Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Disusun oleh :
Arif Fatkhur Rozi ( 1102017037 )
Dini Pela Rudia ( 1102014076 )

Pembimbing :
dr. R. Gantira Wijayakusumah Danasasmita, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI PERIODE 3 JANUARI - 26 FEBRUARI
2022
i
BAB I
PENDAHULUAN

Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang


menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini terjadi dalam tubuh akibat sistem kekebalan
tubuh salah menyerang jaringan sehat. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi-sistem
dimana banyak manifestasi klinis yang didapat penderita, sehingga setiap penderita akan
mengalami gejala yang berbeda dengan penderita lainnya tergantung dari organ apa yang
diserang oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai
adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih berat, SLE bisa menyebabkan
nefritis, masalah neurologi, anemia, dan trombositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. namun penyakit ini
angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan antara perempuan dan
laki-laki adalah 10 : 1. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan
induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan
pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu OAINS, obat-obat antimalaria, kortikosteroid,
dan obat-obat antikanker (imunosupresan).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit radang kronis yang ditandai dengan
respons autoantibodi terhadap antigen nuklir dan sitoplasma. SLE. Lebih dari 90% kasus SLE terjadi
pada wanita, seringkali dimulai pada usia subur (Bartels, 2018)

2.2Epidemiologi

Suatu studi sistemik di Asia Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar 0,9-3,1 per
100.000 populasi/ tahun. Prevalensi kasar sebesar 4,3-45,3 per 100.000 populasi. Di
Indonesia sendiri, jumlah penderita penyakit lupus secara tepat belum diketahui. Prevalensi
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) di masyarakat berdasarkan survei yang dilakukan di
Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5% terhadap keseluruhan populasi. Penyakit lupus
ini dapat menyerang siapa saja, tetapi sebagian besar menyerang perempuan usia produktif
(15-44 Tahun), namun, hal ini tidak menutup kemungkinan pria, anak-anak dan remaja juga
dapat terkena penyakit lupus (Kemenkes, 2017).

Prevalensi SLE di seluruh dunia tidak berbeda dengan laporan dari AS; penyakit ini
kelihatannya lebih sering ditemukan di Cina, di Asia Tenggara, dan di antara keturunan kulit
hitam di Karibia namun jarang ditemukan pada keturunan kulit hitam di Afrika. SLE jarang
terjadi pada usia prepubertas namun sering dimulai pada usia dekade kedua hingga keempat;
beberapa studi menunjukkan puncak kedua kasus baru pada sekitar usia 50 tahun. Distribusi
jenis kelamin cukup jelas; SLE berkembang pada wanita usia produktif sekitar sepuluh kali
lipat daripada pria dengan usia yang sama. Pada usia lebih muda, wanita tiga sampai empat kali lebih
sering daripada pria. Pada usia lebih tua, perbandingan wanita dan pria adalah 8:1.

2.3.Etiologi
Mekanisme etiologi SLE belum seluruhnya diketahui, namun berdasarkan
penelitian yang dilakukan selama beberapa dekade, diketahui bahwa terjadinya SLE
ada hubungannya dengan berbagai faktor seperti faktor genetik, hormonal,

2
imunologik dan lingkungan. Faktor genetik diduga memengaruhi kerentanan dan
perkembangan maupun tingkat keparahan penyakit SLE. Sejumlah kombinasi
ekspresi varian gen berhubungan dengan manifestasi klinis SLE, misal komponen
komplemen C1q mengeliminasi buangan sel nekrotik (bahan apoptotik) pada individu
sehat, namun pada pasien SLE, defisiensi komponen C1q menimbulkan ekspresi
penyakit. Contoh lain adalah STAT4 yang merupakan faktor genetik yang memiliki
risiko untuk terjadinya rheumatoid arthritis dan SLE, berhubungan dengan SLE berat.

2.4.Klasifikasi
Pengelolaan LES dilakukan dengan berpedoman pada derajat aktivitas penyakit
berdasarkan SLEDAI/MEX-SLEDAI. Manifestasi klinis LES nonrenal sesuai dengan derajat
penyakitnya. Derajat aktivitas LES ditentukan berdasarkan manifestasi klinis atau skor
SLEDAI/MEX-SLEDAI yang lebin berat (renal atau nonrenal).

Klasifikasi LES berdasarkan derajatnya:

3
4
5
6
2.5.Patofisiologi

7
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan fase
puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel secara
apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang
sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat
menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase
ditandai dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi
pada lupus dapat menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi
kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan mengaktivasi
fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung menginduksi kematian sel
dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak merefleksikan
memori imunologis, muncul sebagai respon untuk melawan sistem imun dengan antigen yang
pertama muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel
namun juga pada berbagai penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat
memprovokasi puncak penyakit.

8
2.6.Gejala Klinis
Manifestasi Konstitusional

Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif, namun
penyebab infeksius tetap harus dipikirkan, terutama pada pasien dengan terapi
imunosupresi. Penurunan berat badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan
berat badan, khususnya pada pasien yang diterapi dengan glukokortikoid, dapat menjadi
lebih jelas pada tahap selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala
yang paling umum dan seringkali merupakan gejala yang memperberat penyakit.
Penyebab pasti gejala-gejala ini masih belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping
pengobatan, gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat dalam
timbulnya gejala konstitusional.Pada kasus ini dijumpakan gejala demam namun gejala
ini mungkin juga disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan badan juga ditemukan
pada pasien ini. Sesuai dengan teori yang mengatakan kelelahan dan malaise merupakan
salah satu gejala yang paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini turut
ditemukan pada kasus ini.

Manifestasi Sistem Muskuloskeletal


Gejala yang paling sering muncul adalah arthritis, biasanya non erosif, tidak merusak dan
simetris arthropathy. Bisa mengenai banyak sendi tapi yang tersering pada sendi tangan, siku
lengan dan lutut dan dijumpai pada 70% pasien. Artritis pada SLE ditandai dengan sendi
bengkak dan kemerahan yang kadang disertai efusi (80-95% pasien). Kadangkala artritisnya
menyerupai artritis reumatoid, bedanya pada SLE sifatnya non erosif. Artritis pada SLE

9
umumnya mengenai sendi-sendi kecil misalnya jari-jari tangan pergelangan, lutut. Mungkin
dapat ditemukan nodule subkutan seperti pada rematoid artritis. Pada analisa cairan sendi hanya
didapatkan inflamasi yang minimal. Osteonekrosis yang sering terjadi terutama pada sendi
pinggul juga merupakan manifestasi muskuloskletal, tetapi pada SLE yang telah mendapat
steroid jangka panjang dapat juga menimbulkan osteonekrosis. Myositis / myopati sering
dijumpai pada awal penyakit dan saat SLE aktif atau pada penderita SLE yang mendapat
kortikosteroid jangka panjang. Septik arthritis bisa juga terjadi pada SLE sendi, ditandai dengan
keluhan nyeri pada sendi,kemerahan dan pembengkakan ditambah dengan peninggian leukosit
pada pemeriksaan darah perifer.
Manifestasi Pada Kulit
Keterlibatan kulit pada lupus sangat sering dijumpai (90% kasus). Manifestasinya sangat
beragam, bahkan kadang-kadang menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga menimbulkan
kesulitan didalam klinik. Umumnya berbentuk ruam fotosensitit. Bentuk yang klasik SLE
ditandai dengan butterfly rash namun ruam ini tidak dijumpai pada setiap penderita SLE, hanya
ditemukan pada sekitar 50 % penderita.
Manifestasi Paru
Manifestasi klinis SLE pada paru dapat dijumpai yaitu berupa pleuritis atau
pulmonaryhaemorrhage, emboli paru, hipertensi pulmonal. Pleuritis dijumpai pada 45-60%
pasien danbiasanya ditandai nyeri pleura, efusi pleura atau friction rub. Efusi pleura pada SLE
biasanya bilateral tetapi bisa juga unilateral. Hasil analisa cairan pleura menunjukkan cairan
berwarna eksudatif yang jernih , dengan kadar protein > 3gr, LDH yang rendah serta kadar
glukosa tinggi dan tidak didapatkan lekositosis (lekosit < 10.000). ANA, ds dNA serta LE sel
juga dapat ditemukan pada cairan pleura. Intersisial pnemonitis didapatkan pada 3-13 % pasien
SLE; bentuknya bisa akut maupun kronik Pada yang kronik seringkali asimptomatik hanya
terdeteksi saat dilakukan CT scan paru. Pnemonitis lupus akut ditandai dengan gejala batuk,
sesak, nyeri dada, hypoxia, dan demam. Angka kejadiannya sekitar 1-4 % penderita. Perdarahan
paru pada SLE meskipun angka kejadiannya jarang tetapi sangat fatal mortalitasnya sekitar 50-
90%. Gambaran klinisnya batuk darah, hypoxemia, sesak nafas, penurunan Hb secara mendadak
merupakan gejala yang khas dengan gambaran radiologi didapatkan infiltrate alveolar yang difus.
Pada umumnya perdarahan paru terjadi pada penderita SLE aktif, tetapi beberapa kasus
perdarahan paru ini sebagai manifestasi awal SLE Diagnosis ditegakkan dengan biopsi paru atau
pemeriksaan bronchial lavage (BAL) yaitu ditemukan darah segar pada saluran nafas dan
serosanguinus pada pemeruksaam BAL. Disamping itu evaluasi tidak adanya infeksi sangat
mendukung diagnosis perdarahan paru. Manifestasi paru lainnya ialah acute reversible
hypoxemia syndrome, hipertensi pulmonal, emboli paru. Emboli paru sering dihubungkan
dengan antiphospolipid syndrome , disfungsi diagfragma shringking lung syndrome ditandai

10
dengan sesak yang progresif dengan gambaran radiologis didapatkan volume paru yang
berkurang dan ateleletaksis di daerah basal paru.
Manifestasi Kardiovaskular
Keterlibatan sistem kardiovaskular sangat sering dijumpai pada SLE yaitu sekitar 30-
50%. Dapat berupa perikarditis, efusi perikardium, miokarditis, endokarditis, kelainan katup,
penyakit koroner, hipertensi, gagal jantung dan kelainan konduksi. Manifestasi yang tersering
adalah kelainan perikardium berupa perikarditis dan efusi perikardium angka kejadiannya
sekitar 19-48%. Perikarditisnya biasanya jarang menimbulkan komplikasi tamponade jantung.
Gejalanya ditandai dengan nyeri dada dan Pericardial rub tetapi perikarditis ini mungkin tidak
menimbulkan gejala apapun pada penderita. Kelainan lain yang juga banyak dijumpai pada
jantung berupa miokarditis yang ditandai dengan pembesaran jantung yang kadang disertai
dengan gejala dekompensasi jantung, endokarditis karena SLE dikenal dengan namaLibman
Sachsendokarditis, seringkali asimtomatis tanpa disertai bising katup, yang sering terkena
yaitu katupmitral dan aorta.
Manifestasi Hematologi
Manifestasi kelainan hematologi yang terbanyak adalah bentuk anemia leucopenia,
trombositopenia dan antiphospolipid syndrome. Anemia pada SLE umumnya anemia karena
penyakit kronik terjadi pada 60 -80% pasienSLE, penyebab lain adalah akibat perdarahan
gastrointesinal karena pemakaian NSAID atau steroid. Anemia Hemolitik Autoimun hanya
didapatkan pada 10% penderita. Bentuk hemolitik lainnya yaitu Mikroangiopatik Hemolitik
Anemia biasanya ditandai dengan helmet cell pada hapusan darah dengan kadar LDH yang
tinggi manifestasi kliniknya berupa trombopenia, kelainan ginjal, demam, dan kelainan
neurologi. Lekopenia jumlah lekosit < 4500 /µL pada SLE sangat sering dijumpai biasanya
ditemukan pada SLE yang aktif(50% kasus), lekositosis dapat terjadi pada SLE seringkali
menandakan infeksi atau akibat penggunaan steroid dosis tinggi. Trombositopenia (jumlah
trombosit < 100.000) dijumpai pada 25-50 % pasien Sedangkan neutropenia mungkin juga
dijumpai pada SLE yang aktif. Lymfopenia lebih sering dijumpai terutama saat aktif dan pada
awal penyakit sebelum lekosit atau trombosit menurun. Lymfadenopati dan splenomegali juga
dapat dijumpai pada SLE. Limfadenopati terjadi pada 50 % kasus, dengan ciri lunak pada
perabaan , tidak nyeri, lokasinya tersebar tidak bergerombol dengan ukuran berkidar 0,5 cm.
Umumnya didapatkan pada daerah cervical , axila serta inguinal. Pada biopsi kelenjar hanya
menunjukkan gambaran hiperplasi foliculer dan nekrosis . Limfadenopati pada SLE bisa juga
ditemukan karena infeksi atau penyakit limfoproliferatif atau angiimunoblastik limfoma.
Splenomegali dapat dijumpai pada pada 40 % pasien, umumnya ditemukan pada kondisi
aktif. Antiphospolipid syndrome sering dijumpai pada SLE bisanya dengan gejala trombosis
atau perdarahan

11
Manifestasi Ginjal
Dikenal dengan lupus nefritis. Angka kejadiannya mencapai hampir 50% dan
rnelibatkan kelainan glomerulus. Gambaran klinisnya bervariasi tergantung derajat kerusakan
pada glomerulus dapat berupa hematuri, protein uria, seluler cast. Berdasarkan kriteria WHO,
secara histopatologi dibedakan menjadi 5 kelas. Sebanyak 0,5% akan berkembang menjadi
gagal ginjal kronik. Lupus nepritis ini merupakan petanda prognosis jelek. Pada biopsi ginjal
ditemukan adanya deposisi kompleks imun.
Manifestasi Sistem Syaraf Pusat
Neuropsikiatrik lupus atau sindroma Lupus cerebral adalah manifestasi klinik lupus
pada system syaraf pusat yang dapat terjadi yaitu 66% pasien dengan SLE. Manifestasinya
sangat luas baik manifestasi neurologik maupun psikiatriknya. Pusing yang tidak responsif
dengan berbagai macam obat analgetika , atau migrain gejala yang paling sering dijumpai
pada SLE , neruropati perifer dapat mengenai motor, sensori atau campuran. kejang fokal atau
general juga sering dijumpai pada wal SLE. Sampai saat ini angka kejadian lupus cerebral
belum diketahui dengan pasti hal ini akibat timbulnya kontroversi mengenai diagnostik.
Hampir 59-90 % pasien SLE dilaporkan ada gejala lupus cerebral dengan mortalitas berkisar
antara 7%-13%. Menurut beberapa psnelitian bahwa Lupus cerebral timbul hanya ditemukan
pada SLE yang aktif. Parameter klinik yang dapat untuk memprediksi resiko penderita lupus
menderita lupus cerebral adalah terdapatnya vaskulitis kulit atau trombopenia, anemia
hemolitik atau livido retikularis.

2.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


DIAGNOSIS
Anamnesis
• Kelelahan
• Nyeri sendi yg berpindah- pindah
• Rambut rontok ruam pada wajah
• Sakit Kepala
• Demam
• Ruam setelah terpapar sinar matahari
• Gangguan kesadaran
• Sesak edema anasarka
Keluhan-keluhan tsb akhirnya dapat berkembang sesuai manifestasi organ yg terlibat
Faktor resiko : Riwayat keluarga memiliki penyakit autoimun

Manifestasi umum yg di jumpai antara lain:

12
1. Gejala Konstitsional : Kelelahan, demam(biasanya tnpa mengigil),BB↓, rambut
rontok, bengkak dan sakit kepala.
2. Muskuloskeletal : di jumpai>90%, Misalnya myalgia,artalgia atau artritis.
3. Mukokutaneus : Ruam malar/Kupu-kupu, fotosensitivitas, alopesia& ruam
diskoid
4. Paru : Pneumonitis( sesak, batuk kering, ronki dibasal.
5. Kardiologi: Pleuroperikardial friction rubs, takipnea, murmur sistolik,
perkarditis, miokarditis dan penyakit jantung koroner
6. Renal: dijumpai 40-75% penderita SLE setelah 5 tahun menderita. Misalnya,
hematuria, edema ferifer dan edema anasarca.
7. Gastrointestinal: Mual, muntah, dyspepsia, nyeri perut dan disfagia.
8. Neuropsikiatrik: kejang dan psikosis
9. Hematologi: Leukopeni, Lymphopenia, anemia, trombositopenia

Diagnosis SLE sampai saat ini masih ditegakkan berdasarkan pada gejala klinik
ditambah dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Kriteria diagnosis yang ditetapkan
oleh American Rheumatism Association(ARA) sejak tahun 1971 dan terakhir di revisi
tahun 1997 oleh American College of Rheumatology (ACR), kriteria ini sebenarnya
lebih banyak untuk kepentingan penelitian dan untuk membedakan dengan penyakit
jaringan ikat lainnya, pemakaian criteria ACR untuk panduan diagnosis mempunyai
nilai negatip palsu yang tinggi dan positip palsu tinggi. Karena tidak semua
manifestasi klinik masuk dalam kriteria tersebut. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
mendapatkan 4 dari 11 kriteria. Kriteria klinik Sistemik SLE dari American College
ofRheumatology (ACR) 1. Ruam malar 2. Ruam diskoid 3. Fotosensitivitas 4. Ulkus
oral 5. Arthritis 6. Serositis 7. Kelainan ginjal 8. Kelainan neurologis 9. Kelainan
hematologis 10. Kelaianan imunologis 11. ANA test PEMERIKSAAN
LABORATORIUM PENUNJANG 1. Darah lengkap (kadar hemoglobin, lekosit,
limfosit, trombosit) 2. Urine lengkap (protein uria, hematuria, cast eritrosit, utobilin,
bilirubin) 3. Kimia klinik : albumin, transaminase, fungsi ginjal 4. Esbach bila ada
protein uria masif 5. Serology : C3, C4, ANA, DNA, anti Ro/La, anti-sm, antiRNP,
antiphospolipid
Pemeriksaan Serologi
1. Anti Nuclear Antibody (ANA)
Karakteristik SLE adalah adanya antibodi yang bereaksi dengan komponen inti
sel. Pemeriksaan serologis awal yang sering digunakan untuk mendeteksi adanya
antibodi tersebut adalah pemeriksaan ANA. Pemeriksaan ini merupakan
penapisan awal adanya antibodi terhadap salah satu dari lebih 100 antigen yang
ada dalam inti sel. Antibodi ini dapat ditemukan pada lebih dari 95 % penderita

13
SLE dan pada sekitar 90% penderita dermatomiositis. Sensitivitas ANA sangat
tinggi tetapi kurang spesifik untuk SLE, di Maria 10% orang normal pada suatu
saat dapat menunjukkan ANA positif, bahkan dengan titer lebih dari 160. Selain
SLE, antibodi ini juga ditemukan pada penderita penyakit rematik yang lain,
infeksi kronis dan bahkan pada orang normal oleh karena itu ANA hanya
merupakan salah satu kriteria dalam diagnosis SLE. ANA positip tidak berarti
SLE, tetapi hampir semua pasien SLE ANAnya positip , meskipun ANA sensitive
untuk SLE tetapi ANA positip bisa juga dijumpai pada orang tua dengan kondisi
yang tidak sehat. ANA mempunyai nilai rendah positive predictive value untuk
SLE pada penderita yang secara klinis tidak menunjukkan gejala SLE atau Positip
dengan titer rendah, artinya secara klinis tidak bisa untuk patokan diagnosis pada
kondisi tertentu, 1/3 orang sehat dapat dideteksi ANA dengan titer yang rendah
1/40.
2. Antibodi anti-DNA untai ganda (anti-dsDNA antibodies)
Antigen yang spesifik untuk tercetusnya antibodi anti-dsDNA hingga saat ini
masih sering diperdebatkan. Selama beberapa waktu para peneliti percaya bahwa
native (n) DNA itu sendiri merupakan suatu imunogen untuk antibodi anti-
dsDNA, tetapi kenyataannya upaya untuk menginduksi antibodi tersebut dengan
menggunakan nDNA kurang berhasil. Penelitian terbaru mendapatkan bahwa
antibodi anti-dsDNA lebih berhasil dicetuskan melalui autoimunisasi dengan
kromatin (kompleks DNA, histon dan protein lain yang terdapat di dalam inti)
dibandingkan dengan menggunakan nDNA itu sendiri Anti-dsDNA adalah
spesifik untuk SLE tetapi hanya ditemukan pada 40-60 % penderita. Teknik yang
sering digunakan untuk penapisan awal antibodi ini adalah teknik
imunofluoresensi tidak langsung yang menggunakan Trypanosoma Crithidia
lucilae. 3. Antibodi terhadap ENA (ekstrak nuklear antibody) Macam ektrak
antibody pada SLE antara lain Anti Ro (SS-A) and La (SS-B) ditemukan pada
penderita SLE dan sjorgren’s syndrome, meskipun tidak spesifik untuk SLE,
tetapi sangat bermanfaat bila anti ds DNA negatip, cara pemeriksaan yang
sekarang digunakan adalah dengan tehnik ELISA atau immunobloting (IB) tetapi
tehnik elisa sangat sensitiv untul kedua antibodi ini. 4. Antibodi anti
ribonukleoprotein (anti-RNP antibodies) Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
penderita SLE juga membentuk autoantibodi terhadap protein ribonuklear seperti
anti-Sm, anti-nRNP/U1 RNP, anti-Ro/SSB dan La/ SSB yang frekuensinya secara

14
kolektif lebih besar dibanding dengan yang hanya membentuk anti-dsDNA. Pada
penderita SLE adanya anti-RNP dapat disertai dengan atau tanpa anti dsDNA.
Kemungkinan terjadinya penyakit ginjal pada penderita SLE dengan anti-RNP
saja (tanpa dsDNA) adalah lebih rendah dibandingkan pada penderita SLE dengan
anti-dsDNA. 6. Antibodi anti-Sm (anti-Smith antibodies) Anti-Sm adalah antibodi
terhadap ribonukleoprotein yang pertama kali ditemakan dan merupakan antibodi
yang ditujukan pada polipeptida 29, 28, 16 dan 13 kD dari spliceosom. Antiana
Sm sangat spesifik untuk SLE (tidak ditemukan pada penyakit lain), tetapi hanya
dijumpai pada sekitar 20-30% penderita. Antibodi ini sangat jarang didapatkan
sendirian, umumnya selalu bersama dengan antibodi anti-nRNP (U1 RNP).
Hubungan anti-Sin dengan manifestasi klinis SLE sampai saat ini masih belum
jelas. Kepentingan dan antibodi ini adalah adanya hubungan yang absolut dengan
SLE. antibody sm/RNP : mempunyai nilai predictive masih kontroversial.
Mempunyai arti diagnosis bila titer tinggi. Anti sm specific untuk SLE,antibodi
sm sangat jarang ditemukan tanpa anti RNP (ribonuclearprotein),sebab kedua
protein ini berasal dari snRNP Anti RNP lebih sering dijumpai tetapi tidak
specifik untuk SLE. Monitoring :Anti RNP/anti-sm antibodi sangat kuat
berhubungan dengan gambaran klinis SLE yang spesific. Titernya dapat
berfluktuasi sesuai dengan aktivitas penyakit dan respon pengobatan tapi jarang
digunakan diklinis untuk monitoring penyakit. Ribosomal P antibodi dapat
dideteksi denga ELIZA biasanya dihubungkan dengan neuropsychiatric SLE
tetapi dapat dijumpai pada aktif SLE 5. Antibodi anti -ribonukleoprotein inti (anti
nRNP antibodies) Anti-nRNP juga merupakan antibodi terhadap beberapa protein
spliceosom (33 kD dan 22 kD) dan ditemukan pada sekitar 30-40 % penderita
SLE. Mula-mula antibodi ini diduga merupakan petanda khas untuk timbulnya
sindroma jaringan ikat campuran (mixed connective tissue syndrome), akan tetapi
kemudian ternyata anti-nRNP paling sering ditemukan pada penderita SLE. Data
penelitian melaporkan bahwa ibu dengan anti-nRNP melahirkan bayi dengan
kelainan Kulit yang menyerupai Kulit bayi dengan sindroma lupus. Penyakit
ginjal masih mungkin terjadi pada penderita SLE hanya dengan adanya anti-
nRNP, akan tetapi frekuensinya jauh lebih rendah dibandingkan penderita dengan
antibodi anti-dsDNA. 6. Antibodi anti-Ro/SSA (anti-Robair / Sjogren Syndrome
A antibodies) Antibodi anti-Ro/SSA dilaporkan telah dijumpai pada 25 - 30 %
penderita SLE dan pada 30 - 40 % penderita sindroma Sjogren. Antibodi ini

15
ditujukan terhadap ribonukleoprotein 60 kD yang merupakan protein kaya uridilat.
Anti-Ro/SSA pada umumnya ditemukan pada penderita SLE dengan manifestasi
fotosensitivitas. Pada penelitian kohort, 90 % penderita SLE dengan antibodi ini
dilaporkan menunjukkan manifestasi klinis berupa fotosensitivitas dan sindroma
sicca. Tidak banyak artinya untuk monitoring acitivitas SLE, anti Ro sangat
berkorelasi dengan subacute cutaneus lupus dan kongenital heart blok sedangkan
anti La sangat jarang terdeteksi bila anti Ro negatip sebab kedua antibodi ini
berkaitan dengan human RNA (hyRNA) . 7. Antibodi anti-La/SSB (anti-La /
Sjogren Syndrome B antibodies) Anti-La/SSB dilaporkan telah dijumpai pada
sekitar 10 % penderita SLE dan 15% penderita sindroma Sjogren. Belum ada
bukti langsung yang mendukung peran patogenik antiLa/SSB pada SLE. Hal ini
karena anti-La/SSB sering kali ditemukan bersama-sama dengan antiRo/SSA,
sehingga sulit untuk menentukan apakah salah satu atau kombinasi kedua antibodi
yang benar-benar patogenik. Anti-La/SSB merupakan antibodi yang ditujukan
terhadap polipeptida 50 kD yang mula-mula diasosiasikan dengan seluruh RNA
polimerase III. Saat ini telah diketahui bahwa polipeptida La/SSB adalah
merupakan faktor terminasi (termination factor) untuk RNA polimerase III. 8.
Antibodi anti-ribosomal Antibodi anti-ribosomal merupakan antibodi yang
ditujukan terhadap protein 38, 19 dan 17 kD (P0, P1 dan P2) yang merupakan
komponen subunit 60S dari ribosom. Antibodi ini sangat spesifik untuk diagnosis
SLE tetapi kurang sensitif dibandingkan anti-Sm atau anti-dsDNA dan hanya
didapatkan pada 15 % penderita SLE. Beberapa manifestasi klinis telah
dilaporkan berkaitan dengan antibodi ini yakni manifestasi neuropsikiatrik,
terutama lupus psikosis dan konsentrasinya dapat digunakan untuk meramalkan
terjadinya kekambuhan dari lupus psikosis. 9. Antibodi antifosfolipid
Ditemukannya anti-koagulan lupus (Lupus Anticoagulant atau LA) dan anti-
kardiolipin (Anti Cardiolipin Antibodyatau ACA) merupakan hal yang penting
dalam mengevaluasi penderitayang diduga menderita SLE. Antibodi antifosfolipid
(yang terutama ialah LA dan ACA) merupakan antibodi yang ditujukan terhadap
fosfolipid bermuatan negatif membran sel. Invitro mekanisme kerja antibodi ini
adalah rnenghambat aktlvitas aktifator protrombin yang terdiri dari faktor X,
faktor V, fosfolipid trombosit dan kalsium, sehingga adanya antibodi
antifosfolipid mengakibatkan memanjangnya tes pembekuan darah yang
tergantung fosfolipid. Sebaliknya invivo adanya antibodi ini justru menyebabkan

16
koagulasi dan menimbulkan manifestasi trombosis. Antigen yang mencetuskan
terbentuknya antibodi antifosfolipid saat ini telah dapat diidentifikasi yaitu β2-
giikoprotein I (β2--GPl), suatu protein 50 kD yang terdapat dalam plasma yang
diduga merupakan antikoagulan. Penelitian terbaru melaporkan bahwa domain
terminal (f2- GPI terdiri atas ikatan fosfolipid. Imunisasi pada mencit atau kelinci
dengan antigen (β2 -GPI akan menghasilkan antifosfolipid yaitu ACA dengan titer
yang tinggi. Hal ini menjelaskan bahwa protein yang terikat pada fosfolipid
merupakan imunogen untuk antifosfolipid. Ditemukannya (β2-GPI sebagai
antigen sasaran dari antibodi antifosfolipid maka dapat dijelaskan mengapa
antibodi tersebut meningkatkan kecenderungan terjadinya trombosis. Kepentingan
(β2 -GPI adalah berperan dalam beberapa tahap jalur penggumpalan darah, yakni
mengikat trombosit, menghambat agregasi trombosit dan menghambat jalur
koagulasi intrinsik. Pengikatan antibcdi anti fosfolipid pada (β2-GPI akan
mempengaruhi aktivitas protein tersebut sehingga menimbulkan kecenderungan
penggumpalan darah. Anti fosfolipid antibodi. Anticardiolipin antibody(ACAs)
dapat diioslasi 16-60% pasien SLE. Ig G ACA menunjukkan risk factor of
trombosis dan antiphospolipid syndrome. Tidak semua pasien dengan ACA
positip mempunyai gejala antiphospolipid syndrome dan ACA negatip dapat juga
menimbulkan gejala trombosis. ACA mungkin penting untuk penderita SLE
dengan kehamilan titernya bervariasi sesuai dengan activitas penyakit,mungkin
berhubungan dengan terjadinya gagal ginjal yang berat. IgG anti2 2glicoprotein 1
antibodi sangat erat kaitannya dengan kejadian trombosis pada primer APS dan
SLE dan 25 % pasien SLE mungkin positip. LA antibodi sangaf penting karena
mungkin antibodi ini merupakan predisposisi terjadinya trombosis mungkin
terjadi tanpa ACA positip. Penderita SLE dengan antifosfolipid mempunyai risiko
tinggi untuk terjadinya kehilangan janin atau abortus, trombosis arteri dan vena,
trombositopenia, hipertensi pulmonal, endokarditis dan livedo retikularis dengan
atau tanpa ulserasi kulit. 10. Komplemen Kadarnya menunjukkan avtivitas
penyakit , tetapi kadang SLE aktif tanpa disertai penurunan C3 dan C4, persisten
C3 dihubungkan dengan CRF. Anti-C1q antibodies Dapat dideteksi dergan
ELIZA tetapi juga ditemukan pada glomerulonephritis atau rheumatoid vasculitis.
Titer tinggi dihubungkan dengan proliferative glomerulonephritis tetapi antibodi
ini sangat terbatas pengunaan klinisnya. Antiendotelial cell antibodies yang

17
dihubungkan dengan aktivitas penyakit tetapi tidak kharasteristik. ANCA dapat
ditemukan pada SLE tetapi tidak ada hubungan dengan klinik SLE.
Diagnosis Banding
 Mixed connective tissue disease
 Sindrom Vaskulitis
 Sindrom Sjogren
 Toksik eritema multiforme
 Rheumatoid Arthritis

2.8. Tatalaksana
Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut. Masalah yang
terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti
osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya
maupun pemakaian kontrasepsi. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana
pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah
terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya
suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat
anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum. Dimana pasien dapat
memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak
dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.

18
Tabel 2. Jenis dan Dosis Obat pada SLE5

Farmakoterapi berdasarkan derajat keparahan:

19
Gambar 4. Algoritme penatalaksanaan SLE

2.9. Komplikasi
 Anemia Hemolitik
 Trombosis
 Lupus Serebral
 Nefritis lupus
 Infeksi Sekunder

2.10. Pencegahan

Hindari fakto-faktor pencetus yang dapat di hindari seperti hindari paparan sinar
matahari dan selalu menggunakan pelindung sinar matahari (sunblock), baju lengan Panjang
serta menggunakan payung.

20
2.11. Prognosis

Prognosis lupus sangat tergantung pada organ yang terlibat, bila organ vital yang
terlibat maka mortalitasnya sangat tinggi. Tetapi dengan kernajuan pengobatan lupus
mortalitas ini jauh lebih baik dibanding pada 2-3 dekade yang lalu

21
BAB III

KESIMPULAN
Sistemik Lupus Eritematous (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang
menyebabkan inflamasi kronis. Pada lupus juga terdapat penglibatan multisystem yaitu
system mukokutan (malar rash), muskoloskeletan (arthritis), hematology (anemia), neurology
(serebri) dan ginjal (nefritis). Suatu studi sistemik di Asia Pasifik memperlihatkan data
insidensi sebesar 0,9-3,1 per 100.000 populasi/ tahun. Patofisiologi terjadinya lupus hingga
saat ini masih dianggap sebagai penyakit idiopatik, inisiasi munculnya dengan terpaparnya
gen pembawa dengan sinar matahari. Diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat diketahui
dari ditemukannya 4 manifestasi klinis yang ada dan minimal satu dari 4 manifestasi yang
ditemukan merupakan manifestasi hasil laboratorium (serologi). Tatalaksananya adalah
diberikannya obat analgesik yang dapat berupa OAINS/ NSAIDs dan imunosuppresan.
Pencegahan yang dapat dilakukan salah satunya menghindari dari terpaparnya sinar matahari.

22
DAFTAR PUSTAKA
Bartels, C M. 2018. Systemic lupus erythematosus (SLE). Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
KEMENKES. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik
KEMENKES. 2017. Infodatin lupus
Perhimpunan reumatologi Indonesia. 2019. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik.
Sanjaya P.N , dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi V. Jakarta: Media
Aesculapius. 2020; jilid II; 1079-1105..
Setiatis, Alwi, L., Sudoyo, A.W., Stiyohadi, B. and Syam, A.F. (2014). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing.
Tanzilia, Dkk. 2021. Patogenesis Dan Diagnosis Sistemik Lupus Eritematosus.
Syifa Medika 11(2): 139-164
WHO dan KEMENKES 2012. Pedoman Pelayanan Gizi di Puskesmas
Yuliana, Dkk. 2020. Sistemik Lupus Eritematosus. FK Universitas Muhammadiyah
Surakarta. 294-307

23

Anda mungkin juga menyukai