Anda di halaman 1dari 123

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pubertas merupakan proses transisi menuju kematangan reproduksi (Palmert

dan Dunkel, 2012). Gangguan pubertas dapat berupa keterlambatan pubertas

ataupun pubertas dini (Shalitin et al., 2005). Gangguan pubertas disebabkan

banyak faktor misalnya gangguan pubertas pada pasien thalasemia. Gangguan

pubertas menjadi bagian komplikasi endokrin (endokrinopati) pada pasien

thalasemia sering ditemukan terutama di negara sedang berkembang karena

pemberian kelasi besi yang kurang optimal dan tranfusi darah yang tidak adekuat

(Gulati et al., 2013).

Hipogonadisme sebagai salah satu komplikasi endokrinopati tersering, dan

masih menjadi masalah klinis yang signifikan yaitu sebesar 35% hingga 50% pada

penderita thalasemia dengan manifestasi klinis berupa keterlambatan pubertas

(Moayeri et al., 2006; De Sanctis et al., 2013). Penumpukan besi di sel

gonadotropik hipofisis anterior menjadi penyebab hipogonadisme sekunder dan

penumpukan besi di gonad akan mengakibatkan hipogonadisme primer yang

seringkali terjadi bersamaan (Cunningham et al., 2004; Najafipour, 2008; Skordis,

2011). Kelebihan besi dicerminkan oleh kadar feritin serum dikaitkan dengan

hemosiderosis di kelenjar endokrin yang berdampak pada hipogonadisme dan

keterlambatan pubertas pada pasien thalasemia. Kelebihan besi (iron overload)

pada hipofisis dan gonad terjadi secara progresif meskipun telah diberikan terapi

kelasi besi (Mavrogeni et al., 2014) sehingga keterlambatan maturasi seksual dan
2

gangguan fertilitas dapat terjadi yang berdampak terhadap kualitas hidup

penderita thalasemia yang mendapat transfusi berulang (Viprakasit et al., 2014)

Angka kejadian hipogonadisme yang diteliti oleh the International Network

on Endocrine Complication in Thalassemia (I-CET) sebesar 35% hingga 50%

pada penderita thalasemia (De Sanctis et al., 2013). Penelitian oleh Merchant dkk

(2011) melibatkan 35 anak thalasemia mayor didapatkan 21 anak mengalami

pubertas terlambat, sebanyak 5 anak dari 35 pasien memiliki kadar FSH yang

rendah dengan rerata kadar ferritin serum 4940.6 ng/mL, 1 pasien dengan kadar

LH yang rendah memiliki rerata kadar feritin serum 5950 ng/mL (Merchant et al.,

2011). Hipogonadisme terjadi pada 16 anak dari 27 anak thalasemia yang

mencapai usia pubertas, perawakan pendek terjadi pada 8 pasien saat mencapai

tinggi badan akhir (Shalitin et al., 2005). Hipogonadotropik hipogonadisme

ditemukan pada 21 anak dari 29 pasien anak thalasemia mayor usia di atas 15

tahun di Taiwan. Kegagalan pubertas terjadi pada 5 pasien laki-laki dan 7 pasien

perempuan (Chern et al., 2003). Studi di Jakarta, diantara 67 anak thalasemia beta

yang masuk dalam penelitian didapatkan 14 anak mengalami keterlambatan

pubertas dan 65 anak telah mendapat terapi kelasi besi (Soesanti dkk., 2012). Di

RSUD Soetomo, keterlambatan pubertas ditemukan pada 4 pasien dari 16 pasien

thalassemia yang menjalani transfusi berulang dan mendapat terapi kelasi besi

(Kamaya dkk., 2014). Namun penelitian tentang status pubertas dan hormonal

pada anak thalasemia yang mendapat transfusi berulang belum pernah dilakukan

di RSUD Dr. Soetomo sehingga diperlukan penelitian untuk dapat digunakan

sebagai pertimbangan dalam tatalaksana thalasemia agar dapat meningkatkan

kualitas hidup penderita thalasemia.


3

Keterlambatan pubertas akibat hipogonadisme primer maupun sekunder

dapat menyebabkan stres pada anak dan keluarga (Palmert dan Dunkel, 2012).

Namun penelitian tentang hipogonadisme pada anak thalasemia belum pernah

dilakukan di RSUD Dr. Soetomo. Kejadian hipogonadisme harus diidentifikasi

sedini mungkin dikaitkan status besi pada anak dengan thalasemia (Skordis,

2011). Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan berkala terhadap kadar feritin

dan fungsi hormonal terkait dengan adanya hipogonadisme pada pasien dengan

thalasemia yang pada akhirnya berdampak pada status pubertas.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara kadar feritin serum dan Luteinizing

Hormone dengan status pubertas pada anak thalasemia beta?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Menganalisis hubungan antara kadar feritin serum dan luteinizing hormone

dengan status pubertas pada anak thalasemia beta di RSUD Dr. Soetomo,

Surabaya.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Menganalisis hubungan antara kadar feritin serum dengan status

pubertas pada anak thalasemia beta di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

2. Menganalisis hubungan antara kadar luteinizing hormon dengan status

pubertas pada anak thalasemia beta di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

3. Menganalisis hubungan antara kadar feritin serum dengan luteinizing

hormon pada anak thalasemia beta di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.


4

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teori

Menjelaskan dampak kadar feritin serum pada anak thalasemia beta

terhadap status pubertas.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai pertimbangan dalam penatalaksanaan thalasemia anak, berupa

deteksi dini dan kontrol terhadap gangguan pubertas untuk mencegah komplikasi

dan meningkatkan kualitas hidup anak thalasemia.


5

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Thalasemia Beta

Thalasemia beta dikenal sebagai penyakit monogenetik terbanyak diseluruh

dunia, dan merupakan kelompok gangguan darah herediter yang dihasilkan dari

defek sintesis rantai beta globin. Thalasemia beta terdiri dari tiga bentuk utama

yaitu thalasemia mayor, thalasemia intermedia dan thalasemia minor. Defek

sintesis rantai beta menyebabkan ketidakseimbangan rasio sintesis rantai alfa dan

beta globin sehingga terjadi eritropoesis yang tidak efektif dan anemia hemolitik

kronik (Inati et al., 2015). Berkurangnya atau ketiadaan sintesis rantai beta globin

menyebabkan berkurangnya hemoglobin dalam sel darah merah, berkurangnya

produksi sel darah merah dan anemia (Galanello dan Origa, 2010)

Pada thalasemia beta mayor, produksi rantai beta sangat menurun sehingga

menyebabkan anemia. Anemia menstimulasi peningkatan produksi eritropietin

oleh ginjal dan menghasilkan hiperplasi eritroid massif dan inefektif (Elaine,

2016).

2.1.1 Epidemiologi thalasemia

Populasi thalasemia beta terdistribusi luas di daerah Mediterania, Timur

Tengah, India dan Pakistan serta Asia Tenggara (Gambar 2.1). Thalasemia beta

jarang didaerah Afrika kecuali Liberia dan bagian Afrika Utara (Weatherall,

2000). Frekuensi terbanyak beta thalasemia diduga berkaitan dengan kejadian

Plasmodium falciparum. Migrasi manusia saat ini telah menyebabkan gen


6

thalasemia menyebar ke seluruh dunia. Di Pusat thalasemia Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo (RSCM) sampai dengan akhir tahun 2008 terdaftar 1.455 pasien

yang terdiri dari 50% thalasemia-β, 48,2% thalasemia-β /Hb-E, dan 1,8% pasien

thalasemia-α. (Silman et al., 2009). Di RSUD Dr. Soetomo bagian hematologi

anak sejak tahun 2009 hingga 2013 tercatat sebanyak 267 pasien.

Gambar 2.1. Penyebaran thalasemia di dunia dengan berbagai mutasi genetik


Dikutip dari : Weatherall D, 2000. The thallasemias. In Beutler E, Lichtman M, Coller
BS, Kipps TJ, Seligsohn (eds), Williams hematology, 6th ed. New York: McGraw
Hill, pp 444-64.

2.1.2 Patofisiologi dan patogenesis thalasemia mayor

Defek genetik yang mendasari penyakit thalasemia meliputi delesi total atau

parsial, substitusi atau insersi nukleotida pada gen rantai globin. Perubahan

tersebut mengakibatkan tidak adanya mRNA pada satu atau lebih rantai globin

atau pembentukan mRNA yang cacat secara fungsional dan akhirnya

menyebabkan penurunan atau supresi total sintesis rantai polipeptida Hb. Jenis

thalasemia ditentukan oleh jenis polipeptida yang terganggu pembentukannya.

(Rund dan Rachmilewitz, 2005).


7

Pada thalasemia- mayor, akibat adanya gangguan pembentukan rantai

globin , maka akan dibentuk rantai  dan  sebagai kompensasi, dan keduanya

akan bergabung dengan rantai  yang berlebihan membentuk 22 sehingga kadar

Hb F tetap tinggi. Retikulosit normal membentuk rantai  dan  dalam jumlah

yang hampir sama dengan perbandingan pembentukan rantai / berkisar antara

0,9 - 1.

Pada thalasemia- retikulosit yang terbentuk sedikit atau tidak memiliki

rantai  sehingga perbandingan / menjadi 0-0,3. Keadaan ini mengakibatkan

pembentukan hemoglobin di dalam eritrosit berkurang sehingga gambaran darah

tepi terlihat hipokrom. Hemolisis yang berlebihan timbul akibat penimbunan dan

pengendapan kelebihan rantai yang tidak bergabung membentuk Hb A, rantai

yang berlebihan ini membentuk badan inklusi dan menempel pada dinding sel

serta merusak dinding sel, sehingga mengganggu permeabilitas sel, regenerasi

ATP dan pembentukan heme. (Weatherall, 2000; DeBaun et al., 2007; Rund et al.,

2005). Ketidakseimbangan rantai α/β lebih signifikan dan menentukan keparahan

klinis thalasemia. (Elaine, 2016). Gambar 2.2 menerangkan efek kelebihan

produksi rantai -globin dimana kotak orange menunjukkan proses primer dan

kotak berwarna kuning menunjukkan mekanisme kompensasi. Kelebihan rantai α-

globin dan produk degradasi menyebabkan inefektif dan defek maturasi

hematopoiesis. Hemolisis disebabkan adanya badan inklusi pada eritrosit dan

kerusakan membran menyebabkan anemia. Anemia menstimulasi sintesa

eritropoietin, menyebabkan proliferasi sumsum tulang yang infektif yang

kemudian menyebabkan deformitas tulang dan berbagai abnormalitas

pertumbuhan dan metabolisme. Anemia juga menyebabkan splenomegali.


8

Gambar 2.2. Efek kelebihan produksi rantai -globin


Sumber: Olivieri NF, 1999. The b-thalasemias. N Engl J Med. 341: 99-101.

2.1.3. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis beta thalasemia mayor terjadi antara usia 6-24 bulan. Bayi

yang terkena mengalami gagal tumbuh dan pucat, ikterus ringan, iritabilitas,

masalah makan, pembesaran abdomen secara progresif disebabkan pembesaran

limpa dan hepar. Pada pasien yang mendapatkan transfusi darah yang tidak

adekuat dapat terjadi retardasi pertumbuhan, hepatosplenomegali, genu valgum,

ulkus tungkai, pubertas terlambat, amenorea primer dan abnormalitas tulang

meliputi : abnormalitas wajah, penonjolan daerah frontal, depresi nasal bridge,

hipertrofi maksila, gigi tengah yang lebih menonjol, , fraktur karena ekspansi

sumsum tulang, osteoporosis skeletal, dan secara radiologis didapatkan hair-on-

end appereance karena pelebaran celah diploik (Galanello et al., 2010;

Lanzkowsky, 2011; Viprakasit et al., 2014). Gambar 2.4 menunjukkan manifestasi

klinik thalasemia beta dimana eritropoesis inefektif menyebabkan anemia dan


9

peningkatan absorbsi besi di usus sehingga terjadi kelebihan besi di jaringan

seperti hati dan jantung. Anemia memerlukan transfusi berulang untuk mengatasi

anoksia jaringan yang juga menyebabkan kelebihan besi. Eritropoesis yang

meningkat juga menyebabkan ekspasi sumsum tulang sehingga terjadi deformitas

skletal.

Gambar 2.3.Facies cooley anemia dan Hair on end appearance

Dikutip dari: DeBaun MR dan Vichinsky E, 2007. Hemoglobinopathies. In


Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF (eds). Nelson text
book of pediatrics, 18th ed. Philadelphia: WB Saunderss, pp 2025-38.

Gambar 2.4. Manifestasi klinis thalasemia


Sumber : Rani PS, Vijayakumar S dan Kumar GV, 2013. Beta-thalassemia mini riview. Int
J Pharmacol Res, 3: 71-9.
10

2.1.4 Diagnosis thalasemia mayor

Penegakkan diagnosis berdasarkan manifestasi klinis, dan pemeriksaan

hematologis meliputi indeks eritrosit, hapusan darah tepi, analisis hemoglobin

kualitatif dan kuantitatif serta analisis molecular genetik. Thalasemia mayor

umumnya terjadi pada bayi usia < 2 tahun dengan anemia mikrositik berat,

ikterus ringan dan hepatosplenomegali. Carriers biasanya asimptomatik, tetapi

kadang-kadang mengalami anemia ringan. Pemeriksaan indeks eritrosit

menunjukkan anemia mikrositik. Thalasemia mayor ditandai dengan

penurunan kadar Hb (<7 gr/dL), Mean Corpuscular Volume (MCV) 50-70 fl

dan Mean Corpuscular Hb (MCH) 12-20 pg. Pada thalasemia intermedia

ditandai dengan kadar Hb sekitar 7-10 g/dL, MCV 50-80 fL dan MCH 16-24

pg. Dari pemeriksaan hapusan darah tepi menunjukkan perubahan gambaran

eritrosit mikrositik, hipokromik, anisositosis, poikilositosis (speculated tear-

drop dan elongated cells) dan eritroblast. Jumlah eritroblast berkorelasi dengan

derajat anemia dan meningkat setelah splenektomi.

Analisis hemoglobin kuantitatif dan kualitatif dilakukan dengan

elektroforesis selulosa asetat dan DE-52 mikrokromatografi atau HPLC)

menunjukkan jumlah dan tipe Hb. Pola Hb pada thalasemia beta bervariasi

tergantung tipe thalassemia beta. Gambar 2.5 menunjukkan algoritme deteksi

thalasemia pada pasien dengan anemia. Pada thalasemia β, Dari pemeriksaan

Hb Elektroforesis didapatkan kadar HbF selalu meningkat berkisar >5%. tidak

didapatkan HbA atau didapatkan penurunan kadar HbA yaitu kadar HbA

sekitar 10-30%. Kadar HbA2 bervariasi sekitar ≥4%. (Viprakasit dan Origa,

2014). Gambar 2.6 menunjukkan algoritme diagnostik thalasemia dimana bila


11

kadar HbA2 ≥4% dan HbF 0.1-5% mengarah pada beta thalasemia trait. Bila

kadar HbA2 ≥ 4% dan HbF > 5% mengarah pada thalasemia beta (intermedia

ataupun mayor).

Gambar 2.5. Algorithma deteksi thalasemia


Sumber: Dumars KW, Boehm C, Eckman JR, Giardina PJ dan Lane PA, 1996. Practical guide to
the diagnosis of thalassemia. Am J Med Genet, 62: 29-37.
12

Gambar 2.6 Algoritme diagnostik pasien thalasemia


Sumber: Viprakasit V dan Origa R, 2014. Genetic basis, pathophisiology and diagnosis. In Guidelines for
the management of transfusion dependent thalassaemia (TDT), 3rd ed. Ciprus: Thalassaemia International
Federation, pp 14-244.

2.1.5 Komplikasi thalasemia

Komplikasi dapat terjadi pada penderita yang tidak secara adekuat

mendapatkan transfusi maupun pada penderita yang mendapatkan cukup

transfusi.Akibat transfusi yang tidak adekuat dapat terjadi hipoksia karena anemia

yang berat, sehingga dapat terjadi gangguan berbagai organ tubuh dan

peningkatan produksi eritropoetin sehingga terjadi deformitas tulang pipih serta

osteoporosis akibat ekpansi sumsum tulang karena eritopoesis yang inefektif.

Pada penderita yang mendapat transfusi berulang dapat terjadi gangguan berbagai

organ akibat toksisitas besi sehingga akan terjadi kerusakan sel akibat penimbunan

maupun reaksi katalisis besi. Kelebihan besi dapat disebabkan


13

transfusi berulang maupun peningkatan absorbsi besi dari intestinal. Besi berlebih

dapat menimbulkan penimbunan maupun reaksi katalisis besi. Besi berlebih

akibat transfusi berulang dapat menimbulkan penimbunan pada berbagai jaringan.

Gambar 2.7 menunjukkan keadaan kelebihan besi yang akan menurunkan

absorbsi besi intestinal menurun.

Gambar 2.7.Keadaan kelebihan besi.


Sumber: Hussein HK dan Mohsen MF, 2013. The effect of iron overload on the
function of some endocrine glands in β thalassemia major patients. Bio Chem, 5: 86-
104.

Endokrinopati adalah komplikasi yang sering terjadi dengan hipogonadisme

(Olivieri, 1999). Banyak komplikasi thalasemia beta mayor berkaitan dengan

peningkatan deposit besi olehkarena transfusi berulang. Akumulasi besi di

jaringan berbeda menyebabkan kerusakan organ yang mempengaruhi kelenjar

endrokrin, jantung dan hepar (Mona et al., 2012). Gambar 2.8 menunjukkan

komplikasi yang terjadi pada thalasemia beta. Komplikasi paling sering berupa

endokrinopati (38,8%), sedangkan komplikasi lainnya yaitu pada jantung (22,4%),

saluran cerna (19,4%), alergi (9%), infeksi (1,5%) dan trombosis (1,5%) (Yaman

et al., 2013). Endokrinopati yang sering pada thalasemia adalah hipotiroid,

hipoparatiroid, gagal tumbuh, pubertas terlambat, hipogonadisme, diabetes


14

mellitus, dislipidemia, osteoporosis dan gangguan fungsi adrenal (Inati et al.,

2015; De Sactis et al., 2014; Najafipour, 2008).

Gambar 2.8. Komplikasi pada thalasemia beta.


Dikutip dari : Rund dan Rachmilewitz, 2005. β-Thalassemia. N Engl J Med. 353: 1135-46.

Penimbunan besi pada sel gonadotropik hipofisis menyebabkan gangguan

produksi gonadotropin, dibuktikan dengan hormon Follicle-Stimulating Hormone

(FSH) dan Luteinizing Hormone yang kurang berespon terhadap stimulasi

Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH). Kerusakan hipotalamus dan hipofisis


15

bersifat progresif meski terapi kelasi besi intensif diberikan dan hipogonadisme

pada laki-laki dan perempuan tidak dapat dihindari (Mavrogeni et al., 2014).

2.1.6 Pemantauan status besi tubuh

Pemantauan status besi tubuh sangat diperlukan sebagai bagian dari

penatalaksanaa thalasemia. Pemeriksaan kadar feritin serum sebagai pemeriksaan

yang rutin dilakukan. Feritin serum secara umum berhubungan dengan dengan

simpanan besi tubuh, relatif murah dan mudah dilakukan. Penggunaan feritin

serum dalam rangka monitor status besi tubuh memiliki beberapa keuntungan

antara lain (Viprakasit et al., 2014):

- Mudah dilakukan berulangkali

- Tidak mahal

- Sebagai kontrol jangka panjang yang berkaitan dengan outcome

- Berguna untuk penyesuaian dosis kelasi jika kadar besi turun

Namun pemeriksaan feritin serum juga memiliki kelemahan antara lain:

- Bersifat estimasi tidak langsung dari beban besi

- Meningkat pada keadaan inflamasi

- Tidak dapat menentukan keseimbangan besi secara langsung

- Hubungan dengan iron load bervariasi dengan kelasi besi

- Hubungan dengan LIC berbeda pada penyakit yang berbeda

Kadar feritin serum meningkat setelah mengkonsumsi makanan yang

mengandung besi dan suplemen. Untuk menghindari variasi diurnal, spesimen

diambil saat puasa atau diambil pagi hari (Elaine, 2016)

Dalam plasma, besi terikat pada transferin. Jumlah besi dalam plasma atau

serum dibatasi oleh jumlah transferin yang tersedia. Jumlah besi yang terikat pada
16

bagian transferin dapat mengikat besi dinyatakan dalam Total Iron-Binding

Capacity (TIBC). Kapasitas tambahan transferin mengikat besi dikenal sebagai

unsaturated iron-binding capacity (UIBC). Konsentrasi besi serum dan UIBC

merupakan TIBC. Serum transferin merupakan alternatif pemeriksaan lain untuk

mengukur transferrin secara langsung dengan imunologis. Pemeriksaan ini

menghindari hasil tinggi palsu dari TIBC. (Worwood M dan May A, 2011).

Saturasi transferin merupakan perbandingan konsentrasi besi serum dan TIBC

dalam persentase. Jika transferin diukur secara imunologis, TIBC dihitung dengan

membagi konsentrasi transferin (g/L) dengan 25. Saturasi transferin <16%

biasanya menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat untuk eritropoesis. Saturasi

transferin terutama digunakan untuk deteksi hemokromatosis genetik. Pada

keadaan kelebihan besi awal, terjadi peningkatan saturasi transferin (>50% pada

laki-laki dan >45% pada perempuan). Tabel 2.1 menunjukkan pemeriksaan yang

digunakan untuk mengetahui status besi dalam tubuh dan faktor perancu.

Tabel 2.1 Pemeriksaan status besi tubuh


17

Sumber: Worwood M, May A, 2011. Iron deficiency anemia and iron overload. In Bain BJ, Bates
I, Laffan MA, Lewis SM (eds), Dacie and lewis practical haemoatology, 11 th ed. Livingstone:
Elsevier, pp 180-96.

2.1.7. Tata taksana thalasemia

Transfusi sel darah merah bertujuan transfusi darah pada thalasemia yaitu

koreksi anemia, mensupresi eritropoiesis dan menghambat absorbsi besi di

gastrointestinal (Galanello dan Origa, 2010). Untuk mengatasi anemia pasien

memerlukan transfusi suspensi eritrosit (pack red cell) dan kadar hemoglobin

harus selalu dipertahankan diatas 12 g/dl. Dianjurkan tidak lebih dari 15,5 g/dl.

Pemberian transfusi PRC yang teratur, mengurangi komplikasi anemia dan

eritropoesis yang tidak efektif, membantu pertumbuhan dan perkembangan selama

masa anak-anak dan memperpanjang ketahanan hidup pada thalasemia mayor.

Transfusi darah yang teratur diperlukan pada penderita thalasemia untuk

mencegah kelemahan dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia. Kadar Hb

turun secara cepat menjadi kurang dari 5 g/dL kecuali jika transfusi darah

diberikan. Transfusi darah dengan dosis 15-20 ml/kg sel darah merah (PRC)
18

biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu untuk menjaga hemoglobin pada tingkat

minimal 9-10 gr/dL (Chang dan Zulkifli, 2009)

Keputusan untuk memulai program transfusi didasarkan pada kadar

hemoglobin kurang dari 6 g/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-

turut, yang berhubungan dengan pertumbuhan yang terganggu, pembesaran limpa

dan atau ekspansi sumsum tulang. Sebelum dilakukan transfusi yang pertama,

status besi dan folat penderita harus diukur, vaksin hepatitis B diberikan dan

fenotif sel darah merah secara lengkap ditentukan, sehingga alloimunisasi yang

timbul dapat dideteksi. Kadar hemoglobin sebelum transfusi, volume sel darah

merah yang diberikan dan besarnya limpa sebaiknya dicatat pada setiap

kunjungan untuk mendeteksi perkembangan hipersplenisme (Chang dan Zulkifli,

2009). Untuk monitor efektivitas terapi transfusi, beberapa indikator sebaiknya

dicatat setiap transfusi, seperti kadar hemoglobin pre dan post transfusi, jumlah

unit darah dan hematokrit, interval transfusi dan turunnya kadar hemoglobin

harian (Galanello dan Origa, 2010). Transfusi darah berulang menyebabkan iron

overload dan berperan dalam terjadi komplikasi pada pasien thalasemia (Malik et

al., 2009). Dalam 420 mL darah donor mengandung sekitar 200 mg besi, atau 0.47

mg/mL darah donor. Kadar besi per mg/mL darah dapat diperkirakan dari rumus

yaitu 1.16 x Hematokrit darah yang ditransfusi (Viprakasit et al., 2014). Tabel 2.2

menunjukkan akumulasi besi dalam tubuh setiap tahun atau setiap hari pada

pasien thalasemia yang mendapat transfusi regular dimana simpanan besi terus

meningkat jika pasien tidak diberikan terapi kelasi besi.


19

Tabel 2.2 Jumlah iron loading pada pasien tanpa kelasi besi

Body weight 20 kg 35 kg 50 kg 65 kg
Pure red cells vol.mL/year 2000-4000 3500-7000 5000-10000 6500-13000
Yearly iron loading (g) 2.3-4.6 4.1-8.2 5.8-11.6 7.5-15.1
Daily iron loading (mg) 6.3-12.6 11.2-22.5 15.9-31.8 20.5-41.4
Sumber: Viprakasit V dan Porter J, 2014. Iron overload and chelation. In Guidelines for the
management of transfusion dependent thalassaemia (TDT), 3 rd ed. Ciprus:
Thalassaemia International Federation, pp 14-244.

Setiap unit PRC mengandung 200 mg besi. Jika dalam satu tahun pasien

thalasemia beta mendapatkan 25 hingga 30 unit darah, maka akan terakumulasi

15-25 mg besi per hari atau 5 gram besi pertahun. Pada awal dekade pasien

dengan thalasemia mayor yang tidak mendapat terapi kelasi akan memiliki

akumulasi sebanyak 70 gram besi, sedangkan kemampuan fisiologis

mengeluarkan besi melalui urin hanya 1 mg per hari (Prabhu et al., 2009). Besi

berlebihan secara kronis adalah kondisi yang serius yang memerlukan monitoring

dan terapi kelasi untuk mencegah komplikasi jangka panjang. Tidak adanya

mekanisme fisiologi untuk ekskresi besi yang berlebihan sehingga pemberian

terapi kelasi besi yang efektif untuk menghasilkan keseimbangan besi dalam

tubuh adalah satu satunya jalan untuk mencegah kerusakan organ dalam yang

penting seperti jantung, hati, dan kelenjar endokrin, maka dari itu terapi kelasi

besi diberikan untuk mencegah akumulasi besi di jaringan dan berpengaruh

terhadap prognosis hidup pasien (Rund dan Rachmilewitz, 2005). Keberhasilan

dari pemberian terapi pengikat besi dapat dilihat dari tercapai atau tidaknya

keseimbangan besi dalam tubuh, dimana antara besi yang masuk harus seimbang

dengan yang dikeluarkan. Kadar feritin serum sebaiknya tetap dibawah 1000ug/L

sehingga semakin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi akibat besi

berlebihan. Para ahli menyarankan terapi kelasi besi dimulai pada pasien yang
20

menerima transfusi >10 unit darah dan kadar feritin serum 1000ug/L (Chang dan

Zulkifli, 2009).

Sebagian besar pasien thalasemia beta yang berat akan mengalami

pembesaran limpa yang bermakna akibat peningkatan kebutuhan sel darah merah

setiap tahunnya pada dekade pertama kehidupan. Splenomegali yang masif pada

anak-anak menyebabkan distress, hipersplenisme dapat menyebabkan

trombositopenia dan perdarahan abnormal pada pasien thalasemia. Splenektomi

dapat mengurangi kebutuhan sel darah merah sampai 30% pada pasien yang

indeks transfusinya > 200 ml/kg/tahun. Pasien yang menjalani splenektomi

memiliki kemungkinan besar terkena infeksi bakteremia dan sepsis post

splenektomi, karena adanya resiko tersebut sebaiknya splenektomi ditunda hingga

anak berusia 5 tahun (Chang dan Zulkifli, 2009).

Transplantasi sumsum tulang merupakan terapi pilihan terapi kuratif untuk

pasien thalasemia mayor. Pasien yang menjalani HLA-matched related allogeneic

HSCT yang tanpa faktor resiko (kelas 1) memiliki angka bertahan hidup dan

terbebas dari penyakit sekitar 93% dan 91%, sebanyak 87% dan 83% untuk kelas

2 (1 atau 2 faktor resiko) serta 79% dan 58% untuk kelas tiga (3 faktor resiko).

Terapi terkait mortalitas sekitar 10% dan hasil terbaik pada anak dibawah usia 3

tahun (Chang dan Zulkifli, 2009).

2.2 Perkembangan Pubertas

Perkembangan pubertas merupakan hasil peningkatan pelepasan GnRH oleh

hipotalamus, yang kemudian menstimulasi hipofisis untuk melepaskan

gonadotropin. Gonadotropin merangsang ovarium dan testis berkembang dan

memproduksi estrogen dan testosteron (delemarre et al., 2008; ). Hal ini


21

dijelaskan pada gambar 2.9 dimana pada onset prepubertas kadar FSH lebih tinggi

dibanding kadar LH. Pada saat pubertas, perubahan endokrin awal adalah kejadian

peningkatan LH.

Gambar 2.9. Susunan anatomi sistem gonadotropin dan pola sekresi LH dan FSH selama masa
prepubertas dan pubertas.
Sumber: Dattani MT, Tziafer V dan Hindmarsh PC, 2009. Evaluation of disordered puberty.
In Brook CG, Clayton PE, Brown RS (eds), Clinical pediatric endocrinology, 6th ed.
Singapore: Wiley-Blackwell, pp 213-33.

Perkembangan pubertas diobservasi selama masa pubertas untuk menilai

kemajuan pubertas. Marshall dan Tanner menyusun tahap perkembangan pubertas

pada anak perempuan berdasarkan perkembangan payudara dan rambut pubis

(tabel 2.3).

Tabel 2.3. Tahap perkembangan fisik anak perempuan pada masa pubertas
Tahap Payudara Rambut Pubis

Tahap 1 Prapubertas Tidak ada rambut pubis.


Tahap 2 Breast feeding, menonjol seperti bukit Jarang. Berpigmen sedikit, lurus,
kecil, areola mendatar atas medial labia
Tahap 3 Payudara dan areola membesar, tidak ada Lebih hitam, mulai iakl, jumlah
kontur pemisah bertambah
Tahap 4 Areola dan papilla membentuk bukit Kasar, keriting, belum sebanyak
kedua dewasa
Tahap 5 Bentuk dewasa, papilla menonjol dan Bentuk segitiga seperti
areola sebagai bagian dari kontur buah perempuan dewasa tersebar
dada sampai medial paha
Sumber: Batubara A, 2010. Pubertas dan gangguannya. Dalam Jose RL, Batubara BT, Aman B
Pulungan (eds), Buku Ajar Endokrinologi Anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, pp
85-95.
22

Pada anak laki-laki pertumbuhan testis merupakan tanda pertama pubertas.

Pertumbuhan ini terjadi akibat perkembangan tubulus seminiferus di bawah

pengaruh stimulasi FSH. Pertambahan volume testis terjadi pada usia rerata 11.5

tahun, namun pertambahan volume yang terjadi antara usia 10 sampai 13.5 tahun

masih dianggap normal. Pengukuran volume testis dilakukan dengan

menggunakan orkidometer Prader (Gambar 2.10), yang diberi angka 1-25. Angka

ini menunjukkan volume testis dalam mL. Pada bayi volumenya 1 mL, pada awal

pubertas 4, dan dewasa umumnya di atas 10 mL. Volume testis ≥ 4 mL merupakan

tanda seorang anak laki-laki sudah memasuki pubertas.

Gambar 2.10. Orkidometer Prader


Dikutip dari: Nakamoto JM, Franklin SL dan Geffner ME, 2010. Puberty. In
Kappy MS, Allen DB, Geffner ME (eds), Pediatric Practice Endocrinology, 3rd
ed. Colorado: McGraw Hill, pp 257-65.

Hampir bersamaan dengan pacu tumbuh, penis dan rambut pubis juga mulai

tumbuh. Bentuk penis berubah dari bentuk infantile ke bentuk dewasa dalam

waktu kurang lebih 2 tahun. Rambut pubis tumbuh secara bertahap mencapai

bentuk dewasa biasanya tercapai pada usia 15-16 tahun (Batubara, dkk., 2010).

Marshall dan Tanner menyusun tahap perkembangan pubertas anak laki-laki


23

berdasarkan pertumbuhan rambut pubis dan genitalia (testis dan penis) seperti

pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Perkembangan status pubertas pada anak laki-laki


Tahap Genital Rambut Pubis
Tahap 1 Prapubertas Prapubertas; Tidak ada
rambut pubis
Tahap 2 Pertambahan volume testis, skrotum Jarang. Sedikit pigmentasi
membesar, menipis dan kemerahan dan agak ikal, terutama pada
pangkal penis
Tahap 3 Penis mulai membesar baik dalam Tebal, ikal, meluas hingga
panjang maupun diameter, volume ke mons pubis
testis dan skrotum terus bertambah
besar
Tahap 4 Testis dan skrotum terus membesat, Bentuk dewasa, tetapi
warna kulit skrotum makin gelap penis belum meluas ke medial
makin membesar baik panjang maupun paha
diameternya
Tahap 5 Bentuk dan ukuran dewasa Bentuk dewasa, meluas ke
medial pubis
Sumber: Batubara A, 2010. Pubertas dan gangguannya. Dalam Jose RL, Batubara BT, Aman
B Pulungan (eds), Buku Ajar Endokrinologi Anak, Edisi pertama. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI, pp 85-95.

2.2.1 Definisi pubertas terlambat

Pubertas terlambat didefinisikan sebagai tidak timbulnya tanda-tanda seks

sekunder pada usia 13 tahun untuk anak perempuan dan pada uia 14 tahun untuk

anak laki-laki (Batubara, dkk., 2010; Nakamoto et al., 2010). Pubertas terlambat

disebabkan oleh ketiadaan maturasi pubertas aksis neuroendokrin atau disfungsi

gonad. Hal ini dapat terjadi karena disfungsi primer aksis hipotalamus-hipofisis-

gonadal atau terjadi sebagai sekunder dari penyakit sistemik atau kekurangan

nutrisi (Lee dan Houk, 2007). Tanda keterlambatan pubertas pada anak terlihat

dari tidak ada tanda menarche atau telarche pada anak perempuan diatas usia 13

tahun atau diameter testis < 4ml dari anak laki-laki pada umur 14 tahun

(Moeryono, dkk., 2012). Nathan dkk (2005), Margareth Zacharin dkk (2011)

adalah ketika tanda awal pubertas tidak didapatkan saat teman seusianya relatif
24

sudah memiliki tanda awal pubertas tersebut, dimana onset usia pubertas didapat

lebih dari 2 SD hingga 2.5 SD dari distribusi normal.

2.2.2 Definisi hipogonadisme hipogonadotropik

Menurut AACE Guidelines (2002) hipogonadisme didefinisikan sebagai

fungsi gonad yang tidak adekuat, ditandai dengan defisiensi gametogenesis dan

atau sekresi hormon gonadal. Ketiadaan manifestasi klinis pubertas usia 13 tahun

pada wanita dan usia 14 tahun pada laki-laki bersamaan dengan rendahnya kadar

LH dan FSH yang menetap menunjukkan hipogonadotropik hipogonadisme

(Nakamoto et al., 2010). Hipogonadotropik hipogonadisme merupakan

komplikasi paling sering dan sering tidak diterapi pada penderita thalasemia, lebih

sering terjadi pada anak perempuan (Inati et al., 2015). Hipogonadotropik

hipogonadisme disebabkan kerusakan olehkarena deposisi besi di hipotalamus dan

kelenjar hipofisis, namun kadangkala kegagalan gonad primer dapat terjadi. Sel

gonadotropik hipofisis sensitif terhadap kerusakan oksidatif yang diinduksi oleh

kelebihan besi (Low, 2005). Hipogonadisme pada pria ditandai dengan

terganggunya fungsi testikular, yang mempengaruhi spermatogenesis dan/atau

sintesis testosteron (Fraietta et al., 2013)

2.3. Hipogonadisme pada thalasemia

Gangguan pubertas pada remaja dengan thalasemia dapat berupa

keterlambatan pubertas atau kemajuan pubertas yang lamban. Arrested puberty

relatif terjadi pada pasien dengan besi berlebih dengan ciri kemajuan pubertas

yang lamban, lebih dari satu tahun atau lebih. Wanita dengan thalasemia sebagian
25

besar mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur, amenorrhea primer, dan

amenorrhea sekunder yang dapat berkembang terutama pada pasien dengan terapi

kelasi yang tidak adekuat (Shamshirsaz, 2003). Siklus menstruasi yang tidak

teratur ditandai dengan interval menstruasi yang tidak dapat diprediksi dan siklus

antara menstruasi lebih dari 3 bulan. Definisi amenorrhea primer adalah tidak

didapatkan menarche hingga usia 16 tahun. Amenorrhea sekunder adalah

berhentinya menstruasi selama 6 bulan pada wanita yang sebelumnya pernah

mengalami haid teratur atau selama 12 bulan pada wanita yang tidak memiliki

haid teratur. Kerusakan ovarium karena besi berlebih lebih jarang dan terutama

terlihat pada wanita usia 25 hingga 30 tahun karena aktifitas vaskular yang tinggi

di usia ini (Rosenfield dan Sally, 2014).

2.3.1 Epidemiologi hipogonadisme pada thalasemia

Angka kejadian hipogonadisme yang diteliti oleh the International Network

on Endocrine Complication in Thalasemia (I-CET) sebesar 35-50%. Moayeri dkk

(2006) dalam penelitiannya mengenai prevalensi gagal tumbuh dan pubertas pada

thalasemia mayor terhadap 158 subjek penelitian dengan rentang usia 10-20 tahun

di Tehran menemukan hasil yang serupa. Hasil penelitian menemukan prevalensi

yang tinggi dari perawakan pendek (62%) dan hipogonadisme (69%). Alireza

Abdollah Shamshirsaz dkk (2003) dalam penelitiannya mengenai komplikasi

metabolik dan endokrin pada thalasemia mayor menemukan prevalensi

hipogonadisme yang lebih rendah dari penelitian lain. Penelitian dilakukan

terhadap 220 anak dengan thalasemia mayor di Iran. Hipogonadisme terlihat pada

22.9% laki-laki dan 12.2% pada perempuan. Sekitar 13 % pasien memiliki lebih
26

dari satu komplikasi endokrin dengan rata-rata feritin serum 1678 ± 955 ng/mL

yang secara signifikan lebih tinggi daripada pasien tanpa hipogonadisme (p =

0.036) (Shamshirsaz et al., 2003). Soesanti dkk (2013) dalam penelitiannya

dipusat thalasemia Jakarta menemukan hal yang serupa. Hasil penelitian

mendapatkan bahwa hanya 20% dari subjek penelitian mengalami keterlambatan

pubertas, dimana sebagian besar pasien (63%) mendapat terapi kelasi. Di RSUD

Soetomo, Shinta Kamaya dkk (2014) dalam penelitiannya menemukan

keterlambatan pubertas sebanyak 25% dimana pasien menerima terapi kelasi

secara rutin (Kamaya, dkk., 2014).

2.3.2 Diagnosis hipogonadisme

Skrining dini pubertas terlambat dan hipogonadisme perlu dilakukan secara

rutin untuk memulai tatalaksana dan mencegah komplikasi. Penilaian tahap

perkembangan pubertas (Tanner Stage) dilakukan setiap 6 bulan pada anak pre

pubertas dan evaluasi hormon LH, FSH, testosteron, estradiol, fungsi tiroid

sebaiknya dilakukan setiap tahun pada anak pubertas terlambat (Inati et al.,2015).

John Papadimas dkk (2002) dalam penelitiannya mempelajari status gonad

pada thalasemia. Penelitian dilakukan secara cross-sectional, clinical study

terhadap 135 anak thalasemia pada populasi Greek. Sampel dilakukan uji GnRH

100 ug untuk mengevaluasi fungsi hipofisis. Sampel darah diperoleh saat 0, 30

dan 60 menit, gonadotropin diukur dengan ELISA, rentang normal untuk keadaan

basal yaitu FSH 1-15 mlU/ml (laki-laki), 2-15 mlU/ml (perempuan) dengan kadar

FSH puncak yaitu 10-35 mlU/ml. Kadar basal LH 3-25 mlU/ml untuk laki laki

dan 2-20 mlU/ml untuk perempuan. Hasilnya berdasarkan status gonad pasien laki
27

laki dengan thalasemia mayor dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok A

(eugonadal) dengan perkembangan seksual yang normal sebanyak 35%.

Kelompok B dengan HH onset lambat sebanyak 24% yang ditandai dengan tahap

Tanner 2-5, ukuran testis kecil hingga normal, kadar basal FSH dan LH yang

normal dengan respon yang tidak normal terhadap tes GnRH. Kelompok C

dengan HH dengan onset cepat 41% dengan tahap Tanner I dengan testis kecil,

kadar hormon yang rendah baik basal maupun saat stimulasi GnRH. Kesimpulan

dari penelitian ini adalah status gonad pada thalasemia dapat diklasifikasikan

menjadi 3 kelompok menjadi eugonadal, hipogonadal dengan onset lambat dan

hipogonadal onset cepat (Papadimas et al., 2002).

Selain penilaian ciri seks sekunder, pengukuran konsentrasi serum FSH, LH

dan testosteron adalah pengukuran hormonal yang dapat dilakukan untuk

diagnosis hipogonadisme. Layman (2002) mengungkapkan bahwa kadar FSH dan

estradiol yang rendah disertai peningkatan kadar gonadotropin dapat

mengkonfirmasi diagnosis hipogonadisme primer dan MRI pada kelenjar hipofisis

direkomendasikan. Peningkatan kadar FSH berhubungan dengan ukuran testis

yang kecil,dan atropi testis menunjukan infertilitas yang irreversible (Palmert,

2014; Witchel, 2014). Pemeriksaaan MRI penderita thalasemia mayor dengan

pubertas terlambat didapatkan adanya sel yang kosong pada beberapa penderita,

ukuran kelenjar hipofisis yang sangat mengecil, tangkai hipofisis yang menipis,

dan bukti adanya deposit besi pada kelenjar hipofisis (Pramita dan Batubara,

2003; Soliman et al., 2000).

Beberapa pedoman tata laksana thalasemia mengungkapkan bahwa

monitoring pertumbuhan, pubertas dan fungsi endokrin secara keseluruhan


28

penting untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Anak-anak harus

secara rutin dipantau pertumbuhan dan pubertasnya hingga mencapai tinggi

dewasa dan perkembangan seksual penuh. Setiap kelainan endokrinopati harus

diselidiki dan dikelola dengan baik. Pasien remaja dengan thalasemia dapat

disertai dengan keterlambatan pubertas yang ditandai dengan kurangnya kemajuan

pubertas lebih dari satu tahun atau lebih. Menurut Abdulzahra dkk (2011) terdapat

gangguan hormonal yang berbeda pada pasien beta thalasemia. Penurunan

simpanan besi tubuh merupakan tujuan penting dalam tatalaksana thalasemia and

pengukuran konsentrasi hormon penting dilakukan untuk evaluasi pasien

thalasemia selama masa pubertas.

Menurut Palmert dkk (2014), pemeriksaan harus dimulai untuk

hipogonadisme ketika kemajuan pubertas dinilai tidak normal. Kemajuan pubertas

yang tidak normal jika seorang perempuan belum mendapat menstruasi dalam 4,5

tahun selama onset pubertas atau amenorrhea sekunder selama 1 tahun. Beberapa

pedoman manajemen pasien dengan thalasemia menganjurkan tahap Tanner

diperiksa setiap 6 bulan dimulai saat usia 10 tahun (Chang et al., 2009;

Wongrieger et al., 2009). Sedangkan De sanctis dkk (2013) dalam pedoman

tatalaksana komplikasi endokrin Internasional, merekomendasikan evaluasi

tahapan Tanner diperiksa sejak usia 12 tahun. Ketiga pedoman tersebut

menganjurkan untuk melakukan skrining fungsi tiroid, LH, FSH, estradiol atau

testosteron, usia tulang dan USG pelvis untuk mengukur uterus dan pematangan

ovarium.

Penelitian Sun dkk (2015) terhadap 91 anak dengan Idiopatihic

Hypogonadotropic Hypogonadism (IHH), 27 anak dengan Constitutional Delay of


29

Puberty (CDP), 6 anak prepubertas dan 20 anak pubertas. Pengambilan sampel

darah 4 kali pemeriksaan yaitu saat 0, 30, 60 dan 120 menit setelah stimulasi

GnRH, dan dilakukan pemeriksaan kadar LH dan FSH. Didapatkan bahwa kadar

LH serum memiliki AUC yang lebih besar dengan nilai sensitivitas basal LH

serum 73.8% dan spesifisitas 90.9% sedangkan Peak LH memiliki sensitivitas

80% dan spesifisitas 86.4% dalam diagnosis HH pada laki-laki. Basal LH

memiliki sensitivitas 80% dan spesifisitas 75% sedangkan basal FSH memiliki

sensivitas 100% dan spesifisitas 50% dalam diagnosis HH pada perempuan.

Kesimpulan penelitian ini bahwa nilai sensitivitas basal LH dan FSH sebagai

prediktor yang paling sensitif dalam diagnosis IHH dan CDP pada pasien.

Menurut Houk dkk (2009) pengukuran kadar LH basal saja cukup untuk

mengetahui aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium pada masa pubertas. Pengukuran

kadar FSH basal tidak dapat membedakan anak perempuan prepubertal dan

pubertas prekoks, sedangkan nilai rasio LH dan FSH memiliki nilai keakuratan

yang terbatas. Pada onset pubertas, kadar rerata LH dan FSH meningkat, dengan

peningkatan LH relative lebih besar. Jika pengukuran dari sampel serum tunggal,

tingkat LH berada di atas kisaran menengah tumpang tindih prapubertas dan

pubertas, pemastian status pubertas dapat dibuat dari sampel acak tunggal (Lee

dan Houk, 2010)

2.4 Patogenesis hipogonadisme pada thalasemia

Hipogonadisme dapat diakibatkan oleh gangguan di gonad (primer) dan

kelenjar hipofisis (sekunder). Hipogonadisme Hipogonadotropik (HH) merupakan

endokrinopati tersering pada thalasemia mayor (Noetzli et al., 2012). Penimbunan


30

besi pada sel gonadotropik hipofisis menyebabkan gangguan produksi

gonadotropin, dibuktikan dengan hormon Follicle-Stimulating Hormone (FSH)

dan Luteinizing Hormone yang kurang berespon terhadap stimulasi

Gonadotropin-Releasing Hormone (GnRH). Kerusakan hipofisis bersifat progresif

meski terapi kelasi besi intensif diberikan dan hipogonadisme pada laki-laki dan

perempuan tidak dapat dihindari (Mavrogeni et al., 2014). Infertilitas pada

perempuan thalasemia disebabkan karena efek langsung atau tidak langsung dari

besi berlebih di aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium dan sistem reproduksi

wanita. Efek langsung berkaitan dengan deposit besi di kelenjar hipofisis dan

sistem reproduksi sedangkan efek tidak langsung dikaitkan dengan besi berlebih

yang memicu radikal bebas (Roussou et al., 2013). Gambar 2.11 menunjukkan

efek langsung dan tidak langsung dari besi berlebih, dimana kelebihan besi dapat

memacu pembentukan radikal bebas yang dapat mempengaruhi hipotalamus,

hipofisis dan gonad namun kelebihan besi sendiri dapat menyebabkan deposisi

besi di hipotalamus, hipofisis dan gonad yang akan menyebabkan infertilitas.

Gambar 2.11. Efek langsung dan tidak langsung dari besi berlebih
Dikutip dari: Roussou P, Tsagarakis NJ, Kountouras D, Livadas S dan Kandarakis DE, 2013.
Beta-thalassemia major and female fertility: The role of iron and iron-induced oxidative stress.
Anemia, 115: 1-9.
31

Pasien thalasemia beta yang mendapat transfusi berulang akan menyebabkan

kelebihan besi, dan terjadi peningkatan Non Transferring Bound Iron (NTBI)

sehingga menyebabkan toksisitas jaringan (Roussou et al., 2013). NTBI diambil

oleh hepatosit, miosit jantung dan sel endokrin secara cepat menyebabkan

kerusakan jaringan dan kegagalan organ (Ganz dan Nemeth, 2012). Sumber lain

akumulasi besi dihasilkan dari peningkatan absorpsi besi duodenal olehkarena

penurunan hepsidin yang merupakan regulator utama homeostasis besi (Roussou

et al., 2013). Produksi Hepsidin menurun pada anemia defisiensi besi, anemia

hemolitik, anemia dengan eritropoesis yang tidak efektif. Ketika kadar besi

rendah, hepatosit memproduksi sedikit atau tidak memproduksi hepsidin sama

sekali, sehingga semakin banyak besi yang masuk ke plasma (Ganz dan Nemeth,

2012).

Besi menghasilkan produksi ROS (Reactive Oxygen Species) melalui reaksi

fenton, namun kelebihan besi menggangu keseimbangan redoks dalam sel yang

menyebabkan OS (Oxidative Stress) kronis (Wongrieger D, 2000; Roussou et al.,

2013). OS menyebabkan peroksidasi lipid dari asam lemak tidak jenuh di

membran sel dan organella. Hasil sampingan sitotoksik dari peroksidasi lipid

seperti malondialdehid (MDA) dan 4-hidroksi 2 nonenal yang dihasilkan akan

merusak fungsi sel dan sintesa protein serta merusak DNA. Keseimbangan

oksidatif/antioksidatif merupakan salahsatu faktor penting untuk homeostatis.

Ketika keseimbangan ROS dan antioksidan terganggu karena ROS yang

berlimpah, OS terjadi. Pembentukan ROS yang tidak terkendali menyebabkan

kerusakan makromolekul selular (DNA, protein dan lipid) dan molekul

antioksidan lainnya. Sistem antioksidatif yang dilindungi dari kerusakan


32

perioksidatif diduga juga dibawah pengaruh hormonal. ROS memiliki peran

penting dalam fungsi normal sistem reproduksi dan patogenesis infertilitas. ROS

mempengaruhi proses fisiologi multipel dari maturasi oosit sampai fertilisasi,

perkembangan embrio dan kehamilan (Roussou et al., 2013)

Sistem hipotalamus hipofisis mensekresikan hormon peptida, dimana sintesa

hormon membutuhkan integritas dari sistem translasi. Diantara penyebab

penurunan translasi adalah modifikasi dari eEF-2. Besi yang menginduksi OS

terlibat dalam gangguan eEF-2 yang membentuk gabungan dengan MDA dan 4-

hidroksinoneal (HNE). Gangguan kadar eEF-2 olehkarena peroksidasi lipid dan

pembentukan aldehid berperan terhadap produksi hormon (Roussou et al., 2013).

Inflamasi juga mempengaruhi eritropoesis dan keseimbangan besi. Mediator

inflamasi menyebabkan anemia melalui berbagai mekanisme:

1) usia eritrosit yang semakin pendek olehkarena kerusakan eritrosit dan

peningkatan eritrofagositosis (TNF-α);

2) Respon eritropoetin (EPO) yang tidak adekuat terhadap anemia (IL-1 dan

TNF-α);

3) Terganggunya respon sel eritroid terhadap EPO (IFN-γ, IL-1 dan TNF-α);

4) Inhibisi proliferasi dan diferensiasi sel eritroid (IFN-γ, IL-1, TNF-α dan α-

1-antitripsin); dan

5) Homeostasis besi patologik disebabkan peningkatan DMT-1 (IFN-γ) dan

ekspresi TfR (IL-10) di makrofag , menurunkan ekspresi feroportin 1

(IFN-γ, IL-6 menginduksi kadar hepsidin yang tinggi) di enterosit (inhibisi

absorbsi besi) dan makrofag (inhibisi resirkulasi besi) dan peningkatan

sintesa feritin (TNF-α, IL-1, IL-6, IL-10) (peningkatan simpanan besi).


33

Semua hal ini menyebabkan hipoferremia melalui diversi besi ke RES

(defisiensi besi fungsional yang ditandai dengan SI yang rendah dan peningkatan

saturasi transferin), eritropoesis dengan besi yang terbatas dan anemia ringan –

sedang. Besi tidak hanya digunakan untuk eritropoesis dan metabolisme oksidatif.

Respon imun selular juga tergantung adanya besi, dan defek khusus pada imunitas

selular termasuk gangguan proliferasi dan fungsi limfosit dan natural killer cells

(Gisbert dan Gomollon, 2009).

2.5 Pencegahan hipogonadisme pada thalasemia

Tata laksana hipogonadisme pada thalasemia dapat berupa pencegahan

maupun pengobatan. Pencegahan hipogonadisme yaitu dengan monitoring dini

besi berlebih, pemberian terapi kelasi serta pengenalan dini hipogonadisme.

Terapi induksi pubertas dapat diberikan untuk pasien yang didiagnosis

hipogonadisme.

Monitoring besi berlebih penting untuk menentukan kapan terapi pengikat

besi (kelasi) dimulai. Tujuan utama monitoring besi berlebih dan terapi kelasi

tidak hanya mengurangi mortalitas akibat besi berlebih tapi juga menurunkan

morbiditas, terutama dari penumpukan besi di hipofisis anterior, lebih lanjut untuk

mencapai pertumbuhan maksimal, perkembangan seksual serta fertilitas agar

dapat dicapai semua pasien. Penilaian besi berlebih dalam tubuh dapat diketahui

melalui dua cara yaitu melalui penilaian secara langsung atau tidak langsung,

tetapi tidak ada satu indikator tertentu atau indikator kombinasi yang ideal untuk

mengevaluasi status besi. Penentuan konsentrasi feritin serum atau plasma

merupakan cara yang tersering digunakan untuk memperkirakan simpanan besi di


34

dalam tubuh secara tidak langsung pada pasien yang mendapat terapi kelasi.

Kadar feritin plasma sekitar 4000 ng/ml menunjukkan batas atas fisiologis dari

kecepatan sintesis feritin, kadar yang lebih tinggi disebabkan oleh pelepasan

feritin dari sel yang mengalami kerusakan, tidak menggambarkan simpanan besi

tubuh secara langsung. Kadar feritin dapat dipengaruhi berbagai kondisi yang

menyebabkan perubahan kadar beban besi dalam tubuh seperti defisiensi askorbat,

panas, infeksi akut, inflamasi kronis, kerusakan hati baik akut maupun kronis,

hemolisis dan eritropoesis yang tidak efektif, yang kesemuanya sering terjadi pada

pasien thalasemia mayor sehingga memiliki implikasi klinis yang terbatas (Fischer

dan Harmatz, 2009)

Penelitian Moayeri dkk (2006) di Tehran dalam penelitiannya mengenai

prevalensi gagal tumbuh dan pubertas pada thalasemia mayor terhadap 158 subjek

penelitian dengan rentang usia 10-20 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

perawakan pendek dan hipogonadisme lebih sering ditemukan pada pasien dengan

kadar feritin lebih dari 2000 ng/mL. Moeryono dkk (2012) dalam penelitiannya

terhadap 14 anak thalasemia mengungkapkan hal yang serupa. Hasil penelitian

menunjukkan pasien dengan keterlambatan pubertas memiliki kadar serum feritin

di atas 5000 ng/ml. Selain itu pubertas juga dipengaruhi oleh status gizi anak.

(Moeryono, dkk., 2012). Kadar feritin 1000-1500 ng/ml adalah yang disarankan

pada pasien thalasemia dan dievaluasi setiap tiga bulan (Chang et al., 2009). Tabel

2.5 dibawah ini menunjukkan nilai normal besi dalam tubuh dan parameter yang

digunakan untuk monitoring status besi.


35

Tabel 2.5 . Parameter untuk monitor besi berlebih

Nilai normal Besi berlebih


Konsentrasi besi dalam Anak : 50-120 mcg/ml >100 mg/ml

plasma Dewasa : 50-175 mcg/ml


Saturasi transferrin 15 – 50% 80 – 100%

TIBC (Total Iron 4,5 – 8 mmol/l Berkurang

Binding Capacity) (250 – 450 mcg/ml)


Plasma ferritin Anak 2-15 th: 7–142 ng/ml >1000 ng/ml

♂ : 20 – 300 ng/ml
♀ : 15 – 120 ng/ml
Konsentrasi besi di hati ♂ : 0,2 – 2 mg Fe/g berat kering >2 mg/g

(mg besi / berat kering ♀ : 0,2 – 1,6 mg Fe/g berat kering berat kering
hati; Fe/g berat kering)
Dikutip dari : Katie Smith & Victoria Gibson. Iron Chelators (deferasirox, deferiprone dan
desferrioxamine) for iron overload. London New Drugs Group APC/DTC Briefing. Okt
2007; Diunduh dari:
http://www.medicinesresources.nhs.uk/upload/documents/Evidence/DrugReview

Paul Harmatz dkk (2000) melakukan penelitian mengenai beratnya besi

berlebih pada pasien yang mengalami terapi transfusi PRC. Penelitian dilakukan

terhadap 20 pasien dengan anemia sel sabit di California yang menerima transfusi

kronis dan menggunakan terapi kelasi dengan deferoxamine secara adekuat.

Pemeriksaan histologi hati oleh 2 patologi klinis dilakukan untuk mengevaluasi

deposit besi pada pasien. Rata rata durasi pemberian transfusi adalah 57±35 bulan.

Hasilnya didapatkan korelasi positif yang tinggi antara besi (mg/g) dengan lama

transfusi (dalam bulan) meskipun pemberian terapi deferoxamine diberikan secara

agresif (Harmatz dkk., 2000).

Keputusan dalam pemberian terapi kelasi berdasarkan hasil dari beberapa

pemeriksaan seperti jumlah total transfusi darah yang sudah diterima pasien,

jumlah feritin dalam serum, beban besi pada hepar LIC (Liver Iron Concentration)

yang diukur dengan biopsi, MRI, atau SQUID (Chang et al.,


36

2009). Chang Kian Meng dkk (2009) dalam manajemen pasien dengan

ketergantungan transfusi di Malaysia mengungkapkan bahwa waktu yang optimal

dimulainya terapi kelasi adalah saat pasien menerima lebih dari 10 unit darah dan

dimana feritin serum lebih dari 1000 ng/ml dalam lebih dari dua pemeriksaan

setidaknya dalam 2 minggu yang terpisah. Ada beberapa rekomedasi untuk

pemberian terapi kelasi, diantaranya dapat dilihat pada tabel 2.6 berikut ini :

Tabel 2.6. Pedoman untuk terapi kelasi dan monitoring

Liver iron Ferritin Recommended Monitoring Comments


concentratiro (ng/mL) chelation
n (LIC μg/g)
< 3,000 < 1,000 Lower the dose or Monitor ferritin
hold medication monthly and start
reduced-dose chelation
when ferritin goes up
between 500 and 1,000
ng/ml, depending on
age and risk factors
3,000-7,000 1,000- 2,500 Maintain existing Monitor ferritin every Note changes

therapy 3 months in trends


> 7,000 > 2,500 Intensive chelation Monitor ferritin every Intensive

2 to 3 months, and chelation


check LIC within 6 consists of at
months least 12 hours
of
deferoxamine
per day, 7
days per
week, or
maximum
tolerated
Excess Intensive chelation Monitor ferritin every Intensive

cardiac iron 2 to 3 months, and chelation


without check LIC within 6 consists of at
cardiac months; monitor least 12 hours
dysfunction; cardiac function within of
T2 < 20 ms 6 months deferoxamine
per day, 7
days per
week, or
maximum
tolerated
37

Iron-induced Maximum Monitor intensively


cardiomyopa chelation: 24 hour with cardiology
thy T2 < 20 deferoxamine consultation and iron
ms; or T2 < therapy chelation specialist
10 ms
without
cardiomyopa
thy
Dikutip dari : Elliott Vichinsky LL. Standards of care guidelines for thalassemia children: Children’s hospital
& research center Oakland. 2012:4-22.

Weintrob dkk (1990) dalam penelitiannya membandingkan efek usia saat

dimulainya terapi kelasi terhadap fungsi gonad pada 40 pasien thalasemia. Sampel

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok A (usia rata rata 17.0 ± 1.5 tahun)

yang telah memulai terapi dengan deferoxamine subkutan sebelum usia 10 tahun

dibandingkan kelompok B (usia rata rata 24.1 ± 3.8 th) yang memulai terapi

setelah usia 10 tahun. Sekitar 90% pasien yang menerima deferoxamine saat usia

rata-rata 7.5 tahun dapat mencapai pubertas yang normal 9 tahun kemudian.

Pasien yang menerima terapi kelasi pertama kali saat usia rata-rata 14.4 tahun

dengan jangka waktu yang sama panjang hanya 38% pasien yang mampu

mencapai pubertas normal. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pemberian

terapi kelasi sebelum usia pubertas dapat membantu pasien thalasemia yang

bergantung transfusi untuk mencapai pematangan seksual.

Wang dkk (1988) dalam penelitiannya mengenai HH pada pasien thalasemia

dan efek kelasi serta terapi hormon gonadotropin mengungkapkan hal yang

serupa. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa besi berlebih yang kronis dapat

mengakibatkan berbagai derajat HH yang tidak berespon terhadap terapi khelasi

jika diberikan terlambat.

Borgna Pignatti dkk (1985) dalam penelitiannya mengenai pertumbuhan dan

kematangan seksual pada pasien thalasemia mengungkapkan hal yang berbeda.


38

Penelitian dilakukan pada 250 remaja dengan thalasemia mayor. Desferrioxamine

telah diberikan selama 7 hingga 10 tahun termasuk rute subkutan selama 3 tahun.

Hasil penelitian tersebut adalah 37% pasien berada 2 SD dibawah rata rata tinggi

normal. Perubahan rambut pubis yang tidak lengkap terjadi pada 38% perempuan

dan 67% dari laki-laki dengan usia 12 hingga 18 tahun. Perempuan yang

mengalami menarche hanya 19%, 3 diantaranya mengalami amenorhea sekunder.

Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah beberapa indikator seperti usia awal

dimulainya transfusi, usia splenektomi, jumlah transfusi, feritin serta durasi dan

intensitas terapi kelasi gagal mengidentifikasi faktor keterlambatan pubertas pada

thalasemia.

John Papadimas dkk (2002) dalam penelitiannya mempelajari status gonad

pada thalasemia mengungkapkan hal yang sama. Tidak ada parameter yang dapat

menentukan faktor prognosis untuk status gonad pada pasien thalasemia. Usia

dimulainya transfusi, jumlah transfusi, hemoglobin darah, usia dimulainya terapi

kelasi, jenis terapi kelasi maupun feritin darah tidak berkorelasi secara signifikan

terhadap status gonad pasien thalasemia.

Terdapat dua jenis terapi kelasi yaitu deferoxamine (DFO) dan deferasirox.

DFO diberikan melalui parenteral (injeksi intravena atau infus subkutan) selama

10-12 jam sehari dan 5-6 hari seminggu. Dosis optimal yang dapat diberikan

adalah 25-50 mg/kgBB. Deferasirox mencapai konsentrasi plasma pada waktu

rata-rata 1-2 jam setelah pemberian berulang 10 atau 20 mg/kg/hari. Deferasirox

diberikan secara oral, dapat dilarutkan dalam air, jus apel atau jeruk, hingga

didapatkan suspensi yang baik. Obat ini memiliki bioavaibilitas absolut sekitar
39

70% secara oral. Dosis pemberian yang disarankan adalah 20 mg/kgBB/hari

(Olivieri dan Brittenham, 1997; Brittenham, 2011)

Selain pemberian secara dini, terapi khelasi juga harus diberikan secara

teratur untuk mencegah hipogonadisme (Shamshirsaz et al.,2003; Cohen et al.,

2008). Vahidi dkk (2003), dalam penelitiannya mengenai fungsi gonad dan

perkembangan pubertas pada thalasemia menyatakan hal yang sama. Penelitian

dilakukan secara cross sectional terhadap 71 remaja thalasemia secara acak.

Kematangan seksual, tinggi dan berat badan, gonadotropin, serta ferritin serum

dievaluasi dan dibandingkan dengan status deferoxamine yang teratur (> 4

suntikan dalam satu minggu) dan tidak teratur (< 4 suntikan dalam satu minggu).

Hasilnya kadar gonadotrophin dalam serum secara signifikan rendah pada pasien

thalasemia yang tidak menggunakan deferoxamine secara teratur dibandingkan

yang menggunakan regimen secara teratur (tabel 2.5). Gangguan kematangan

seksual pada penelitian tersebut disertai dengan penurunan kadar hormon seks dan

gonadotropin mengindikasikan bahwa deposit besi pada kelenjar hipofisis adalah

alasan utama terjadinya keterlambatan pubertas (Vahidi et al., 2003).

Tabel 2.7 . Perbandingan kadar hormon seks pada pengguna deferoxamine teratur
dan tidak teratur
Variables Deferoxamine Use
Regular Irregular/None
n = 30 n = 41
SerumFerritin (mg/ml)* 4400±3432 5468±3383

LH (mlU/mL) 1.63±1.49 0.69±0.56


FSH (mlU/mL) 2.81±2.41 1.68±1.14
Testosteron 4.04±7.04 0.58±1.02
(in boys)(nmol/L)
Estradiol 217±292 65±81
(in girls)(pmol/L)
* Tidak signifikan
Dikutip dari : Vahidi T, Ahmadi, Farahmandinia, Moghaddam K dan Meghdadi, 2003. A cross-
sectional controlled study of Gonadal function and pubertal development in thalassemia major.
Mjiri, 17: 5-10.
40

Soliman dkk (1999) dalam penelitiannya mengenai pertumbuhan dan

perkembangan pubertas pada anak dan remaja thalasemia serta anemia sel sabit

menyatakan hal yang berbeda. Penelitian ini melibatkan 200 pasien yang

menerima desferrioxamine (DFO) (50mg/kg/dosis) secara intramuskular atau

subkutan. Hasil dari penelitian tersebut adalah meskipun transfusi dan DFO darah

diberikan secara teratur, gangguan pertumbuhan dan keterlambatan pubertas tetap

terjadi pada sebagian besar anak dan remaja dengan thalasemia yang tergantung

transfusi (Soliman et al., 1999).

2.6 Prognosis

Gangguan maturitas seksual disertai dengan penurunan kadar hormon seks

dan gonadotropin mengindikasikan deposit besi di kelenjar hipofisis menjadi

penyebab utama keterlambatan pubertas. Prognosis dapat meningkat jika feritin

serum dipertahankan 2000 ng/L dengan terapi kelasi teratur (Vahidi et al., 2003).
41

2.7 KERANGKA TEORI

Thalasemia beta

Hemolisis Eritropoesis inefektif

Anemia

Splenomegali Sintesa Ekspansi Transfusi Hepsidin


eritropoetin eritroid sumsum berulang
tulang
Absorbsi Fe

Deformitas skeletal & Iron Overload


Osteopenia Saturasi
trasnferin

+ Transferin
Non Transferrin Feritin Haemosiderin
Bound Iron

Jantung Pankreas Hipofisis Paratiroid Hepar

Kardiomiopati Diabetes GnRH TSH Hipoparatiroid Haemosiderosis &


& Hipertensi Melitus sirosis hepar
pulmoanl

Tiroid
LH FSH
Hipotiroid

Gonad

Sekresi estradiol / testosteron

Status pubertas
42

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Thalasemia beta

Inefektif eritropoesis Hemolisis

Anemia berulang

Transfusi berulang Absorbsi besi

Iron Overload

Non transferrin
Haemosiderin
Bound Iron Feritin

Kelasi besi

Hipofisis
Radikal Bebas

GnRH
Tidak diteliti

Diteliti LH FSH

Perancu Gonad

Sekresi estradiol / testoteron


Status Nutrisi
Status Pubertas
43

Penjelasan kerangka konseptual :

Pada thalasemia beta terjadi inefektif hematopoiesis dan hemolisis sehinga

menyebabkan anemia. Anemia menyebabkan peningkatan absorbsi besi di usus

yang diperlukan untuk proses hematopoesis. Hemolisis yang terjadi terus menerus

akan menyebabkan anemia berulang yang memerlukan transfusi darah berulang

sehingga peningkatan absorbsi besi. Akibatnya terjadi penimbunan besi yang

merupakan hasil kombinasi antara transfusi darah berulang, peningkatan absorpsi

besi dalam usus akarena eritropoesis yang tidak efektif. Pemberian transfusi darah

secara teratur menurunkan absorpsi besi secara bermakna tetapi menyebabkan

penimbunan besi didalam sistem retikuloendotelial. Kelebihan besi menyebabkan

peningkatan kadar besi bebas (Non Transferin Bound Iron), kadar feritin dan

hemosiderin. Kelebihan besi dapat di kontrol dengan pemberian kelasi besi yang

akan mengikat besi sehingga dapat dieksresi dari tubuh. Besi bebas bersifat toksik

karena dapat memicu pembentukan radikal bebas. Peningkatan kadar feritin dan

hemosiderin akan menyebabkan penimbunan besi di kelenjar hipofisis. Akibat

penimbunan besi terjadi kerusakan dan kematian sel. Kerusakan hipofisis

menyebabkan sekresi gonadotropin (LH dan FSH) menurun yang akan

mempengaruhi gonad mengakibatkan sekresi hormon seks berkurang. Kadar

feritin serum dan penurunan hormon gonadotropik sangat berpengaruh terhadap

status pubertas.
44

3.3. Hipotesis Penelitian

1. Terdapat hubungan antara kadar feritin serum dengan status pubertas

pada anak thalasemia beta.

2. Terdapat hubungan antara kadar Luteinizing Hormone dengan status

pubertas pada anak thalasemia beta.

3. Terdapat hubungan antara kadar feritin serum dengan Luteinizing

Hormone (LH) pada anak thalasemia beta.


45

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan memeriksa status

pubertas, kadar feritin serum, luteinizing hormone pada anak dengan thalasemia

beta dalam satu kali pemeriksaan.

4.2. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Instalasi Rawat Jalan Hematologi-Onkologi Anak

RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Pemeriksaan kadar feritin serum dan luteinizing

hormone dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik, Gedung Pusat Diagnostik

Terpadu, RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

4.3. Waktu Penelitian

Pengumpulan data dilakukan selama 3 bulan atau sampai jumlah sampel

terpenuhi. Jadwal penelitian selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.

4.4. Populasi dan Sampel Penelitian

4.4.1 Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah anak dengan thalasemia beta yang berobat di

Instalasi Rawat Jalan Hematologi Onkologi Anak, Departemen Ilmu Kesehatan

Anak, RSUD Dr. Soetomo Surabaya.


46

4.4.2 Sampel penelitian

Subyek penelitian adalah anak dengan thalasemia beta yang memenuhi

kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada saat dilakukan penelitian di Instalasi

Rawat Jalan Hematologi Onkologi Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

4.4.3 Kriteria inklusi

1) Anak dengan thalasemia beta, usia 8-18 tahun baik laki-laki maupun

perempuan yang tercatat di Instalasi Rawat Jalan Hematologi Onkologi

Anak, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

2) Telah mendapatkan transfusi sel darah merah berulang minimal 10 kali

transfusi.

3) Memiliki kadar feritin serum > 1000 ug/L

4) Bersedia untuk berpartisipasi sesuai lembar informed consent tertulis dan

ditandatangani oleh orangtua atau wali, sebelum mengikuti segala prosedur

yang berhubungan dengan penelitian.

4.4.4. Kriteria eksklusi

1. Anak dengan thalasemia yang disertai kelainan komorbid dibidang

hematologi, misalnya thalasemia dengan keganasan.

2. Anak dengan kecurigaan infeksi bakteri misalnya demam (suhu >

0
37.5 C), radang paru-paru, infeksi saluran kemih serta anak dengan

tanda inflamasi yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan kadar

feritin serum.

3. Anak thalasemia beta dengan gizi buruk.


47

4.4.5.Estimasi besar sampel

Besar sampel dihitung dengan rumus:


2
n = Z1/2 α + Zβ
0.5 ln 1 +
+3
1−

Z1/2α0.05 = 1.96

Zβ0.20 = 0.842

r = Koefisien korelasi (r = 0.5)

Berdasarkan rumus tersebut didapatkan jumlah sampel sebanyak 29 pasien

4.4.6 Cara pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif yaitu pada semua subjek

penderita thalasemia beta yang datang ke Instalasi Rawat Jalan Hematologi

Onkologi Anak, RSUD Dr. Soetomo sampai jumlah sampel yang diperlukan

terpenuhi.

4.5 Identifikasi Variabel Penelitian

4.5.1 Variabel bebas

1. Kadar ferritin serum

2. Kadar LH

4.5.2 Variabel tergantung

Status pubertas
48

4.5.3. Variabel perancu

Status nutrisi

Kelasi besi

4.6 Definisi Operasional Variabel

4.6.1 Thalasemia beta

Diagnosa thalasemia beta ditegakkan berdasarkan (Viprakasit V, 2014; Origa

R, 2014) :

- Klinis

Anak terlihat pucat, perut membesar yang disebabkan hepatomegali dan

splenomegali, gangguan nafsu makan, gangguan tumbuh kembang, iritabilitas,

ikterus dan perubahan skeletal berupa deformitas tulang panjang dan craniofasial

(thalassaemic facie)

- Laboratorium

Anemia hipokromik mikrositik, anisositosis, poikilositosis, didapatkan

basophilic stippling, hitung retikulosit meningkat, jumlah eritrosit dan trombosit

masih normal kecuali bila didapakan hipersplenisme. Dari pemeriksaan Hb

Elektroforesis didapatkan kadar HbF selalu meningkat berkisar >5%. tidak

didapatkan HbA atau didapatkan penurunan kadar HbA yaitu kadar HbA sekitar

10-30%. Kadar HbA2 bervariasi sekitar ≥4%.

Penegakkan diagnosa thalasemia beta dilakukan oleh dokter spesialis anak

dan/atau oleh dokter spesialis konsultan hemato-onkologi anak.


49

4.6.2 Kadar feritin serum

Feritin merupakan protein pengikat besi yang terdiri dari 2 sub unit, H dan L.

Kadar feritin serum saat ini digunakan secara luas sebagai indikator status besi.

Pengukuran kadar feritin serum menggunakan mesin Cobas dengan prinsip

Electrochemilluminescence Immunoassay (ECLIA). Bahan yang dipakai adalah

sampel darah vena. Hasil pemeriksaan dalam satuan µg/L dengan skala data rasio.

Kadar feritin serum diklasifikasikan sebagai (Kohgo dkk., 2008):

Kelebihan feritin sangat ringan (250-500 µg/L)

Kelebihan feritin ringan (500-1000 µg/L)

Kelebihan feritin sedang (1000-5000 µg/L)

Kelebihan feritin berat ( >5000 µg/L)

4.6.3 Jenis kelasi besi

Jenis kelasi besi yang telah dikonsumsi oleh pasien thalasemia (deferoxamine,

deferiprone atau deferasirox).

4.6.4. Kepatuhan terapi kelasi besi

Kepatuhan pasien untuk minum terapi kelasi besi sesuai dosis yang disarankan

dari dokter anak yang merawat. Dosis DFO adalah 25-50 mg/kg BB/hari,

diberikan secara subkutan menggunakan pompa portable, diberikan selama 8-12

jam/hari, 5-6 hari seminggu. Dosis DFP adalah 75-100 mg/bb/hari dibagi 3 dosis

secara oral setiap hari. Dosis DFX adalah 20-40 mg/kg BB/hari., dosis sekali

sehari secara oral, setiap hari. Data kepatuhan terapi kelasi besi berupa proporsi

obat yang diminum didapatkan dari anamneses (Pullar et al., 1989):


50

- Scrupulous = 90-100%
- Sloopy = 60-89%

- Consistently low = 30-59%

- Virtually nil = 0-29%

4.6.5 Status pubertas

Status pubertas dinilai dengan menggunakan tahap perkembangan pubertas

pada anak yang disusun oleh Marshall dan Tanner. Dimana tahap perkembangan

pubertas anak laki-laki berdasarkan pertumbuhan rambut pubis dan genitalia

(testis dan penis), dan tahap perkembangan pubertas anak perempuan berdasarkan

payudara dan rambut pubis. Pengukuran volume testis dilakukan dengan

menggunakan orkidometer Prader, yang diberi angka 1-25. Angka ini

menunjukkan volume testis dalam mL. Berikut penilai tahap perkembangan

pubertas menurut Marshall dan Tanner.

Tabel 4.1 Tahap perkembangan pubertas perempuan


Tahap Payudara Rambut Pubis

Tahap 1 Prapubertas Tidak ada rambut pubis.


Tahap 2 Breast feeding, menonjol seperti bukit Jarang. Berpigmen sedikit, lurus,
kecil, areola mendatar atas medial labia
Tahap 3 Payudara dan areola membesar, tidak ada Lebih hitam, mulai ikal, jumlah
kontur pemisah bertambah
Tahap 4 Areola dan papilla membentuk bukit Kasar, keriting, belum sebanyak
kedua dewasa
Tahap 5 Bentuk dewasa, papilla menonjol dan Bentuk segitiga seperti perempuan
areola sebagai bagian dari kontur buah dewasa tersebar sampai medial
dada paha
Sumber: Batubara A. Pubertas dan gangguannya. Dalam: Jose RL, Batubara BT, Aman B
Pulungan, penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi ke 1. Jakarta; Perpustakaan
Nasional, Badan Penerbit IDAI; 2010. h. 85-95
51

Gambar 4.1 Tahap perkembangan pubertas anak laki-laki dan perempuan


Sumber: Styne DM, 2016. Disorders of puberty. In Styne DM (ed), Pediatric
endocrinology, 1st ed. Switzerland: Springer, pp 189-232.
52

Tabel 4.2 Tahap perkembangan pubertas anak laki-laki


Tahap Genital Rambut Pubis

Tahap 1 Prapubertas Prapubertas; Tidak ada


rambut pubis.
Tahap 2 Pertambahan volume testis, skrotum Jarang. Sedikit pigmentasi
membesar, menipis dan kemerahan dan agak ikal, terutama pada
pangkal penis
Tahap 3 Penis mulai membesar baik dalam Tebal, ikal, meluas hingga ke
panjang maupun diameter, volume testis mons pubis
dan skrotum terus bertambah besar
Tahap 4 Testis dan skrotum terus membesat, Bentuk dewasa, tetapi belum
warna kulit skrotum makin gelap penis meluas ke medial paha
makin membesar baik panjang maupun
diameternya
Tahap 5 Bentuk dan ukuran dewasa Bentuk dewasa, meluas ke
medial pubis
Sumber: Batubara A, 2010. Pubertas dan gangguannya. Dalam Jose RL, Batubara BT,
Aman B Pulungan (penyunting), Buku Ajar Endokrinologi Anak, Edisi pertama. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI, hlm 85-95.

Tabel 4.3 Tahap perkembangan pubertas sesuai volume testis


SMR Adolescent Stage Testicular volume
1 Early 1– 3 ml
2 4– 8 ml
3 Middle 9 – 12 ml
4 13– 15 ml
5 Late ≥ 16 ml
Sumber: Styne DM, 2016. Disorders of puberty. In Styne DM (ed), Pediatric endocrinology,
1st ed. Switzerland: Springer, pp 189-232.

Tanda keterlambatan pubertas pada anak yang menderita thalasemia terlihat

dari tidak ada tanda menarche atau telarche pada anak perempuan di atas umur 13

tahun atau diameter testis <4cm dari anak laki-laki pada umur 14 tahun. Atau

ketika tanda awal pubertas tidak didapatkan saat teman seusianya relatif sudah

memiliki tanda awal pubertas tersebut, dimana onset usia pubertas didapat lebih

dari 2 SD hingga 2.5 SD dari distribusi normal. Dengan demikian status pubertas

dinyatakan dalam:
53

1) Pubertas normal

timbulnya ciri-ciri seks sekunder pada usia 8-13 tahun pada perempuan

meliputi pertumbuhan payudara, rambut pubis dan aksila, dan usia 9-14 pada pria

meliputi perkembangan genital, rambut pubis dan aksila.

2) Pubertas prekoks

timbulnya ciri-ciri seks sekunder pada usia < 8 tahun pada perempuan dan <

9 tahun pada laki-laki.

3) Pubertas terlambat

tidak timbulnya tanda-tanda seks sekunder pada usia 13 tahun untuk anak

perempuan dan pada usia 14 tahun untuk anak laki-laki.


54

Pada perempuan (panel A), perkembangan payudara dari Tanner tahap 1 (preadolescent) ke tahap
2 (adanya breast bud) yang terjadi antara uia 8-18 tahun, dan pada laki-laki perkembangan genital
tanner tahap 1 (preadolescent) ke tahap 2 (pembesaran testis dan skrotum dan perubahan tekstur
dan kemerahan pada kulit skrotum yang terjadi pada usia 9-14 tahun.

Gambar 4.2 Perkembangan payudara dan genital pada anak laki-laki dan perempuan
Sumber: Palmert MR, Dunkel L, 2012. Delayed puberty. N Engl J Med, 366:443-53.

4.6.5. Status nutrisi

Pada setiap pasien dilakukan pengukuran tinggi badan, berat badan dan

lingkar lengan atas. Pasien thalasemia mengalami organomegali sehingga

penentuan status gizi berdasarkan lingkar lengan atas. Pengukuran lingkar lengan

atas dilakukan dengan cara melingkarkan pengukur pada pertengahan lengan

antara acromion dan olecranon. Status gizi ditentukan dengan perbandingan antara

lingkar lengan atas pasien dengan LLA persentil 50 anak berdasarkan usia yang

dinyatakan dalam persen. Gambar 4.4 menunjukkan cara pengukuran LLA dan

Tabel 4.2 dipakai sebagai referensi persentil LLA.


55

 Gizi baik jika LLA 90-110%

 Gizi kurang jika LLA 70-89%

 Gizi buruk jika LLA < 70%

 Gizi lebih jika LLA >110-120%

 Obesitas jika LLA >120%

Gambar 4.3 Cara pengukuran lingkar lengan atas


56

Tabel 4.4 dipakai sebagai referensi persentil LLA

Sumber: Friancho AR, 1981. New Norms of upper limb fat and muscle areas for assessment
of nutritional status. Am J Clin Nutr, 34:2540-5.
57

4.6.4 Kadar Luteinizing Hormone (LH)

Pemeriksaan hormonal LH dilakukan dengan menggunakan alat ADVIA

Centaur dengan prinsip imunoassay menggunakan teknologi direct

chemiluminmetric.Hasil pemeriksaan LH dinyatakan dalam mIU/mL atau IU/L

(SI units). Formula konversi 1 mIU/mL = 1 IU/L. Sampel pemeriksaan merupakan

serum darah vena, sampel dibiarkan membentuk clot sebelum sentrifugasi.

Sampel tidak boleh digunakan jika telah disimpan pada suhu ruangan

0
> 8 jam. Sampel beku pada suhu ≤ -20 C jika sampel tidak diperiksa dalam 48

jam. Sebelum dilakukan pemeriksaan sampel, harus dipastikan bahwa sampel

bebas fibrin dan sampel tidak berbusa.

Nilai rujukan yang digunakan sesuai dengan penelitian Houk CP dkk

menyatakan semua anak dengan pubertas prekoks memiliki kadar LH basal > 0.83

U/L diukur dengan Chemiluminescent assay (Houk CP, 2009).

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Etik penelitian

Sampel penelitian ini mendapat persetujuan tertulis dari orang tua atau wali.

Formulir informed concent dapat dilihat pada lampiran. Etik penelitian diajukan

ke Komite Etik RSUD Dr. Soetomo dan telah disetujui pada tanggal 16 Maret

2017.
58

4.7.2 Alur Penelitian

Pasien yang memenuhi kriteria inklusi

Sampel penelitian

Evaluasi:
 Status nutrisi (BB, TB, LLA)
 Pemeriksaan fisik pasien (hepar & lien)
 Kadar feritin pasien
 Status pubertas (Tanner)
 Cek kadar gonadotropik (LH)

Analisis data

Hasil

Penjelasan alur penelitian :

Penderita anak yang didiagnosis sebagai thalasemia beta ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan DL, hapusan darah tepi

dan Hb elektroforesis. Berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, penderita

diambil sebagai sampel penelitian, dilakukan evaluasi status nutrisi, status

pubertas dengan Tanner, darah vena perifer sebanyak 5 ml dan dimasukkan

kedalam tabung SST II Advance untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar

feritin serum dan LH. Hasil pemeriksaan kadar feritin serum dan LH dianalisis

menggunakan piranti software SPSS 11.5.


59

4.7.3 Prosedur Penelitian

1. Pemilihan subyek adalah semua penderita dengan thalasemia beta yang

datang berobat di Poli Rawat Jalan Hematologi-Onkologi Anak RSUD Dr.

Soetomo Surabaya.

2. Dilakukan pengambilan data dasar meliputi usia, jenis kelamin, usia saat

pertama diagnosis, golongan darah, frekuensi transfusi, jenis darah transfusi,

jenis terapi kelasi besi, lama terapi kelasi besi, riwayat kadar hemoglobin

terendah, hasil pemeriksaan darah tepi terakhir, kadar feritin sebelumnya dan

Hb elektroforesis saat pertama kali datang.

3. Dilakukan pemeriksaan antropometri berupa pengukuran berat badan, tinggi

badan, lingkar lengan atas; pemeriksaan tanda-tanda vital berupa suhu,

pembesaran limpa dan hepar.

4. Semua penderita thalasemia beta yang memenuhi kriteria inklusi diambil

darah vena perifer sebanyak 3 ml dengan menggunakan disposible spuit 5 ml.

Darah dimasukkan ke dalam tabung SST II Advance. Darah dikirim ke

Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr. Soetomo.

5. Pemeriksaan kadar feritin dan LH serum dari sampel darah sesuai prosedur

yang terdapat di Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr.Soetomo Surabaya.

6. Data yang terkumpul dimasukkan ke dalam lembar pengumpul data seperti

yang tercantum dalam lampiran, untuk dianalisis lebih lanjut.

.
60

4.7.4 Prosedur pengumpulan data

1. Penegakkan diagnosa thalasemia beta dilakukan oleh dokter spesialis anak

dan/atau oleh dokter spesialis konsultan hemato-onkologi anak.

2. Pemeriksaan antropometri dilakukan oleh peneliti, penentuan status gizi

menggunakan lingkar lengan atas dengan tabel lingkar lengan atas

berdasarkan usia. Pengukuran berat badan dan tinggi badan menggunakan

alat ukur yang tersedia di poli hemato-onkologi RSUD. Dr. Soetomo.

3. Pemeriksaan status pubertas berdasarkan Tanner dilakukan oleh peneliti

dengan supervisi dokter anak/ konsultan endokrinologi.

4. Pemeriksaan kadar feritin dan LH serum dilakukan di laboratorium patologi

klinik RSUD. Dr. Soetomo, dilakukan oleh dokter PPDS patologi klinik.

4.7.5 Penyajian data dan analisis statistik

Data yang tercantum dalam lembar pengumpul data akan disajikan dalam

bentuk tabulasi, diagram, teks dan tulisan. Analisis secara deskriptif dilakukan

dengan menggunakan ukuran statistik (rerata, standar deviasi, dan tabel distribusi

frekuensi). Analisis hubungan kadar feritin serum dengan kadar luteinizing

hormone serum pada anak thalasemia akan dilakukan dengan menggunakan uji

korelasi spearman karena data tidak berdistribusi normal. Perkiraan risiko

gangguan fungsi hormon gonadotropik dihitung menggunakan regresi bivariat.

Analisis data dilakukan dengan bantuan software SPSS 11.5.


61

BAB 5

HASIL PENELITIAN

Pengumpulan data penelitian dilakukan selama 5 bulan dari bulan Mei hingga

September 2017. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling.

Sebanyak 56 pasien diambil sebagai sampel penelitian, 48 pasien memenuhi

kriteria inklusi terdiri dari 22 pasien telah mengalami pubertas dan 26 pasien

prepubertas. Delapan pasien diekslusi yaitu 7 anak dengan gizi buruk dan 1 anak

karena diduga sebagai Sindrom Turner, pasien ini dikontrolkan ke poli

endokrinologi anak untuk skrining lebih lanjut.

5.1 Karakteristik subyek penelitian

Tabel 5.1 menerangkan karakteristik subyek penelitian. Jumlah anak

perempuan adalah 26 (54.2%) anak. Rerata usia pasien yang dianalisis adalah

147.1 bulan (SD 34.2) bulan. Rerata berat badan pasien adalah 31.5 (SD 9,9) kg,

rerata tinggi badan 136.1 (SD 13,9) cm, dan rerata lingkar lengan atas 19,5 (SD

2,6) cm. Pada penelitian ini didapatkan 26 pasien prepubertas dan 22 pasien telah

mengalami pubertas. Terdapat 8 pasien berada dalam kelompok G1 dengan rerata

usia 123,13 (SD 14,427) bulan dan median usia 118 (109-153) bulan. Terdapat 17

pasien berada dalam kelompok M1 dengan rerata usia 120,12 (SD 17,94) bulan

dan median usia 121 (97-150) bulan.


62

Tabel 5.1. Karakteristik dasar sampel penelitian


Variabel Jumlah (n)
Jenis kelamin (n ; %)
Laki-laki 22; 45,8
Perempuan 26; 54,2
Usia (mean ; SD) bulan 147,1 ; 34,2

Status gizi (%)

Baik (n,%) 11 ; 22,9


Kurang (n,%) 37 ; 77,1
BB (mean ; SD) bulan 31,45 ; 9,9

TB (mean ; SD) cm 136,1 ; 13,9


LLA (mean, SD) cm 19,5 ; 2,6
Perawakan

Pendek (n ; %) 29; 60,4


Normal (n ; %) 19; 39,6
Durasi pemakaian kelasi besi (mean ; SD) 75,8 ; 45

Ukuran testis

G1 (n ; %) 8 ; 16,7
G2 (n ; %) 6 ; 12,5
G3 (n ; %) 3; 6,3
G4 (n ; %) 1; 2,1
G5 (n ; %) 4; 8,3
Ukuran mammae

M1 (n ; %) 18; 37,5
M2 (n ; %) 5 ; 10,4
M3 (n ; %) 3; 6,3

Diagnosis thalasemia anak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan darah, hapusan darah tepi dan Hb elektroforesis. Sebagian

besar pasien memiliki golongan darah O 30 anak (54,5%). Sebagian besar pasien

mendapat transfusi Washed Erythrocyte (WE) 69,0%. Jenis kelasi besi terbanyak

yang dikonsumsi adalah deferiprone (63,6%). Sebanyak 2 (3,6%) anak telah

menjalani splenektomi. Tabel 5.2 menunjukkan pemakaian jenis kelasi besi pada

subjek penelitian, dimana sebagian besar pasien (70,8%) mendapatkan

deferiprone.
63

Tabel 5.2 Pemakaian kelasi besi pada subjek penelitian


Variabel Pubertas Pre-pubertas P
Jenis kelasi besi
Deferoxamine (DFO) 0 1 0,855
Deferiprone (DFP) 16 18
Deferasirox (DFX) 6 7

Pada penelitian ini hanya terdapat 1 pasien dengan pubertas terlambat yaitu

anak perempuan berusia 157 bulan, gizi kurang, perawakan pendek, memiliki

tinggi badan 126 cm dan berat badan 24 kg. Pasien memiliki feritin serum

5795,58 ug/L dan LH serum 0,11 U/L. Peneliti mengekslusi pasien ini dalam

analisis statistik agar tidak mempengaruhi hasil penelitian. Tabel 5.3 dan 5.4

menunjukkan karakteristik status pubertas dan usia subjek penelitian.

Tabel 5.3 Usia dan status pubertas anak laki-laki thalasemia beta
Gonad N Mean (SD) Median (minimum – maksimum)

G1 8 123,13 (14,27) 118 (109 – 153)


G2 6 157,33 (13,77) 159 (132 – 171)
G3 3 186,67 (30,0) 193 (154 – 213)
G4 1 . 205
G5 4 193,50 (9,54) 156 (109 – 213)

Tabel 5.4 Usia dan status pubertas anak perempuan thalasemia beta
Mammae N Mean (SD) Median (minimum – maksimum)

M1 17 120,12 (17,94) 121 (97 – 150)


M2 5 159,0 (16,77) 156 (138 – 182)
M3 3 199,0 (23,64) 209 (172 – 216)

Sebagian besar subyek mempunyai status gizi kurang (76,6%) dan gizi baik

(23,4%). Perawakan pendek didapatkan pada 28(59,6%) pasien, terdapat 19

(40,4%) pasien dengan perawakan normal.


64

Tabel 5.5 Status gizi dan perawakan pada setiap status pubertas anak laki-laki
Variabel G1 (n;%) G2 (n;%) G3 (n;%) G4 (n;%) G5 (n;%)
Perawakan
- Normal 4 ; 50 2 ; 33,3 1 ; 33,3 0 ; 0,0 2 ; 50
- Pendek 4 ; 50 4 ; 66,7 2 ; 66,7 1 ; 100 2 ; 50
Status gizi

- Baik 4 ; 50 1 ; 16,7 0 ; 0,0 0 ; 0,0 0 ; 0,0


- Kurang 4 ; 50 5 ; 83,3 3 ; 100 1 ; 100 4 ; 100

Tabel 5.6 Status gizi dan perawakan pada setiap status pubertas anak perempuan
Variabel M1 (n;%) M2 (n;%) M3 (n;%)
Perawakan
- Normal 8 ; 47,1 0 ; 0,0 2 ; 66,7
- Pendek 9 ; 52,9 5 ; 100 1 ; 33,3
Status gizi

- Baik 5 ; 29,4 0 ; 0,0 1 ; 33,3


- Kurang 12 ; 70,6 5 ; 100 2 ; 66,7

5.2 Kadar feritin serum pada anak thalasemia beta

Kadar feritin serum berada dalam rentang antara 519,0 ug/L dan 6647,5 ug/L

dengan median 3154,9 ug/L. Data feritin serum tidak berdistribusi normal dengan

nilai p > 0.05 pada uji Shapiro-Wilk.

Pada anak laki-laki yang masih dalam masa prepubertas (G1) memiliki rerata

kadar feritin serum 2117,43 (SD 1378,45) ug/L dengan nilai median 1559,22

(1115,85 – 5382) ug/L. Tabel 5.7 dan tabel 5.8 menunjukkan kadar feritin serum

pada tiap kelompok status pubertas anak laki-laki dan perempuan. Tidak

didapatkan hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar feritin dan

status pubertas.
65

Tabel 5.7 Kadar feritin serum pada tiap kelompok status pubertas laki-laki
Gonad N Mean (SD) Median p r
Feritin serum Feritin serum
G1 8 2117,43 (1378,45) 1559,2 0,137 0,327
(1115,9 – 5382,0)
G2 6 3428,38 (2554,99) 3122,7
(519 – 6647,5)
G3 3 3168,7 (1418,2) 3412,3
(1644,5– 4449,3)
G4 1 3108,65 3108,7
(3108,7)
G5 4 3462,23 (2206,06) 3056,4
(1242,4 – 6493,8)

Tabel 5.8 Kadar feritin serum pada tiap kelompok status pubertas perempuan
Mammae N Mean (SD) Median P r
Feritin serum Feritin serum
M1 17 2817,42 (1689,4) 2658 0,793 0,055
(628,0 – 6472,1)
M2 5 3335,70 (1071,59) 3555,3
(1607,1 – 6646,1)
M3 3 2045,96 (962,28) 1838,7
(1204,2 – 3094,9)

5.3 Kadar Luteinizing Hormon serum pada pasien thalasemia beta

Kadar Luteinizing Hormon (LH) serum berada dalam rentang antara 0,0

sampai 11,06 IU/L dengan median 0,3 IU/L. Data LH serum tidak berdistribusi

normal dengan nilai p > 0,05 pada uji Shapiro Wilk. Tabel 5.9 menunjukkan kadar

LH serum pada kelompok pubertas dan prepubertas dimana terdapat perbedaan

kadar LH pada kelompok pubertas dan prepubertas yang signifikan secara statistik

(p<0.0001).

Tabel 5.9 Kadar LH serum pada pasien thalasemia beta


Variabel Pubertas Pre-pubertas p
(n=22) (n=25)
LH > 0.83 IU/L 20 0 <0,0001
LH ≤ 0.83 IU/L 2 25
66

Pada pemeriksaan tanner stage, terdapat 2 anak memiliki kadar LH serum

prepubertal namun telah memasuki masa pubertas yang diketahui dengan

pemeriksaan tanner stage. Terdapat 20 (41,7%) pasien memiliki kadar LH serum

> 0,83 IU/L dan 28 (58,3%) anak memiliki kadar LH serum ≤ 0,83 IU/L (gambar

5.1).

41,7% LH ≤ 0.83
58,3%
LH > 0.83

Gambar 5.1 Kadar LH serum pada pasien thalasemia beta

5.4 Hubungan kadar feritin serum dengan status pubertas

Kadar feritin serum tidak berhubungan dengan status pubertas dengan nilai

p=0,351.

Tabel 5.10 Hubungan antara kadar feritin serum dengan status pubertas
Variabel Pubertas Pre-pubertas p r
(n=22) (n=25)
Feritin serum (ug/L)
Kelebihan feritin ringan 1 2 0,662 0,02
(500-1000 ug/L)
Kelebihan feritin sedang 18 21
(1000-5000 ug/L)
Kelebihan feritin berat 3 2
(>5000)

Pada anak thalasemia dengan kadar feritin 1000-5000 ug/L, 21 dari 39 anak

masih dalam masa prepubertas. Terdapat 5 anak dengan kadar feritin > 5000 ug/L,

3 anak telah mengalami pubertas dan 2 anak masih dalam masa prepubertas.

Terdapat 1 anak mengalami pubertas terlambat dengan kadar feritin >5000 ug/L.
67

Pengukuran testis dilakukan dengan orchidometer. Terdapat 6 anak dengan

testis G2, 3 anak dengan testis G3, 1 anak dengan testis G4 dan 4 anak dengan

testis G5. Tabel 5.12 dan 5.13 menggambarkan ukuran testis/mammae, usia, TB,

BB, LLA, kadar feritin dan kadar LH serum pada seluruh sampel penelitian.

Tabel 5.11 Tabel ukuran testis, usia, tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas,
kadar feritin serum dan LH pada anak laki-laki thalasemia beta.
Ukuran Usia TB BB (kg) LLA Kadar feritin LH
Gonad (bulan) (cm) (cm) (ug/L) (IU/L)
(N)
G1 118,0 128,3 26,0 17,9 1559,2 0,07
(N=8) (109-153) (111,5-140,5) (16,0-37,0) (15,1-22,3) (1115,9-5382) (0,07-0,31)
G2 159,0 141,8 34,0 20,5 3122,7 1,3

(N=6) (132-171) (137-144,8) (34,0-37,0) (19,5-24,0) (519,1-6647,5) (0,76-11,1)


G3 193,0 152,2 42,0 20,2 3412,3 9,2

(N=3) (154-213) (146,6-155,0) (36,0-43,0) (21,1-22,4) (1644,5-4449,3) (3,8-9,5)


G4 205,0 149,5 41,0 22,0 3108,7 4,6

(N=1)
G5 194,5 161,9 47,5 22,95 3056,4 2,6

(N=4) (181-204) (153,8-167,0) (42,0-54,0) (20,1-24,2) (1242,4-6493,8) (1,97-5,1)

Tabel 5.12 Tabel ukuran mammae, usia, tinggi badan, berat badan, lingkar lengan
atas, kadar feritin serum dan LH pada anak perempuan thalasemia beta.
Ukuran Usia TB BB (kg) LLA Kadar feritin LH
Mammae (bulan) (cm) (cm) (ug/L) (IU/L)
(N)
M1 122,0 127,3 24,0 18,0 2736,3 0,07
(N=18) (97-157) (109-135) (15-36) (14,0-21,5) (628-6472,1) (0,0-0,65)
M2 156,0 136,5 30,0 19,0 3555,3 2,8

(N=7) (138-182) (132-145) (26,5-40,0) (17,8-21,2) (1607,1-4464,1) (0,31-4,4)


M3 209,0 152,0 50,0 23,3 1838,7 4,0

(N=3) (172-216) (147,8-164,5) (50-51) (23,2-23,3) (1204,2-3094,9) (1,8-9,2)


68

5.4 Hubungan antara kadar luteinizing hormon dengan status pubertas

Pada anak yang telah mengalami pubertas, 20 dari 22 anak (90,9%) memiliki

kadar luteinizing hormon > 0,83 IU/L. Seluruh anak dengan tanner stage pre

pubertas memiliki kadar luteinizing hormon ≤ 0,83 IU/L.

Pada pasien dengan tahap perkembangan G1 memiliki median kadar LH

serum 1,3 U/L, kadar LH berkisar 0,76 – 11,1 U/L. Terdapat 2 anak yang telah

masuk masa pubertas (pada tahap G2 dan M2) namun kadar LH serum ≤ 0,83

IU/L. Anak laki-laki usia 12 tahun, perawakan normal dan gizi baik dengan kadar

feritin serum 1087,76 ug/L dan LH 0,76 IU/L. Pada pemeriksaan Tanner Stage

pasien dengan volume testis kiri 6 cc dan testis kanan 6 cc (G2). Pasien lain yang

telah pubertas namun memiliki LH ≤ 0,83 IU/L yanitu anak perempuan usia 11.5

tahun dengan kadar feritin serum saat pengambilan sampel 3201,16 ug/L dan LH

serum 0.31IU/L (sesuai LH prepubertas). Namun pada pemeriksaan tanner stage

pasien telah memasuki masa pubertas (M2). Pasien belum mengalami menstruasi.

Tabel 5.13 Hubungan antara kadar LH serum dengan status pubertas pada anak
laki-laki thalasemia beta
Gonad N Mean (SD) Median p r
LH serum LH serum
G1 8 0,1 (0,08) 0,07 (0,07 – 0,3) < 0,0001 0,816
G2 6 3,0 (3,9) 1,3 (0,76 – 11,1)
G3 3 7,5 (3,2) 9,2 (3,8 – 9,5)
G4 1 4,5 4,6
G5 4 3,08 (3,3) 2,6 (1,97 – 5,1)

Tabel 5.14 Hubungan antara kadar LH serum dan status pubertas pada anak
perempuan thalasemia beta
Mammae N Mean (SD) Median P r
LH serum LH serum
M1 17 0,12 (0,16) 0,07 (0 ,0 – 0,65) < 0,0001 0,814
M2 5 2,5 (1,6) 2,8 (0,31 – 4,4)
M3 3 4,9 (3,8) 4,0 (1,8 – 9,2)
69

5.5 Hubungan kadar feritin serum dan kadar LH serum pada pasien

thalasemia

Kadar feritin serum berada dalam rentang antara 519,1 ug/L dan 6647,5 ug/L

dengan median 2658,6 ug/L. Kadar Luteinizing Hormon (LH) serum berada

dalam rentang antara 0,0 sampai 11,06 IU/L dengan median 0,3 IU/L. Data kadar

feritin serum dan LH serum masing-masing berdistribusi tidak normal.

Pada penelitian ini hanya terdapat 1 pasien dengan pubertas terlambat yaitu

anak perempuan berusia 157 bulan, gizi kurang, perawakan pendek, memiliki

tinggi badan 126 cm dan berat badan 24 kg. Pasien memiliki feritin serum

5795,58 ug/L dan LH serum 0,11 U/L. Peneliti mengekslusi pasien ini dalam

analisis statistik agar tidak mempengaruhi hasil penelitian. Terdapat hubungan

yang bermakna antara kadar feritin serum dan luteinizing hormon secara statistik

namun berkorelasi lemah (p=0,046 ; r = 0,293).


70

p = 0,046
r = 0,293

Gambar 5.2 Scatter plot kadar feritin serum dan kadar LH serum pasien thalasemia beta

Terdapat 5 anak memiliki kadar feritin serum > 5000 ug/L, 3 anak memiliki

kadar LH serum > 0,83 U/L, dan 2 anak memiliki kadar LH serum ≤ 0,83U/L.

Sekitar 39 anak memiliki kadar feritin serum 1000-5000 ug/L, 23 pasien dengan

kadar LH serum ≤ 0,83 IU/L dan 16 pasien dengan kadar LH serum > 0,83 IU/L.
71

BAB 6

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan studi cross sectional yang bertujuan untuk meneliti

hubungan antara kadar feritin serum dan luteinizing hormon dengan status

pubertas pada anak thalasemia beta di RS. Dr. Soetomo. Pemeriksaan kadar

luteinizing hormon merupakan parameter untuk menilai ada tidaknya gangguan

pubertas di tingkat sentral. Peneliti mengadakan penelitian ini karena belum ada

pemerikaan rutin terhadap gangguan pubertas sebagai salah satu komplikasi

endokrinopati pada anak thalasemia beta di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dan

belum ada kesepakatan tentang kapan dimulainya pemeriksaaan skrining

pemeriksaan hormonal pada anak thalasemia beta.

Subjek penelitian ini dibatasi pada pasien thalasemia beta usia lebih 8-18

tahun pada anak perempuan, 9-18 tahun pada laki-laki yang telah mendapatkan

transfusi darah rutin minimal 10 kali transfusi dan kadar feritin serum >1000

ug/L. Pasien thalasemia yang disertai kelainan komorbid dibidang hematologi,

misalnya thalasemia dengan keganasan yang disertai keganasan dan gizi buruk

tidak dimasukkan dalam subjek penelitian. Pasien thalasemia beta yang dicurigai

mengalami sindrom tertentu seperti sindroma turner tidak dimasukkan dalam

sampel penelitian. Hal ini penting untuk mengekslusi kemungkinan pasien

menderita gangguan hormonal sebelumnya sebagai koinsiden bukan komplikasi

dari thalasemia. Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Hemato-

Onkologi Anak RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama bulan Mei sampai
72

September 2017, setiap hari Senin dan Selasa sebagai kontrol untuk pasien

thalasemia.

6.1. Karakteristik subjek penelitian

Usia subjek penelitian ini adalah 8-18 tahun pada anak perempuan dan 9-18

tahun pada anak laki-laki, dengan rerata usia pasien 147,1 bulan (12,2 tahun) (tabel

5.1). Yayasan thalasemia Indonesia cabang Banyumas melaporkan rerata usia

pasien thalasemia adalah 12,3 tahun dengan rerata usia saat awal diagnosis

thalasemia adalah 3,7 tahun dan paling dini saat usia 2 bulan (Rejeki dkk., 2012).

Pada penelitian ini, rerata usia pasien pada saat awal diagnosis thalasemia adalah

47,8 bulan (3,9 tahun) dan paling dini usia 5 bulan.

Berdasarkan jenis kelamin, jumlah pasien anak laki-laki yang menderita

thalasemia beta dalam penelitian ini adalah 22 (45,8%) anak. Pada penelitian

sebelumnya yang dilakukan di RS. Hasan Sadikin Bandung mendapatkan pasien

thalasemia laki-laki sebanyak 56,1%, Rejeki di Banyumas sebanyak 51,6% dan

Pedram di Iran 55% (Angraini dkk., 2009; Rejeki dkk., 2012; Pedram et al.,

2010). Thalasemia adalah penyakit genetik yang disebabkan oleh faktor alel

tunggal autosomal resesif, yaitu kromosom 11p15,5; bukan penyakit genetik yang

disebabkan oleh faktor alel terpaut dengan kromosom seks/kelamin (Rund dan

Rachmilewitz, 2005).

Status nutrisi pada subjek penelitian dinilai berdasarkan lingkar lengan atas

karena pada pasien thalasemia terdapat pembesaran organ (splenomegaly dan atau

hepatomegali), sehingga kurva CDC tidak dapat digunakan. Berdasarkan status

nutrisi, didapatkan sebagian besar adalah gizi kurang (76,6%) dan 23,4% pasien

gizi baik (tabel 5.1). Pada kelompok prepubertas didapatkan 16 pasien gizi kurang
73

dan 9 pasien gizi baik. Pada kelompok pubertas didapatkan 20 pasien gizi kurang

dan 2 pasien gizi baik. Terdapat 1 anak dengan gizi kurang mengalami pubertas

terlambat. Terdapat perbedaan status gizi antara kelompok pubertas dan

prepubertas yang signifikan secara statistik (p=0,041). Penelitian sebelumnya di

RSAB Harapan Kita Jakarta didapatkan 92.9% anak thalasemia dengan gizi

kurang, hanya ada 1 anak dengan gizi baik (Moeryono dkk.,2012). Anemia kronik

yang diderita anak thalasemia juga makin menurunkan status gizi sehingga dapat

menjadi salah satu faktor yang menyebabkan keterlambatan pubertas (Batubara

JRL, 2004). Pada penelitian ini didapatkan 59,6% pasien dengan perawakan

pendek, dimana 13 anak diantaranya masih dalam masa prepubertas. Pengukuran

tinggi badan dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya perawakan pendek.

Penelitian di RSUP Sanglah didapatkan perawakan pendek pada anak thalasemia

sebesar 26%, dengan kecepatan tumbuh <5 cm/tahun dan semua subjek penelitian

telah memasuki usia pubertas (Made dan Ketut, 2011). Prevalensi perawakan

pendek pada thalasemia di berbagai studi bervariasi antara 20-65%, tergantung

derajat keparahan penyakit (De sactis et al., 2013; Fahim et al., 2013; Nasr et al.,

2012). Gangguan pertumbuhan thalasemia ini lebih nyata terjadi setelah usia 11

tahun pada laki-laki dan setelah usia 9 tahun pada perempuan (Saxena, 2003).

Gangguan pertumbuhan pada thalasemia disebabkan oleh berbagai faktor, antara

lain faktor hormonal terjadi endokrinopati (hipogonad, pubertas terlambat,

hipotiroid, dan growth hormon deficiency) akibat hemokromatosis pada kelenjar

hipotalamus dan/atau hipofisis; serta faktor anemia kronis yang mengakibatkan

pemendekan tulang panjang dan tulang trabekular (De sactis et al., 2012;

Kyriakou et al., 2009). Hipoksia jaringan karena anemia kronis juga menyebabkan
74

gangguan nutrisi pada tingkat sel sehingga berakibat terjadinya gangguan

pertumbuhan (Fuchs et al., 1997). Untuk mengatasi anemia, pasien thalasemia

akan menjalani transfusi berulang. Jika transfusi regular dilakukan untuk

mempertahankan kadar hemoglobin minimal 9,5-10,5 g/dL, pertumbuhan dan

perkembangan normal sampai usia 10-11 tahun. Setelah usia 10-11 tahun, pasien

thalasemia berada dalam resiko komplikasi yang berkaitan dengan kelebihan besi,

tergantung komplians pasien terhadap terapi kelasi besi (Galanello dan Cao,

2010). Gangguan pertumbuhan ini berhubungan dengan kadar hemoglobin yang

rendah, kadar feritin yang tinggi dan terapi kelasi besi yang tidak optimal.

Obat kelasi besi yang paling lama adalah deferoxamine (DFO). Pada

penelitian ini, jenis kelasi besi yang paling banyak dipakai adalah deferiprone

(DFP) (tabel 5.2). Penggunaan DFO telah menjadi kelasi besi utama untuk

meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan harapan hidup penderita

thalasemia dengan transfusi regular, namun sediaan DFO yang memerlukan infus

parenteral menjadi kelemahan obat ini sehingga menurunkan kepatuhan pasien

(Galanello R dan Giardina, 2001). Kepatuhan terhadap DFO rendah karena

pemberian secara subkutan yang diberikan 5-7 malam setiap minggu dan efek

samping nyeri di tempat suntikan serta peningkatan BUN/SK (Pratamastuti dkk.,

2012; Gatot dkk., 2007). Terapi kelasi besi peroral diharapkan meningkatkan

kepatuhan pasien sehingga kerusakan organ akibat hemokromatosis dapat

dikurangi. Deferasirox (DFX) dengan pemberian peroral 1 kali perhari,

meningkatkan kepatuhan pasien. Namun harga yang lebih mahal, membuat

penggunaannya di berbagai tempat masih terbatas. Efek samping yang mungkin

terjadi dari DFP adalah agranulositosis, neutropenia, artropati, dan keluhan


75

gastrointestinal (Gatot dkk., 2007). Data di Banyumas, terdapat 81,2% pasien

thalasemia diberikan terapi kombinasi adalah adanya shuttle effect. DFP

memasuki sel dan mengikat besi yang kemudian membawa ke dalam plasma, besi

selanjutnya diikat oleh DFO untuk disekresikan ke urin dan feces (Beutler et al.,

2003).

6.2 Kadar feritin serum pada anak thalasemia beta

Pada penelitian ini, kelompok pubertas memiliki median kadar feritin 3154,9

(519 – 6647,5) ug/L. Kelompok prepubertas memiliki median kadar feritin serum

2126,4 (628 – 6472) ug/L. Seluruh subjek penelitian memiliki kadar feritin lebih

dari normal, hanya 3 pasien dengan kadar feritin serum <1000 ug/L namun

pasien-pasien tersebut pernah memiliki kadar feritin > 1000 ug/L pada

pemeriksaan sebelumnya.

Feritin sebagai protein penyimpan besi, merupakan mekanisme dasar

penyimpanan besi dan penting peranannya dalam homeostasis besi (Knovich et al,

2008). Penentuan kadar feritin serum merupakan cara yang paling sering

digunakan untuk mengukur kadar kelebihan besi dalam tubuh, karena bersifat non

invasif, tersedia luas, mudah dilakukan dan lebih ekonomis, memiliki sensitifitas

dan spesifisitas yang lebih rendah dibandingkan gold standard yaitu Liver Iron

Consentration (LIC) (Mazza et al., 1998; Prabhu et al., 2009). Kadar feritin serum

meningkat pada keadaan demam, inflamasi kronik dan infeksi akut (Vinchinsky,

2007). Inflamasi juga mempengaruhi eritropoesis dan keseimbangan besi (Gisbert

dan Gomollon, 2009). Status infeksi pada penelitian ini ditentukan dengan demam

o
(suhu >37,5 C) dan lekositosis.
76

Berbagai referensi menyatakan bahwa kadar feritin serum berhubungan

dengan simpanan besi tubuh (terutama di hati), dibuktikan dengan MRI, biopsi

atau plebotomi berulang. Pemeriksaan biopsi hipofisis yang bersifat invasif tidak

dilakukan kecuali pada otopsi pasien thalasemia yang meninggal (Sonakul et al.,

1995). MRI juga dapat dilakukan pada kelenjar hipofisis untuk mengevaluasi

volume hipofisis dan mendeteksi kelebihan hipofisis dan mendeteksi kelebihan

besi (Wood et al., 2010; Zafar et al., 2997). Gambar 6.1 menunjukkan adanya

korelasi positif antara T2 relaxation rate di MRI hipofisis dengan kadar feritin

serum pada 29 pasien thalasemia mayor (r = 0,73; p < 0,001) (Argyropoulou et al.,

2000).

Gambar 6.1 Pituitary T2 relaxation rate dan kadar feritin serum


Sumber: Argyropoulou et al., 2000. T2 relaxation rate as an index of pituitary iron
overload in patients with β-thalassemiia major. AJR Am J Roentgenol, 175: 1567-9.

Feritin serum merupakan cara pemeriksaan yang sederhana, non invasif,

tersedia luas, mudah dilakukan dan lebih ekonomis. Keterbatasan pemeriksaan

MRI seringkali pada masalah fasilitas alat dan biaya. Pemeriksaan kuantitatif
77

3
kadar besi dengan MRI pada kelenjar hipofisis yang kecil (200±100 mm ) juga

relatif sulit dilakukan.

Pierre menyatakan bahwa perbedaan status besi pada pasien thalasemia bisa

disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya perbedaan genotip, efek transfusi

darah, efek kelasi besi atau perbedaan diet (Pierre et al., 1998). Pasien thalasemia

yang mendapatkan transfusi darah berulang akan menunjukkan kelebihan besi

yang ditandai kadar feritin serum >1000 ug/L (Theil, 2003). Menurut Thalassemia

International Federation (2000) merekomendasikan target feritin sekitar 1000

mg/L, ketika feritin serum mencapai 1000 ug/L (biasanya setelah 10-12 kali

transfusi), umumnya dimulai terapi kelasi besi. Setiap unit PRC mengandung 200

mg besi. Jika dalam satu tahun pasien thalasemia beta mendapatkan 25 hingga 30

unit darah, maka akan terakumulasi 15-25 mg besi per hari atau 5 gram besi

pertahun. Pada awal dekade pasien dengan thalasemia mayor yang tidak mendapat

terapi kelasi akan memiliki akumulasi sebanyak 70 gram besi, sedangkan

kemampuan fisiologis mengeluarkan besi melalui urin hanya 1 mg per hari

(Prabhu et al., 2009).

Sebagian besar pasien mengalami penurunan kadar feritin. Hal ini berkaitan

dengan kepatuhan pasien terhadap kelasi besi. Kepatuhan sebagian besar pasien

terhadap kelasi besi adalah sloopy (65,5%). Terapi kelasi besi dengan obat tunggal

(monoterapi) mampu memelihara keseimbangan besi, namun tidak dapat

menurunkan kadar besi yang sudah terakumulasi selama periode waktu yang

lama. Karena pasien thalasemia dependent transfusion membutuhkan transfusi

regular, keseimbangan negatif dari besi tubuh sulit untuk dicapai. Efektivitas

kelasi besi juga tergantung pada availabilitasnya dalam plasma atau cairan
78

interstitial dan kemampuannya melewati membran untuk mencapai dan

menetralisir besi intrasel yang mempengaruhi integritas sel.

6.3 Kadar Luteinizing Hormon pada anak thalasemia beta

Pada penelitian ini, rerata kadar LH serum dari 47 pasien thalasemia adalah

1,86 dengan nilai minimum 0 dan maksimum 11,1 IU/L. Penelitian oleh

Najafipour F (2008) yang melibatkan 56 anak thalasemia mayor usia > 10 tahun

didapatkan rerata kadar LH sekitar 3,1 mIU/mL dengan nilai minimum 0,3 dan

maksimum 11,0 mIU/mL. Pada anak lelaki dengan hipogonadisme didapatkan

kadar LH serum 2,8 ± 2,7 U/mL dan pada anak perempuan dengan hipogonadisme

didapatkan kadar LH serum 3,8 ± 3,3 mIU/mL (Najafipour F, 2008). Pada

penelitian ini, median kadar LH serum pada kelompok pubertas adalah sebesar 3,0

(0,31-11,06) IU/L dan kadar LH serum pada kelompok pre pubertas sebesar 0,07

(0,0-0,65) IU/L. Penelitian yang dilakukan oleh Moayeri dan Oloomi tahun 2006

didapatkan kadar rerata serum LH pada pasien yang mengalami kegagalan

pubertas sekitar 2,1mIU/mL (Moayeri dan Oloomi, 2016).

Nilai LH serum selanjutnya dibandingkan dengan nilai normal LH serum.

Kadar LH serum ≤ 0,83 dikatakan sebagai nilai LH prepubertal, dan nilai LH >

0,83IU/L dinyatakan sebagai nilai LH pubertal. Penelitian oleh Sun dkk (2015)

didapatkan bahwa LH basal serum < 0,6 IU/L memiliki sensitifitas sedang 73,8%

dengan spesifisitas 90,9% dalam mendiagnosis hipogonadotropin hipogonasdisme

pada anak laki-laki. Kadar LH serum basal ≤ 0,83 IU/L memiliki sensitivitas

sedang 80% dan spesifisitas 75% dalam menegakkan diagnosis hipogonadisme

pada anak perempuan.


79

Pada penelitian ini terdapat 57,5% anak memiliki kadar LH serum ≤ 0.83

IU/L, dan terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok pubertas dan pre

pubertas pada anak thalasemia beta (p < 0,05). Penelitian oleh Abdulzahra dkk

(2011) pada 78 anak thalasemia beta kelompok usia 4-11 tahun didapatkan

perbedaan kadar LH serum yang signifikan antara kelompok pasien thalasemia

beta dan kelompok kontrol. (p<0,05). Didapatkan 42% pasien memiliki kadar LH

serum dibawah nilai cut off yakni 1,5 ± 2,4 IU/L pada kelompok thalasemia beta

dibandingkan dengan kelompok kontrol 3,6 ± 1,4 IU/L (Abdulzahra MS et al.,

2011).

Pada penelitian ini terdapat 57,5% pasien memiliki kadar LH serum

prepubertal, 25 pasien dengan kadar LH prepubertal memang belum memasuki

masa pubertas dari pemeriksaan tanner stage. Namun didapatkan 2 pasien dengan

kadar LH prepubertal tetapi pemeriksaan tanner stage menyatakan pasien telah

mengalami masa pubertas. Pada penelitian ini, pengambilan sampel darah

dilakukan pada pagi - siang hari. Pada masa pubertas, kadar LH nokturnal lebih

tinggi dibandingkan kadar LH diurnal. Kadar LH cenderung stabil pada pagi dan

malam ketika memasuki masa reproduktif. Pola sekresi LH pada tiap masa

perkembangan anak dijelaskan pada gambar 6.2.

Pengukuran testis dilakukan dengan orchidometer. Terdapat 6 anak dengan

testis G2, 3 anak dengan testis G3, 1 anak dengan testis G4 dan 4 anak dengan

testis G5. Anak dengan G2 dengan rentang usia 132-171 bulan memiliki rentang

kadar feritin 519,1-6647,5 ug/L dan kadar LH serum 0,76-11,1 IU/L. Anak dengan

M2 dengan rentang usia 138-182 bulan memiliki rentang kadar feritin 1607,1-

4464,1 ug/L dan kadar LH serum 0,31-4,42 IU/L. Dari penelitian


80

sebelumnya oleh Wennink dkk (1990) didapatkan pada pasien dengan G2

memiliki kadar LH serum 0,5 IU/L (daytime) dan anak dengan M2 memiliki kadar

LH serum 0,17 IU/L (daytime).

Gambar 6.2 Pola sekresi LH pada tiap masa perkembangan anak.


Sumber: Calver LE, 2012. Reproductive endocrinology, infertility and the
menopause. In Schorge JO, Halvorson LM, Bradshaw KD (eds). Williams
Gynecology, 2nd ed. Dallas, pp 427.

6.4 Hubungan kadar feritin serum dengan status pubertas

Kadar feritin serum tidak berhubungan dengan status pubertas (p = 0,662).

Dari 47 anak thalasemia beta, terdapat 5 pasien dengan kadar feritin > 5000 ug/L,

2 anak masih dalam masa prepubertas berdasarkan tanner stage dan 3 anak telah

mengalami pubertas. Terdapat 1 anak dengan pubertas terlambat. Kadar feritin

pada kelompok prepubertas dengan nilai median 2126,4 (628 -6472) ug/L, pada

kelompok pubertas memiliki median kadar feritin 3154,9 (519 – 6647,5) ug/L.

Kadar feritin kelompok pubertas lebih tinggi dibandingkan kelompok prepubertas.

Hal ini tidak berbeda dari penelitian sebelumnya dimana rerata kadar feritin
81

serum 1678 ± 955 ng/mL secara signifikan lebih tinggi daripada pasien tanpa

hipogonadisme (p = 0.036) (Shamshirsaz et al., 2003).

Penelitian Shalitin dkk (2005) yang melibatkan 39 pasien thalasemia (21

pasien laki-laki) dengan usia median 17 tahun, didapatkan kadar feritin serum

lebih tinggi secara signifikan pada pasien hipogonadisme dibandingkan pasien

dengan pubertas normal (3667,0 ± 1572,0 ng/mL dibandingkan dengan 2383,0 ±

830,0 ng/mL, p=0.02). Rerata kadar feritin serum < 2500 ng/mL selama tahun

pubertas ditemukan pada 4 dari 16 pasien (25%) dengan hipogonadisme, dan 8

dari 11 pasien (73%) dengan pubertas normal (Shalitin et al, 2005).

Pada penelitian ini terdapat 5 pasien dengan kadar feritin > 5000 ug/L, 3

pasien telah memasuki masa pubertas dan 2 pasien masih dalam masa

prepubertas. Pasien yang telah masuk dalam masa pubertas yaitu:

1. Anak laki-laki, usia 162 bulan (13,5 tahun), gizi kurang, perawakan

pendek, mendapatkan deferiprone sebagai kelasi besi, kadar feritin

6070,61 ug/L dan kadar LH serum 1,43 IU/L. Pada pemeriksaan tanner

stage didapatkan ukuran testis kiri 6 cc dan testis kanan 6 cc (A1G2P1).

2. Anak laki-laki, usia 204 bulan (17 tahun), gizi kurang, perawakan normal,

mendapatkan deferasirox sebagai kelasi besi, kadar feritin 6493,8 ug/L dan

kadar LH serum 1,97 IU/L. Pada pemeriksaan tanner stage didapatkan

ukuran testis kiri 20 cc dan testis kanan 20 cc (A2G5P3).

3. Anak laki-laki, usia 171 bulan (14,25 tahun), gizi kurang, perawakan

normal, mendapatkan deferiprone sebagai kelasi besi, kadar feritin serum

6647,47 ug/L dan kadar LH serum 1,23 IU/L. Pada pemeriksaan tanner

stage didapatkan ukuran testis kiri 8 cc dan testis kanan 8 cc (A1G2P1).


82

Didapatkan 2 pasien yang masih dalam masa prepubertas dan memiliki kada

feritin serum > 5000 ug/L yaitu:

1. Anak Perempuan, usia 101 bulan (8,4 tahun), gizi baik, perawakan normal,

mendapatkan deferioxamine sebagai kelasi besi, kadar feritin serum

6472,13 ug/L dan kadar LH serum 0,07 IU/L.

2. Anak laki-laki, usia 153 bulan (12,75 bulan), gizi baik, perawakan pendek,

mendapatkan deferasirox sebagai kelasi, kadar feritin serum 5382 ug/L

dan kadar LH serum 0,31 IU/L.

Keseluruhan pasien dengan kadar feritin serum > 5000 ug/L yang telah

memasuki pubertas berada dalam rentang usia 13,5 tahun sampai 17 tahun.

Sedangkan pasien yang prepubertas masih berusia 8,4 tahun dan 12,75 tahun.

Diperlukan evaluasi berkala kadar feritin serum, status pubertas dan ketaatan

penggunaan kelasi besi agar pasien tersebut tidak mengalami pubertas terlambat.

Pada pasien tanpa terapi kelasi besi, terdapat korelasi langsung antara

kelebihan besi dan toksisitas besi. Hepar sebagai penyimpanan besi utama,

pengukuran Liver Iron Consentration (LIC) menjadi gold standard evaluasi

kelebihan besi untuk mengetahui resiko toksisitas besi (Berdoukas V et al, 2005).

Menurut penelitian sebelumnya Angelucci dkk (2000) mengukur konsentrasi besi

di hepar untuk evaluasi total simpanan besi tubuh pada pasien thalasemia mayor

yang menjalani transplantasi sumsum tulang dan plebotomi untuk mengeluarkan

kelebihan besi. Penelitian melibatkan 48 pasien (17 perempuan dan 31 laki-laki)

yang menjalani biopsi hepar. Kadar feritin serum sebelum plebotomi 1498 (842-

2344) ng/ml dan setelah plebotomi 110 (59-147) ng/ml dengan LIC sebelum
83

plebotomi 10,8±6,3 mg/g berat kering hepar dan setelah plebotomi 1,1±0,4 mg/g

berat kering hepar.

Gambar 6.3 Korelasi antara LIC dan total besi tubuh. Hubungan pada 2 kelompok pasien:
23 pasien dengan sampel hepar dengan berat kering < 1mg (panel A) dan 25 pasien
dengan berat kering ≥ 1,0 mg. Garis regresi (garis tengah) dan confidence limits P95.
Sumber: Angelucci E, Brittenham GM, McLaren CE, Ripalti M, Baronciani D, et al,
2000. Hepatic iron consentration and total body iron stores in thalassemia mayor. N Engl
J Med, 343:327-31.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa hubungan antara kadar feritin serum dan

status pubertas tidak bermakna secara statistik. Hal ini mungkin disebabkan oleh

kepatuhan pemakaian kelasi yang teratur pada subjek penelitian. Feritin serum

merupakan cara pemeriksaan yang sederhana, non invasif, tersedia luas, mudah

dilakukan dan lebih ekonomis sehingga peneliti memilih pengukuran kadar feritin

serum untuk mengetahui status besi tubuh. Namun, pemeriksaan feritin serum
84

juga memiliki beberapa kelemahan antara lain feritin serum tidak dapat

menentukan keseimbangan besi secara langsung, hubungan dengan iron load

bervariasi dengan kelasi besi dan bersifat estimasi tidak langsung dari beban besi

(Viprakasit et al., 2014).

Penelitian Berdoukas dkk (2005) yang melibatkan 41 pasien dengan

transfusion-dependent yang mendapat pasien desferioxamin 40-50 mg/kg selama

8-12 jam diberikan 5-6 hari perminggu dan menjalani biopsi hepar serial.

Didapatkan rerata LIC 14,4±9,3 mg/g berat kering hepar pada biopsi awal, dan

14,9±12,3 mg/g berat kering hepar pada biopsi akhir (p > 0,05). Penurunan LIC

terdapat pada 25 (51%) pasien antara -0,2 sampai -26,9 mg/g berat kering hepar

selama rerata interval waktu 2,9±2,06 tahun. Gambar 6.2 menunjukkan hubungan

kadar feritin serum dan LIC. Analisis regresi menunjukkan hubungan tingkat

kadar feritin dan LIC hanya memiliki korelasi yang tidak cukup kuat (p =

0,0000012 ; r = 0,58).

Gambar 6.4 Analisis regresi evaluasi feritin serum dan LIC


Sumber: Berdoukas V, Bohane T, Tobias V, De Silva K, Fraser I, et al, 2005. Liver iron
consentration and fibrosis in a cohort of transfusion-dependent patient on long-term
deferrioxamine therapy. J Hematol, 5:572-8.

Tabel 6.1a menunjukkan awitan rerata usia pubertas pada anak laki-laki

normal sesuai penelitian Marshall dan Tanner, dan tabel 6.1b menunjukkan awitan
85

rerata usia pubertas pada anak thalasemia laki-laki. Kedua tabel tersebut

menunjukkan bahwa awitan rerata usia pada tiap tahapan perkembangan pubertas

lebih lambat pada anak thalasemia dibandingkan dengan anak normal seusianya.

Tabel 6.1 usia pada setiap tahapan perkembangan ciri khas seksual sekunder anak
laki-laki
Tahapan Rerata usia Tahap Rerata usia
perkembangan (tahun ± SD) perkembangan (bulan ± SD)
pubertas pubertas
G2 11,64 (1,07) G2 13,11 (1,15)
G3 12,85 (1,04) G3 15,56 (2,50)
G4 13,77 (1,02) G4 17,08
G5 14,92 (1,1) G5 16,13 (0,79)
a. Awitan usia pubertas pada anak b. Awitan usia pubertas anak thalasemia
laki-laki normal laki-laki dalam penelitian ini
(a) Dikutip dari: Marshall AW dan Tanner JM, 1970. Variations in the pattern of pubertal
changes in boys. Arch Dis Childhood, 43: 13-23.

Saat anak laki-laki berusia 12-13 tahun, anak seharusnya telah memasuki

tahap G3. Pada penelitian ini rerata usia pasien yang berada pada kelompok G2

157,33 bulan (13,1 tahun), rentang usia 11 tahun – 14 tahun. Rerata usia pasien

yang berada pada kelompok G3 186 bulan (15,56 tahun), jika dibandingkan

dengan anak normal telah berada pada tahap G5 diusia yang sama.

Tabel 6.2 usia pada setiap tahapan perkembangan ciri khas seksual sekunder anak
perempuan
Tahapan Rerata usia Tahap Rerata usia
perkembangan (tahun ± SD) perkembangan (bulan ± SD)
pubertas pubertas
B2 11,15 (1,10) M2 13,25 (1,39)
B3 12,15 (1,09) M3 16,58 (1,97)
B4 13,11 (1,15) M4 -
B5 15,33 (1,74) M5 -
a. Awitan usia pubertas pada anak b. Awitan usia pubertas pada anak
perempuan normal thalasemia perempuan dalam penelitian ini
(a) Dikutip dari : Marshall AW dan Tanner JM, 1969. Variation in the patterm of pubertal
changes in girls. Arch Dis Childhood, 44: 291-303.

Pada penelitian ini didapatkan rerata usia anak perempuan yang berada

pada tahap M3 199 bulan (16 ,58 tahun), sedangkan perkembangan ciri seksual
86

sekunder anak normal akan menyerupai bentuk dewasa diusia yang sama (M5).

Meskipun subjek penelitian tidak termasuk dalam kategori pubertas terlambat,

namun pasien mengalami keterlambatan perkembangan ciri seks sekunder jika

dibandingkan dengan anak normal dengan usia yang sama (Gambar. 6.3 a dan b).

Gambar 6.5 Tahap perkembangan seksual sekunder anak perempuan (a) dan anak laki-
laki (b)
Sumber: Marshall AW dan Tanner JM, 1970. Variations in the pattern of pubertal
changes in boys. Arch Dis Childhood, 43: 13-23.

Parent dkk (2003) meneliti tentang waktu/usia pubertas normal anak laki-laki

dan perempuan dibeberapa Negara. Didapatkan anak perempuan mencapai tahap


87

M2 saat usia 9,8 – 11,2 tahun. Gambar 5.4 menggambarkan variasi usia tahap

pubertas di berbagai negara.

Gambar 6.6 Rerata usia onset perkembangan payudara dan menarke dibeberapa negara.
Sumber: Parent SA, Teilmann G, Juul A, Skakkebaek NE dan Toppari J, 2003. The timing
of normal puberty and the age limits of sexual precocity: Variations around the world,
secular trends and changes after migration. Endocr Rev, 24: 668-93.
88

6.5 Hubungan kadar LH serum dengan status pubertas

Pada penelitian ini didapatkan pada anak yang telah mengalami pubertas, 20

dari 22 anak (90,9%) memiliki kadar luteinizing hormon > 0,83 IU/L. Pada anak

dengan tanner stage prepubertas, seluruh anak memiliki kadar luteinizing hormon

≤ 0,83 IU/L. Kadar Luteinizing hormon dan status pubertas berhubungan dengan

kekuatan hubungan sangat kuat (p < 0,0001 ; r = 0,8). Menurut Houk dkk (2009)

pengukuran kadar LH basal saja cukup untuk mengetahui aksis hipotalamus-

hipofisis-ovarium pada masa pubertas. Pengukuran kadar FSH basal tidak dapat

membedakan anak perempuan prepubertal dan pubertas prekoks, sedangkan nilai

rasio LH dan FSH memiliki nilai keakuratan yang terbatas. Pada onset pubertas,

kadar rerata LH dan FSH meningkat, dengan peningkatan LH relatif lebih besar

(Lee dan Houk, 2010).

Pubertas disebabkan peningkatan perlahan GnRH dimana kadarnya

meningkat dengan perkembangan sistem syaraf pusat yang mengirimkan sinyal

inhibisi dan stimulasi terhadap neuron GnRH. Perubahan hormonal pertama pada

masa pubertas berupa peningkatan pelepasan LH secara pulsatil oleh hipofisis.

Pada masa awal pubertas, variasi unik diural dari hormon pubertas terjadi, dengan

sedikit sekresi LH pada siang hari dan meningkat secara signifikan pada waktu

tidur (gambar 6.1 dan gambar 6.5). Setelah menarke, variasi diurnal tidak terjadi

lagi. Konsentrasi hormon steroid seks memiliki sedikit variasi diurnal dimana

kadar tertinggi terjadi ketika bangun. Tabel 6.2 dibawah ini menerangkan tentang

perkiraan kadar hormon pubertas pada pagi hari pada tiap kelompok usia. Seiring

dengan perkembangan pubertas, sekresi LH menetap sepanjang hari (Rosenfield

dan Bordini B, 2011).


89

Tabel 6.3 Konsentrasi kadar hormon LH pada pagi hari


Kelompok Kadar LH (IU/L)
Prepubertas 1-5 tahun < 0,3
Perempuan premenarke ≤ 12
Perempuan postmenarke 2,0 – 11
Lelaki dewasa 1,4 – 9,0
Sumber: Rosenfield RL dan Bordini B, 2011. Normal pubertal
development: The endocrine basis of puberty. Pediatric, 32:223-8.

Gambar 6.7 Ritme hormon pubertas. Pada masa awal pubertas wanita, sekresi LH
minimal selama periode bangun. Kadar LH meningkat mulai saat tidur.
Dikutip dari: Rosenfield RL dan Bordini B, 2011. Normal pubertal development: The
endocrine basis of puberty. Pediatric, 32:223-8.

Menurut penelitian oleh Wennink dkk (1990) meneliti tentang kadar LH

setiap tanner stage pada anak laki-laki. Penelitian ini melibatkan anak lelaki

usia 7,2-15,8 tahun dan 2 pria dewasa berusia 37 dan 38 tahun. Didapatkan

bahwa kadar LH meningkat seiring dengan pubertas. LH mulai terdeteksi pada

tahap G1, dimana tanda fisik pubertas belum terlihat.


90

Pada penelitian ini, terdapat 2 anak dengan kadar LH serum ≤ 0,83 IU/L

(sesuai kadar LH prepubertas), namun pada pemeriksaan tanner stage anak

telah mamasuki masa pubertas. Anak laki-laki usia 12 tahun, perawakan

normal dan gizi baik. Pasien mendapatkan deferiprone, dengan kadar feritin

serum 1087,76 ug/L dan LH 0,76 IU/L. Pada pemeriksaan Tanner Stage pasien

dengan volume testis kiri 6 cc dan testis kanan 6 cc (G2), dengan kadar LH

serum 0,78 IU/L. Pengambilan sampel pasien dilakukan pada pagi - siang hari.

Menurut penelitian oleh Wennink dkk (1990), pada pemeriksaan tanner stage

G2 , LH serum pada siang hari yaitu 0.5 IU/L dan malam hari 2.38 IU/L.

Tabel 6.4 Kadar LH menurut tahapan tanner stage anak laki-laki pada siang dan
malam hari.

Sumber: Wennink JM, Delemarre HA, Schoemaker RS, Blaauw G, Braken CV, et al,
1990. Growth hormone secretion patterns in relation to LH and testosterone secretion
throughout normal male puberty. Act Endrocrinol, 123:263-70.

Pada penelitian ini terdapat anak perempuan usia 11.5 tahun dengan kadar LH

serum 0.31IU/L (sesuai LH prepubertas). Namun pada pemeriksaan tanner stage

pasien telah memasuki masa pubertas. Pasien belum mengalami menstruasi,

dengan mammae M2. Kelasi besi yang digunakan deferiprone dengan kadar

feritin serum saat pengambilan sampel 3201,16 ug/L. Wennink dkk (1991)

melakukan penelitian terhadap 33 anak perempuan berusia 7,2-14,8 tahun.

Tahapan pubertas dinilai dengan tanner stage. Didapatkan LH mulai terdeteksi


91

pada tahap B1 pada malam hari dan meningkat seiring masa pubertas sampai

menarke. Pada malam hari, kadar lebih tinggi dibanding siang hari (tabel 6.3).

Pada pasien dengan tanner stage B2 didapatkan kadar LH serum 0.17 IU/L (pagi

hari) dan 0.25 IU/L (malam hari). Tabel 6.3 menunjukkan kadar LH serum sesuai

tahapan tanner stage anak perempuan.

Tabel 6.5 Kadar LH sesuai tahapan tanner stage anak perempuan pada siang dan
malam hari.

Sumber : Wennink JM, Delemarre HA, Schoemaker RS, Blaauw G, Braken CV, et al,
1991. Growth hormone secretion patterns in relation to LH and estradiol secretion
throughout normal female puberty. Act Endrocrinol, 124:129-35.

6.6 Hubungan feritin serum dan luteinizing hormone pada anak thalasemia

beta

Kadar feritin serum berada dalam rentang antara 519,1 ug/L dan 6647,5 ug/L

dengan median 3154,9 ug/L. Kadar Luteinizing Hormon (LH) serum berada

dalam rentang antara 0,0 sampai 11,06 IU/L dengan median 0,3 IU/L. Hubungan

antara kadar feritin serum dan luteinizing hormon bermakna secara statistik

namun berkorelasi lemah (p=0,046 ; r = 0,293).


92

Penelitian sebelumnya oleh Abed dkk (2008) yang dilakukan terhadap 30

pasien thalasemia beta mayor. Pasien terdiri dari 15 laki-laki dan 15 perempuan,

berusia 16-32 tahun. Dilakukan pemeriksaan fungsi hipofisis dan gonad, tiroid,

kortisol pagi, paratiroid hormon dan gula darah puasa. Didapatkan hipogonadisme

terjadi pada 22 (73,3%) pasien (13 perempuan dan 9 laki-laki). Kadar FSH dan

LH dengan kadar estradiol (perempuan) atau testosterone (laki-laki) rendah pada

15 (50%) pasien (7 perempuan dan 8 laki-laki). Kadar LH dan FSH normal

dengan estradiol atau testosterone yang rendah terjadi pada 7 (23,3%) pasien (6

perempuan dan 1 laki-laki). Hipotiroid primer didapatkan pada 1 (3,3%) pasien

(perempuan) dan hipoparatiroidisme terjadi pada 3 (10%) pasien (2 perempuan

dan 1 laki-laki). Diabetes mellitus dengan gula darah puasa yang tinggi terjadi

pada 8 (26,7%) pasien (2 perempuan dan 6 laki-laki). Didapatkan 8 (26,7%)

pasien tidak mengalami gangguan endokrin, 12 (40%) pasien mengalami 1

gangguan endokrin, 8 (26,7%) pasien mengalami 2 gangguan endokrin, dan 2

(6,7%) pasien mengalami 3 gangguan endokrin. Tidak didapatkan perbedaan yang

signifikan rerata feritin serum pada pasien thalasemia dengan atau tanpa

endokrinopati (p > 0,050).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sutay dkk (2017) terhadap 56 pasien

perempuan thalasemia beta mayor berusia 8-16 tahun dan 50 anak perempuan

sehat yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Sampel penelitian dibagi

menjadi 2 kelompok usia yaitu usia 8-12 tahun dan > 12 tahun. Dilakukan

evaluasi Sexual Maturity Rating (SMR) dengan tanner stage, pemeriksaan FSH,

LH dan estrogen terhadap pasien thalasemia dan kontrol. Didapatkan pada 94%

pasien thalasemia dan 31,4% kontrol pada kelompok usia 8-12 tahun masih
93

prepubertas (SMR std I). Tidak ada pasien thalasemia berada pada SMR std IV,

didapatkan 2,8% kontrol berada pada SMR std IV. Pada kelompok usia > 12 tahun

didapatkan 52,6% pasien thalasemia dan 0% kontrol berada pada SMR std

II. Tidak ada pasien thalasemia berada SMR std V, 33,3% kontrol berada pada

SMR IV. Berdasarkan kadar feritin serum pasien dikelompokkan menjadi 2

kelompok yaitu pasien dengan kadar feritin serum < 2000 ng/ml dan > 2000

ng/ml. Pada kelompok pasien dengan kadar feritin serum < 2000 ng/ml memiliki

rerata LH serum 1,12 (SD 0,04) mIU/ml dan kelompok pasien dengan kadar

feritin serum > 2000 ng/ml memiliki rerata LH serum 0,99 (SD 0,32) mIU/ml.

Kesimpulan dari penelitian tersebut bahwa hubungan antara kadar feritin serum

dan LH serum tidak bermakna secara statistik (p=0,174).


94

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Pasien thalasemia beta mengalami perkembangan seksual sekunder yang lebih

lambat dibandingkan anak normal seusianya.

2. Terdapat hubungan antara kadar Luteinizing hormon dan status pubertas.

3. Terdapat hubungan antara kadar feritin serum dn luteinizing hormon pada anak

thalasemia beta.

7.2 Saran

1. Pada anak thalasemia yang mendapat transfusi berulang harus disiplin dalam

pemakaian kelasi besi.

2. Evaluasi status pubertas sebaiknya dilakukan secara berkala untuk menunjang

penilaian kepatuhan kelasi besi


95

DAFTAR PUSTAKA

American Association of Clinical Endocrinologists, 2002. Medical guidelines for clinical


practice for the evaluation and treatment of hypogonadism in adult male patients.
Endocrine Practice, 8: 440-56.

Abdulzahra MS, Al-Hakiem HK dan Ridha MM, 2011. Study of the effect of iron
overload on the function of endocrine glands in male thalassemia patients. Asian J
Transfus Sci, 5: 127-31.

Abed WA, Al Hashmi H, Al Muslahi dan Al Hamki A, 2008. Prevalence of


endocrinopathies in patients with beta thalassemia major: A cross-sectional study in
Oman. Oman Med J, 23: 257-62.

Angelucci E, Brittenham GM, McLaren CE, Ripalti M, Baronciani D, et al, 2000.


Hepatic iron consentration and total body iron stores in thalassemia mayor. N Engl J
Med, 343:327-31.

Anggraini N, RIyanti E dan Chemiawan E, 2009. Description of upper intermolar dental


arch size in thalassemia beta major age 9-14 years old base on gender. Padjajaran
Journal of Dentistry, 21: 61-5.

Argyropoulou et al., 2000. T2 relaxation rate as an index of pituitary iron overload in


patients with β-thalassemiia major. AJR Am J Roentgenol, 175: 1567-9.

Batubara A, 2010. Pubertas dan gangguannya. Dalam Jose RL, Batubara BT, Aman B
Pulungan (penyunting), Buku Ajar Endokrinologi Anak, Edisi pertama. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI, hlm 85-95.

Berdoukas V, Bohane T, Tobias V, De Silva K, Fraser I, et al, 2005. Liver iron


consentration and fibrosis in a cohort of transfusion-dependent patient on long-term
deferrioxamine therapy. J Hematol, 5:572-8.

Borgna-Pignatti C, De Stefano P dan Zonta L, et al, 1985. Growth and sexual maturation
in thalassemia major. J Pediatr, 106: 150-5.

Brittenham GM, 2011. Iron-chelating therapy for transfusional iron overload. N Engl J
Med, 364: 146-56.

Calver LE, 2012. Reproductive endocrinology, infertility and the menopause. In Schorge
JO, Halvorson LM, Bradshaw KD (eds). Williams Gynecology, 2nd ed. Dallas, pp
427.

Chang SB dan Zulkifli I, 2009. Management of transfusion dependent thalassaemia.


Clinical practice guidelines, 195: 33-53.

Chern J, Su S, Lin KH dan Tsai WY, et al, 2003. Hypogonadotropic hypogonadism and
hematologic phenotype in patients with transfusion dependent beta thalassemia. J
Pediatr Hematol Oncol, 25: 880-4.
96

Cohen AR, Glimm E dan Porter JB, 2008. Effect of transfusional iron intake on response
to chelation therapy in beta-thalassemia major. Blood, 111: 583-7.

Cunningham MJ, Macklin EA, Neufeld EJ dan Cohen AR, 2004. Complication of β-
thalassemia major in north america. Blood, 104: 34-9.

Dattani MT, Tziafer V dan Hindmarsh PC, 2009. Evaluation of disordered puberty. In
Brook CG, Clayton PE, Brown RS (eds), Clinical pediatric endocrinology, 6 th ed.
Singapore: Wiley-Blackwell, pp 213-33.

De Sanctis V, Soliman AT dan Elsedfy H, et al, 2013. Growth and endocrine disorders in
thalassemia: The international network on endocrine complications in thalassemia
(I-CET) position statement and guidelines. Indian J Endocrinol Metab, 17: 8-18.

DeBaun MR dan Vichinsky E, 2007. Hemoglobinopathies. In Kliegman RM, Behrman


RE, Jenson HB, Stanton BF (eds). Nelson text book of pediatrics, 18th ed.
Philadelphia: WB Saunderss, pp 2025-38.

Dumars KW, Boehm C, Eckman JR, Giardina PJ dan Lane PA, 1996. Practical guide to
the diagnosis of thalassemia. Am J Med Genet, 62: 29-37.

Elaine MK, 2016. The thalassemias. In Walenga JM, Smith LJ, Keohane EM (eds),
Rodak’s hematology clinical principles and application, 5 th ed. Missouri: Elsevier,
pp 454-71.

El-Beshlawy A, Manz C dan Naja M, et al, 2008. Iron chelation in thalassemia:


Combined or monotherapy? Ann Hematol, 87: 545-59.

Elliott Vichinsky LL, 2012. Standards of care guidelines for thalassemia children:
Children’s hospital & research center Oakland. 2012: 4-22.

Fischer R dan Harmatz PR, 2009. Non-invasive assessment of tissue iron overload. Am J
Hematol, 85: 215-21.

Fraietta R, Zylberstejn DS dan Esteves SC, 2013. Hypogonadotropic hypogonadism


revisited. Clinics, 1: 81-8.

Friancho AR, 1981. New Norms of upper limb fat and muscle areas for assessment of
nutritional status. Am J Clin Nutr, 34: 2540-5.

Galanello R dan Origa R, 2010. Beta thalassemia. Orphanet J Rare Dis, 5: 1-10.

Ganz T dan Nemeth E, 2012. Hepcidin and iron homeostasis. Biochem Biophysic Acta,
1823: 1434-43.

Gatot D, Amalia P, Sari TT dan Chozie NA, 2007. Pendekatan muktahir kelasi besi pada
talasemia. Sari Pediatir, 8:78-84.

Gisbert JP dan Gomollon F, 2009. An update of iron physiology. World J Gastroentrol,


15: 4617-26.

Gulati R, Bhatia V dan Agarwal SS, 2000. Early onset of endocrine abnormalities in β-
thalassemia major in developing country. J Pediatr Endo Met, 13: 651-6.
97

Houk CP, Kunselman AR dan Lee PA, 2009. Adequacy of single unstimulated luteinizing
hormone level to diagnose central precocious puberty in girls. Pediatrics, 123: 1059-
63.

Hussein HK dan Mohsen MF, 2013. The effect of iron overload on the function of some
endocrine glands in β thalassemia major patients. Bio Chem, 5: 86-104.

Inati A, Noureldine MH, Mansour A dan Abbas HA, 2015. Endocrine and bone
complications in β-thalassemia. Biomed Res Int, 11: 1-9.

Kamaya S, Rochmah N, Larasati MC, Yuniari A, Andarsini MR dan Faizi M, 2014.


Growth velocity and puberty in children wth thalassemia. Indonesian J Ped Perinatal
Med, 4: 104.

Katie Smith dan Victoria Gibson, 2007. Iron Chelators (deferasirox, deferiprone dan
desferrioxamine) for iron overload. London New Drugs Group APC/DTC Briefing.
Diunduh dari:
http://www.medicinesresources.nhs.uk/upload/documents/Evidence/DrugReview

Kyriakou A dan Skordis N, 2009. Thalassemia and aberration of growth and puberty.
Medit J Hematol Infect Dis, 1: 9-13.

Lanzkowsky P, 2011. Thalassemias. In Lanzkowsky (ed.), Manual of pediatric


hematology and oncology, 5th ed. New York: Elsevier, pp 231-45.
Layman LC, Porto AL, Xie J, da Motta LA, da Motta LD dan Weiser W, et al, 2002. FSH
beta gene mutations in a female with partial breast development and a male sibling
with normal puberty and azoospermia. J Clin Endocrinol Metab, 87: 3702-7.

Lee PA dan Houk CP, 2007. Puberty and its disorders. In Lifshitz F (ed.), Pediatric
endocrinology, 5th ed. New York: Informa Healthcare, pp 274-300.
Low LC, 2005. Growth of children with β-thalassemia major. Indian J Pediatr, 72:159-64.

Malik S, Syed S dan Ahmed N, 2009. Complication in transfusion-dependent patients of


β-thalassemia major: A review. Pak J Med Sci, 25: 678-82.

Marshall AW dan Tanner JM, 1970. Variations in the pattern of pubertal changes in boys.
Arch Dis Childhood, 43: 13-23.

Marshall AW dan Tanner JM, 1969. Variation in the patterm of pubertal changes in girls.
Arch Dis Childhood, 44: 291-303.

Mavrogeni S, Kolovou G dan Markousis G, 2014. The role of magnetic resonance


imaging in the evaluation of thalassemic syndromes: Current practice and future
perspectives. Thalassemia report, 4: 1859-63.

Merchant RH, Shirodkar A dan Ahmed J, 2011. Evaluation of growth, puberty and
endocrine dysfunctions in relation to iron overload in multi transfused indian
thalassemia pastients. Indian J Pediatr, 78: 679-83.
98

Moayeri H dan Oloomi Z, 2006. Prevalence of growth and puberty failure with respect to
growth hormone and gonadotropins secretion in beta thalassemia major. Arch
Iranian Med, 9: 329-34.

Moeryono HW, Fajar S dan Aditya S, 2012. Pubertas Terlambat pada Anak Thalassemia
di RSAB Harapan Kita Jakarta. Sari Pediatri, 14: 162-6.

Mona R, Ebrahim NA, Ramadan MS dan Salahedin O, 2012. Growth pattern in children
with beta thalassemia major and its relation with serum ferritin, IGF1 and IGFBP3. J
Clin Exp Invest, 3: 157-63.

Najafipour F, 2008. Evaluation of endocrine disorders in patients with thalassemia major.


Int J Endocrinol Metab, 2: 104:113.

Nakamoto JM, Franklin SL dan Geffner ME, 2010. Puberty. In Kappy MS, Allen DB,
Geffner ME (eds), Pediatric Practice Endocrinology, 3 rd ed. Colorado: McGraw Hill,
pp 257-65.

Nathan B dan Palmert MR, 2005. Regulation and Disorder of Pubertal Timing.
Endocrinol Metab Clin N Am, 34: 617-41.

Nemeth E dan Ganz T, 2009. The role of hepcidin in iron metabolism. Acta Haematol,
122: 78-86.

Noetzli LJ, Panigrahy A dan Mittelman SD, et al, 2012. Pituitary iron and volume predict
hypogonadism in transfusional iron overload. Am J Hematol, 87: 167-71.

Olivieri NF. 1999. The β thalassemias. N Engl J Med, 341: 99-109.

Olivieri NF dan Brittenham GM, 1997. Iron-chelating therapy and the treatment of
thalassemia. Blood, 89: 739-61.

Prabhu R, Prabhu V dan Prabhu RS, 2009. Iron overload in beta thalassemia. J Biosci
Tech, 1: 20-31.

Palmert MR dan Dunkel L, 2012. Delayed puberty. N Engl J Med, 366: 443-53.

Palmert MR dan Witchel SF, 2014. Puberty and its disorders in the Male. In Sperling MA
(ed.), Pediatric Endocrinology, 4th ed. Pennsylvania: Elsevier, pp 715-53.
Papadimas J, Houlis DG dan Mandala E, et al, 2002. Βeta thalassemia and gonadal azis.
Hormones, 1: 179-87.

Parent SA, Teilmann G, Juul A, Skakkebaek NE dan Toppari J, 2003. The timing of
normal puberty and the age limits of sexual precocity: Variations around the world,
secular trends and changes after migration. Endocr Rev, 24: 668-93.

Parijat D, Mistry R dan Wright C, et al, 2014. A review of endocrine disorders in


thalassemia. J Endo Metab Dis, 4: 25-34.

Permono B dan Ugrasena IDG, 2010. Hemoglobin Abnormal. Dalam Bambang P,


Sutaryo, IDG Ugrasena, Endang W, Maria AS (penyunting), Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak, Edisi ketiga. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, hlm 64-84.
99

Pierre TGS, Chua-anusorn W, Webb J, Macey D dan Pootrakul P, 1998. The form of iron
oxide deposits in thalassemia tissue varies between different groups of patients: A
comparison between Thai β-thalassemia/hemoglobin E patients and Australian β-
thalassemia patients. Biochem Biophys Acta, 1407: 51-60.

Pramita D dan Batubara J, 2003. Pubertas terlambat pada thalassemia mayor. Sari
Pediatri, 5: 4-11.

Pedram M, Zandian K, Keikhaiar B, Akramipour R dan Hashemi A, 2010. A report on


chelating therapy and patient compliance by determination of serum ferritin level in
234 thalassemia major patients. Iranian J Pediatr Soc, 2:65-9.

Pratamastuti D, Larasati MCS, Andarsini MR, Ugrasena IDG, Permono B dan


Mahmudah, 2012. Perbandingan efektivitas deferoxamine dan deferasirox sebagai
terapi kelasi besi dalam menurunkan kadar feritin serum pasien thalasemia mayor.
Penelitian Karya Ilmiah AKhir. Surabaya: Universitas Airlangga/RSUD dr.
Soetomo, hlm 1-123.

Rani PS, Vijayakumar S dan Kumar GV, 2013. Beta-thalassemia mini riview. Int J
Pharmacol Res, 3: 71-9.

Rejeki DSS, Nurhayati N, Supriyanto dan Kartikasari E, 2012. Studi epidemiologi


deskriptif talasemia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 7: 139-44.

Rosenfield RL dan Sally Radovick, 2014. Puberty and its disorders in the female. In
Sperling MA (ed.). Pediatric Endocrinology. 4 th ed. Pennsylvania: Elsevier; pp 585-
680.

Roussou P, Tsagarakis NJ, Kountouras D, Livadas S dan Kandarakis DE, 2013. Beta-
thalassemia major and female fertility: The role of iron and iron-induced oxidative
stress. Anemia, 115: 1-9.

Rund D dan Rachmilewitz E, 2005. Beta-thalassemia. N Engl J Med, 353: 1135-46.

Saxena A, 2003. Growth retardation in thalassemia major patient. Int J Hum Genet, 3:
237-46.

Shalitin S, Carmi D dan Weintrob N, et al, 2005. Serum ferritin level as a predictor of
impaired growth and puberty in thalassemia mayor patients. Eur J Haematol, 74: 93-
100.

Shamshirsaz AA, Bekheirnia MR dan Kamgar M, et al, 2003. Metabolic and


endocrinologic complications in beta-thalassemia major: a multicenter study in
Tehran. BMC Endocr Disord, 3: 4-8.

Silman C, Amalia P dan Pitaloka D, et al, 2009. Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan
Kualitas Hidup Pasien Thalassemia Mayor di Pusat Thalassemia Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSCM. Sari Pediatri, 11: 85-9.
100

Skordis N, 2011. Endocrine investigation and follow up in thalassemia. Time for spesific
guidelines pagepress, 1: 79-82.

Soesanti F, Amalia P, Pulungan A dan Putriasih SA, 2012. Endocrinopathies in thalasemia


major patients in thalasemia center Jakarta, Indonesia. Int J Ped Endocrinol, 58:1

Soliman AT, elZalabany MM, Ragab M, Abdel Fatah M, Hassab H dan Rogol AD, 2000.
Spontaneous and GnRH-provoked gonadotropin secretion and testosteron respons to
human chorionic gonadotropin in adolescent boys with thalassemia major and
delayed puberty. J Trop Pediatr; 46: 79 [Abstrak].

Sun QH, Zheng Y, Zheng XL dan Mu YM, 2015. Role of gonadotropin releasing
hormone stimulation test in diagnosing gonadotropin deficiency in both males and
females with delayed puberty. Chin Med J, 128: 2439-43.

Sutay NR, Karlekar MP dan Jagtap A, 2017. Growth and puberty in girls with beta
thalassemia major and its correlation with chelation therapy and serum ferritin
levels. Ann Int Med Dent Res, 3: 16-21.

Styne DM, 2016. Disorders of puberty. In Styne DM (ed), Pediatric endocrinology, 1 st ed.
Switzerland: Springer, pp 189-232.

Theil EC, 2003. Ferritin: At the cross of iron and oxygen matabolism. J Nutr, 5: 1549-53.

Vahidi T, Ahmadi, Farahmandinia, Moghaddam K dan Meghdadi, 2003. A cross-sectional


controlled study of Gonadal function and pubertal development in thalassemia
major. Mjiri, 17: 5-10.

Viprakasit V dan Origa R, 2014. Genetic basis, pathophisiology and diagnosis. In


Guidelines for the management of transfusion dependent thalassaemia (TDT), 3 rd ed.
Ciprus: Thalassaemia International Federation, pp 14-244.

Vichinsky E, Butensky E dan Fung E, et al., 2005. Comparison of organ dysfunction in


transfused patients with SCD or β thalassemia. AM J Hematol, 80: 70-4.

Waldvogel-Abramovski S, Waeber G dan Gassner C, et al, 2013. Iron and transfusion


medicine. Blood, 27: 289-95.

Wang C, Tso SC dan Todd D, 1988. Hypogonadotropic hypogonadism in severe beta-


thalassemia: effect of chelation and pulsatile gonadotropin-releasing hormone
therapy. J Clin Endocrinol Metab, 68: 511-6.

Weatherall D, 2000. The thallasemias. In Beutler E, Lichtman M, Coller BS, Kipps TJ,
Seligsohn (eds), Williams hematology, 6th ed. New York: McGraw Hill, pp 444-64.
Weintrob BN, Olivieri NF, Tyler B, Andrews DF, Freedman MH dan Holland FJ, 1990.
Effect of age at the start of iron chelation therapy on gonadal function in beta-
thalassemia major. N Engl J Med, 323: 713-9.

Wennink JM, Delemarre HA, Schoemaker RS, Blaauw G, Braken CV, et al, 1990.
Growth hormone secretion patterns in relation to LH and testosterone secretion
throughout normal male puberty. Act Endrocrinol, 123: 263-70.
101

Wennink JM, Delemarre HA, Schoemaker RS, Blaauw G, Braken CV, et al, 1991.
Growth hormone secretion patterns in relation to LH and estradiol secretion
throughout normal female puberty. Act Endrocrinol, 124: 129-35.

Wongrieger D dan Sayani F, 2009. Complication of thalassemia. In Wongrieger D, Sayani


F, Guidelines for the Clinical Care of Patients with Thalassemia in Canada.

Worwood M, May A, 2011. Iron deficiency anemia and iron overload. In Bain BJ, Bates
I, Laffan MA, Lewis SM (eds), Dacie and lewis practical haemoatology, 11 th ed.
Livingstone: Elsevier, pp 180-96.

Yaman A, Isik P dan Yarali N, et al, 2013. Common complication in beta thalassemia
patients. Int J Hematol Oncol, 23: 193-9.

Zacharin M dan Leena Patel, 2011. Puberty normal and abnormal. In Zacharin M (ed.),
Practical Paediatric Endocrinology. Australia: The National Library of Australia, pp
24-46.
102

Lampiran 1

KELAIKAN ETIK PENELITIAN


103

Lampiran 2

Jadwal Kegiatan Penelitian

HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN SERUM DAN LUTEINIZING

HORMON DENGAN STATUS PUBERTAS ANAK THALASEMIA BETA

DI RSUD. DR. SOETOMO

Kegiatan Bulan ke
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3
Penelusuran kepustakaan
Penyusunan naskah
Pengajuan usulan penelitian
Penyajian etik penelitian
Pelaksanaan penelitian
Pengolahan data
Penyusunan laporan penelitian
Presentasi hasil penelitian

Pelaksanaan kegiatan
104

Lampiran 3

INFORMASI SUBYEK STUDI UNTUK PENELITIAN

Judul : HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN SERUM DAN


LUTEINIZING HORMON DENGAN STATUS PUBERTAS
PADA ANAK THALASEMIA BETA

Peneliti utama : Muhammad Faizi, dr., SpA(K)


Peneliti lain : Mia Ratwita Andarsini, dr., SpA(K)
Nur Rochmah, dr., SpA
Prof. Bambang Permono, dr., SpA(K)
Dr. IDG Ugrasena, dr., SpA(K)
Maria C. Shanty, dr., SpA
Andi Cahyadi, dr., SpA
Irwina Rahma A., dr., SpA
Budiono, dr., M. Kes
Maria Natalia Nababan, dr
Alamat : Departemen / SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD
Dr. Soetomo Jl. Prof. Dr. Moestopo 6-8 Surabaya

Formulir ini memberi anda informasi tentang manfaat dan resiko bila anak

anda mengikuti penelitian ini. Proses ini dikenal sebagai memberi persetujuan

(informed consent). Bila anak anda ikut serta dalam studi, anda diminta

menandatangani formulir ini. Sebelum anak anda mengikuti studi ini maupun

setiap saat selama masa studi anda berhak menanyakan pendapat kedua tentang

perawatan anak anda dari dokter lain yang tak terlibat dari studi ini. Keikutsertaan

anak anda dalam studi ini bukanlah suatu hal yang bersifat wajib.
105

Pada formulir ini bila ada kata-kata yang tidak anda mengerti, silahkan

langsung ditanyakan kepada peneliti untuk memperoleh kejelasan.

Latar Belakang

Komplikasi endokrin atau endokrinopati pada pasien thalasemia sering

ditemukan terutama di negara sedang berkembang karena pemberian kelasi besi

yang kurang optimal dan tranfusi darah yang tidak adekuat. Hipogonadisme

merupakan komplikasi endokrinopati tersering dan masih menjadi masalah klinis

yang signifikan dengan manifestasi klinis berupa keterlambatan pubertas.

Hipogonadisme dapat disebabkan oleh kelebihan besi (iron overload) dan

toksisitas kelasi besi. Kelebihan besi dicerminkan oleh kadar feritin serum

dikaitkan dengan hemosiderosis di kelenjar endokrin yang berdampak pada

hipogonadisme dan keterlambatan pubertas pada pasien thalasemia.

Hipogonadisme hipogonadotropik akan mengakibatkan infertilitas pada

sebagian besar pasien dengan thalasemia meskipun fertilitas yang spontan masih

dapat terjadi dan menurunkan kualitas hidup. Oleh karena itu, pemeriksaan

hormonal penting untuk mengetahui fungsi poros hipotalamus-hipofisis-gonad

pada pasien thalassemia dimana kadar LH serum rendah seperti kadar prapubertas.

Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis hubungan antara kadar feritin serum dan Luteinizing

Hormone terhadap status pubertas pada anak dengan thalasemia di RSUD Dr.

Soetomo, Surabaya.
106

Manfaat Penelitian

Memperoleh gambaran hubungan antara kadar feritin serum dan Luteinzing

Hormone dengan status pubertas pada anak thalasemia beta di RSUD Dr.

Soetomo, Surabaya.

Prosedur Pelaksanaan

- Dimintakan persetujuan orang tua kemudian ditentukan kriteria inklusi dan

eksklusi. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan fisik

dan pengambilan bahan-bahan untuk pemeriksaan sebagai berikut :

penderita diambil sampel darah vena perifer sebanyak 2ml untuk

dilakukan pemeriksaan kadar feritin serum dan Luteinizing Hormone

serum. Pengambilan darah ini selain darah yang dibutuhkan untuk

pemeriksaan DL rutin di Laboratorium Hematologi-Onkologi RSUD Dr.

Soetomo.

- Setiap data yang didapat dicatat pada Lembar Pengumpul Data (LPD) untuk

diolah lebih lanjut.

Biaya Keikutsertaan Dalam Uji Klinis

Seluruh biaya pemeriksaan yang digunakan untuk kadar feritin serum, LH

serum pada pelaksanaan studi ini dibiayai oleh peneliti pada pemeriksaan yang

tidak ditanggung BPJS.

Informasi dan Kerahasiaan

Semua catatan kesehatan anak anda yang diperoleh selama studi ini akan

dijamin kerahasiaannya. Informasi yang akan digunakan untuk kepentingan


107

analisa data, publikasi di jurnal/pertemuan ilmiah, atau untuk kepentingan pihak

lain yang berhubungan dengan studi ini hanya boleh disampaikan dalam bentuk

nama inisial, sedangkan nama aslinya hanya diketahui oleh dokter peneliti. Anda

boleh melihat dan mengkopi informasi kesehatan anak anda, termasuk hasil

pemeriksaan laboratorium.

Penarikan Kembali Dalam Penelitian

Partisipasi anda dalam penelitian ini adalah sukarela. Anak anda atau anda

setiap saat dapat memutuskan untuk tidak melanjutkan keikutsertaan dalam

penelitian ini tanpa memperoleh sanksi apapun dari institusi studi maupun dari

dokter.

Surabaya,

Peneliti yang memberi penjelasan Yang membuat pernyataan

----------------------------------------- ------------------------------------
108

Lampiran 4

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN


(Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Nama pasien :
Alamat :
No telp :
Saya telah diundang secara sukarela untuk ikut dalam penelitian “Hubungan
antara kadar feritin serum dan Luteinizing Hormone dengan status pubertas
pada anak thalasemia beta” dan telah diberikan penjelasan tentang latar
belakang, tujuan, dan manfaat penelitian ini. Prosedur penelitian ini meliputi
pengumpulan data klinis dan laboratorium dari rekam medis, anamnesa dan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan kadar feritin serum, kadar LH serum
menggunakan sampel darah.
Saya telah diberi penjelasan mengenai prosedur yang dilakukan dan sadar
adanya resiko ketidaknyamanan yang mungkin terjadi saat pemeriksaan fisik dan
saat pengambilan sampel darah. Kerahasiaan informasi yang berhubungan dengan
partisipasi saya dan segala pemeriksaan pada penelitian ini dijamin oleh dr. Maria
Natalia Nababan. Partisipasi saya pada penelitian ini sepenuhnya tanpa paksaan
dan apabila saya tidak ikut serta pada penelitian ini tidak akan mendapat sanksi
apapun.
Saya mengerti apa yang dijelaskan pada formulir persetujuan berkaitan
dengan partisipasi saya dalam penelitian ini. Dengan menandatangani pernyataan
ini, saya telah menyetujui untuk berpartisipasi pada penelitian yang telah
dijelaskan dr. Maria Natalia Nababan

Surabaya,
Peneliti Orangtua

--------------------------- ---------------------------

Saksi

-----------------------------
109

Lampiran 5

FORMULIR REGISTRASI PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA KADAR FERITIN SERUM DAN LUTEINIZING


HORMON DENGAN STATUS PUBERTAS PADA ANAK THALASEMIA
BETA

NO DATA / VARIABEL PENELITIAN KETERANGAN


1 Nama pasien
2 No RM
3 Jenis kelamin
4 Umur
5 Tanggal lahir
6 Nama orang tua
7 Alamat
8 No telp
9 Suku bangsa
10 Tingkat pendidikan
11 Golongan darah
12 Status Pubertas
13 Usia menarche ibu
14 Berat badan
15 Tinggi badan
16 Lingkar lengan
17 Lingkar kepala
18 Status nutrisi
19 Suhu badan
20 Usia awal diagnosis talasemia
21 Gambaran hapusan darah tepi
22 Tanggal Hb elektroforesis
23 Gambaran Hb elektroforesis
24 Jenis darah transfusi
110

25 Jenis kelasi besi


26 Dosis kelasi besi
27 Lama terapi kelasi besi
28 Kepatuhan kelasi besi
29 Obat lain yang dikonsumsi
30 Interval waktu transfusi
31 Pembesaran limpa
32 Splenektomi
33 Tanner stage
34 Hb terendah
35 Frekuensi Hb ≤ 5 gr/Dl
36 DL terakhir : Hb

37 Kadar feritin serum


38 Kadar feritin serum 1x sebelumnya
39 Kadar feritin serum 2x sebelumnya
40 Kadar LH serum

Surabaya,

Peneliti,

Maria Natalia Nababan, dr.


111

Lampiran 6

TABEL DUMMY PENELITIAN

Tabel 6.3. Karakteristik Pasien Thalasemia Beta

No Variabel N %
1 Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
2 Umur (tahun)
8-14 tahun
>14 tahun
3 Usia awal diagnosis (rerata)
4 Status gizi

5 Golongan darah
A
B
AB
O
6 Jenis darah transfusi
PRC
WE
7 Jenis kelasi besi
Deferoxamine (DFO)
Deferiprone (DFP)
Deferasirox (DFX)
8 Pembesaran limpa
9 Anemia gravis (≤ 5 g/dl)
3
10 Leukopeni (<3500/mm )
3
11 Trombositopeni (<100.000/mm )
112

Lampiran 7

HASIL ANALISIS STATISTIK

1. Karakteristik subjek penelitian

Frequency Table

Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent

laki-laki 22 45.8 45.8 45.8


Valid perempuan 26 54.2 54.2 100.0

Total 48 100.0 100.0

Perawakan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent

Pendek 29 60.4 60.4 60.4


Valid Normal 19 39.6 39.6 100.0

Total 48 100.0 100.0

Status nutrisi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent

Gizi kurang 37 77.1 77.1 77.1


Valid Gizi baik 11 22.9 22.9 100.0

Total 48 100.0 100.0

Tingkatpendidikanorangtua

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

SD 3 6.3 6.3 6.3


SLTP 14 29.2 29.2 35.4

Valid SLTA 27 56.3 56.3 91.7

S1 4 8.3 8.3 100.0

Total 48 100.0 100.0


113

Jeniskelasibesi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent

Deferiprone 34 70.8 70.8 70.8


Valid Deferoxamine 1 2.1 2.1 72.9

Deferasirox 13 27.1 27.1 100.0

Total 48 100.0 100.0

Jenistransfusi

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

PRC 16 33.3 33.3 33.3


Valid WE 32 66.7 66.7 100.0

Total 48 100.0 100.0

Gonadal_breast

Frequency Percent Valid Percent Cumulative


Percent

G1 8 16.7 16.7 16.7


G2 6 12.5 12.5 29.2

G3 3 6.3 6.3 35.4

G4 1 2.1 2.1 37.5

Valid G5 4 8.3 8.3 45.8

M1 18 37.5 37.5 83.3

M2 5 10.4 10.4 93.8

M3 3 6.3 6.3 100.0

Total 48 100.0 100.0

Descriptives

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Usia 48 97 216 147.06 34.214


Tinggi Badan 48 109.00 167.00 136.0625 13.93987
Berat Badan 48 15.00 54.00 31.4479 9.94893
Lingkar Lengan Atas 48 14.00 24.20 19.5125 2.55340
Valid N (listwise) 48
114

Crosstabs
Perawakan * Tannerstage Crosstabulation
Count

Tannerstage Total
Pubertas Pre pubertas

Pendek 15 14 29
Perawakan
Normal 7 12 19
Total 22 26 48

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square a 1 .312


1.024
b .512 1 .474
Continuity Correction
Likelihood Ratio 1.032 1 .310
Fisher's Exact Test .382 .238
Linear-by-Linear Association 1.003 1 .317
N of Valid Cases 48

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.71.
b. Computed only for a 2x2 table
Jeniskelasibesi * Tannerstage Crosstabulation

Count

Tannerstage Total
Pubertas Pre pubertas
Deferiprone 16 18 34
Jeniskelasibesi Deferoxamine 0 1 1

Deferasirox 6 7 13

Total 22 26 48

Crosstabs
Status nutrisi * Tannerstage Crosstabulation

Count

Tannerstage Total
Pubertas Pre pubertas

Status nutrisi Gizi kurang 20 17 37


Gizi baik 2 9 11

Total 22 26 48
115

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square a 1 .036


4.395
b 3.069 1 .080
Continuity Correction
Likelihood Ratio 4.728 1 .030
Fisher's Exact Test .045 .037
Linear-by-Linear Association 4.303 1 .038
N of Valid Cases 48

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.04.
b. Computed only for a 2x2 table

Crosstabs
LH_1 * Tannerstage Crosstabulation
Count
Tannerstage Total
Pubertas Pre pubertas
Pubertas 20 0 20
LH_1
prepubertas 2 26 28
Total 22 26 48

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square a 1 .000


40.519
b 36.866 1 .000
Continuity Correction
Likelihood Ratio 51.799 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 39.675 1 .000
N of Valid Cases 48

a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.17.
b. Computed only for a 2x2 table
116

Hasil Analisis Statistik (ekslusi pubertas terlambat)

Case Summaries
Usia (Bulan)
Gonad N Mean Std. Deviation Median Minimum Maximum
G1 8 123,13 14,427 118,00 109 153
G2 6 157,33 13,765 159,00 132 171
G3 3 186,67 30,006 193,00 154 213
G4 1 205,00 . 205,00 205 205
G5 4 193,50 9,539 194,50 181 204
Total 22 157,64 33,752 156,00 109 213
Case Summaries

Usia (Bulan)
Gonad N Mean Std. Deviation Median Minimum Maximum
M1 17 120,12 17,937 121,00 97 150
M2 5 159,00 16,763 156,00 138 182
M3 3 199,00 23,643 209,00 172 216
Total 25 137,36 33,030 130,00 97 216

Nonparametric Correlations

Hubungan usia dan tahap perkembangan seksual sekunder (Tanner Stage)


Correlations
Usia (Bulan) Gonad Laki Gonad
Perempuan
Correlation Coefficient 1,000 ** **
,876 ,788
Usia (Bulan) Sig. (2-tailed) . ,000 ,000
N 47 22 25
Correlation Coefficient ** 1,000 .
,876
Spearman's rho Gonad Sig. (2-tailed) ,000 . .
N 22 22 0
Correlation Coefficient ** . 1,000
,788
Gonad Sig. (2-tailed) ,000 . .
N 25 0 25

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


117
2. Kadar feritin serum pada anak thalasemia beta

Feritinserum

Gonad N Mean Std. Deviation Median Minimum Maximum


G1 8 2117,4300 1378,45077 1559,2250 1115,85 5382,00
G2 6 3428,3767 2554,99247 3122,6700 519,08 6647,47
G3 3 3168,7000 1418,19979 3412,2700 1644,49 4449,34
G4 1 3108,6500 . 3108,6500 3108,65 3108,65
G5 4 3462,2300 2206,05778 3056,3850 1242,35 6493,80
Total 22 2907,8805 1860,12119 2352,7550 519,08 6647,47

Case Summaries
Feritinserum
Gonad N Mean Std. Deviation Median Minimum Maximum
M1 17 2816,4165 1689,39796 2658,5900 628,00 6472,13
M2 5 3335,7020 1071,58983 3555,3300 1607,05 4464,07
M3 3 2045,9567 962,28281 1838,7000 1204,19 3094,98
Total 25 2827,8184 1517,07099 2814,0000 628,00 6472,13

Explore
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent

Pubertas 22 100.0% 0 0.0% 22 100.0%


Feritinserum
Pre pubertas 25 100.0% 0 0.0% 25 100.0%
Tests of Normality

Tannerstage a Shapiro-Wilk
Kolmogorov-Smirnov
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pubertas .113 22 * .942 22 .219
.200
Feritinserum .200
*
Pre pubertas .143 25 .895 25 .014

*. This is a lower bound of the true significance.


a. Lilliefors Significance Correction

NPar Tests

Ranks
Tannerstage N Mean Rank Sum of Ranks

Pubertas 22 27.00 594.00


118

NPar Tests
Ranks
Tannerstage N Mean Rank Sum of Ranks

Pubertas 22 27.00 594.00


Feritinserum Pre pubertas 25 21.36 534.00

Total 47

Mann-Whitney Test

Test Statistics
a
Feritinserum
Mann-Whitney U 209.000
Wilcoxon W 534.000
Z -1.407
Asymp. Sig. (2-tailed) .159

a. Grouping Variable: Tannerstage

Hubungan kadar feritin dengan status pubertas

Nonparametric Correlations

Correlations
Feritinserum Gonad Laki Gonad
Perempuan
Correlation Coefficient 1,000 ,327 ,055
Feritinserum Sig. (2-tailed) . ,137 ,793
N 47 22 25
Correlation Coefficient ,327 1,000 .
Spearman's rho Gonad Sig. (2-tailed) ,137 . .
N 22 22 0
Correlation Coefficient ,055 . 1,000
Gonad Sig. (2-tailed) ,793 . .
N 25 0 25
119

3. Kadar LH serum pada anak thalasemia beta

Explore

Tannerstage

Case Summaries
KadarLH
Gonad N Mean Std. Deviation Median Minimum Maximum
G1 8 ,1000 ,08485 ,0700 ,07 ,31
G2 6 3,0033 3,98960 1,3300 ,76 11,06
G3 3 7,4967 3,23042 9,2200 3,77 9,50
G4 1 4,5800 . 4,5800 4,58 4,58
G5 4 3,0800 1,45185 2,6400 1,97 5,07
Total 22 2,6459 3,34190 1,3300 ,07 11,06
Case Summaries

KadarLH
Gonad N Mean Std. Deviation Median Minimum Maximum
M1 17 ,1235 ,16202 ,0700 ,00 ,65
M2 5 2,4940 1,61302 2,7500 ,31 4,42
M3 3 4,9867 3,78764 4,0000 1,79 9,17
Total 25 1,1812 2,14669 ,0900 ,00 9,17

Tests of Normality
Tannerstage a Shapiro-Wilk
Kolmogorov-Smirnov
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Pubertas .181 22 .058 .844 22 .003
KadarLH
Pre pubertas .388 25 .000 .530 25 .000

a. Lilliefors Significance Correction

NPar Tests

Mann-Whitney Test

Ranks
Tannerstage N Mean Rank Sum of Ranks

Pubertas 22 36.39 800.50


KadarLHPre pubertas 25 13.10 327.50

Total 47
120

Test Statistics
a
KadarLH
Mann-Whitney U 2.500
Wilcoxon W 327.500
Z -5.952
Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Grouping Variable: Tannerstage

Hubungan antara kadar LH serum dengan status pubertas

Nonparametric Correlations

Correlations
KadarLH Gonad Laki Gonad
Perempuan
Correlation Coefficient 1,000 ** **
,816 ,814
KadarLH Sig. (2-tailed) . ,000 ,000
N 47 22 25
Correlation Coefficient ** 1,000 .
,816
Spearman's rho Gonad Sig. (2-tailed) ,000 . .
N 22 22 0
Correlation Coefficient ** . 1,000
,814
Gonad Sig. (2-tailed) ,000 . .
N 25 0 25

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Feritinserum KadarLH
N 47 47
a,b Mean 2865,2943 1,8668
Normal Parameters
Std. Deviation 1667,93404 2,83702
Absolute ,109 ,255
Most Extreme Differences Positive ,109 ,228
Negative -,080 -,255
Kolmogorov-Smirnov Z ,746 1,750
Asymp. Sig. (2-tailed) ,633 ,004
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
121

4. Hubungan kadar Feritin serum dan LH serum

Nonparametric Correlations

Correlations
Feritinserum KadarLH
Correlation Coefficient 1,000 *
,293
Feritinserum Sig. (2-tailed) . ,046
Spearman's rho N 47 47
Correlation Coefficient * 1,000
,293
KadarLH Sig. (2-tailed) ,046 .
N 47 47

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).


122

Status nutrisi, perawakan dan lama terapi kelasi besi pada tiap tahap perkembangan
seksual sekunder anak thalasemia beta

Status nutrisi * Gonad Crosstabulation


Gonad Total
G1 G2 G3 G4 G5
Count 4 5 3 1 4 17
Gizi kurang 50,0% 83,3% 100,0% 100,0% 100,0% 77,3%
% within Gonad
Status nutrisi 4 1 0 0 0 5
Count
Gizi baik
% within Gonad 50,0% 16,7% 0,0% 0,0% 0,0% 22,7%
Count 8 6 3 1 4 22
Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
% within Gonad
Status nutrisi * Gonad Crosstabulation

Gonad Total
M1 M2 M3
Count 12 5 2 19
Gizi kurang 70,6% 100,0% 66,7% 76,0%
% within Gonad
Status nutrisi 5 0 1 6
Count
Gizi baik 29,4% 0,0% 33,3% 24,0%
% within Gonad
Count 17 5 3 25
Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
% within Gonad
Perawakan * Gonad Crosstabulation
Gonad Total
G1 G2 G3 G4 G5
Count 4 4 2 1 2 13
Pendek 50,0% 66,7% 66,7% 100,0% 50,0% 59,1%
% within Gonad
Perawakan 4 2 1 0 2 9
Count
Normal 50,0% 33,3% 33,3% 0,0% 50,0% 40,9%
% within Gonad
Count 8 6 3 1 4 22
Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
% within Gonad
Perawakan * Gonad Crosstabulation

Gonad Total
M1 M2 M3
Count 9 5 1 15
Pendek 52,9% 100,0% 33,3% 60,0%
% within Gonad
Perawakan 8 0 2 10
Count
Normal 47,1% 0,0% 66,7% 40,0%
% within Gonad
Count 17 5 3 25
Total 100,0% 100,0% 100,0% 100,0%
% within Gonad
123

Case Summaries
Lamaterapikelasi_bulan
Gonad N Mean Std. Deviation Median Minimum Maximum
G1 8 53,13 28,528 49,50 5 92
G2 6 80,00 32,711 85,00 23 120
G3 3 105,67 65,531 143,00 30 144
G4 1 140,00 . 140,00 140 140
G5 4 90,75 62,777 108,50 2 144
Total 22 78,41 45,366 84,00 2 144
Case Summaries

Lamaterapikelasi_bulan
Gonad N Mean Std. Deviation Median Minimum Maximum
M1 17 54,24 30,979 56,00 9 100
M2 5 90,00 40,348 82,00 48 132
M3 3 65,67 69,212 48,00 7 142
Total 25 62,76 38,954 56,00 7 142

Nonparametric Correlations

Correlations
Lama terapi Gonad Gonad
kelasi_bulan Laki Perempuan
Lamaterapikelasi_ Correlation Coefficient 1,000 * ,179
,452
Sig. (2-tailed) . ,035 ,391
bulan N 47 22 25
Correlation Coefficient * 1,000 .
,452
Spearman's rho Gonad Sig. (2-tailed) ,035 . .
N 22 22 0
Correlation Coefficient ,179 . 1,000
Gonad Sig. (2-tailed) ,391 . .
N 25 0 25

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Anda mungkin juga menyukai