dan

tidak akan ragu untuk bekerja sama jika diperlukan. Karena LS dimulai

dengan gejala yang tidak biasa, pemeriksaan klinis yang teliti,


meningkatkan kecurigaan klinis dan, jika perlu, pemeriksaan histopatologis

konfirmasi diperlukan (Fistarol & Itin, 2013: 27).

Gambar 2.1. Lichen sclerosus ekstragenital dengan papula keputihan dan


plak pada kulit di atas tulang belakang toraks dan lumbar.
(Katz, 2012: 704)

2.2 Epidemiologi

LS adalah penyakit kulit inflamasi kronis dengan predileksi untuk daerah

anogenital. Hanya 6% dari LS yang lesi ekstragenital terisolasi. Oral LS

sudah jarang dijelaskan. Prevalensi yang tepat dari LS sulit untuk dipastikan

dan mungkin diremehkan, karena pasien dengan LS dapat hadir untuk

berbagai spesialisasi klinis, dokter tidak selalu mengenali LS, dan pasien

mungkin tidak melaporkan gejala karena malu atau karena mereka tanpa

gejala. Namun, pada tahun 1971, Wallace menghitung prevalensi 0,1- 0,3%

dari semua pasien yang dirujuk ke departemen dermatologi berbasis

komunitas. Keduanya perempuan dan pasien laki-laki terpengaruh dan itu

terjadi pada anak-anak, dan pada orang dewasa. Penyakit ini dapat terjadi

pada usia kapan saja untuk pertama kalinya (Fistarol & Itin, 2013: 28).
Ada onset bimodal yang khas pada anak-anak prapubertas dan pada

wanita pascamenopause, masing-masing, dan dalam laki-laki dalam dekade

keempat mereka. Pasien wanita yang terkena jelas melebihi jumlah pasien

laki-laki. Goldstein dkk. menemukan prevalensi LS vulva di praktek

ginekologi umum sebesar 1,7%. Powell dan Wojnarowska menemukan

prevalensi LS di pramenarchal perempuan 0,1%. Kizer dkk, mempelajari

populasi dari 153.432 pasien pria dan menemukan bahwa 0,07% memiliki

diagnosis dari LS. Nelson dan Peterson baru- baru ini menghitung dalam

populasi 42.648.923 pasien laki laki prevalensi hanya 0,0014% (Fistarol &

Itin, 2013: 28).

Di Jerman, pasien dengan keluhan anogenital, tidak begitu diketahui

dengan pasti apakah terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter keluarga

atau langsung ke dokter spesialis, misalnya dokter kandungan, ahli urologi

atau dokter kulit. Data AOK (Allgemeine Ortskrankenkassen) dari daerah

Baden– Württemberg menjelaskan bahwa di tahun 2014 ginekolog

melaporkan 69% kasus LS yang terdiagnosis (ICD- 10 code L90.0), dokter

kulit 14%, dokter umum 12%, dan ahli urologi 5% (Kirtschig, 2016: 337).

Lichen sclerosus terjadi pada semua usia dan pada kedua jenis kelamin.

Rasio pria- wanita bervariasi antara 1:3 dan 1:10. Jarang sekali terjadi

distribusi yang merata. Lichen sclerosus sebagian besar didiagnosis pada

wanita tua (pascamenopause). Keterlambatan dalam diagnosis dilaporkan

sekitar 5 tahun. Prevalensi yang tepat tidak diketahui. Namun diperkirakan

0,1% untuk anak-anak dan 3% untuk perempuan tua berusia lebih 80 tahun),

88% dari perempuan ini adalah tidak bergerak aktif dan 86% mengompol.
Menurut basis data WIDO (Wissenschaftliches Institut der AOK) di Baden–

Württemberg, sekitar 0,15% dari policyholders didiagnosis dengan LS pada

tahun 2014 dan oleh perbandingan, 1,9% adalah didiagnosis dengan

psoriasis (prevalensi menurut untuk literatur sekitar 2,5%). AOK- BW

melaporkan prevalensi dari LS adalah 0,29% pada perempuan lebih 80

tahun (Kirtschig, 2016: 337).

2.3 Etiopatogenesis

Etiologi LS belum dapat dijelaskan secara memadai, tetapi ada semakin

banyak bukti bahwa mekanisme autoimun memainkan peran patogenetik.

Tampaknya ada kerentanan genetik terhadap LS. Efek iritasi kronis dari

kontak saluran kemih diduga menjadi provokatif. Tidak ada agen infeksius

yang secara konsisten dikaitkan dengan LS (Fistarol & Itin, 2013: 28).

Sementara kecenderungan genetik umumnya tidak ditemukan, studi

kohort observasional baru- baru ini melaporkan tingkat kasus LS familial

yang tinggi. Dari 1.052 wanita dengan LS, 126 (12%) memiliki riwayat

keluarga positif LS. Kanker vulva meningkat secara signifikan pada pasien

dengan riwayat keluarga LS dibandingkan dengan mereka yang tidak (4,1%

vs 1,2%). Laporan ini mengusulkan kemungkinan komponen genetik dalam

etiologi LS. Bukti dugaan penyebab infeksi, seperti batang tahan asam,

spirochetes, atau Borrelia, belum ditemukan. Bukti serologis dan klinis

penyakit tiroid, alopecia areata, anemia pernisiosa, dan vitiligo

menunjukkan hubungan dengan LS. LS ekstragenital umumnya terlihat

berhubungan dengan morfea tipe plak, dan beberapa penulis telah

menyarankan patomekanisme umum. Baru-baru ini, autoantibodi titer


rendah terhadap protein matriks ekstraseluler-1 (ECM-1) dan kolagen XVII

telah diidentifikasi pada 67% LS. ECM-1 mungkin terlibat dalam membran

basal dan perakitan serat kolagen interstisial dan pengikatan faktor

pertumbuhan, dan juga dapat mengatur fungsi pembuluh darah. Selain itu,

antibodi terhadap protein membran basal bp180 telah terdeteksi pada lesi LS

vulva masa kanak-kanak pada 4 dari 9 anak yang dianalisis. Semua antibodi

adalah tipe IgG. Tidak ada riwayat klinis dan keluarga dari penyakit

autoimun atau autoantibodi pada anak-anak yang diteliti. Iritasi lokal juga

tampaknya berperan dalam beberapa kasus. Fungsi fibroblas yang terganggu

dengan peningkatan produksi kolagen telah ditunjukkan pada LS (Katz,

2012: 702).

Namun dalam jurnal Deutsches Ärzteblatt International yang berjudul

“Lichen Sclerosus- Presentation, Diagnosis and Management” yang ditulis

oleh Gudula Kirtschig pada tahun 2016, diketahui bahwa agaknya ada

kecenderungan genetik. Sekitar 10% penderita lichen sclerosus memiliki

kerabat dengan penyakit yang sama, berpotensi persentasenya jauh lebih

tinggi. Perubahan imunologis pada tingkat sel T dan B. Dengan demikian

fenotipe autoimun telah diamati dalam kasus vulva lichen sclerosus yang

melibatkan peningkatan kadar sitokin spesifik Th1, infiltrasi sel T padat dan

peningkatan ekspresi BIC/miR-155 serta autoantibodi terhadap protein

matriks ekstraseluler 1 dan antigen BP180. Relevansi patogenetik dari

pengamatan ini tidak jelas. Kerusakan DNA oksidatif dan mutasi TP53 (gen

penekan tumor) juga telah dijelaskan. Hal ini dapat menunjukkan latar
belakang autoimun dari lichen sclerosus dan berperan dalam sedikit

peningkatan risiko karsinoma vulva (Kirtschig, 2016: 338).

2.4 Manifestasi Klinis

Banyak yang berpikir bahwa kondisi ini terkait dengan morfea, yang

mungkin hidup berdampingan. Namun, bercaknya adalah makula putih

mengkilap yang tidak berindurasi, kadang- kadang dengan jelas menyumbat

lubang folikel. Wanita jauh lebih sering terkena dari pada pria dan,

meskipun setiap area kulit dapat terkena, lesi klasik berwarna gading sering

mengelilingi vulva dan anus (Gambar 2.2). Rasa gatal yang tak tertahankan

sering terjadi di area ini dan perkembangan karsinoma vulva adalah

risikonya. Pada pria kondisi ini dapat menyebabkan stenosis meatus uretra,

dan perlengketan antara kulup dan kelenjar penis (Gambar 2.3) (Hunter,

Savin & Dahl, 2013: 129).

Gambar 2.2 Lichen Sclerosus


(Gawkrodger, 2003: 37)
Gambar 2.3 Lichen sclerosus pada kulup, membawa risiko menyebabkan
phimosis.
(Hunter, Savin & Dahl, 2013: 186).

Papula poligonal dan plak putih porselen dengan kulit rapuh atrofi,

fisura, telangiektasis, purpura, eritema, erosi, dan berbagai derajat sklerosis

terdapat di area anogenital (Gambar 2.4 A- F); seringkali pola klasik angka-

8 dari vulva dan anus dapat diamati (lihat Gambar 2. 4 E). Lepuh (kadang-

kadang hemoragik) dapat berkembang ketika infiltrat lichenoid memisahkan

epidermis dari dermis sklerotik. Ukuran lesi LS dapat bervariasi dari

beberapa milimeter hingga sebagian besar batang tubuh. LS anogenital

sering menyebabkan gatal dan nyeri yang tak tertahankan, dispareunia,

disuria, ketidaknyamanan saat buang air besar, atau perdarahan genital dan,

seiring waktu, dapat menyebabkan jaringan parut yang merusak (Gambar

2.4 F). Pemusnahan bertahap atau sinekia labia minora dan klitoris, serta

stenosis introitus, juga dapat terjadi. LS genital pria biasanya terbatas pada

glans penis, preputium, atau sisa-sisa kulup (Gambar 2.4 A, B, C).

Keterlibatan batang penis kurang umum, sedangkan keterlibatan skrotum

jarang terjadi. Banyak kasus LS genital pria hanya didiagnosis sebagai

phimosis. Pada kasus yang parah, ereksi bisa menjadi menyakitkan.


Manifestasi ekstragenital biasanya mempengaruhi paha, leher, badan dan

bibir; lesi biasanya asimtomatik (Gambar 2.1). Sebuah studi histopatologi

klinis baru-baru ini telah mengungkapkan 27 kasus dewasa dengan

keterlibatan bibir. Presentasi klinis terdiri dari lesi seperti vitiligo

asimtomatik pada 70% dengan derajat variabel sklerosis dermal terbatas

pada lapisan papiler. Ini berbeda dengan lesi LS genital yang menunjukkan

sklerosis dermal papiler dan retikuler pada sebagian besar kasus. Oleh

karena itu, LS seperti vitiligo perlu ditambahkan ke spektrum lesi lichenoid

oral ini (Katz, 2012: 702, 704).


Gambar 2.4 A. Sklerosis dini dan perdarahan signifikan pada kelenjar pada
lichen sclerosus awal. B. Sklerosis frenulum dan peningkatan kerentanan
dengan perdarahan saat berhubungan seksual. C. Sklerosis signifikan pada
kelenjar dan konglutinasi dengan preputium pada lichen sclerosus lanjut.
Perhatikan penyempitan lubang uretra dan perdarahan. D. Selain plak vulva
putih berbatas tegas yang klasik untuk lichen sclerosus, tekstur lilin dan
kerutan, purpura (panah kecil), dan erosi (panah besar) adalah diagnostik. E.
Vulva sklerotik dengan hilangnya labia yang lebih kecil dan penyusutan
introitus. Eritema dan erosi yang signifikan terlihat pada vulva dan anus
dalam konfigurasi gambar-8. Pasien mengeluh pruritus parah dan
dispareunia. F. Vulva sklerotik erosif pada anak perempuan berusia 8 tahun.
(Katz, 2012: 703).

Gambar 2.5 Seorang wanita 41 tahun dengan vulva lichen sclerosus


asimetris terbatas pada bagian atas labium minus kanan dan sulkus
interlabial: depigmentasi, hiperpigmentasi, dan sklerosis yang menyebabkan
retraksi terbatas pada labium minus kanan.
(Fistarol & Itin, 2013: 31)

Gambar 2.6 Seorang wanita 80 tahun dengan luas, lama, lichen sclerosus
anogenital mempengaruhi seluruh vulva, perineum, daerah perianal, lipatan
genitokrural, paha bagian dalam, dan bokong: depigmentasi,
hiperpigmentasi, eritema, sklerosis, erosi, telangiectasias , dan hilangnya
labia minora.
(Fistarol & Itin, 2013: 31)
Gambar 2.7 Seorang wanita 65 tahun dengan lichen sclerosus menunjukkan
karakteristik distribusi ‘angkadelapan': lesi primer yang khas adalah papula
poligonal putih gading, datar, memberi lichen sclerosus nama 'penyakit
bintik putih ' di masa lalu. Perhatikan keterlibatan sulkus interlabial, klitoris,
dan tudung klitoris.
(Fistarol & Itin, 2013: 32)

Gambar 2.8 Seorang wanita 17 tahun dengan lichen sclerosus


mempengaruhi terutama daerah periclitorial: tudung periclitorial disegel dan
klitoris terkubur. Fisura di bagian atas tudung periclitorial dan eritema difus
di vestibulum.
(Fistarol & Itin, 2013: 32)
Gambar 2.9 Seorang gadis 6 tahun dengan lichen sclerosus anogenital:
sklerosis ringan pada tudung klitoris dan aspek dalam labia mayora.
Perdarahan kontusiformis yang menonjol.
(Fistarol & Itin, 2013: 34)

Gambar 2.10 Seorang pria 57 tahun dengan lichen sclerosus genital:


depigmentasi, atrofi kelenjar dengan penampilan berkerut, ekimosis, dan
melanosis makula.
(Fistarol & Itin, 2013: 35)

Gambar 2.11 Laki-laki 37 tahun dengan lichen sclerosus genital: kebiruan


keabu-abuan, perubahan warna putih pada glans dan permukaan dalam
preputium, sklerosis frenulum, dan melanosis berbintik.
(Fistarol & Itin, 2013: 35)
Gambar 2.12 Seorang pria 65 tahun dengan lichen sclerosus genital:
depigmentasi, eritema makula, dan sklerosis parah yang mengarah ke
phimosis
(Fistarol & Itin, 2013: 35)

2.5 Pemeriksaan Penunjang

2.6 Diagnosis

Diagnosis biasanya dapat dibuat dari penampilan khas kondisi tersebut.

Jika ada keraguan, sampel kulit kecil dapat diambil dan diperiksa di bawah

mikroskop untuk memastikan diagnosis, terutama jika ada luka terbuka atau

area kulit yang menebal. Ini dikenal sebagai biopsi kulit dan memerlukan

suntikan anestesi lokal dan mungkin jahitan untuk menutup luka, yang

mengarah ke bekas luka kecil (BAD, 2018: 2).

Diagnosis LS biasanya klinis. Ketika gambaran klinis khas, pemeriksaan

histologis tidak selalu penting. Namun, pada tahap awal penyakit,

diagnosisnya bisa sulit. Diagnosis banding utama adalah lichen planus (LP),

lichen simpleks chronicus, vitiligo, gangguan imunobulosa seperti


pemfigoid membran mukosa dan neoplasia intraepitel vulva atau penis.

Dalam kasus klinis tidak meyakinkan, pemeriksaan histologis dianjurkan

dan mungkin menutup kesenjangan, tetapi tidak boleh ditafsirkan secara

terpisah. Sepertiga pria yang memiliki gejala dan tanda yang cukup untuk

didiagnosis secara klinis dengan LS, hanya menunjukkan histologi

nonspesifik pada biopsi atau pada kulit khatan yang disunat. Biopsi

nonspesifik tidak menyingkirkan LS, tetapi temuan histologis klasik

mengkonfirmasi diagnosis. Pasien dengan tindak lanjut rutin akan

memerlukan biopsi jika: (1) ada kecurigaan perubahan neoplastik, yaitu area

hiperkeratosis persisten, erosi persisten, atau eritema, atau lesi kutil atau

papula baru; (2) ada daerah yang resisten terhadap pengobatan yang

memadai; (3) ada LS ekstragenital, dengan ciri-ciri yang menunjukkan

tumpang tindih dengan morfea; (4) terdapat area berpigmen, untuk

menyingkirkan proliferasi melanositik yang abnormal; dan (5) terapi lini

kedua akan digunakan. Ada beberapa contoh ketika tidak mungkin untuk

membedakan antara LS dan LP baik berdasarkan gambaran klinis atau

histologis (Tabel 1, Fistarol & Itin, 2013: 31). Kasus-kasus ini digambarkan

sebagai sindrom tumpang tindih dan sering menunjukkan respons yang

buruk terhadap pengobatan (Fistarol & Itin, 2013: 30).


Tabel 1. Fitur Yang Membedakan Antara Lichen Sclerosus Dan Lichen
Planus

2.7 Tatalaksana

Telah ditemukan bahwa beberapa krim steroid dapat menghentikan

peradangan yang disebabkan oleh LS dan mencegah bekas luka memburuk.


Selain itu juga memberikan bantuan untuk mengatasi rasa gatal yang hebat.

Perawatan tidak boleh digunakan terus menerus, tetapi periode perawatan

yang disarankan dapat diulang jika perlu, dan krim dioleskan jarang tetapi

teratur jika gejalanya menetap. Yang terbaik adalah tidak mengoleskan

emolien (pelembab) bersamaan dengan krim perawatan apa pun karena

dapat mengencerkan efeknya dan menyebarkan persiapan perawatan ke area

yang tidak memerlukannya. Beri jeda setidaknya 30 menit antara pelembab

dan perawatan lainnya. Resep krim atau salep steroid yang kuat (biasanya

Dermovate/Clobestasol Propionate). Jangan khawatir ini boleh digunakan

untuk daerah anogenital. Perawatan ini sangat efektif dan sangat aman untuk

digunakan pada kulit kelamin, asalkan mengikuti panduan (NHS, 2017: 3).

Pengobatan yang dianjurkan adalah krim clobetasol propionate 0,05%

dua kali sehari selama 2-3 minggu, kemudian sekali sehari sampai gejala

hilang. Aplikasi satu sampai tiga kali seminggu dapat digunakan untuk

terapi pemeliharaan jangka panjang (Philip, 2013: 739). Lesi non-genital

tidak memerlukan pengobatan. Pada keterlibatan alat kelamin wanita, krim

steroid potensi ringan sampai sedang (dengan atau tanpa

antiseptik/antibiotik) akan mengurangi rasa gatal. Vulvektomi

dikontraindikasikan pada kasus yang tidak rumit. Perawatan serupa untuk

lesi genital pria, meskipun sunat dilakukan jika phimosis berkembang

(Gawkrodger, 2003: 37).


BAB III

KESIMPULAN

Lichen sclerosis (LS) merupakan penyakit mukokutaneus yang autoimun

dengan ciri khas hipopigmentasi dan atropi kulit. Melibatkan kulit kelamin, sering

jarang diluar organ kelamin.LS adalah penyakit kronis yang kambuh dengan

potensi atrofi, jaringan parut yang merusak, gangguan fungsional, dan keganasan

evolusi. Oleh karena itu, diagnosis dini, pengobatan segera, dan tindak lanjut

jangka panjang dari pasien yang terkena adalah wajib. Remisi spontan jarang

terjadi. LS tidak bisa sembuh, tetapi dapat dikendalikan dengan pengobatan yang

memadai. Dengan pengobatan dini, gejala sisa jangka panjang seperti

penghancuran struktur anatomi dan perkembangan menjadi sel skuamosa

karsinoma (SCC) dapat dicegah.


DAFTAR PUSTAKA

Akel, R., & Fuler, C. 2018. Update in Lichen Sclerosus: British Association of

Dermatologist Guidelines for the Management of Lichen Sclerosus. British

Journal of Dermatology Vol 178.

BAD. 2018. Lichen Sclerosus in Females. British Association of Dermatologist:

2.

Davis et all. 2019. Lichen Sclerosus: An Autoimmunopathogenis and Genomic

Enigma With Emerging Genetic adn Immune Targets. International Journal of

Biological Sciences Vol 15(7).

Fistarol, Susanna.K., & Itin, P.H. 2013. Diagnosis and Treatment of Lichen

Sclerosus An Update. Am J Clin Dermatol, Basel: 27, 28, 30, 31, 32, 34, 35.

Gawkrodger, David.J. 2003. Dermatology an Illustrated Colour Text 3rd Edition.

Churcill Livingstone, London: 37.

Hunter, John., Savin, John., & Dahl, Mark. 2013. Clinical Dermatology 3rd

Edition. Blackwell Publishing, Massachussetts: 129, 186.

Katz, Keneth.A. 2012. Syphilis. Dalam: Goldsmith, Lowell.A., et all.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th Edition. Mc Graw Hill,

New York: 702, 703, 704.


Kirtschig, Gudula. 2016. Lichen Sclerosus- Presentation, Diagnosis adn

Management. Dtsch Arzteblht Vol 113: 337, 338.

NHS. 2017. Lichen Sclerosus. North Bristol NHS Trust, Bristol: 3.

Nilanchi, Singh., & Prafull, Ghatage. 2020. Etiology, Clinical Features adn

Diagnosis ov Vulvular Lichen Sclerosus: A Scoping Review. Hindawi Obstetric

and Gynecology International Volume

Anda mungkin juga menyukai