Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang

Picture. Patient of Sindrom Steven Johnson Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006). Sindrom Stevens-Johnson Dijelaskan pertama kali pada tahun 1922, sindrom Stevens-Johnson merupakan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme. Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.(Hamzah,2002) Sindrom Stevens-Jhonson merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Jhonson saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya Sindrom Stevens-Jhonson seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada Sindrom Stevens-Jhonson adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Sindrom Stevens-Jhonson muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan lansung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tidak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika Sindrom Stevens-Jhonson akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik. Oleh beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme mayor tetapi terjadi ketidak setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis dan ahli berpendapat bahwa sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan manifestasi yang berbeda. Dengan alasan tersebut, banyak yang menyebutkan Sindrom Stevens-Jhonson/Nekrolisis Epidermal Toksik. Sindrom Stevens-Jhonsons secara khas mengenai kulit dan membran mukosa.

1.2 Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas konsep dasar dari Sindrom Stevens-Jhonson dan mengetahui Asuhan Keperawatan pada klien dengan Sindrom Stevens-Jhonson

Sindrom Steven Johnson

Page 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Definisi Sindrom Stevens-Jhonson

Picture . patient of sindrom steven johnson Syndrom Steven Johnson adalah Syndrom yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula dapat disertai purpura. ( Djuanda, 1993 : 107 ). Syndrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari eropsi kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis ( Junadi, 1982 : 480 ). Syndrom Steven Johnson adalah syndrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel / bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang oritisium dan dengan keadaan omom bervariasi dan baik sampai buruk. ( Mansjoer, A, 2000 : 136 ). Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai Sindrom Stevens-Jhonson, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM) (Adithan,2006).

Sindrom Steven Johnson

Page 2

2.2.Etiologi Sindrom Stevens-Jhonson Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, adalah : a. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ). Penggunaan obat paling sering pada anak yang berkaitan dengan timbulnya sindrom ini adalah sebagai berikut: Carbamazepine (Tegretol pengobatan anti kejang) Cotrimoxazole (Septra, Bactrim dan berbagai nama generik dari trimethoprim-sulfazoxazole). Ini adalah golongan sulfa antibiotik yang digunakan untuk mengatasi infeksi saluran kemih dan mencegah infeksi pada telinga Sulfadoxine dan pyrimethamine, digunakan sebagai pengobatan malaria dan pada anak dipakai pada pasien dengan penyakit immunodefisiensi b. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ). Penyakit infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom ini meliputi: Viral: herpes simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch fever, influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma venereum(LGV), mononucleosis infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses diidentifikasi sebagai penyebab timbulnya sindrom ini pada anak. Bakteri: termasuk kelompok A beta haemolytic streptococcus, cholera, Fracisella tularensis, Yersinia, diphtheria, proteus, pneumokokus, Vincent agina, Legionaire, Vibrio parahemolitikus brucellosis, mycobacteriae, mycoplasma pneumonia tularemia and salmonella typhoid. Jamur: termasuk coccidioidomycosis, dermatophytosis dan histoplasmosis. rotozoa: malaria and trichomoniasis. c. Neoplasma dan faktor endokrin d. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X) e. Makanan : coklat

Picture. Salisilat 2.3.Patofisiologi Sindrom Stevens-Jhonson Sindrom Stevens-Jhonson merupakan kelainan hipersensitivitas yang dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.

Sindrom Steven Johnson

Page 3

Reaksi hipersensitif tipe III Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target- organ ). Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan. Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut. b. b. Reaksi hipersensitif tipe IV Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya. Gambar bagan patofisiologi Sindrom Stevens-Jhonson (Hipersensifif tipe III) (Hipersensifif tipe IV) Alergi Obat Limfosit T tersintesisasi Pengaktifan sel T Antigen antibodi aktivitas s.komplemen Akumulasi Netrofil Penghancuran sel-sel Melepaskan Enzim Kerusakan Enzim & menyebabkan kerusakan jaringan 2.4. Manifestasi Klinis Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa: a. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. b. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh tubuh.

a.

Sindrom Steven Johnson

Page 4

c. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. d. Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun. 2.5. Komplikasi Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang didapati sejumlah 80 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan syok pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan laksimasi. 2.6. Pemeriksaan Penunjang Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membeku dalam menegakkan diagnosis. a. CBC ( complek blood count ) bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis non spesifik, peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebabkan karena infusi bakteri. b. Kultur darah, urin dan luka merupakan indikasi bila dicurigai, penyebab infeksi. c. Tes lainya : Biopsi kulit memperlihatkan luka superiderma Adanya mikrosis sel epidermis Infiltrasi limposit pada daerah ferifaskulator 2.7. Penatalaksanaan a. Kortikosteroid Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan preanisone 30 40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya burukdan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.Kartikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksamate dan intravena dengan dosis permulaan 4 6 x 5 mg sehari. Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasienstevens-johnson berat harus segera dirawat dan berikan deksametason 6x5 mg intravena setelah masa kritisteratasi, kedaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, tiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan table kortikosteroid, misalnya prenidesone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari. Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakuakn pemeriksaan elektrolit ( K, Na dan CI ) bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg / hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein / anabolik seperti nandroklok dekanoat dan nanadrolon fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa ( dosis untuk anak tergantung berat badan ). b. Antibiotik. Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotik yang jarang menyebabkan alergi, berspektrom luas dan bersifat sakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg. c. Infus dan Transfusi darah

Sindrom Steven Johnson

Page 5

Pengaturan keseimbangan cairan / elektron dan nutrisi penting karena pasien sukaratau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah banyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. d. Tropikal Terapi tropikal untuk lesi dimulut dapat berupa kanalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sutratulle atau krim sulfa diarine perak.

Sindrom Steven Johnson

Page 6

Anda mungkin juga menyukai