Anda di halaman 1dari 18

REFLEKSI KASUS JANUARI 2017

GANGGUAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANG


ANAK PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

Nama : Evydeline Christy Karsita

No. Stambuk : N 111 16 065

Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU
PENDAHULUAN

Pertumbuhan fisik dapat dibagi dalam dua bagian, pertumbuhan


(growth) dan perkembangan (development). Pertumbuhan menunjukkan
bertambah besar badan dalam keseluruhan, bagian badan, atau jaringan yang
terjadi saat proses menuju dewasa. Pertumbuhan dapat berarti pertambahan
jumlah sel secara simultan (hiperplasia) atau bertambahnya ukuran (hipertrofi).
Sedangkan perkembangan menunjukkan perubahan- perubahan lain yang terjadi
selama proses menuju dewasa, seperti diferensiasi organ tubuh dan jaringan
selama masa janin, maturasi alat pencernaan yang efisien sesudah kelahiran,
maturasi dari kerangka selama masa kanak-kanak, dan produksi antibodi selama
hidup untuk memberi kekebalan tubuh.1,2
Pertumbuhan selama masa kanak-kanak tergantung pada faktor-faktor
perinatal, termasuk gizi saat kehamilan, tinggi potensi genetik dari orang tua dan
nutrisi selama masa pertumbuhan. Pertumbuhan juga dipengaruhi oleh sejumlah
hormon, misalnya hormon pertumbuhan (growth hormone), insulin dan hormon
seks seperti estrogen, progesteron dan androgen.2
Pertumbuhan dinilai dengan pengukuran antropometrik, yaitu tinggi atau
panjang badan, berat badan, volume dan tebal jaringan dibandingkan
dengan pertumbuhan baku.1
Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah permasalahan pada struktur jantung
yang tampak setelah kelahiran. Kelainan ini dapat melibatkan bagian dalam
dinding jantung, klep di dalam jantung, atau arteri dan vena yang membawa darah
ke jantung atau ke seluruh tubuh. Angka kejadian PJB di Indonesia adalah 8 tiap
1000 kelahiran hidup. Jika jumlah penduduk Indonesia 200 juta, dan angka
kelahiran 2%, maka jumlah penderita PJB di Indonesia bertambah 32000 bayi
setiap tahun. Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu
penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik.
Penyakit jantung bawaan sianotik ditandai oleh adanya sianosis sentral.3,4
KASUS

Identitas Pasien :

Nama : An. h

Umur : 9 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Tondo

I. Anamnesis
Riwayat penyakit : Anak mengalami kebriruan pada bagian mukosa
mulut, bagian bawah mata, ujung hidung, dan
bagian kuku. Keluhan dirasakan sejak lahir dan
keluhan semakin nampak jika anak menangis dan
melakukan aktifitas berat. Pada saat bayi refleks
hisap tidak bagus. Saat usia 7 bulan anak
diperiksakan ke dokter umum dan dilakukan foto
rontgen kemudian pasien disarankan untuk
dirujuk ke Jakarta untuk berobat lanjut tetapi
keluarga masih melakukan pertimbangan. Setelah
anak berusia 3 tahun 11 bulan, anak kemudian
dirujuk ke Jakarta, anak kemudian di diagnosis
mengalami penyakit jantung bawaan TOF
(Tetralogi of Falot) sehingga anak dilakukan
pembedahan total koreksi. Makan dan minum
seperti biasa, namun pasien tidak dapat mencerna
makanan yang keras. Setelah dilakukan operasi
anak dapat melakukan aktifitas seperti anak yang
lainnya, tidak pernah lagi menngalami kebiruan,
tapi pertumbuhan dan perkembangan anak
terhambat tidak seperti anak yang normal
seumuran dengan pasien. Berat badan anak susah
bertambah

Riwayat sosio-ekonomi : Menengah, ibu pasien merupakan pegawai negeri

Riwayat kebiasaan dan lingkungan: Merupakan anak yang aktif namun tidak
dapat melakukan komunikasi dengan
orang lain.

Riwayat kehamilan dan persalinan: Persalinan normal ditolong oleh bidan,


lahir tidak langsung menangis. Sianosis
(+), persalinan lama (partus macet)
sehingga sejak jam 12 malam sampai jam
8 pagi pasien baru lahir. Berat lahir 1,8
kg, panjang lahir 50 cm. Kehamilan cukup
bulan, saat hamil ibu pasien rutin
melakukan ANC dan pernah melakukan
USG saat usia kehamilan 5 bulan namun
tidak ditemukan kelainan saat kehamilan.
Pada saat hamil ibu pasien susah makan
dan penyakit maag. Selama kehamilan ibu
pasien tidak pernah minum obat dan
mengalami sakit.

Riwayat kemampuan dan kepandaian bayi: Mengangkat leher kuat 7 bulan,


duduk tanpa bantuan usia 1
tahun.

Anamnesis makanan : - ASI (3 hari)

- susu formula (usia lahir- sekararang)


- makanan lunak (usia 1 tahun-sekarang)

Riwayat Imunisasi : Lengkap


II. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : sehat

Berat badan : 18,5 kg

Panjang badan : 113 cm

Status gizi : Gizi kurang CDC 87 %

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital :

Denyut nadi : 128 kali/menit

Pernapasan : 32 kali/menit

Suhu : 36,80c

Pemeriksaan Sistemik :

Kulit : sianosis (-), pucat (-), ikterus (-), turgor baik,

Kepala : bentuk normal, simetris, tidak ada deformitas, rambut berwarna


hitam, mata cekung (-), konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
sianosis (-), rhinorrhea (-), otorrhea (-)

Leher : pembesaran getah bening (-), nyeri tekan kelenjar getah bening (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-), T1/T1 hiperemis (-)

Paru

Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri


Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri

Perkusi : sonor kanan dan kiri

Auskultasi : Bronkovesikuler kanan dan kiri, Ronki (-), wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V midclavicula sinistra

Auskultasi : bunyi jantung I dan II ireguler, murmur (+) SIC V


midclavicla sinistra

Abdomen

Inspeksi : abdomen datar

Auskultasi : peristaltik usus (+) kesan normal

Palpasi : nyeri tekan (-), hepar, renal dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

Genitalia : normal

Ekstremitas : akral hangat, edema (-)

Resume:
Anak mengalami kebriruan pada bagian mukosa mulut, bagian bawah
mata, ujung hidung, dan bagian kuku. Keluhan diru dirasakan sejak lahir dan
keluhan semakin nampak jika anak menangis dan melakukan aktifitas berat. Pada
saat bayi refleks hisap tidak bagus. Saat usia 7 bulan anak diperiksakan ke dokter
umum dan dilakukan foto rontgen kemudian pasien disarankan untuk dirujuk ke
Jakarta untuk berobat lanjut tetapi keluarga masih melakukan pertimbangan.
Setelah anak berusia 3 tahun 11 bulan, anak kemudian dirujuk ke Jakarta, anak
kemudian di diagnosis mengalami penyakit jantung bawaan TOF (Tetralogi of
Falot) sehingga anak dilakukan pembedahan total koreksi. Makan dan minum
seperti biasa, namun pasien tidak dapat mencerna makanan yang keras. Setelah
dilakukan operasi anak dapat melakukan aktifitas seperti anak yang lainnya, tidak
prnah lagi menngalami kebiruan, tapi pertumbuhan dan perkembangan anak
terhambat tidak seperti anak yang normal seumuran dengan pasien. Berat badan
anak susah bertambah.

Persalinan normal ditolong oleh bidan, lahir tidak langsung menangis.


Sianosis (+), persalinan lama (partus macet) sehingga sejak jam 12 malam sampai
jam 8 pagi pasien baru lahir. Berat lahir 1,8 kg, panjang lahir 50 cm. Kehamilan
cukup bulan, saat hamil ibu pasien rutin melakukan ANC dan pernah melakukan
USG saat usia kehamilan 5 bulan namun tidak ditemukan kelainan saat
kehamilan. Pada saat hamil ibu pasien susah makan dan penyakit maag. Selama
kehamilan ibu pasien tidak pernah minum obat dan mengalami sakit. Auskultasi
jantung : bunyi jantung I dan II ireguler, murmur (+) SIC V midclavicla
sinistra

Diagnosis kerja : Penyakit Jantung bawaan (TOF)


DISUSI

Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah permasalahan pada struktur jantung


yang tampak setelah kelahiran. Kelainan ini dapat melibatkan bagian dalam
dinding jantung, klep di dalam jantung, atau arteri dan vena yang membawa darah
ke jantung atau ke seluruh tubuh. Ada banyak jenis PJB, dari cacat sederhana
dengan tidak ada gejala sampai cacat kompleks dengan gejala yang berat dan
mengancam jiwa.3
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. Pelbagai jenis
obat, penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab
eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal
kehamilan dapat menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen
terdapat pula faktor endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Pelbagai
jenis penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB.4
Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok, yaitu
penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan nonsianotik.
1. PJB NON – SIANOTIK
a. Defek Septum Ventrikel (DSV)
DSV merupakan PJB yang sering ditemukan, yaitu sekitar 30%
dari semua PJB.5 Defek Septum Ventrikel (DSV) adalah kelainan jantung
berupa lubang pada sekat antar bilik jantung, menyebabkan kebocoran
aliran darah pada bilik kiri dan kanan jantung.6 Hal ini mengakibatkan
sebagian darah kaya oksigen kembali ke paru-paru, sehingga menghalangi
darah rendah oksigen memasuki paru-paru.6
b. Defek Septum Atrium
Defek Septum Atrium (DSA) adalah defek pada sekat yang
memisahkan atrium kiri dan kanan. Secara anatomis defek ini dibagi
menjadi defek septum atrium primum, sekundum, tipe sinus venosus, dan
tipe sinus koronarius. 3
c. Duktus Arteriosus Persisten
Duktus Arteriosus Persisten (DAP) disebabkan oleh duktus
arteriosus yang tetap terbuka setelah bayi lahir.Jika duktus tetap terbuka
setelah penurunan resistensi vaskular paru, maka darah aorta dapat
bercampur ke darah arteri pulmonalis. 3
d. Stenosis Pulmonal
Pada stenosis pulmonalis (SP) terjadi obstruksi aliran keluar
ventrikel kanan atau arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya. Bayi dan
anak dengan stenosis ringan umumnya asimptomatik dan tidak sianosis
sedangkan neonatus dengan stenosis berat atau kritis akan terlihat takipneu
dan sianosis.3
e. Stenosis Aorta
Stenosis Aorta (SA) merupakan penyempitan aorta yang dapat
terjadi pada tingkat subvalvular, valvular, atau supravalvular. Kelainan ini
mungkin tidak terdiagnosis pada masa anak-anak karena katub berfungsi
normal. Bayi dengan Stenosis Aorta derajat berat akan timbul gagal
jantung kongestif pada usia minggu-minggu pertama atau bulan-bulan
pertama kehidupannya.3
2. PJB SIANOTIK
a. Tetralogi of Fallot
Tetralogi of Fallot (ToF) merupakan kombinasi 4 komponen, yaitu
defek septum ventrikel, overriding aorta, stenosis pulmonal serta hipertrofi
ventrikel kanan. Komponen yang paling penting yang menentukan derajat
beratnya penyakit adalah stenosis pulmonal bahkan dapat berupa atresia
pulmonal. 3
b. Transposisi Arteri Besar
Pada TAB terjadi perubahan tempat keluarnya arteri besar, yakni
aorta keluar dari ventrikel kanan dan terletak di sebelah anterior arteri
pulmonalis, sedangkan arteri pulmonalis keluar dari ventrikel kiri, terletak
posterior terhadap aorta. Akibatnya, aorta menerima darah vena sistemik
dari vena kava, atrium kanan, ventrikel kanan, dan darah diteruskan ke
sirkulasi sistemik serta darah dari vena pulmonalis dialirkan ke atrium
kiri, ventrikel kiri, dan diteruskan ke arteri pulmonalis dan paru. Dengan
demikian, maka kedua sirkulasi sistemik serta paru tersebut terpisah dan
kehidupan hanya dapat berlangsung apabila ada komunikasi antara 2
sirkulasi ini.3

Gambar 2.1. Kurva Kecepatan Tumbuh pada Anak Lelaki (Garis Ungu) dan
Perempuan (Garis Kuning) dan Faktor yang Berpengaruh.

Pertumbuhan linier dipengaruhi oleh berbagai faktor yang merupakan


interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Status nutrisi dan faktor lainnya,
terutama penyakit kronis sangat memperngaruhi proses pertumbuhan. Pengaruh
tersebut dapat langsung pada lempeng pertumbuhsn tulang panjang yang diatur
oleh berbagai hormon dan faktor parakrin atau autokrin. Growthhormone, IGF-1,
glukokortikoid, dan hormon tiroid merupakan regulator utama pertumbuhan pada
anak, sedangkan hormon steroid seks berperan pada pace tumbuh di masa
pebuertas dan fusi epifisis.10
Pada kondisi dengan asupan nutrisi kurang baik protein maupun kalori,
dan peningkatan katabolisme protein, sehingga mengakibatkan restrikso protein
tubuh dapat menekan pertumbuhan linier. Hal ini terjadi akibat penekanan aksis
GH-IGF1, sehingga kadar IGF-1 rendah. Kadar IGF-1 secara klinis digunakan
untuk mengetahui status nutrisi. Kadar IGF-1 menurun pada keadaan puasa atau
kelaparan. Setelah seminggu kelaparan kadar IGF-1 setara dengan kadar IGF-1
pada kondisi hipopituitari, dengan kadar GH yang meningkat.10
Pertumbuhan intrauterine dipengaruhi oleh hormon insulin, IGF-1, dan
IGF-II. IGF-II lebih berperan di masa janin awal, sedangkan IGF-1 lebih berperan
pada masa yang lebih penting bagi pertumbuhan janin, yaitu setelah
organogenesis. Produksi IGF-1 pada jnin dipengaruhi oleh nutrisi dan faktor
endokrin. Pada bayi KMK (Kecil Masa Kehamilan) didapatkan kadar IGF-1 dan
IGFBP-3 yang rendah. Anak yang sakit berat/kritis juga mengalmi resistensi GH,
dengan peningkatan kadar GH, dan kadar IGF-1 rendah. Pada proses inflamasi
aksi GH juga tertekan. Penelitin pada anak dengan peradangan kronis kadar
interleukin-6 dan tumor nekrosis faktor (TNF)- alpha berhubungan dengan
menurunnya kadar IGF-1 dan melambatnya pertumbuhan linier.10
Mekanisme yang menyebabkan perawakan pendek pada penyakit kronis
antara lain penurunan asupan dan penyerapan kalori serta peningkatan keperluan
energi. Anak dengan penyakit jantung bawaan dapat menunjukkan
gangguan pertumbuhan. Gagal tumbuh terjadi sudah sejak masa awal bayi.
Beberapa keadaan yang dapat menerangkan gagal tumbuh pada anak dengan
penyakit jantung bawaan adalah keadaan hipoksia dan kesulitan bernapas yang
menyebabkan persoalan makan pada anak. Anoksia dan kongesti vena pada
saluran cerna dapat menyebabkan malabsorpsi makanan, anoksia perifer dan
asidosis menyebabkan ketidakcukupan nutris serta peningkatan laju metabolik
menunjukkan ketidak cukupan masukan makanan untuk pertumbuhan. Anak
dengan penyakit jantung bawaan memerlukan pemantauan pertumbuhan untuk
mempertahankan pertumbuhan linier dan peningkatan berat badan agar berhasil
dengan optimal.1,7
Perbedaan jenis kelainan jantung akan berdampak pada perbedaan
pola pertumbuhan pada anak dengan penyakit jantung bawaan, walaupun berat
badan dan tinggi badan tidak selalu langsung berkaitan dengan derajat penyakit
jantung bawaan. Berdasarkan dampak gangguan hemodinamik, penyakit jantung
bawaan dibagi menjadi tipe sianotik dan asianotik Tipe sianotik, yakni
transposition of great arteries (TGA) dan tetralogy of Fallot ( TOF), pada
umumnya berpengaruh pada berat badan dan tinggi badan. Sedangkan tipe
asianotik meliputi patent arterial duct, atrial septal defect dan ventricular septal
defect (PDA, ASD, VSD) dengan pirau kiri ke kanan, lebih mempengaruhi berat
badan dibandingkan dengan tinggi badan pada stadium awal. 1
Pada anak dengan penyakit jantung bawaan, pemakaian energi meningkat
dan seringkali terjadi bersamaan dengan masukan kalori yang tidak adekuat.
Masukan kalori yang tidak adekuat terjadi apabila anak dengan penyakit
jantung bawaan mulai kehilangan nafsu makan atau akibat oleh ketidakmampuan
tubuh memakai zat-zat gizi untuk pertumbuhan bayi/anak oleh karena anoksia,
asidosis, malabsorpsi dan peningkatan kebutuhan zat gizi. Pembesaran hati oleh
karena gagal jantung kongestif menyebabkan pengurangan volume lambung
dan potensial menyebabkan refluks gastro esophageal serta aspirasi. Gagal
jantung kongestif juga menyebabkan edema dan hipoksia.1
Peneliti lain menduga bahwa pada anak dengan penyakit jantung bawaan,
terjadi perlambatan maturasi serta fungsi saluran cema yang disebabkan oleh
hipoksia kronik. Protein losing enteropathy (enteropati hilang protein) dan
steatore adalah dua keadaan kelainan yang sering terjadi.1
Peningkatan laju metabolik sering dijumpai pada anak dengan
penyakit jantung bawaan, terutama bila terjadi gagal jantung
kongestif. Peningkatan laju metabolik dinilai dengan mengetahui konsumsi
oksigen. Konsumsi oksigen pada anak dengan penyakit jantung bawaan dan gagal
tumbuh meningkat jika dibandingkan dengan anak dengan penyakit
jantung bawaan tanpa disertai gagal tumbuh (9,4 mL 02 /kg/menit vs 6,5 mL
02/kg/menit). Keadaan yang sama terjadi apabila anak dengan penyakit jantung
bawaan mengalami malnutrisi berat dibandingkan dengan anak dengan penyakit
jantung bawaan yang pertumbuhan normal.1
Usia saat dilakukan operasi sangat mempengaruhi masa pemulihan anak
dengan penyakit jantung bawaan untuk mengejar tumbuh kembangnya, baik
tinggi maupun berat badan. Tanpa nutrisi yang adekuat, tidak akan mungkin
dilakukan operasi pada usia lebih dini. Anak dengan berat badan kurang dari 4,5
kg memiliki risiko kematian yang tinggi saat dilakukan operasi.1
Anak yang berhasil hidup setelah operasi memerlukan waktu pemulihan
untuk kenaikan berat badan dalam beberapa bulan, sedangkan tumbuh kejar
untuk lingkar kepala dan tinggi badan memerlukan waktu lebih dari satu tahun.
Berbagai variabel medis dan non-medis juga mempengaruhi usia saat anak
dilakukan operasi, termasuk jenis asuransi kesehatan dan kemudahan akses
mencapai fasilitas kesehatan.1
Pada kasus PDA, didapatkan percepatan kenaikan berat badan 28% dan
tinggi badan 20% secara bermakna setelah dilakukan operasi. Anak yang lahir
dengan berat lahir normal dengan VSD besar dan gagal jantung kongestif
menunjukkan kenaikan berat badan, tinggi badan, serta lingkar kepala yang
bermakna sesudah dilakukan operasi pada usia dini (kurang dari 7 bulan),
perbaikan ini dicapai dalam waktu 6 sampai 12 bulan sesudah operasi.1

Keterlambatan perkembangan pada anak dengan penyakit kronis


disebabkan multifaktorial. Beberapa faktor yang penting dalam menjelaskan
keterlambatan perkembangan diantaranya:8
1) Pertama, anak-anak dengan penyakit jantung sering kemampuan fisiknya
kurang mampu untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka, sehingga
mereka membatasi aktivitasnya. Gangguan kemampuan fisik juga
menghambat perkembangan keterampilan lain, seperti perilaku eksplorasi.
2) Kedua, kecemasan dan kekhawatiran pada anak yang sakit sering
menyebabkan orang tua overprotektif. Sejumlah ibu-ibu mengaku menjaga
anak-anak mereka jauh dari orang lain (misalnya, karena takut infeksi),
sehingga membatasi interaksi sosial dan membatasi gerakan anak mereka.
Hal ini mempengaruhi perkembangan bicara dan keterampilan sosialisasi
khususnya.
3) Ketiga, efek dari sakit yang berkepanjangan dan rawat inap yang mungkin
penting. Beberapa anak dalam kelompok jantung telah menghabiskan jangka
waktu yang lama di rumah sakit, mengakibatkan inkonsistensi dari
lingkungan fisik dan jumlah orang yang terlibat dengan anak, yang
selanjutnya bisa dikompromikan perkembangan mereka.
4) Keempat, status gizi anak yang baik diperlukan untuk mempertahankan
derajat kebugaran dan kesehatan, serta membantu pertumbuhan bagi anak.
Status gizi merupakan ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi, yang
dapat diukur dengan mengukur berat badan dan panjang badan.
5) Kelima, hipoksia seluler. Beberapa bukti menunjukkan bahwa konsumsi
oksigen PJB sianotik lebih rendah daripada PJB non sianotik. Hipoksia
menyebabkan kegagalan pertumbuhan diduga karena efek langsung pada
pertumbuhan dan multiplikasi sel. Hipoksia diduga menyebabkan
berkurangnya pembelahan sel akibat berkurangnya sintesa protein.
Mekanisme yang menyebabkan berkurangnya sel lemak pada penderita
diduga akibat hipoksia kronis pada saat fase pertumbuhan cepat (awal
kehidupan).
Anak dengan PJB sianosis lebih berisiko terjadinya gangguan serebral,
khususnya pada saat terjadi spells (sianosis) atau meningkatnya viskositas darah
karena terjadi hipoksemia, sianosis, polisitemia dan mikrositosis yang dapat
memengaruhi fungsi kognitif. Masalah fungsi kognitif dijumpai pada penelitian
ini berdasarkan laporan anak dan orang tua. Penelitian metaanalisis pada anak dan
remaja dijumpai fungsi kognitif yang lebih rendah pada kelompok PJB sianosis
daripada asianosis. Penelitian di Amerika pada anak usia 3,5--17 tahun kelompok
PJB sianosis dan asianosis ditunjukkan bahwa pada kelompok TOF yang
mengalami hipoksemia (sianosis) terdapat gangguan pemusatan perhatian
dibandingkan dengan defek septum ventikel. berdasarkan laporan anak dan orang
tua menunjukkan nilai kualitas hidup yang lebih baik pada PJB yang sudah
dikoreksi karena anak sudah dapat melakukan aktivitas fisik yang lebih baik
seperti berolah raga, denyut jantung berdetak kencang tidak dirasakan lagi dan
tidak dijumpai lagi bibir biru pada PJB sianosis. Nilai domain masalah kognitif
pada PJB sianosis dan asianosis yang sudah dikoreksi menunjukkan nilai yang
lebih baik daripada yang belum dikoreksi. Hal tersebut bisa disebabkan karena
anak telah dapat menjalani kehidupan seperti anak normal lainnya.9
DAFTAR PUSTAKA

1. Samudro H. Tumbuh Kembang pada Anak dengan Penyakit Jantung


Bawaan. Majalah Kedokteran FKUKI.28(1);2012
2. Weintraub B. Growth. Pediatr Rev. 32(4);2011
3. Maramis PP. dkk. Hubungan Penyakit Jantung bawaan dengan Status
Gizi pada Anak di RSUP Prof. DR. R.D. Kandou Manado. Jurnal e-
clinic.2(2);2014
4. Dejer MM. Madiyono B. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Sari
Pediatri. 2(3);2000
5. Sastroasmoro S, Madiyono B. Epidemiologi dan Etiologi Penyakit
Jantung Bawaan. Dalam: Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting.
Buku Ajar Kardiologi Anak. Binarupa Aksara;1994
6. Bernstein, Daniel. The Cardiovascular System. Dalam: Kliegman,
Robert M. et al. Nelson Textbook of Pediatrics. Saunders Elsevir.
Philadephia;2007
7. WHO multicentre growth reference study group. WHO child growth
standards based on length/height, weight and age. Acta Pediatrica. suppl
450;2006
8. Wehrens BB, Schmitz S, Dordel S. Motor development in children with
congenital cardiac disease. Paediatric Cardiology;2008
9. Rachmawati CF, dkk. Penilaian Kualitas Hidup pada Anak dengan
Penyakit Jantung Bawaan Asianosis dan Sianosis. Sari Pediatri.
16(2);2014
10. Mezza C, Pagani S, Bozzolla . The pygmy short statue enigma. Pediatric
Endoclronologi Review: 2011; 8: 394-9.

Anda mungkin juga menyukai