Anda di halaman 1dari 10

REFERAT Agustus 2018

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK (LES)

Nama : Cindy Fitriyani


No. Stambuk : N 111 18 047
Pembimbing : dr. Suldiah, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sistemik lupus erimatosus adalah penyakit multi organ yang diakibatkan


oleh kelainan imunologis. Organ yang sering terkena yaitu sendi, kulit, ginjal,
otak, hati,dan lesi dasar pada organ tersebut adalah suatu vaskulitis yang terjadi
oleh karena pembentukan dan pengendapan kompleks antigen-antibodi. SLE
ditandai dengan pembentukan bermacam-macam antibodi yang ditujukan terhadap
komponen inti sel, yaitu DNA, RNA, dan nukleo protein. Kadang-kadang
awalnya hanya suatu organ yang terkena selama beberapa bulan atau tahun yang
kemudian berkembang kebeberapa organ lainnya.1
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa
anak dapat menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada
keterlibatan organ penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit
berat serta ada keterlibatan organ-organ.2
Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus
dapat muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot,
lelah dan kehilangan berat badan yang nyata.semua gejala ini tentunya tidak
spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan lain untuk mendukung maupun
menyingkirkan diagnosis banding. Diagnosis ini sangat penting dalam
menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi
yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih parah dari orang dewasa, dari
segi onset dan perjalanan penyakit.2
Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya
tidak dapat diprediksi. Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka dia
membutuhkan dukungan keluarganya dan penanganan multi disiplin ilmu dalam
menjalani kehidupan dengan penyakit tersebut. Walaupun beberapa literatur
mengatakan bahwa SLE tidak ada obatnya, namun hasil pengobatan jangka
panjang pada anak dengan SLE dapat memberi hasil yang baik apabila ditangani
oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya masing-masing.2

1
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur namun ada
beberapa pertimbangan yang diperhitungkan dalam menangani anak SLE.
Diantara keparahan penyakit persentase penyakit, pemeriksaan lab yang
menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari pesian tersebut hal terpenting dalam
menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik untuk pasien
dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang
berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya,
pengobatan dan efek-efek sampingnya serta hasil pengobatan yang mungkin
terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan kepada pasien dan
keluarganya tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannnya dalam
mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta kemampuan dalam
mengambil keputusan.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui dengan manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang
sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi
dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.4
Pasien dapat memiliki keluhan pada kulit, membran mukosa, sendi, ginjal,
komponen hematologik, sistem saraf pusat, system retikuloendotelial, sistem
pencernaan, jantung, dan paru. Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan
jenis kelamin, terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun).5

2.2 Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per
100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi. Penyakit Dalam sementara di RS Hasan Sadikin Bandung
terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke
poliklinik reumatologi selama tahun 2010.4

2.3 Etiologi
Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES
merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan
lingkungan (sinar UVB, obat), yang berakibat pada terbentuk limfosit T dan B
autoreaktif yang persisten. Diagnosis LES pada anak ditegakkan dengan

3
terpenuhinya paling sedikit 4 dari 11 kriteria klasifikasi yang dibuat oleh
American College of Rheumatology 1982, dengan sensitivitas 96% dan
spesifisitas 100%. Demam intermiten atau menetap, lelah, berat badan turun,
dan anoreksia merupakan gejala LES yang aktif. Kelainan dapat terjadi pada
mukokutan (ruam malar, lesi diskoid, aloplesia, ulserasi mukosa mulut/nasal),
muskuloskeletal (artralgia, artritis), ginjal (hematuria, proteinuria, hipertensi),
susunan saraf pusat/SSP (kejang, psikosis, halusinasi), jantung (perikarditis),
pare (pleuritic), sindrom, antifosfolipid (tromboemboli), vaskulitis, mata (mata
kering), dan gastrointestinal (mual, hepatitis).6

2.4 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,
sendi,darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10
tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%,
ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitivitas 22,9%, keterlibatan
neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang
dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%,
dan lesi subkutaneus akut 6,7%.4

2.5 Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 4
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.

4
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer

Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap penyakit


lainnya.4

2.6 Pemeriksaan Laboratorium


Gambaran laboratorium menunjukkan anemia (penyakit kronis atau
hemolitik), limfopenia, dan trombositopenia; kombinasi purpura
trombositopenia idiopatik dan anemia hemolitik akut (sindrom Evan's) sering
terjadi. Urinalisis menunjukkan proteinuria, hematuria, dan silinder sel darah
merah. Indikator inflamasi akut akan meningkat sesuai aktivitas penyakit
sistemik. Terdapat pula antikoagulan lupus, antikardiolipin, dan antibodi
antifosfolipid yang menyebabkan tromboemboli. Hampir seluruh pasien LES
aktif menunjukkan ANA positif, namun hanya dengan ANA positif tanpa
keterlibatan sistem organ dan pemeriksaan laboratorium, sulit untuk
menegakkan diagnosis. Antibodi terhadap dsDNA merupakan kriteria
patognomonik pada LES dan bila disertai penurunan kadar komplemen
memiliki hubungan yang kuat dengan terjadinya nefritis lupus.6

2.7 Tatalaksana
Prinsip pertama dalam tata laksana pasien lupus eritematosus adalah
pencegahan dengan menghindari faktor pencetus, misalnya pajanan matahari,
terapi estrogen dosis tinggi, konsumsi obat yang menyebabkan kulit menjadi

5
lebih fotosensitif (hidroklorotiazid, griseofulvin, tetrasiklin, dan piroxicam),
dan konsumsi obat lain yang dapat menyetuskan timbulnya lupus eritematosus
(captoril, fenitoin, omeprazole, dan sebagainya).7,8
Terapi konvensional yang diberikan pada pasien lupus eritematosus antara
lain adalah pengobatan dengan glukokortikoid, metotreksat, antimalaria,
retinoid, dapson, azatrioprin, atau thalidomide Meskipun kesintasan 5 tahun
pasien lupus eritematosus telah meningkat menjadi 95 % selama dekade
terakhir , risiko mortalitasnya masih mencapai dua kali populasi normal.
Banyak pasien masih mengalami komplikasi dan eksaserbasi penyakit yang
tidak berespons baik terhadap terapi konvensional dengan obat sitotoksik dan
glukokortikoid.7,8
Pasien dapat mengalami infeksi terkait terapi imunosupresi yang dijalani,
peningkatan risiko osteopenia/osteoporosis sebagai efek samping terapi
glukokortikoid, percepatan pembentukan aterokslerosis, dan gangguan fungsi
kognitif yang timbul seiring progresivitas penyakit. Selain itu, manifestasi
lupus eritematosus kutaneus yang kronis dapat menyebakan gangguan
psikososial dan okupasional, sehingga dibutuhkan terapi yang lebih efektif
dengan efek samping lebih ringan agar kualitas hidup pasien dapat
meningkat.7
Obat anti inflamasi non-steroid dan anti malaria digunakan pada kasus
yang tidak mengancam jiwa (artralgia, mialgia, dan sinovitis). Glukokortikoid
merupakan terapi utama. Prednison oral dosis rendah (<0,5 mg/kg/hari) cukup
untuk mengatasi demam, dermatitis, dan artritis, prednison oral dosis tinggi
(1-2mg/kg/hari) untuk anemia hemolitik, gangguan SSP dan nefritis,
sedangkan metilprednisolon intravena (30 mg/kg/hari, 1-3 hari) untuk
mendapat efek yang cepat. Imunosupresan (azatioprin, siklofosfamid,
metotreksat, siklosporin, mychophenolate mofetil/ MMF) untuk mengontrol
LES dan mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Pasien LES memiliki risiko
infeksi yang tinggi sehingga diperlukan tata laksana yang tepat serta
pencegahan dengan vaksinasi. Tabir surya (SPF>15) berguna untuk
mengurangi paparan sinar matahari.6

6
2.8 Prognosis
SLE memiliki angka survival untuk 10 tahun sebesar 10%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal,
hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun,. Tetapi
belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara
pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti
hemodialisis lebih luas.8
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantung, aksiden
vaskuler serebral iskemik) akibat kortikoterapi atau neoplasma (kanker,
hemopati) akibat pemakaian imunosupresan atau oleh keadaan defisiensi imun
akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena
harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.8

7
BAB III
KESIMPULAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun


yang dicirikan oleh adanya produksi antibodi yang tidak biasa dalam darah, yaitu
antibodi terhadap double stranded DNA. SLE lebih banyak pada wanita daripada
pria. Penyebab SLE belum diketahui, namun keturunan, virus, sinar ultraviolet
dan obat-obatan semuanya dapat berperan.
Sebelas kriteria dapat membantu dalam mendiagnosis SLE. Dengan 2 atau
lebih kriteria dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap penyakit lainnya
dapat membantu penegakan diagnosis SLE.
Pasien dengan SLE dapat mencegah kekambuhan dengan menghindari
paparan cahaya matahari dan tidak menghentikan pengobatan dengan tiba-tiba
serta memonitor kondisinya ke dokter.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Husein, dkk. 2014. Buku Ajar Nefrrologi Anak Edisi 3. Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
2. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of
Systemic Lupus Erythematosus in Children. Journal of Pediatric and Child
Health 18;2. Published by Elsevier Ltd.
3. Gitelman, Marisa Kleein, etc. 2010. Systemic Lupus Erythematosus in
Childhood. Rheumatic Disease Clinic of North America. Publisheb by
WBS.
4. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2012. Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
5. Oktaria, Salma. Lupus Eritematosus : Masalah dalam Diagnosi dan
Tatalaksana. Majalah Kedokteran Indonesia. 2010; Volum: 60, Nomor: 10
6. Sudewi, dkk. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.
Sari Pediatri. 2009; Vol. 11, No. 2.
7. Schwartzman JS, Gross R, Putterman C. Management of lupus in 2010:
how close are the biologics?. J Musculoskel Med. 2010;27(11):427-40.
8. Walling HW , Sontheimer RD. Cutaneus lupus erythematosus. Issues in
diagnosis and treatment. Am J Clin Dematol. 2009; 10(6):365-81.

Anda mungkin juga menyukai