Anda di halaman 1dari 8

Lapsus Guillain–Barré syndrome (GBS)

A. Definisi
Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala yang merupakan
suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari
susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan atau
arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif.

B. Etiologi
Penyebab yang pasti pada Sindrom Guillain-Barre sampai saat ini belum
diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi virus. Virus
merubah sel dalam system syaraf sehingga sistem imun mengenali sel tersebut
sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan magrofag akan
menyerang myelin. Selain itu, limfosit T menginduksi limfosit B untuk
menghasilkan antibody yang menyerang bagian tertentu dari selubung myelin
yang menyebabkan kerusakan myelin.
Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah virus yang
menyerang sistem pernapasan (influenza), Measles, Cytomegalovirus (CMV),
HIV dan Herpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri yang paling
sering oleh Campylobacter jejuni. Selain beberapa factor diatas ada beberapa
factor predisposisinya yaitu :
 Imunisasi
 Tindakan pembedahan

C. Patomekanisme

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang


mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi
saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya
diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid
GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi
pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-
reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang
sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral
maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf.

D. Terapi
Terapi Farmakologi
a) Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan
bahwa preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi.
Pemberian kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat
penyembuhan secara signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone
secara intravena yang berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak
memberikan manfaat secara signifikan dalam waktu jangka panjang.

Sebuah studi awal mengemukakan pasien yang diberikan kortikosteroid


oral menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada kelompok kontrol.
Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris dengan 124 pasien GBS
menerima metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan 118
pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan pernedaan
antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome yang
lainnya.
b) Plasmaparesis
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral,
seperti autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator
inflamasi nonspesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama
pada GBS yang menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan
klinis yang lebih cepat, minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama
perawatan yang lebih singkat.Dalam studi tersebut, plasmaparesis yang
diberikan dalam dua minggu pada pasien GBS menunjukkan penurunan
waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas). Terapi ini melibatkan
penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal blood
separators untuk menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang
mungkin ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh pasien
dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk mengkompensasi
konsentrasi protein yang hilang.
Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB
dalam 7-14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan
manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama GBS).
c) Imunoglobulin Intravena
Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih menguntungkan
dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan
komplikasi yang sifatnya lebih ringan.
Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon humoral dalam menghambat
autoantibody dan menekan produksi autoantibody dalam tubuh, sehingga
kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam. IVIg juga
memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh
makrofag. Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama
kali. Dosis optimal yang dapat diberikan pada penderita GBS adalah 400
mg/kg yang diberikan selama 6 hari.

Efek samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan
jarang terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan jarang terjadi,
pemberian pertama biasanya dimulai dengan kecepatan rencah yaitu 25-50
cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara progresif 50cc/jam setiap
15-20 menit hingga 150200 cc/jam.
Macam-macam sediaan obat immunoglobulin:
1) Octagam 10 % Sediaan 100 mg/ml
2) Octagam 10 g/200 ml
3) Octagam 5 g/100 ml
4) Octagam 2,5 g/50 ml
5) Gammaplex 5 g/100 ml
6) Octagam 5 % Sediaan 1 g/20 ml
7) GAMMAGARD LIQUID 10 % berisi 100 mg/mL protein. 98% dari
protein adalah gammaglobulin, immunoglobulin A (IgA) dan
immunoglobulin M, Ig G.
Octagam 10% adalah solusi cairan (100 mg/ml) Globulin Imun untuk
pemberian intravena (IVIG)
Diindikasikan untuk penggunaan pada:
a. Imunodefisiensi humoral primer(PI);
b. Myeloma atau kanker darah limfa kronis dengan hipogamaglobulinemia
sekunder yang parah dan infeksi berulang, pada anak dengan AIDS
bawaan yang telah terinfeksi bakteri berulang kali;
c. Purpura trombositopenik imun (ITP) pada anak-anak atau orang dewasa
yang berisiko tinggi mengalami pendarahan atau sebelum operasi untuk
memperbaiki jumlah trombosit;
d. Sindrom Guillain Barre
Lapsus HNP

Ischialgia

Ischialgia merupakan nyeri yang terasa sepanjang tungkai. Ditinjau dari arti
katanya,maka ischialgia adalah nyeri yang terasa sepanjang N.ischiadicus. Jadi
ischialgia didefinisakan sebagai nyeri yang terasa sepanjang nervus ischiadivus
dan lanjutannya sepanjang tungkai.

HNP adalah suatu keadaan di mana sebagian atau seluruh nukleus pulposus
mengalami penonjolan ke dalam kanalis spinalis

Patomekanisme HNP

Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan


degeneratif yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida
dalam diskus menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan
pecahan yang menyebar di anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus.
Setelah trauma (jatuh, kecelakaan, dan stress minor berulang seperti mengangkat)
kartilago dapat cedera.

Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan
gejala ini disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa
bulan maupun tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya
mendorong ke arah medula spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan
nukleus pulposus terdorong terhadap sakus dural atau terhadap saraf spinal saat
muncul dari kolumna spinal.

Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus


menekan pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam
bungkusan dura. Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana
tempat herniasinya ditengah-tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula pada
tingkat L2 dan terus kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka
herniasi di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.

Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami


lisis sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.
Lapsus NHS

Perbedaan NHS dan HS

Gejala Klinis Stroke Hemoragik Stroke Non


PIS PSA Hemoragik
1. Gejala defisit lokal Berat Ringan Berat/ringan
2. SIS sebelumnya Amat jarang - +/ biasa
3. Permulaan (onset) Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
4. Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan/ tak ada
5. Muntah pada awalnya Sering Sering Tidak, kecuali lesi
di batang otak

6. Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak Sering kali


7. Kesadaran Bisa hilang Bisa hilang Dapat hilang
sebentar
8. Kaku kuduk Jarang Bisa ada pada Tidak ada
permulaan

9. Hemiparesis Sering sejak awal Tidak ada Sering dari awal


10. Deviasi mata Bisa ada Tidak ada mungkin ada
11. Gangguan bicara Sering Jarang Sering
12. Likuor Sering berdarah Selalu berdarah Jernih
13. Perdarahan Subhialoid Tak ada Bisa ada Tak ada

14. Paresis/gangguan N III - Mungkin (+) -

Faktor Resiko Stroke


Untuk penyakit stroke, faktor-faktor penyebab tersebut dapat dibagi dua
menurut tingkat pengendaliannya, yaitu:
1. Faktor-faktor yang tidak bisa dihindari atau dikendalikan.
Faktor-faktor ini merupakan faktor alamiah yang melekat pada seseorang
tertentu. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengendalikan faktor-
faktor ini. Berikut adalah penjelasannya:
a. Usia Dari berbagai studi yang dilakukan tentang penyakit stroke,
umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
stroke. Orang yang telah berumur tua pada umumnya lebih rentan
terkena
b. Penyakit stroke dibandingkan dengan yang lebih muda.
Ini adalah kondisi alamiah yang harus diterima. Saat umur bertambah,
kondisi jaringan tubuh sudah mulai kurang fleksibel dan lebih kaku,
termasuk dengan pembuluh darah.
c. Jenis Kelamin
Pria lebih rentan terkena penyakit stroke dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini mungkin lebih berhubungan dengan faktor-faktor
pemicu lainnya yang lebih banyak dilakukan oleh pria dibandingkan
dengan perempuan, misalnya merokok, minum alkohol, dan
sebagainya.
d. Ras atau warna kulit
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang mempunyai ras
warna kulit putih lebih banyak yang terkena stroke dibandingkan
dengan ras dengan berwarna kulit berwarna gelap. d. Keturunan
Orang yang berasal dari keluarga yang memiliki riwayat terkena
stroke akan lebih rentan dibandingkan dengan orang lain yang tidak
memiliki riwayat penyakit tersebut dalam keluarganya

Anda mungkin juga menyukai