Anda di halaman 1dari 37

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

BELLA CINDY DELILA


ILYAS ISMAIL SHALEH
DEFINISI

• Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang


kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan
melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh

*Autoimun berarti bahwa sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri.


Pada SLE ini, sistem imun terutama menyerang inti sel.

JURNAL SCIENTIAE EDUCATIA VOLUME 2 EDISI 1, 2013

- Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi autoimun


sistemik yang ditandai dengan temuan antibodi pada jaringan dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan manifestasi klinis di berbagai
sistem organ.
Kapita selekta kedokteran edisi IV, 2014
EPIDEMIOLOGI

• Di Indonesia, jumlah penderita penyakit lupus secara tepat belum diketahui.


Prevalensi SLE di masyarakat berdasarkan survey yang dilakukan oleh Prof.
Handono kalim, dkk Malang memperlihatkan angka sebesar 0,5 % terhadap
total populasi.
Situasi Lupus di Indonesia, 2017

• Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka


kematian yang cukup tinggi
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011

• Belum terdapat data epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah


Indonesia
Perhimpunan Rematologi Indonesia, 2011
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

• Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun kronis yang belum
diketahui penyebabnya

• Faktor risiko penyakit LES adalah :


1. Faktor Genetik :
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan.
HC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit
Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE.
2. Faktor imunologi
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen
kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami
perubahan pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal
ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif
yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B
juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi
tidak normal
3. Faktor Hormonal
Faktor Hormonal : Peningkatan hormon terutama estrogen dalam tubuh dapat
memicu terjadinya SLE.
4. Faktor Lingkungan :
a. Infeksi virus dan bakteri
• Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.
Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus
dan Clebsiella.
• b. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid
c. Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan
sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat
tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah
d. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan terganggu
ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada
seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak awal.
KLASIFIKASI

• Klasifikasi LES dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan tingkat keparahan


gejalanya :
A. Derajat ringan : tidak ditemukan gejala klinis yang mengancam, fungsi
sistem organ dalam batas normal
B. Derajat sedang : ditemukan lupus nefritis (kelas I dan II ),
Trombositopenia
C. Derajat berat/mengancam jiwa
Kapita selekta kedokteran edisi IV, 2014
MANIFESTASI KLINIS

SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat eksaserbasi dan remisi. Penyakit ini
menyerang berbagai macam organ seperti kulit, ginjal, muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta
rongga mulut.
 Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal dari proteinuria asimtomatik yang kemudian
berkembang dengan cepat menjadi glomerulonefritis progresif disertai dengan gagal ginjal.
 Manifestasi pada muskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi
temporomandibular dan nekrosis avaskular.
 Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis. Kebanyakan gambaran klinis SLE pada
kulit berupa lesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada
wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly rash karena membentuk seperti sayap
kupu-kupu, telinga, dagu, daerah leher, punggung atas, dan bagian ekstensor dari lengan. Selain itu
juga dapat terjadi fenomena reynaud
• Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) pada pasien SLE ddisebabkan oleh vaskulitis
serebral atau kerusakan saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang,
myelitis
• SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis, kerusakan
endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga terjadi, arterosklerosis akan
meningkat dengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner. Kecenderungan peningkatan
trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya kelainan pada fibrinolisis, protein antikoagulan
(protein S), dan adanya antibodi antifosfolipid.
• Beberapa manifestasi oral yang timbul pada pasien SLE, antara lain :
a. Xerostomia
 penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering terutama ketika makan makanan panas dan
pedas.
b. Lesi Ulserasi
 Lesi ulser pada SLE berukuran lebih dari 1 cm, dengan tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan eritema halo.
Ulser ini dapat timbul sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada pasien lupus sering ditemukan pada
mukosa bukal, gingiva, palatum, serta meluas ke daerah faring. Lesi juga dapat tidak spesifik, asimtomatik, dan bila
semakin parah akan menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman, namun pada pasien lupus, ulser biasanya timbul pada saat
lupus teraktifasi (flare up)
 Penyembuhan lesi ini cenderung membentuk jaringan parut dan fibrosis.
Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk garis-garis yang
sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini dapat dikatakan mirip dengan
lichen planus
hal ini disebabkan karena keduanya merupakan kelainan inflamasi mukokutaneus imunologik
kronik yang memiliki gambaran keratotik, berwarna kemerahan, dan disertai ulser
pada pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen planus,
yaitu pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah, sementara pada
lichen planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut
c. Lesi Diskoid

• Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian tepi vermillion yang sering
terpajan dengan sinar matahari
• sementara itu bibir bagian atas juga dapat terkena akibat perluasan langsung dari lesi diskoid yang
terdapat pada kulit. Lesi biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun lama- kelamaan berubah
menjadi lesi keratotik dan bersisik, Bila sisik diangkat, maka bibir akan perih dan menimbulkan
perdarahan.
d. Kandidiasis Oral
• Kandidiasis pseudomembran akut (trush) merupakan suatu infeksi oportunistik yang
disebabkan oleh jamur candida albicans superfisial dan menjadi komplikasi paling sering
akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik
• thrush terlihat sebagai plak-plak putih, berkelompok, mempunyai tepi eritematosus, dan
jika dikerok akan meninggalkan permukaan yang merah, kasar atau berdarah
e. Lesi Mirip Lichen Planus
Pada pasien SLE dapat terlihat beberapa lesi
mirip lichen planus, namun tidak disertai ulserasi.
Lesi terlihat berupa garis-garis atau papula-
papula putih halus berkilauan yang tersusun
dalam satu jaringan mirip jala dan pada umumnya
tidak sakit. Lesi biasanya dapat terlihat di pipi,
lidah, bibir, gusi dan palatum
Lesi lain yang juga dapat terlihat pada pasien SLE
merupakan lesi bercak- bercak pada mukosa yang
berwarna merah, tanpa disertai ulserasi. Striae sering
terlihat di tepi lesi. Dapat terlihat di pipi, lidah, gusi, dan
palatum
LESI ULSERASI LICHEN PLANUS-LIKE
DIAGNOSIS
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011
 Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis
SLE mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan.
 Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat tinggi
kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan diagnosis bergantung
pada pengamatan klinis.
 Pada hasil tes ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan
bukan SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan tidak terlihat
manifestasi klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini
memerlukan observasi jangka panjang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk


Diagnosis dan Monitoring
• Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
• Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
• Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
• PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
• Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)
• Foto polos thorax
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011
Pemeriksaan Serologi pada SLE
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes
ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan
gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif
sebesar 95-100%

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA. Antibodi
anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit
lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti
menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya
sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE.

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011


- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk
SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2011


TATALAKSANA

Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik


• Edukasi dan konseling
• Program rehabilitasi
• Pengobatan medikamentosa :
1. OAINS
2. Antimalaria
3. . Steroid
4. Imunosupresan / Sitotoksik
5. Terapi lain
EDUKASI DAN KONSELING

• Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh
pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri
• Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan
dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti
melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika
terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan,
displidemia
PROGRAM REHABILITASI

• Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien SLE,
antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, Berbagai latihan diperlukan
untuk mempertahankan kestabilan sendi.
• Modalitas Fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa
nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot.
• Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.
kemudian melakukan latihan ortotik,
OBAT-OBATAN

• 1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)


 NSAID dapat digunakan untuk menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan
jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan
tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti mual,
muntah, diare dan perdarahan lambung.
 Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena.
Contoh : Metilprednisolon. Beberapa efek samping dari mengonsumsi kortikosteroid
terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko
infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon
face.
3. Antimalaria

 Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari hydroxychloroquinon dan
kloroquin. Obat antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi
4. Immunosupresan
Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien SLE seperti azathioprine
(imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate, cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab
Cara Pemberian Kortikosteroid Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam
nyawa, induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena
dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon (MP). Diberikan selama 3 hari
berturut-turut
Cara pengurangan dosis kortikosteroid
untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat
dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg
setiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5
mg/ hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari. Selanjutnya
dipertahankan dalam dosis rendah untuk mengontrol aktivitas penyakit.
PENGOBATAN SLE BERDASARKAN AKTIVITAS
PENYAKITNYA.

Anda mungkin juga menyukai