Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

Laporan Kasus
FAKULTAS KEDOKTERAN
September 2018
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KEDOKTERAN KELUARGA

“TINEA FACIALIS”

Disusun Oleh :

Sofyan Haji Syarif, S.Ked. (10542 0123 09)

Pembimbing :

dr. Hj. Hatase Nurna

(Kepala Puskesmas Jongaya)

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Ilmu Kesehatan
Masyarakat (Kedokteran Keluarga)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Sofyan Haji Syarif, S.Ked

Judul Laporan Kasus : Tinea Facialis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Makassar, September 2018

Pembimbing

dr. Hj. Hatase Nurna

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala limpahan rahmat dan

hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan

hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan laporan kasus dengan judul

Hipertensi. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik di Bagian Kulit dan Kelamin.

Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas laporan kasus.

Namun berkat bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-

teman sehingga tugas ini dapat terselesaikan. Penulis sampaikan terima kasih

banyak kepada dr. Hj. Hatase Nurna, selaku pembimbing yang telah banyak

meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan

arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari yang

diharapkan oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima

kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini. Semoga laporan

kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus.

Makassar, Oktober 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................. 1

LEMBARAN PENGESAHAN................................................................ 2

KATA PENGANTAR .............................................................................. 3

DAFTAR ISI ............................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang .......................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Pitiriais Versicolor ..................................................... 7

B. Etiologi Pitiriasis Versicolor ................................................... 7

C. Epidemiologi ............................................................................ 7

D. Patogenesis ............................................................................... 8

E. Tanda dan Gejala Klinis ........................................................... 8

F. Pemeriksaan Laboratorium ...................................................... 9

G. Diagnosa .................................................................................. 9

H. Diagnosis Banding .................................................................. 9

I. Pengobatan ............................................................................... 11

BAB III LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien......................................................................... 13

4
B. Resume ..................................................................................... 13

C. Status Presens ........................................................................... 14

D. Status Dermaatologi ................................................................. 14

E. Diagnosis Banding .................................................................. 15

F. Diagnosis .................................................................................. 15

G. Penetalaksanaan ....................................................................... 15

H. Prognosis .................................................................................. 16

BAB IV KESIMPULAN ........................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 30

LAMPIRAN

5
BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi non-dermatofitosis pada kulit biasanya terjadi pada kulit yang paling luar.
Hal ini disebabkan jenis jamur ini tidak dapat mengeluarkan zat yang dapat
mencerna keratin kulit dan tetap hanya menyerang lapisan kulit yang paling luar.
Pertumbuhannya pada kulit (stratum korneum) berupa kelompok sel-sel bulat,
bertunas, berdinding tebal dan memiliki hifa yang berbatang pendek dan bengkok,
biasanya tidak menyebabkan tanda-tanda patologik selain sisik halus sampai
kasar. Bentuk lesi tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dan ukuran lesi dapat
milier,lentikuler, numuler sampai plakat. (1,2)
Tinea versikolor/Pitiriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering
terjadi disebabkan oleh Malasezia furfur Robin. Mallasezia furfur Robin,
merupakan organisme saprofit pada kulit normal. Bagaimana perubahan dari
saprofit menjadi patogen belum diketahui. Penyakit jamur kulit ini adalah
penyakit yang kronik dan asimtomatik ditandai oleh bercak putih sampai coklat
yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang badan dan kadang- kadang
terlihat di ketiak, sela paha,tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala. Di
Indonesia mungkin lebih dikenal sebagai penyakit kulit karena jamur yang disebut
“panu”, Pitiriasis versicolor adalah infeksi jamur umum yang sering ditemukan
pada dewasa dan remaja. Sebutan versicolor berasal dari fakta bahwa infeksi ini
menyebabkan kulit yang terlibat mengalami perubahan warna, baik menjadi lebih
gelap maupun menjadi lebih terang, daripada area kulit sekitarnya.(1,3)
Pitiriasis versikolor lebih sering terjadi di daerah tropis dan mempunyai
kelembapan tinggi. Walaupun kelainan kulit lebih terlihat pada orang berkulit
gelap, namun angka kejadian tinea versikolor sama di semua ras. Angka kejadian
sebelum pubertas atau setelah usia 65 tahun jarang ditemukan. Di negara tropis,
penyakit ini lebih sering terjadi pada usia 10-19 tahun. Beberapa faktor dapat
meningkatkan angka terjadinya tinea versikolor, diantaranya adalah turunnya
kekebalan tubuh, faktor temperature, kelembapan udara, hormonal dan keringat.(3)

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Pitiriasis Versicolor

Pitiriasi Versikolor (PV) adalah infeksi kulit superfiacial kronik yang


disebabkan oleh ragi genus Malassezia, umumnya tidak memberikan gejala
subjektif, ditandai oleh area depigmentasi atau dikolorasi berskuama halus,
tersebar diskret dan konfluen terutama terdapat pada bagian atas yaitu muka,
leher, badan lengan atas, ketiak paha dan lipatan paha.

B. Etiologi Pitiriasis Versicolor


PV disebabkan oleh Malessezia spp. Ragi yang bersifat lipofilik yang
merupakan flora normal pada kulit. Jamur ini juga bersifat dimorfik, bentuk
ragi dapat berubah menjadi hifa. Dahulu ragi ini digolongkan sebagai genus
Pityrosporum (terdiri atas Pityrosporum ovale dan Pityrosporum orbiculare)
kemudianmengalami reklasifikasi sebagai genus Malessezia.

Berdasarkan analisis genetik dididentifikasi 6 spesies lipofilik pada kulit


manusia yakni M.furfur, M.sympodialis, M.globosa, M.restricta, Msloofiae,
M.obtusadan satu spsies kurang lipofilikdan biasa terdapat pada kulit hewan,
M.pachydermatis. selajutnya dilaporkan spesies lain M.dermatis, M.yaponica,
M.nana, M.caprae, M.equine. sifat lipofilik menyebabkan ragi ini banyak
berkolonisasi pada daerah yang kaya sekret kelenjar sebasea. Beberapa studi
terpisah menujukkan bahwa M.globosa banyak berhubungan dengan PV tetapi
studi lain menujukkan bahwa M.sympodialisndan M.furfur yang predominan
pada PV

C. Epidemiologi
PV merupakan penyakit universal, terutama di daerah tropis. Tidak
terdapat perbedaan berdasarkan jenis kelamin tetapi terdapat perbedaab

7
kerentanan berdasarkan usia, yakni lebih banyak ditemukan pada remaja dan
dewasa muda jarang pada anak dan orang tua. Di indonesia kelainan ini
merupakan penyakit yang banyak ditemukan diantara berbagai penyakit kulit
akibat jamur.

D. Patogenesis
Malassezia spp. Yang semula berbentuk ragi saprofit akan berubah bentuk
menjadi bentuk miselia yang menyebabkan kelainan kulit PV. Kondisi atau faktor
predisposisi yang diduga dapat menyebabkan perubahan tersebut berupa suhu,
kelembaban lingkungan yang tinggi dan tagangan CO2 yang tinggi permukaan
kulit akibat oklusi, faktor genetik, hiperhidrosis, kondisi imunosupresif, dan
malnutrisi.

Beberapa mekanisme di anggap merupan penyebab perubahan warna pada


lesi kulit, yakni Malessezia spp. Memproduksi asam dikarboksilat (a.l.asam
azeleat) yang mengganggu pembentukan pigmen melanin, dan memproduksi
metabolit (pitiryacitrin) yang mempunyai kemampuan absorsi sinar ultraviolet
sehingga menyebabkan lesi hipopigmentasi. Mekanisme terdinya lesi
hiperpigmentasi belum jelas, tetapi satu studi menujukkan pada pemeriksaan
mikroskopik elektron didapati ukuran melanosom yang lebih besar dari normal.
Lapisan keratin yang lebih tebal juga dijumpai pada lesi hiperpigmentasi.

E. Tanda dan Gejala Klinis


Lesi PV terutama terdapat pada badan bagian atas, leher dan perut ektremitas
sisi proksimal. Kadang ditemukan pada wajah skalp dapat juga ditemukan pada
aksilla, lipatan paha, genitalia. Lesi berupa makula berbatas tegas, dapat
hipopigmentasi, hiperpigmentasi, kadan eritematosa, terdiri atas berbagai
ukurandan berskuama halus (pitirisiaformis). Umumnya tidak di sertai gejala
subjektif, hanya berupa kosmetis, meskipun kadaang ada pruritus ringan.

Variasi warna lesi pada penyakit ini tergantung pada pigmen normal kulit
penderita, papasinar matahari, dan lamanya penyakit. Kadang-kadang warna lesi

8
sulit dilihat, tetapi skuamanya dapat dilihat dengan pemeriksaan goresan pada
permukaan lesi dengan kuret atau kuku jari tangan (coupd’angle dari Beisner)

F. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat memperlihatkan fluoresensi
kekuningan akibatmetabolit asam karboksilat, yang digunakan sebagai petunjuk
lesi PV dan mendeteksi sebaran lokasi lesi. Perlu diwaspadai pemeriksaan
fluoresensi positif palsu yang anatara lain dapat karena penggunaan salap yang
mengandung asam salisilat, tetrasiklin. Negatif palsu dapat terjadi pada orang
yang rajin mandi.

Pemeriksaan mikologis langsung sediaan kerokan kulit akan menujukkan


kumpulan hifa pendek dan sel ragi yang bulat, kadang oval. Gambaran demikan
menyebabkan sebutan berupa ‘spaghetti and meatballs’ atau ‘bananas and
grapes’ .Sediaan diambil dengan kerokan ringa kulit mengunakkan skalpel atau
dengan merekatkan selotip. Pemeriksaan menggunakan larutan KOH 20% dan
dapat ditambahkan sedikit tinta-biru hitam untuk memperjelas gambaran elemen
jamur.

G. Diagnosis
Dugaan diagnosis PV jika ditemukan gambaran klinis adanya lesi di daerah
predileksi berupa makula berbatas tegas dab berwarna putih, kemerahan, sampai
dengan hitam berskuama halus. Pemeriksaan dengan lampu WOOd untuk melihat
fluoresensi kuning keemasan membantu dignosis klinis. Konfirmasi diagnosis
dengan didapatnya hasil positif pada pemeriksaan mikologis kerokan kulit.

H. Diagnosis Banding
1. Pitiriasia alba
 Defenisi

9
Pitiriasis alba adalah dermatitis yang tidak spesifik, sering di
jumpai pada anak dan remaja terutama mengenai daerah wajah
dan leher. Penyebabnya diduga jumlah pajana sinar matahari
dan tidak memakai tabir surya.
 Kriteria Diagnostik Klinis
o Didahului plak eritematosa ringan dengan tepi sedikit
meninggi, yang memudar setelah beberapa pekan
menjadi makula/plak berwarna merah muda/pucat
dengan skuama putih halus diatasnya (powdery white
scale). Lesi kemudian berkembang menjadi makula dan
patch hipopigmentasi tanpa skuama yang menetap
sampai beberapa bulan atau tahun.
o Tempat predileksi: wajah, lengan sisi ekstensor,
punggung dan badan.
o Plak hipopigmentasi atau sewarna kulit dengan skuama
halus, bentuk bulat-oval tak beraturan, batas agak tegas,
ukuran lentikular, numular, sampai plakat.
o Pitiriasis Alba pigmented merupakan variab dari klasik
dengan infeksi dermatofit superfisial, hampir mengenai
wajah. Secara klinis ditandai oleh hiperpigmentasi yang
dikelilingi daerah hipopigmentasi berskuama.

2. Pitiriasis rosea

10
 Defenisi
Pitiriasis alba adalah erupsi kulit yang akut dan sering
dijumpai, bersifat hilang sendiri, secara khas di mulai sebagai
plak oval dan skuama halus pada badan (herald pacth).
Berhubungan degan reaktivasi HHV7 dan HHV6 bersifat
asimtomatik, kadang flu like symptoms
 Kriteria Diagnostik Klinis
o Lesi ini berbatas tegas diameter 2-4 cm berbentuk oval
atau bulat berwarna salmon/eritematosa atau
hiperpigmentasi terutama pada pasien dengan warna
kulit gelap. Jarang pada wajah dan penis.
o Lesi primer terdapat pada bagian badan tertutup baju,
leher atau ekstremitas proksimal. Lesi sekunder terbagi
atas 2 yaitu : (1) plak kecil menyerupai plak primer
tetapi berukuran lebih kecil dengan distribusi pola
seperti pohon cemara, (2) papul kecil, kemerahan
biasanya tanpa skuama yang secara bertahap bertambah
jumlah dan menyebar keperifer.
3. Dermatitis seboroik
 Defenisi
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang sering
terdapat pada daerah tubuh berambut, terutama pada kulit
kepala, alis mata dan muka.
 Gejala klinis
o Distribusi biasanya bilateral berupa bercak atau pun
plakat dengan batas yang tidak jelas, eritem ringan dan
sedang, skuama bemiyak dan kekuningan
o Dermatitis seboroik ringan hanya di dapati skuama pada
kulit kepala, skuama berwarna putihdan merata tanpa
eritem.

11
o Dermatitis seboroik berat dapat mengenai alis mata,
kening pangkal hidung, sulcus nasolabialis, belakang
telinga, dan daerah diantara skapula.
I. Pengobatan
1. Non medika mentosa
Hindari suasana lembab, panas, dan keringatan berlebih
2. Medika mentosa
 Topikal
o Obat pilihan : sampo selenium sulfida 2,5% atau sampo
zinc pyrithone dioleskan di seluruh daerah yang
terinfeksi/seluruh badan, 7-10 menit sebelum mandi,
sekali/hari atau 3-4 kali sepekan. Khusus untuk daerah
wajah dan genitalia di gunakan vehikulum solution atau
golongan azol topikal (krim mikonazol 2x/hari)
o Alternatif : sampo ketokanazole 2% dioleskan pada
daerah yang terinfeksi seluruh badan, 5 menit sebwlum
mandi, selama 3 hari berturut-turut, atau terbinafin 1%
di oleskan pada daerah yang terinfeksi, 2x/hari selama 7
hari
 Untuk lesi luas atau jika sulit di sembuhkan dapat digunakan
ketokanazole oral 200 mg/hari selama 10 hari
o Alternatif : itrakanazol 200-400 mg/hari selama 7 hari
dan flukanazol 400 mg single dose
Obat dihentikan bila pemeriksaan klinis, lampu wood
dan pemeriksaan mikologis landsung berturut-turut
selang sepekan telah negatif
 Pada kasus kronik berulang terapi pemeliharaan dengan topikal
tiap 1-2 pekan atau sistemik ketokanazol 2x200 mg/hari sekali
sebulan.

12
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Munzyir Marans

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 35 tahun

Pekerjaan : Buruh harian Lepas

Status : Menikah

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Alamat : Jln Abdul Kadir II

Nomor RM : 030643

B. Resume

Seorang laki-laki berumur 35 tahun, menikah, beragama Islam


pekerjaan sebagai buruh, datang dengan keluhan utama bercak-bercak
keputihan pada pipi punggung dan perut yang terasa gatal, yang semakin
lama makin bertambah bercaknya dengan ukuran yang variatif, gatal
terutama jika di tengah panas dan berkeringat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan dan yang lain-lain dalam batas
normal. Pada pemeriksaan dermatologikus, didapatkan effloresensi makula
hipopigmentasi di region abdominalis dan lumbalis, dengan lesi multipel,
diskret, bentuk anular, bentuk lesi teratur dengan batas tegas, tepi tidak
menimbul dan tidak aktif, ukuran variatif di mana yang terbesar ukuran
lentikular dan terkecil ukuran miliar.

13
Pada pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit di punggung dengan larutan
KOH 20% ditemui hifa dan spora.

C. Status Presens

Pemeriksaan Klinik:

Keadaan Umum : Sakit (Ringan, sedang, berat)

: Kesadaran (Composmentis, uncomposmentis)

D. Status Dermatologi

 Distribusi : regional

 Ad regio : regio abdominalis dan lumbalis.

 Lesi : multipel, diskret, bentuk anular, bentuk lesi teratur dengan

batas tegas, tepi tidak menimbul dan tidak aktif, ukuran variatif di

mana yang terbesar ukuran lentikular dan terkecil ukuran miliar.

 Efloresensi : makula hipopigmentasi.

 Regio Abdominalis dan Lumbalis.

14
Pemeriksaan KOH

Pada pemeriksaan mikologik kerokan kulit dilakukan pada area punggung dengan
KOH 20 % didapatkan hasil : Hifa (+) dan Spora (+).

E. Diagnosis Banding

 Dermatitis seboroik

 Pitiriasis Rosea

 Pitiriasis Alba

F. Diagnosis

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosa dengan

Pitiriasis Versicolor

G. Penatalaksanaan

 Non Medikamentosa
o Menyarankan kepada pasien agar menghindari faktor pencetus
terjadinya pitiriasis versicolor.

15
o Pasien dinasehatkan supaya tidak berada di lingkungan yang panas
dan lembab supaya tidak kambuh setelah pengobatan
 Medikamentosa
o Itraconazol cap 2 x 100mg selama 5-7 hari
o Lucio selenium sulfide 2,5% dioles setiap hari 15-30 menit
kemudian dibilas. Seminggu 2 kali.
H. Prognosis

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad function : Bonam

Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

16
BAB IV

KESIMPULAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang menganduk zat tanduk,

misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan

oleh golongan jamur dermatifita.2

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.

Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin.2

Penderita tinea fasialis biasanya datang dengan keluhan rasa gatal dan

terbakar, dan memburuk setelah paparan sinar matahari (fotosensitivitas). Namun,

kadang-kadang,penderita tinea fasialis dapat memberikan gejala yang

asimptomatis.

Tinea fasialis (tinea faciei) adalah suatu dermatofitosis superfisial yang

terbataspada kulit yang tidak berambut, yang terjadi pada wajah, memiliki

karakteristik sebagaiplak eritema yang melingkar dengan batas yang jelas. Pada

pasien anak-anak dan wanita,infeksi dapat terlihat pada setiap permukaan wajah,

termasuk pada bibir bagian atas dan dagu. Pada pria, kondisi ini disebut juga tinea

barbae karena infeksi dermatofit terjadi pada daerah yang berambut.2,3

keluhan luka didaerah dalam mulut dan terasa gatal di daerah pinggir mulut

di sertai dengan hipopigmentasi berbatas tegas berskuama dan berukuran kecil.

Keluhan ini sudah dirasakan lama sekitar 3 bulan. Riwayat pasien sering bergonta

ganti handuk dengan kakaknya yang mengalami keluhan yang sama.

17
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan

kerokan kulit dengan KOH 10 % atau biakan untuk menemukan elemen

jamur.5Pemeriksaan lampu Wood (sinar ultraviolet) Pemeriksaan lampu Wood

ditemukan oleh Margarot dan Deveze pada tahun 1925. Beberapa spesies

dermatofit tertentu yang berasal dari genus Microsporum menghasilkan substansi

yang dapat membuat lesi menjadi warna hijau ketikadisinari lampu Wood dalam

ruangan yang gelap. Dermatofit yang lain, sepertiT. Schoenleinii. Pemeriksaan

kultur, Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal,

tetapi pemeriksaan ini sangat berguna ketika pemeriksaan yang lain meragukan.

Spesimen dibiakkan pada Saboraud’s dextrose agar dan penambahan obat

sikloheksimid atau kloramfenikol untuk mencegah bakteri lain tumbuh.

Dibutuhkan waktu 7-21 hari untuk membiakkannya.

Penatalaksanaan tinea facialis berupa pengobatan yang bersifat sistemik dan

juga topikal.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayati NA, Suyoso S, Hinda D, Sandra E. Mikosis superfisialis di divisi

mikologi unit rawat jalan penyakit kulit dan kelamin rsud dr. Soetomo

surabaya tahun 2003–2005. Surabaya: Department Kesehatan Kulit dan

Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 2009; 21(1)1-8.

2. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta (2002).

3. Szepietowski JC. Tinea faciei [online]. 2009 [diaskses 05 Agustus 2017].

Available from:URL:http://emedicine.medscape.com/article/11183164.

4. Kurnia, citrarosita. Etipatogenesis

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/BIKKK_vol%2020%20no%203_des%2

02008_Acc_3.pdf (diakses 05 agustus 2017)

5. Oktaviana,ani. prevalensi dermatofitosis di poliklinik kulit dan kelamin

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/25713/1/ANI%2

0OKTAVIA-FKIK.pdf (diakses 05 agustus 2017)

6. Thomas B. Clear choices in managing epidermal tinea infections. The

Journal of Family Practice 2003 ; 52(11): 853-4

7. Verma, S. and Heffernan, M. P. 2008. Superficial Fungal Infection :

Dermatophytosis, Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra, In : Wolff, K.,

Goldmith, L., Katz, S., Gilchrest, B., Paller, A., Leffel, editor,

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed, New York :

McGraw-Hill

19
8. Havlickova, B., Czaika, V. A., Friedrich, M. (2008) Epidemiological

Trends in Skin Mycoses Worldwide. Correspondence: Blanka Havlickova,

Intendis GmbH, Max-Dohrn Straße 10, Berlin, Germany. Accepted for

publication 8 July 2008

20

Anda mungkin juga menyukai