1
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur namun ada
beberapa pertimbangan yang diperhitungkan dalam menangani anak SLE.
Diantara keparahan penyakit persentase penyakit, pemeriksaan lab yang
menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari pesian tersebut hal terpenting dalam
menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik untuk pasien
dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang
berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya,
pengobatan dan efek-efek sampingnya serta hasil pengobatan yang mungkin
terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan kepada pasien dan
keluarganya tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannnya dalam
mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta kemampuan dalam
mengambil keputusan.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE)
merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum
diketahui dengan manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang
sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi
dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi SLE.4
Pasien dapat memiliki keluhan pada kulit, membran mukosa, sendi, ginjal,
komponen hematologik, sistem saraf pusat, system retikuloendotelial, sistem
pencernaan, jantung, dan paru. Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan
jenis kelamin, terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun).5
2.2 Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000
penduduk, sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per
100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.
Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah
Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,
didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi. Penyakit Dalam sementara di RS Hasan Sadikin Bandung
terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke
poliklinik reumatologi selama tahun 2010.4
2.3 Etiologi
Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES
merupakan interaksi antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan
lingkungan (sinar UVB, obat), yang berakibat pada terbentuk limfosit T dan B
autoreaktif yang persisten. Diagnosis LES pada anak ditegakkan dengan
3
terpenuhinya paling sedikit 4 dari 11 kriteria klasifikasi yang dibuat oleh
American College of Rheumatology 1982, dengan sensitivitas 96% dan
spesifisitas 100%. Demam intermiten atau menetap, lelah, berat badan turun,
dan anoreksia merupakan gejala LES yang aktif. Kelainan dapat terjadi pada
mukokutan (ruam malar, lesi diskoid, aloplesia, ulserasi mukosa mulut/nasal),
muskuloskeletal (artralgia, artritis), ginjal (hematuria, proteinuria, hipertensi),
susunan saraf pusat/SSP (kejang, psikosis, halusinasi), jantung (perikarditis),
pare (pleuritic), sindrom, antifosfolipid (tromboemboli), vaskulitis, mata (mata
kering), dan gastrointestinal (mual, hepatitis).6
2.5 Diagnosis
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau
lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 4
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria,
vaskulitis.
4
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis
transversus, gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer
2.7 Tatalaksana
Prinsip pertama dalam tata laksana pasien lupus eritematosus adalah
pencegahan dengan menghindari faktor pencetus, misalnya pajanan matahari,
terapi estrogen dosis tinggi, konsumsi obat yang menyebabkan kulit menjadi
5
lebih fotosensitif (hidroklorotiazid, griseofulvin, tetrasiklin, dan piroxicam),
dan konsumsi obat lain yang dapat menyetuskan timbulnya lupus eritematosus
(captoril, fenitoin, omeprazole, dan sebagainya).7,8
Terapi konvensional yang diberikan pada pasien lupus eritematosus antara
lain adalah pengobatan dengan glukokortikoid, metotreksat, antimalaria,
retinoid, dapson, azatrioprin, atau thalidomide Meskipun kesintasan 5 tahun
pasien lupus eritematosus telah meningkat menjadi 95 % selama dekade
terakhir , risiko mortalitasnya masih mencapai dua kali populasi normal.
Banyak pasien masih mengalami komplikasi dan eksaserbasi penyakit yang
tidak berespons baik terhadap terapi konvensional dengan obat sitotoksik dan
glukokortikoid.7,8
Pasien dapat mengalami infeksi terkait terapi imunosupresi yang dijalani,
peningkatan risiko osteopenia/osteoporosis sebagai efek samping terapi
glukokortikoid, percepatan pembentukan aterokslerosis, dan gangguan fungsi
kognitif yang timbul seiring progresivitas penyakit. Selain itu, manifestasi
lupus eritematosus kutaneus yang kronis dapat menyebakan gangguan
psikososial dan okupasional, sehingga dibutuhkan terapi yang lebih efektif
dengan efek samping lebih ringan agar kualitas hidup pasien dapat
meningkat.7
Obat anti inflamasi non-steroid dan anti malaria digunakan pada kasus
yang tidak mengancam jiwa (artralgia, mialgia, dan sinovitis). Glukokortikoid
merupakan terapi utama. Prednison oral dosis rendah (<0,5 mg/kg/hari) cukup
untuk mengatasi demam, dermatitis, dan artritis, prednison oral dosis tinggi
(1-2mg/kg/hari) untuk anemia hemolitik, gangguan SSP dan nefritis,
sedangkan metilprednisolon intravena (30 mg/kg/hari, 1-3 hari) untuk
mendapat efek yang cepat. Imunosupresan (azatioprin, siklofosfamid,
metotreksat, siklosporin, mychophenolate mofetil/ MMF) untuk mengontrol
LES dan mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Pasien LES memiliki risiko
infeksi yang tinggi sehingga diperlukan tata laksana yang tepat serta
pencegahan dengan vaksinasi. Tabir surya (SPF>15) berguna untuk
mengurangi paparan sinar matahari.6
6
2.8 Prognosis
SLE memiliki angka survival untuk 10 tahun sebesar 10%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal,
hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun,. Tetapi
belakangan ini kematian tersebut semakin menurun karena perbaikan cara
pengobatan, diagnosis lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti
hemodialisis lebih luas.8
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantung, aksiden
vaskuler serebral iskemik) akibat kortikoterapi atau neoplasma (kanker,
hemopati) akibat pemakaian imunosupresan atau oleh keadaan defisiensi imun
akibat penyakit lupus. Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena
harapan hidup (survival) penderita lupus lebih panjang.8
7
BAB III
KESIMPULAN
8
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein, dkk. 2014. Buku Ajar Nefrrologi Anak Edisi 3. Jakarta :
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
2. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of
Systemic Lupus Erythematosus in Children. Journal of Pediatric and Child
Health 18;2. Published by Elsevier Ltd.
3. Gitelman, Marisa Kleein, etc. 2010. Systemic Lupus Erythematosus in
Childhood. Rheumatic Disease Clinic of North America. Publisheb by
WBS.
4. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2012. Rekomendasi Perhimpunan
Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
5. Oktaria, Salma. Lupus Eritematosus : Masalah dalam Diagnosi dan
Tatalaksana. Majalah Kedokteran Indonesia. 2010; Volum: 60, Nomor: 10
6. Sudewi, dkk. Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.
Sari Pediatri. 2009; Vol. 11, No. 2.
7. Schwartzman JS, Gross R, Putterman C. Management of lupus in 2010:
how close are the biologics?. J Musculoskel Med. 2010;27(11):427-40.
8. Walling HW , Sontheimer RD. Cutaneus lupus erythematosus. Issues in
diagnosis and treatment. Am J Clin Dematol. 2009; 10(6):365-81.