Keratitis Herpes
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Mata RSUD dr.Tjitrowardojo Purworejo
Diajukan Kepada :
dr. Evita Wulandari, Sp. M
Disusun Oleh :
Revo astrada
20174011195
Refleksi Kasus
Keratitis Herpes
Disusun Oleh :
Revo astrada
20174011195
Mengetahui,
Doter Pembimbing
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Usia : 50 Tahun
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
2. Keluhan Tambahan
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. STATUS GENERALIS
Tanda Vital :
Suhu : afebris
2. STATUS OPHTALMOLOGIS
Pemeriksaan OD OS
Visus 4/60 5/15
Palpebra
Spasme (-) (-)
Odem (-) (-)
Retraksi (-) (-)
Sikatrik (-) (-)
Lesi (-) (-)
Konjungtiva
Odem (-) (-)
Hiperemis
Inj. Konjungtiva (+) (-)
Inj. Perikornea (-) (-)
Sub. Konj. Bleeding (-) (-)
Sekret
Serose (-) (-)
Mukoid (-) (-)
Purulen (-) (-)
Mukopurulen (-) (-)
Kornea
Kejernihan Tidak Jernih Jernih
Permukaan Tidak Licin Licin
Edema (-) (-)
Infiltrat (-) (-)
Sikatrik (-) (-)
Neovaskularisasi (-) (-)
Iris / Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 3 mm 3 mm
Kedudukan Sentral Sentral
Refleks direk (+) (+)
Refleks indirek (+) (+)
Lensa
Kejernihan keruh jernih
Letak Sentral Sentral
TIO N+ N
Pemeriksaan slit-lamp
D. DIAGNOSIS BANDING
OD Ulkus Kornea
OD Keratomikosis
E. DIAGNOSIS KERJA
• OD Keratitis Herpes
F. PENATALAKSANAAN
Farmakologi
Advitam : ad bonam
Adsanationam : ad bonam
Advisam : ad bonam
Adkosmetikam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Epitel
Tebalnya 50 um, terdiri atas lima lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng. Sel basal berkaitan
erat dengan sel basal di sampingnya dan sel polygonal di depannya melalui desmosom
dan macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa
yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi
gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Epitel berasal dari ectoderm permukaan.
2. Membrana Bowman
Terletak di bawah membrane basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma
Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen
ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.
4. Membrana Descement
Membrane aselular; merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel
dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, tebal 40 um.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, tebal 20-40 um. Endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf V saraf siliar longusberjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membrana Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis
epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause
untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong
di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel
akan mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan
terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.1
B. Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui berkas cahaya
menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan
deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh
“pompa” bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme
dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada
endotel berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel
menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel
hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel epitel telah
beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan
lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma
kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.
III. EPIDEMIOLOGI
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus kelainan
mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara 5,9-20,7 per 100.000
orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 2010 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di
Indonesia. Perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu bermakna pada angka
kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis antara lain terjadi karena
trauma, pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa kontak yang buruk, penggunaan
lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang
menurun karena penyakit lain, serta higienis dan nutrisi yang tidak baik, dan kadang-
kadang tidak diketahui penyebabnya.
IV. ETIOLOGI
Infeksi keratitis adalah kondisi yang berpotensi membutakan yang dapat menyebabkan
kehilangan penglihatan yang parah jika tidak diobati pada tahap awal. Bakteri, virus dan
jamur dapat menyebabkan keratitis. Penyebab paling sering adalah virus herpes simplex
tipe. Selain itu penyebab lain adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya yang
sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif
terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, kekurangan vitamin A dan
penggunaan lensa kontak yang kurang baik.
Patogen umum termasuk Staphylococcus aureus, koagulase-negatif Staphylococcus,
Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus pneumonia, dan spesies Serratia. Mayoritas kasus
yang ditemukan di masyarakat adalah keratitis bakteri yang teratasi dengan pengobatan
empirik dan tidak memerlukan kultur bakteri. Apusan kornea untuk kultur dan tes
sensitivitas diindikasikan untuk ulkus kornea dengan ukuran yang besar, berlokasi di sentral
kornea, mencapai daerah stroma.
Penyebab keratitis 90% disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti Staphylococcus
aureus, Staphylococcus epidermidis, Stapylococcus aeroginosa, dan Moarxella.
V. PATOFISIOLOGI
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh
sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata
(lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel
untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.
Epitel adalah barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam
kornea.Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman
menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk
bakteri, amoeba dan jamur. Sreptokokus pneumonia adalah merupakan bacteriapatogen
kornea, patogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang
immunokompromis untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.7
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera
datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea,
segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah
yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi
infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang
mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh
dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin.
Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan) dan selanjutnya agen pathogen akan
menginvasi seluruh kornea. Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada
membarana descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele yang
dimana hanya membarana descement yang intak. Ketika penyakit semakin progresif,
perforasi dari membrane descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut
ulkus kornea perforate dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien
akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.
Setelah terjadinya luka pada sentral kornea, neutrofil dibawa ke daerah luka oleh
airmata, dan tepi luka mulai membengkak. Faktor penyembuhan yang berasal dari
pembuluh darah tidak ditemukan. Matrik glicosaminoglikan, yaitu keratan sulfate dan
konroitin sulfat, merusak pinggiran luka. Fibroblas dari stroma mulai diaktivasi, akhirnya
migrasi melewati luka, menimbun kolagen dan fibronektin. Bila pinggiran luka terpisah,
jarak tersebut tidak sepenuhnya terisi dengan proliferasi fibroblas, dan menyebabkan
sebagian cekungan.
Kedua epitel dan endotelium sangat baik pada penyembuhan luka di sentral. Jika epitel
tidak menutupi luka dalam beberapa hari, proses penyembuhan stroma sangat terbatas dan
lemah. Growth faktor dari epitelium menstimulasi dan melanjutkan penyembuhan. Sel
endotel akan menyilang melewati kornea posterior. Sebagian sel digantikan selama proses
mitosis. Endotelium membentuk lapisan baru di bawah membran descement. Bila jarak
luka tidak ditutupi membran descement, fibroblas struma akan terus membelah hingga bilik
mata depan, atau luka di posterior dapat tetap terbuka secara permanen. Jaringan fibrin
kolagen akan digantikan kolagen yang lebih kuat pada beberapa bulan kemudian. Membran
tidak beregenerasi saat dilakukan insisi atau mengalami kerusakan. Pada ulcus,
permukaannya ditutupi oleh epitelium, tapi sedikit yang hilang digantikan jaringan ikat.
Menurut Khurana, keratitis atau keratitis tanpa ulkus dapat dibagi dua : keratitis
superficial dan keratitis profunda (deep keratitis).Keratitis superficial dapat dibagi dua,
keratitis superficial difus dan keratitis superfisial pungtata.
1. Keratitis Superfisial
Keratitis superfisial sering disebabkan oleh trauma, yang tidak melebihi jaringan membrane
Bowman’s.manifestasi klinis dari keratitis jenis ini adalah nyeri, epifora, bhlepharospasm,
konjungtivitis, penurunan visus dan pembengkakan kelopak mata atas.
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pewarnaan kornea , inspeksi
luka dengan mikroskop operasi dan jika perlu, pemeriksaan radiologi dengan Ct scan.
2. Keratitis interstitial/profunda
Keratitis interstitial merupakan keratitis nonsupuratif profunda disertai dengan
neovaskularisasi. Keratitis ini juga disebut sebagai keratitis parenkimatosa. Biasanya akan
memberikan keluhan fotofobia, lakrimasi, kelopak meradang, akit dan menurunnya visus. Pada
keratitis ini, keluhan bertahan seumur hidup.
Pengobatan pada keratitis ini tergantung jenis penyebabnya, bakteri,virus,jamur atau trauma.
Keratitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologi :
1. Keratitis Bakterial
Setiap bakteri seperti Streptococci,Stapylococci, Pseudomonas,dan Haemophilus dapat
menyebabkan infeksi pada kornea.
Pada keratitis bakterial, akan terdapat keluhan kelopak mata lengket setiap bangun pagi.
Mata sakit silau, merah,berair dan penglihatan yang berkurang. Kelainan ini lebih sering
ditemukan pada pemakaian lensa kontak dengan pemakaian lama.
2. Keratitis Jamur
Keratitis jamur lebih jarang dibandingkan kerattis bacterial. Dimulai oleh suatu
trauma pada kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian tumbuh-tumbuhan.
Kebanyakan jamur disebabkan oleh Fusarium, Filamentous, yeast, Candida dan
Aspergillus.
Keluhan baru timbul setelah 5 hari rudapaksa atau 3 minggu kemudian. Pasien akan
mengeluh sakit mata yang hebat, berair, penglihatan menurun dan silau. Pada mata akan
terlihat infiltrat kelabu, disertai hipopion, peradangan, ulserasi superfisial dan satelit bila
terletak di dalam stroma. Biasanya disertai dengan cincin endotel denga plak tampak
bercabang-cabang,gambaran satelit pada kornea, dan lipatan descemet.
Diagnosis pasti dibuat dengan pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 10% terhadap
kerokan kornea yang menunjukkan adanya hifa.
Gambar 8. Keratitis jamur
3. Keratitis virus
Virus yang menginfeksi kornea termasuklah virus yang menginfeksi saluran nafas seperti
adenovirus dan semua yang menyebabkan demam. Virus herpes simpleks dapat
menyebabkan keratitis, demikian juga virus herpes zoster.
Kelainan pada kornea didapatkan sebagai keratitis pungtata uperfisial memberikan
gambaran seperti infiltrate halus bertitik-titik pada dataran depan kornea yang dapat terjadi
pada penyakit herpes simpleks, herpes zoster, infeksi virus, vaksinia dan trakoma.
4. Keratitis alergi
Pada keratitis alergi, biasanya sering kambuh pada waktu-waktu tertentu dalam
setahun.Merupakan penyakit rekuren, dan terjadi bilateral. Pasien umumnya mengeluh
gatal, ada riwayat alergi dalam keluarga atau pada pasien sendiri. Biasanya didapatkan
pada musim panas dan sering mengenai anak laki-laki sebelum berumur 14 tahun.
5. Defisiensi vitamin
Biasanya lesi berupa ulkus terletak dipusat dan bilateral berwarna kelabu dan indolen,
disertai kehilangan kilau kornea di daerah sekitarnya. Kornea melunak dan sering terjadi
perforasi.
Gambar 10.keratitis akibat defisiensi vitamin A.
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien yang datang
dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa
kelilipan (blefarospasme). Adapun radang kornea ini biasanya diklasifikasikan dalam
lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis superfisial dan interstisial atau propunda.
Keratitis superfisial termasuk lesi inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman
superfisial.
Sangat penting untuk dilakukan penegakan diagnosis morfologis pada pasien yang
dicurigai dengan lesi kornea.Letak lesi di kornea dapat diperkirakan dengan melihat tanda-
tanda yang terdapat pada kornea.Pada keratitis epithelial, perubahan epitel bervariasi secara
luas mulai dari penebalan epitel, Punctate Epitelial Erosion (PEE), dan lecet kornea untuk
pseudodendrites.Dapat menjadi reaksi traumatis sekunder dan alergi terhadap lensa kontak.
Pada pewarnaan fluorescein terutama terlihat pada posisi pukul 3 dan pukul 9 kornea,
edema ringan dan vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi
partial. Pada keratitis stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang,
edema yang bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke
epitel kornea.
Periksa ketajaman visual dengan lensa kontak atau kacamata, jika pasien tidak
memiliki kacamata, gunakan lubang jarum dari occluder periksa pergerakan lensa kontak
dan defect kornea pada slit lamp. Minta pasien melepaskan lensa kontak jika mampu, dapat
menggunakan satu tetes proparacaine atau anestesi topikal lain untuk membuka mata agar
dapat diperiksa secara koperatif.7
Periksa reaktivitas pupil dengan senter, pemeriksaan slit lamp dengan memperhatikan
daerah konjungtiva bulbar dan palpebral untuk mencari setiap papillae atau folikel,
permukaan kornea untuk menyingkirkan ulkus kornea, dan reaksi pada ruang anterior mata.
Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada keratitis melalui
inspeksi dengan pencahayaan adekuat.Larutan flouresent dapat menggambarkan lesi epitel
superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan inspeksi biasa.Pemeriksaan
biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat
tersebut dapat digunakan sebuah loup dan dengan iluminasi yang terang.Pemeriksaan harus
melihat jalannya refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati-hati ke
seluruh kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat
terlihat.
Pasien biasanya mengeluhkan adanya sensasi benda asing, fotofobia dan air mata yang
berlebihan.Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi biasanya pada daerah
sentral.Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik – titik berwarna abu – abu yang kecil.
Tidak adanya terapi spesifik untuk keadaan ini, tergantung faktor penyebabnya.
Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-soluble yang tersedia
dalam beberapa sediaan : dalam larutan 0,25% dengan zat anestetik (benoxinate atau
proparacaine), sebagai antiseptic (povidone-iodine), maupun dalam zat pengawet sebagai
tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit. Floresens akan menempel pada defek epithelial
pungtata maupun yang berbentuk makroulseratif (positive stanining) dan dapat memberikan
gambaran akan lesi yang tidak berbekas melalui film air mata (negative staining). Floresens
yang terkumpul dalam sebuah defek epithelial akan mengalami difusi ke dalam strauma
kornea dan tampak dengan warna hijau pada kornea.
X. DIAGNOSIS BANDING
1. Ulkus kornea
Ulkus kornea merupakan hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian
jaringan kornea. Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya
kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal dua bentuk ulkus
kornea yaitu ulkus kornea sentral dan marginal atau perifer.
Penyebab ulkus kornea adalah bakteri, jamur, akantamuba, dan herpes simpleks. Bakteri
yang sering mengakibatkan ulkus kornea adalah Streptokokkus alfa hemolitik,
Streptokokkus aureus, Moraxella likuefasiens, Pseudomonas aeruginosa, Nocardia
asteroids, Alcaligenes sp., Streptokokkus beta hemolitik, dll. Pada ulkus kornea yang
disebabkan jamur dan bakteri akan terdapat defek epite yang dikelilingi leukosit
polimorfnuklear. Bila infeksi disebabkan virus, akan terlihat reaksi hipersensitivitas
disekitarnya.
Gejala yang dapat menyertai adalah terdapat penipisan kornea, lipatan descement reaksi
jaringan uvea, berupa hipopion, hifema dan sinekia posterior. Pemeriksaan laboratorium
sangat berguna untuk membuat diagnosa kausa. Pemeriksaan jamur dilakukan dengan
sediaan hapus yang memakai larutan KOH.
2. Konjungtivitis
Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang
menutupibelakang kelopak dan bola mata.Konjungtivitis menunjukkan gejala yaitu
hiperemi konjungtiva bulbi, lakrimasi, eksudat dengan secret yang lebih nyata di pagi hari,
pseudoptosis akibat kelopak membengkak dan mata terasa seperti ada benda asing.
Ulkus kornea dapat diadiagnosis banding dengan konjungtivitis dilihat dari gejala mata
merah yang terjadi.Pada konjungtivitis kornea masih jernih dan terang sehingga
tidakada gangguan visus yang berbeda dengan ulkus kornea dimana terjadi kekeruhan lensa.
3. Uveitis
Uveitis adalah peradangan pada jaringan uvea. Uveitis bisa disebabkan oleh infeksi
bakteri, virus,jamur, parasite dan rickettsia uveitis. Gejalanya samaseperti keratitis,ada
nyeri,fotofobia, lakrimasi, blefarospame, penurunan visus dan mata merah. Yang
membedakan keratitis dan uveitis adalah pada uveitis, sering terjadi hipopion, yaitu
endapan pus akibat keratic precipitate(KP) dan adanya sinekia anterior atau posterior, yaitu
perlengketan di bilik mata depan atau belakang. Hal ini bisa menyebabkan kelainan pada
tekanan intraokular, sama ada menigkat atau menurun tekanannya.pada uveitis juga, adanya
flare, yaitu sel-sel radang yang tertumpuk di bilik mata depan.
4. Keratomikosis
Keratomikosis merupakan suatu infeksi kornea oleh jamur.Biasanya dimulai oleh suatu
ruda paksa pada kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian-bagian tumbuhan.
Setelah beberapa hari pasien akan merasa sakit hebat pada mata dan silau.1
Keratomikosis dapat didiagnosis banding dengan ulkus kornea karena menujukkan
gambaran yang sama pada kornea. Untuk mendiagnosis keratomikosis perlu
dilakukan pemerikasaan KOH dimana diharapkan pada kerokan kornea ditemukan adanya
hifa.
XII. PENATALAKSANAAN
Terapi awal yang digunakan pada keratitis superfisial adalah dengan trifluorothymidine 1%
tetes (Viroptic) 9 kali sehari atau vidarabine 3% ointment (Vira-A) 5 kali sehari pada mata yang
terinfeksi. Jika ada fotofobia, bisa ditambahkan agen cyclopegic (seperti scopolamine 0,25% TID)
untuk mengurangkan spasme iris dan memberikan lebih kenyamanan kepada pasien. Pada area yang
terlibat secara ekstensif, dipertimbangkan untuk dilakukan debridemen pada epitelium yang terlibat
setelah diberikan agen antivirus dengan menggunakan aplikator cotton-tip yang steri atau intrumen
yang separa tajam di bawah pengaruh anestesi propacaine topikal.
Terapi suportif dengan lubrikans topikal seperti air mata artifisial seringkali adekuat pada
kasus-kasus yang ringan. Air mata artifisial dapat mengurangi sisa produk inflamasi yang tertinggal
pada reservoir air mata. Mereka tidak hanya bekerja sebegai lubrikans, tapi juga sebagai agen
pembersih, pembilas dan dilusi dari film air mata serta sebagai agen pemoles dari epitel superfisial
untuk membentuk kembali microvillae dan menstabilkan lapisan mucin dari air mata.
Tergantung dari keparahan gejala pada pasien, air mata artifisial dengan viskositas berbeda
(dari tetes mata hingga jel viskositas tinggi) diresepkan pada pasien dan diaplikasikan dengan
frekuensi yang berbeda. Pada keratitis akibat pemaparan (exposure keratitis ), jel atau krim dengan
viskositas yang tinggi digunakan karena waktu retensinya yang panjang.
Antibiotik sistemik digunakan apabila terdapat ekstensi ke sklera akibat infeksi atau
didapatkan adanya ancaman perforasi pada pasien. Levofloxacin maupun ofloxacin memiliki
penetrasi aqueous dan vitreus yang baik dengan pemberian oral. Tidak perlu untuk menangani
pasien hingga seluruh lesi di kornea hilang. Akan tetapi penanganan dilaksanakan hanya hingga
pasien dapat mencapai titik kenyamanan.
Terapi pembedahan, emergency keratoplasty diindikasikan untuk mengobati suatu
descemetocele atau ulkus kornea perforasi pada daerah nekrosis yang luas dan memerlukan flap
konjungtiva untuk mempercepat penyembuhan. Stenosis atau penyumbatan dari sistem lakrimal
yang lebih rendah yang mungkin mengganggu penyembuhan ulkus harus dikoreksi melalui
pembedahan.1Sesegera mungkin melakukan pemeriksaan tes bakteriologis dan tes resistansi untuk
mendapatkan hasil yang lebih dini, agar dokter segera melakukan terapi empiris pada agen patogen.
Pada keadaan keratitis yang tidak berespon dengan pengobatan mungkin agen patogen tersebut
belum diidentifikasi secara positif, pasien tidak menggunakan antibiotik yang dianjurkan dokter,
agen patogen tersebut resisten terhadap antibiotik, ataukah keratitis ini tidak disebabkan oleh
bakteri, tetapi oleh salah satu patogen berikut: 1.Herpes simplex virus, 2.Jamur, 3. Acanthamoeba,
atau agen patogen langkah seperti 4. Nocardia atau mycobacteria.
XIII. KOMPLIKASI
Komplikasi keratitis dapat berupa :
1. Hipopion: sebagai proses perluasan pada kasus yang tidak diobati, jaringan uveal anterior
yang disusupi oleh limfosit, sel-sel plasma dan PMNLs bermigrasi melalui iris ke kamera
anterior.
2. Penyembuhan: membentuk jaringan parut atau sikatriks di lokasi sebelumnya sekiranya
jejas terjadi melebihi epitel, melewati stroma. Sikatriks yang dapat dibagi menjadi 3 yaitu
nebula , macula dan leukoma.
Leukoma : distroma . Denganmatatelanjang bisadilihat
Makula disubepitel. Dengan senter bisadilihat
Nebula di epitel dengan slit lamp atau dengan loop bisa dilihat
3. Ulkus kornea
Descemetocoele: membran descemet yang tahan terhadap collagenolysis dan mengalami
perbaikan dengan pertumbuhan epitel kearah anterior membran kornea, Kondisi ini lebih
umum sebagai sekuel keratitis virus
4. Perforasi
XIV. PROGNOSIS
Dengan pengobatan dini yang memadai, banyak jenis keratitis dapat sembuh dengan sedikit
atau tanpa bekas luka sama sekali, secara umum prognosis dari keratitis superfisialkarena tidak
terdapat jaringan parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan metode penanganan yang
dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien dengan keratitis herpetika sangat baik. Jika
infeksi mengenai bagian mata yang lain, terapi tambahan mesti dilakukan untuk menyingkirkan
infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas. 2nd edition.
Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 462-466.
2. Ilyas S. Ilmu penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010.
3. K.Weng Sehu et all. Opthalmic Pathology. Blackwell Publishing. UK. 2005. p.62.
4. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi
ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13
5. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophtalmology. Thieme. 2006. p.
97-99
6. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eye Foutrth Edition. BMJ Books. p. 17-19.
7. Tasman W, Jaeger EA. Duane’s Ophtalmology. Lippincott Williams & Wilkins Publishers.
2007
8. Chern KC. Emergency Ophtalmology a Rapid Treatment Guide. Mc Graw-Hill. 2002.
9. Raymond L. M. Wong,R. A. Gangwani,LesterW. H. Yu,and Jimmy S. M. Lai.New
Treatments for Bacterial Keratitis. Department of Ophthalmology, Queen Mary Hospital,
Hong Kong. 2012
10. Ann M. Keratitis. AccesedMay 18th, 2015
11. AK Khurana. Comprehensive Opthalmology. 4thed. New Age International(P)
Limited Publisher. 2007.
12. E. Erica. Keratitis Achantamoeba, December 2nd, 2014.
13. Dua HS et al. Dua’s layer: Its discovery, characteristics and application. Secoir. 2014.
14. Eva PR, Witcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology 17th edition. 2007.