PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimunyang
menyebabkan inflamasi kronis. Penyakit ini juga merupakan penyakit multi-sistem
dimana banyak manifestasi klinis yang didapat penderita, sehingga setiap penderita
akan mengalami gejala yang berbeda dengan pnderita lainnya tergantung dari organ
apa yang diserang oleh antibody tubuhnya sendiri. Manifestasi klinis yang paling
sering dijumpai adalah skin rash, arthritis, dan lemah. Pada kasus yang lebih berat,
SLE bias menyebabkan nefritis, maslah neurologi, anemia, dan trombositopenia.
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan diamana perbandingan
antara perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada
usiaproduktif., puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah
penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah
penderita SLE di Amrika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis enderita SLE yait NSAID (Non-Steroid Anti-
Inflammatory Drgus, obat-obat antimalarial, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(immunopresan) selain itu terdapat obat-obat lain seperti terapi hormone,
immunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monokloral antibody, dan
transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuan.
SLE dapat berdampak pada beberapa organ, seperti ginjal, muskuloskeletal,
saraf, kulit, kardiovaskular, termasuk rongga mulut. Manifestasi yang timbul pada
beberapa organ tersebut dapat terjadi secara rekuren dan dapat mengganggu kualitas
hidup para ODAPUS.2 Biesecker dkk (1982) melakukan penelitian untuk melihat
manifestasi SLE pada beberapa organ tubuh dan menemukan bahwa kelainan pada
sendi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai pada pasien SLE. Selain itu
depresi, anorexia dan kelainan pada kulit juga dilaporkan dijumpai pada pasien SLE.8
Albilia dkk (2007) melaporkan bahwa 30% dari pasien SLE mengalami komplikasi
pada ginjal dan 40% dapat mengalami lesi pada rongga mulut.
Penyebab pasti dari penyakit SLE sam-pai saat ini masih belum diketahui.
Namun terdapat beberapa faktor yang diduga menjadi faktor risikodari penyakit ini,
yaitu genetik, lingkungan, regulasi sistem imun, hormonal, dan epigenetic (Bartels,et
al., 2013).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk melaksanakan asuhan keperawatan kepada anak dengan SLE
2. Tujuan Khusus
a) Menjelaskan konsep dasar penyakit pada klien dengan SLE
b) Menjelaskan pengkajian pada klien gangguan dengan SLE
c) Menjelaskan diagnosa keperawatan pada klien dengan SLE
d) Menjelaskan intervensi keperawatan pada klien dengan SLE
e) Menjelaskan implementasi keperawatan pada klien dengan SLE
f) Menjelaskan evaluasi keperawatan pada klien dengan SLE
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. PENGERTIAN
SLE adalah hasil dari regulasi sistem imun yang terganggu yang menyebabkan
produksi berlebihan dari autoantibodi. Pada kondisi normal tubuh manusia, antibody
diproduksi dan digunakan untuk melindungi tubuh dari benda asing (virus, kuman,
bakteri, dll). Namun pada kondisi SLE, antibody tersebut kehilangan kemampuan
untuk membedakan antara benda asing dan jaringan tubuh sendiri. Secara khusus,sel
B dan sel T berkontribusi pada respon imun penyakit SLE ini (Smeltzer, Bare, Hinkle,
Awitan penyakit ini sifatnya membayakan atau akut. SLE bisa saja tidak terdiagnosis selama
beberapa tahun. Proses klinis penyakit meliputi eksaserbasi dan remisi.
1. Gejala klasik
D. ETIOLOGI
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara
beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yangpaling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar
dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya
SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki saudara dengan
penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi umum.
2. Faktor Imunologi
Pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen PresentingCell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapareseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari
sel T. b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
c. Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti substrat antibodi
yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk
memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan.
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteriStreptococcus dan
Clebsiella.
b. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah
E. KLASIFIKASI
Ada tiga jenis type lupus :
1. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas pada
kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher, atau
kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang
terkena sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat
beberapa macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam
yang timbul, bersisik dan merah, tetapitidak gatal.
2. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ. Untuk
beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan kulit dan
sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ
dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orangdapat
memasuki masa dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain
penyakit ini dapat menjadi aktif (flare).
3. Drug-induced lupus
Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis hidralazin (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detak
jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat
ini akan terkena drug-induced lupus. Hanya 4 persen dari orang yang
mengkonsumsi obat itu yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4
persen itu, sedikit sekali yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan
dihentikan, maka gejala lupus ini biasanya akan hilang dengan sendirinyaDari
ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic Lupus
selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat menyerang
organ atau sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang
diserang. Meski begitu, pada orang lain bisa merusak persendian, paru-paru,
ginjal, darah, organ atau jaringan lain.Terdapat perbedaan antaraklasifikasi dan
diagnosis SLE. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan
temuan laboratorium dan mungkin tidak memenuhi kriteria klasifikasi American
College of Rheumatology (ACR) (Silvia & Lorraine, 2016).
F. PATOFISIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yangmenyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguanimunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal(sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usiareproduksi) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obatantertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapapreparat antikonvulsan disamping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibatdalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau
obat-obatan. Pada SLE,peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat
fungsi sel T supresoryang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan
kerusakanjaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi
seranganantibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali (Silvia & Lorraine,
2016).
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi
inimenimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
- Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
- sitokin dalam tubuh
- Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
- Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
- karena adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalamtubuh
yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang
tersebutmembentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada
jaringan/organyang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan
(Silvia & Lorraine, 2016).
PHATWAY
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan lab :
a) Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi
antinuklear, yang terdapat pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi
ini juga bisa ditemukan pada penyakit lain. Karena itu jika menemukan
antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk antibodi
terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir
spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan
dalam sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin
perlu dilakukan untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit
b) Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.
2. Radiology :
- Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau pericarditis(Silvia & Lorraine,
2016).
H. KOMPLIKASI
Lupus mungkin terlihat sebagai penyakit yang biasa terjadi pada kulit. Namun jika
tidak segera ditangani, lupus bisa menjadi momok bagi kehidupan Anda. Berikut ini
adalah beberapa komplikasi yang bisa terjadi jika penyakit lupus tidak ditangani
dengan cepat dan tepat:
1. Penyakit ginjal
Jika terjadi pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki setelah Anda divonis
mengidap lupus, maka itu adalah tanda bahwa eksresi cairan pada tubuh Anda
sudah tidak normal. Ada yang salah pada ginjal Anda. Pada kasus yang lebih
parah, gejalanya sampai urin bercampur darah hingga pasien mengalami gagal
ginjal.
2. Penyakit jantung
Komplikasi jantung yang paling umum terjadi pada penderita lupus adalah
terjadinya infeksi pada selaput pembungkus jantung, penebalan pembuluh darah,
dan melemahnya otot-otot jantung.
3. Penyakit paru-paru
1 dari 3 orang penderita lupus akan mengalami infeksi pada selaput pembungkus
paru-paru. Jika ini terjadi maka pasien akan merasakan sakit saat bernapas hingga
batuk berdarah.
4. Gangguan peredaran darah darah
Untuk penyakit yang satu ini pada penderita lupus, biasanya tidak ditemukan
gejala yang dapat dideteksi secara langsung. Gangguannya antara lain seperti
terganggunya distribusi oksigen dalam darah atau berkurangnya produksi sel
darah putih, dan anemia.
5. Gangguan saraf dan menta
Banyak dari penderita lupus yang mengalami susah konsentrasi, cepat lupa, sakit
kepala yang sangat parah, khawatir berlebihan, dan selalu gelisah. Hal ini
dikarenakan penyakit lupus lama-kelamaan akan melemahkan kerja saraf dan
menyebabkan stres pada pasien(Smeltzer. Suzanne C. 2013).
I. PENATALAKSANAAN MEDIS
Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan
selamanya. Tujuan pengobatan SLE adalah mengontrol manifestasi penyakit,
sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat,
sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan kematian
(Hockenberry & Wilson, 2009).
Tatalaksana primer pada SLE meliputi:
1. Mengurangi inflamasi dan meminimalisir komplikasi
Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:
a. Antiinflamasi non steroid (NSAIDs), untuk mengobati simptomatik artralgia
nyeri sendi.
f. Kalsium, Semua pasien LES yang mengalami artritis serta mendapat terapi
prednison berisiko untuk mengalami mosteopenia, karenanya memerlukan
suplementasi kalsium.
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan
kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium,
rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan
dan obat tradisional.
4. Aktivitas
Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan
karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk
menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim
pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat
meningkatkan timbulnya lesi kulit pada pasien LES.
5. Penatalaksanaan infeksi
Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri. Setiap kelainan urin harus
dipikirkan kemungkinan pielonefritis.
A. Pengkajian
1. Identitas
Penyakit SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kebanyakan menyerang wanita, bila
dibandingkan dengan pria perbandingannya adalah 8 : 1. Penyakit ini lebih sering
dijumpai pada orang berkulit hitam dari pada orang yang berkulit putih.
2. Keluhan utama
Pada SLE ( sistemik lupus eritematosus ) kelainan kulit meliputi eritema malar
(pipi) ras seperti kupu-kupu, yang dapat mengenai seluruh tubuh, sebelumnya
pasien mengeluh demam dan kelelahan.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pada penderita SLE, di duga adanya riwayat penyakit anemia hemolitik,
trombositopeni, abortus spontan yang unik. Kelainan pada proses pembekuan
darah ( kemungkinan sindroma, antibody, antikardiolipin ).
4. Riwayat penyakit keluarga
Faktor genetik keluarga yang mempunyai kepekaan genetik sehingga cenderung
memproduksi auto antibody tertentu sehingga keluarga mempunyai resiko tinggi
terjadinya lupus eritematosus.
5. Pola – pola fungsi kesehatan
o Pola nutrisi
Penderita SLE banyak yang kehilangan berat badannya sampai beberapa kg,
penyakit ini disertai adanya rasa mual dan muntah sehingga
mengakibatkan penderita nafsu makannya menurun.
o Pola aktivitas
Penderita SLE sering mengeluhkan kelelahan yang luar biasa.
o Pola eliminasi
Tidak semua dari penderita SLE mengalami nefritis proliferatif mesangial,
namun, secara klinis penderita ini juga mengalami diare.
o Pola sensori dan kognitif
Pada penderita SLE, daya perabaannya akan sedikit terganggu bila pada jari –
jari tangannya terdapat lesi vaskulitik atau lesi semi vaskulitik.
o Pola persepsi dan konsep diri
Dengan adanya lesi kulit yang bersifat irreversibel yang menimbulkan bekas
seperti luka dan warna yang buruk pada kulit penderita SLE akan membuat
penderita merasa malu dengan adanya lesi kulit yang ada.
6. Pemeriksaan Fisik
o Sistem integument
Pada penderita SLE cenderung mengalami kelainan kulit eritema molar yang
bersifat irreversibel.
o Kepala
Pada penderita SLE mengalami lesi pada kulit kepala dan kerontokan yang
sifatnya reversibel dan rambut yang hilang akan tumbuh kembali.
o Muka
Pada penderita SLE lesi tidak selalu terdapat pada muka/wajah
o Telinga
Pada penderita SLE tidak selalu ditemukan lesi di telinga.
o Mulut
Pada penderita SLE sekitar 20% terdapat lesi mukosa mulut.
o Ekstremitas
Pada penderita SLE sering dijumpai lesi vaskulitik pada jari-jari tangan dan
jari jari-jari kaki, juga sering merasakan nyeri sendi.
o Paru – paru
Penderita SLE mengalami pleurisy, pleural effusion, pneumonitis, interstilsiel
fibrosis.
o Leher
Penderita SLE tiroidnya mengalami abnormal, hyperparathyroidisme,
intolerance glukosa.
o Jantung
Penderita SLE dapat mengalami perikarditis, myokarditis, endokarditis,
vaskulitis.
o Gastro intestinal
Penderita SLE mengalami hepatomegaly / pembesaran hepar, nyeri pada
perut.
o Muskuluskletal
Penderita mengalami arthralgias, symmetric polyarthritis, efusi dan joint
swelling.
o Sensori
Penderita mengalami konjungtivitis, photophobia.
o Neurologis
Penderita mengalami depresi, psychosis, neuropathies.
7. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat ditemukan dengan melakukan biopsi kulit. Pada pemeriksaan
histologi terlihat adanya infiltrat limfositik periadneksal, proses degenerasi berupa
mencairnya lapisan basal epidermis penyumbatan folikel, dan hyperkeratosis.
Imunofluoresensi langsung pada kulit yang mempunyai lesi memberikan
gambaran pola deposisi immunoglobulin seperti yang terlihat pada SLE.
Pemeriksaan laboratorium yang penting adalah pemeriksaan serologis terhadap
autoantibodi / antinuklear antibodi / ana yang diproduksi pada penderita le.
Skrining tes ana ini dilakukan dengan teknik imunofluoresen indirek, dikenal
dengan fluorescent antinuclear antibody test ( fana ).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan peningkatan aktivitas penyakit,
kerusakan jaringan, keterbatasan mobolitas atau tingkat toleransi yang rendah.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,
kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik,
kurangnya atau tidak tepatnya pemakaian alat-alat ambulasi.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan ketergantungan fisik
serta psikologis yang diakibatkan oleh penyakit kronik.
C. Intervensi Keperawatan
E. Evaluasi Keperawatan
Proses akhir dari asuhan keperawatan meliputi :
S : Respon subjectif berdasarkan keluhan dan perasaan yang dirasakan pasien
O : Respon objectiv yang didapat dari hasil observasi
A : Analisis situasi dari masalah keperawatan
P : Intervensi selanjutnya, apakah rencana keperawatan dihentikan atau dilanjutkan.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA An ‘’R’’ DENGAN SLE DI RUANGAN ANAK
(KRONIS) RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : An. R
No MR : 1910200107
Tempat tanggal lahir : 15 Maret 2009
Usia : 10 Tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Tanggal masuk : 27 Desember 2019 (15.28 WIB)
Tanggal pengkajian : 28 Desember 2019 (11.17 WIB)
Diagnosa medik : SLE (Sistemik Lupus Eritematosus)
Alamat : Jl. Ampera No. 10 Kampung Baru Lubeg
b. Ibu
Nama : Tn. J
Usia : 36 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Dagang
Alamat : Jl. Ampera No. 10 Kampung Baru Lubeg
STATUSKESEHAT
NO NAMA USIA HUBUNGAN
AN
1 An. R (L) 10 Tahun Pasien Sakit
2 An. N (P) 6 Tahun 8 Adik Kandung Sehat
bulan
3 An. L (P) 3 Tahun 6 Adik Kandung Sehat
Bulan
4. Alasan Masuk
Ibu pasien mengatakan pasien masuk ke ruangan rawat inap anak kronis pada
tanggal 27 Desember 2019 pukul 15. 28 WIB melalui IGD RSUP. DR. M.
Djamil Padang dengan keluhan kejang terutarama pada tangan kiri sejak 1
minggu yang lalu.
5. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Pada saat pengkajian pada tanggal 27 Desember 2019 pukul 11.17
WIB. Ibu pasien mengatakan kejang pada anak sudah tidak ada, ibu
pasien juga mengatakan anaknyamengeluh nyeri pada seluruh
sendinya. Nyeri sendi yang dirasakan terasa lebih nyeri pada pagi hari
saat bangun tidur, sehingga aktivitas sehari-hari dilakukan di tempat
tidur atau dibantu dengan keluarga, pasien mengekspresikan rasa nyeri
nya dengan diam dan kadang-kadang menangis jika nyeri bertambah
hebat terutama saat digerakkan. Skala nyeri 6 Terdapat ruam/bercak
kemerahan pada kulit seluruh tubuh klien. Terdapat bercak kemerahan
di pipi dan T-face (butterfly rash). Suhu tubuh klien kurang stabil,
masih terjadi peningkatan suhu tubuh 38,3‘c
TTV pasien, N: 102x/i, S:38,3 ‘c, RR: 26x/i.
P= gejala penyakit sle
Q = seperti di tusuk-tusuk
R = seluruh sendi di tubuh
S=6
T = pada pagi hari& saat digerakkan
6. Riwayat Imunisasi
8. Riwayat Nutrisi
a. Pemberian ASI
Ibu pasien mengatakan memberikan ASI , dan nasi tim
b. Pemberian susu formula
Ibu pasien mengatakan pernah memberikan anak susu formula
Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini :
9. Riwayat psikososial
Anak tinggal bersama : Ibu dan Ayah pasien (Orang tua anak)
Lingkungan :
Ibu pasien mengatakan tinggal dilingkungan jauh dari jalan
raya/umum, jauh dari kebisingan motor/mobil
Rumah ada tangga :
Ibu pasien mengatakan rumah tidak bertingkat, ada 2 kamar dirumah,
anak tidur dengan ibu (orang tua anak)
Hubungan antar anggota keluarga :
Ibu pasien mengatakan hubungan antara anak, suami, dan ibu baik
Pengasuh anak :
Ibu pasien mengatakan tidak mempunyai pengasuh untuk ananknya,
Untuk merawat anak, anak dirawat oleh orang tua sendiri.
10. Riwayat spritual
Support system dalam keluarga: baik
Kegiatan keagamaan : keluarga melaksanakan ibadah sholat 5 waktu
11. Reaksi hospitalisasi
a. Pengalaman keluarga tentang sakit dan rawat inap
- Ibu membawa anak ke RS karena anak muntah dan BAB encer sejak
1 hari yang lalu
- Ibu pasien mengatakan dokter ada menjelaskan ttentang penyakit
anak dan tindak lanjut/perawatan yang dibutuhkan anak
- Ibu pasien mengatakan ibu selalu bersama anak selama di rawat
b. Pemahaman anak tentang sakit dan rawat inap
Anak belum mengerti karena usia anak 9 bulan
BAK BAK
- 4-6x Sehari ± 15-25 cc dalam - > 10x/ hari jumlah ± 25-30
1x pembuangan cc dalam 1 x pembuangan
- Warna kuning jernih - Warna kuning jernih
- Bau amoniak - Bau amoniak
Obat pencahar
Tidak pernah menggunakan obat Tidak pernah menggunakan
pencahar obat pencahar
Pola tidur
Frekuensi Pasien tidur selama 7-8 jam Pasien tidur hanya selama 2-3
sehari jam
Tidur siang : 10-15 menit Tidur siang : -
Tidur malam : 07.30 – 05.00 Tidur malam : 01.00 – 03.00
Wib (sering terbangun tengah
malam, anak minta disusui)
Keluhan
Ibu pasien mengatakan tidak ada Ibu pasien mengatakan sering
mengalami masalah dengan pola terbangun tengah malam dan
tidurnya, tidur cukup namun tidur pasien tidak nyenyak
pasien bangun bila menyusui
Personal hygiene Ibu pasien mengatakan anak Ibu pasien mengatakan
mandi 2x sehari, menggunakan membersihkan badan anak
sabun dan sampo, kuku hanya dengan di lap dan
digunting bila sudah panjang, pakaian diganti 1x sehari
mandi teratur dan selalu
mengganti pakaian sehabis
mandi,
a. Keadaan umum :
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital :
TD : 110/80 mmhg
N : 89x/i
S : 38,9 °c (36,5-37,5 ‘c )
RR : 20x/i (20-26 x/i)
BB Sehat : 8 Kg, BB Sakit : 7 Kg
TB : 67
b. Pemeriksaan kepala
Inspeksi : simetris, ubun-ubun besar cekung, bulat
Karekteristik rambut :Rambut bersih, kulit kepala bersih, warna
rambut hitam
Kebersihan : rambut bersih
Palpasi : Tidak ada hematom, massa atau lesi kepala
c. Pemeriksaan mata
Inspeksi : mata cekung, tidak Ikterus, conjungtiva tidak anemis,
reflek pupil (+/+), pupil bulat isokor
Tanda radang : Tidak ada
Edema palpebra : Ada edema palpebra
d. Pemeriksaan telinga
Inspeksi : Tidak ada serumen
Tes pendengaran : pendengaran (+), tidak ada gangguan
pendengaran, tidak menggunakan alat bantu
pendengaran
e. Hidung
Simetris/ tidak : simetris
Membran mukosa : baik, tidak ada secret
Tes penciuman/ ketajaman membedakan bau : baik
g. Leher
Inspeksi leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada kaku
kuduk
Palpasi : tidak teraba massa atau benjolan.
h. Thorak
Inspeksi : Bentuk simetris, warna rata kiri dan kanan, tidak ada
perubahan warna, tidak ada retraksi dinding dada, irama nafas
teratur
Palpasi : Vocal fremitus (tidak dikaji)
Perkusi : sonor
Auskultrasi : Suara nafas vesikuler
i. Kardiovaskuler
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis pasien teraba di 2 jari LMCS RIC V
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultrasi : Tidak ada suara tambahan, irama teratur
j. Abdomen
inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Hepar, lien tidak teraba, tidak ada pembesaran hepar.
Perkusi : Tympani
Auskultrasi : Bising usus (+)
k. Neurologi
Tingkat kesadaran : composmentis
Pemeriksaan refleks : Baik
Pemeriksaan motorik :Baik
Pemeriksaan sensorik :Baik
l. Ekstremitas
Terdapat adanya ganguan karena pasien mengeluhkan nyeri di seluruh sendri
pada bagian tubuhnya.
Pada ekstremitas atas pasien terpasang cairan Nacl 500 cc tetesan 20x/i.
m. Genitalia
Inspeksi : Kebersihan baik
Anus : Ada, Baik.
n. Status Neurologi
Nervus I : Baik
Nervus II : Baik, anak dapat melihat sekelingnya, respon
penglihatan anak baik
Nervus III, IV, VI : normal
Refleks pupil kiri/kanan : (+/+)
Gerakan kelopak mata : Baik
Pergerkan bola mata : Baik, bola mata anak mengikuti kearah
anak melihat
Nervus V
Refelks dagu : Baik
Reflek cornea : Baik
Nervus VII
Gerakan mimik : Gerakan mimik wajah anak baik, anak dapat
mengespresikan bila tidak nyaman menangis dengan kuat
Pengecapan : Tidak dilakukan
Nervus VIII
Funsi endengaran anak baik, anak menoleh bila di panggil
Nervus IX dan X
Refleks menelan : Anak dapat menelan makan lunak
Refleks muntah : Anak dapat muntah dengan spontan
Nervus XI
Anak dapat menggerkan kepala ke kanan dan kekiri
Tanda-tanda perangsangan otak
Tidak ada kaku kuduk
q. Terapi pengobatan
Protein : 40 g/hr
Paracetamol : 100 mg
Prednisin : 3x3 tab
Allopurnol : 3x100 mg
Calk : 2x500 mg
Captupril : 3x12,5 mg
Simvastatin : 1x10 mg
Vitamin D : 1x5000
Cairan Nacl 500 ml 20 tetesx/i
B. Analisa data
DO :
Membentuk toksin
BAB >4x/hari dengan warna
kuning encer,
BAK > 10x/ hari jumlah ± 25- Mengganggu absorbsi
30 cc dalam 1x pembuangan usus
warna kuning jernih, bau
amoniak Menimbulkan sekresi
menangis elektrolit
nyeri6Do :
Membentuk toksin
Makanan pasien tidak habis 1
porsi
Mengganggu absorbsi
pasien makan hanya
usus
menghabiskan 2 sendok makan
makanan pasien jenis makanan
lunak (2 bulat sereal yang Menimbulkan sekresi
dilumetkan dengan air). berlebihan air dan
BB Sehat : 8 Kg elektrolit
BB sakit : 7 kg
Anak gelisah dan rewel, sering Diare, muntah
menangis
Tidak nafsu makan
Mukosa mulut dan bibir
tampak kering,
Gangguan nutrisi kurang
Pasien terpasang cairan WIDA
dari kebutuhan tubuh
D5-NS GLUKOSA 5% tetesan
60x/i.
TTV pasien, N: 102x/i,
S:36,5 ‘c, RR: 26x/i.
HB : 10,4 g/dl
DS:
C. Diagnosa
1. Defisit volume cairan
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
3. hipertermia
2.Gangguan nutrisi kurang Nutritional status : food and fluid intake Nutrition management :
dari kebutuhan tubuh 1. Beri penjelasan ke
Kriteria hasil: yang dialami anak
1. Adanya peningkatan berat badan sesuai 2. Anjurkan ibu unt
dengan tujuan sehari-hari untuk a
2. berat badan ideal anak makanan dal
3. mampu mengidentifikasi kebutuhan sering dan ASI
nutrisi 3. Dorong ibu untuk m
4. tidak ada tanda-tanda malnutrisi 4. Kaji Adanya alergi
5. tidak terjadi penurunan berat badan 5. yakinkan diet
mengandung tingg
yang terpilih
6. monitor jumlah
kalori
7. Berikan informasi
8. Kolaborasi deng
kebutuhan nutrisi p
9. Kaji TTV
DAFTAR PUSTAKA
Silvia & Lorraine, 2016 .Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10. Jakarta:EGC
Robins, 2017. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2015. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
Smeltzer. Suzanne C. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.