Anda di halaman 1dari 30

MINI C-EX

PTERIGIUM

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Mata RSUD dr.Tjitrowardojo Purworejo

Dokter Pembimbing:
dr. Evita Wulandari, Sp. M

Disusun Oleh:
Kurnia Sasmita Dewi
20184010150

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RSUD DR TJITROWARDOJO PURWOREJO
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

MINI C-EX

PTERIGIUM

Disusun Oleh :
Kurnia Sasmita Dewi
20184010150

Telah disetujui dan dipresentasikan pada Oktober 2019

Mengetahui,
Doter Pembimbing

dr. Evita Wulandari, Sp.M


BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Usia : 36 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Nglawiyan RT 2/6 Karangjati

Tanggal Pemeriksaan : 2 Oktober 2019

No RM : 00340188

B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Terdapat selaput putih pada mata kanan sejak kurang lebih satu tahun.

2. Keluhan Tambahan

Mengganjal, terasa pegal, dan gatal

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Dr. Tjitrowardojo Purworejo


dengan keluhan terdapat selaput putih pada mata kanan yang sudah ada
sejak satu tahun. Selaput putih tersebut dirasa makin lama makin menebal.
Mata kanan juga dikeluhkan mengganjal, terasa pegal, gatal. Keluhan
nyeri pada mata, silau, maupun mata berair disangkal.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma (-)
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat penyakit mata maupun operasi mata disangkal.
Riwayat hipertensi dan DM disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa

Riwayat alergi dan asma dalam keluarga (-)

Riwayat Hipertensi dan Diabetes Mellitus dalam keluarga disangkal

6. Riwayat Personal Sosial :

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama anak,
menantu, dan cucunya. Sehari-hari pasien beraktifitas membersihkan rumah,
dimana halaman rumah pasien berupa pasir dan tanah sehingga sehari-hari
pasien sangat mudah terpapar debu dan paparan sinar matahari jika sedang
membersihkan halaman rumah,

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Frekuensi Nadi : 90 kali/menit

Frekuensi Nafas : 25 kali/menit

Suhu : Afebris
2. STATUS OPHTALMOLOGIS

Gambar 1. Mata kanan Pasien

Gambar 2. Mata Kiri Pasien


Tabel 1. Hasil pemeriksaan Mata Pasien

Pemeriksaan OD OS
Visus 5/10 5/10
Palpebra
Spasme (-) (-)
Odem (-) (-)
Retraksi (-) (-)
Sikatrik (-) (-)
Lesi (-) (-)

Terdapat jaringan
fibrovaskular
berbentuk segitiga,
Konjungtiva dengan puncak di
limbus dan posisi di
nasal.

Odem (-) (-)


Hiperemis
Inj. Konjungtiva (-) (-)
Inj. Perikornea (-) (-)
Sub. Konj. Bleeding (-) (-)
Sekret
Serose (-) (-)
Mukoid (-) (-)
Purulen (-) (-)
Mukopurulen (-) (-)
Kornea Terdapat puncak
jaringan
fibrovaskuler di
limbus
Kejernihan Jernih Jernih
Permukaan Licin Licin
Edema (-) (-)
Infiltrat (-) (-)
Sikatrik (-) (-)
Neovaskularisasi (-) (-)

COA Dalam Dalam


Isi Jernih Jernih

Iris / Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 3 mm 3 mm
Kedudukan Sentral Sentral
Refleks direk (+) (+)
Refleks indirek (+) (+)

Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Letak Sentral Sentral

TIO N N

Funduskopi Refleks fundus (+) Refleks fundus (+)


D. USULAN PEMERIKSAAN

 Pemeriksaan slit-lamp

D. DIAGNOSIS BANDING

 OD Pterigium
 OD Psudopterigium
 OD Pinguekula

E. DIAGNOSIS KERJA

OD Pterigium Grade I

F. PENATALAKSANAAN

1. Farmakologi
 Pelumas
Artificial tears ed 6xOD, mengandung 3 senyawa kimia aktif yaitu Sodium
Klorida, Kalium Klorida, dan Benzalkonium Klorida
2. Non Farmakologi
 Lindungi mata dari sinar matahari dan debu dengan menggunakan
kacamata pelindung/kacamata gelap

G. PROGNOSIS

Advitam : Dubia ad bonam

Adsanationam : Dubia ad malam

Advisam : Dubia ad malam

Adkosmetikam : Dubia ad malam


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan

aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Nama konjungtiva (conjoin:

bergabung) diberikan kepada membran mukosa ini karena fakta bahwa ia

menghubungkan bola mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata

ke limbus, dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang

terbuka di depan fissura palpebral.

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

Konjungtiva palpebralis. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata

dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva

marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata

sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus

subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebih

tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian

ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah, hanya

melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal

dan forniks.
Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada

limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea.Bagian ini

dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat

sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva

limbal.

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan

konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada

struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar dengan struktur di

bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena

perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama

bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.

Gambar 3. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks, konjungtiva

palpebralis.
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan

lapisan fibrosa.

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah

dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis

epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan

superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar.

Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri

dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri

dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6

lapis) epitel berlapis gepeng.

2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari

retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit. Lapisan ini

paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak di temukan ketika bayi

lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan

bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.

3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan

ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana

lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari

konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah

konjungtiva bulbar.
Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar

lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak

di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz

(ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mucus yang

penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri

dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42

buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di

sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).

Gambar 4. Histologi konjungtiva normal

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah muda

dari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya berbentuk

cekung. Karunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di canthus bagian

dalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan modifikasi kulit dan ditutupi

dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar keringat, kelenjar sebasea dan folikel

rambut.

B. Pterigium

a. Definisi
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium (berasal dari

bahasa Yunani yaitu “Pterygos” yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan

subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva

bulbar yang berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan

kornea.

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah

kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah

kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di

daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian

pterygium akan berwarna merah.

b. Epidemiologi

Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia,

dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Pada populasi yang

terkena, pertumbuhan pterigium telah terlihat pada remaja muda dan banyak

terjadi di masyarakat di padang pasir. Pterigium terlihat hampir dua kali lebih

sering pada laki-laki daripada wanita.

Secara umum studi lain tentang pterigium, prevalensi pterigium di

Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang berbeda dengan

beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.


Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi

visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi

sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :

1. Jenis Kelamin

Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih

banyak dibandingkan wanita.

2. Umur

Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.

Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi,

sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi

pterigium yang paling tinggi.

c. Etiologi

Etiologi pterigium sepenuhnya belum diketahui. Tetapi penyakit ini lebih

sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling

mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar

sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini,

beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai faktor etiologi.

Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal

pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini

mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan

proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling

signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan


bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat dalam patogenesis

pterigium.

d. Patofisiologi

Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus

terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan

bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai

peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang

melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan

ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan

pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya

bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak

dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva

akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke

meatus nasi inferior.

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium.

Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya.

Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen

suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa

adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta

akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada

sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis

termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan


fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja

normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih

banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping

kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara

tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal

konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian

temporal.

Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali

muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari. Cahaya

matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh

dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih

sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh

lebih pendek dibanding bulu mata di daerah temporal.

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas,

termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu

regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi

beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan. Adanya

perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah dievaluasi oleh beberapa studi

menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA.

Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) bersama dengan

tumor necrosis factor (TNF-α) membantu keratosit korneal beradaptasi

memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor
integrin dan IL-8 melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor

pertumbuhan yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth

factor (EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth

factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived growth

factor (PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and insulin-like growth

factor binding proteins (IGF-BP).

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh

fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap

berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab

terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan

konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat

menggunakan RT-PCR assay.

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan

proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.

Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan

basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat

dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang

sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.

e. Klasifikasi

Pterigium dapat dikelompokkan ke dalam beberapa klasifikasi:

Berdasarkan luas pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

 Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea


 Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm
melewati kornea
 Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil
mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
 Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:

- Pterigium progresif : tebal, berdaging, dan vaskular dengan beberapa infiltrat di

kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).

- Pterigium regresif : tipis,atrofi, dengan sangat sedikit vaskularisasi. Tidak terdapat

kepala pterigium (cap pterigium). Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak

pernah hilang.

Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus

diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3, yaitu:

- T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat.

- T2 (intermediet): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.

- T3 (fleshy,opaque): pembuluh darah seluruhnya tidak terlihat.

f. Gambaran Klinis
Pterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar

rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai

lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal. tetapi juga

dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea

anterior disebut “Stocker’s line”. Pterigium terdiri dari tiga bagian :

- Caput

- Apeks (bagian apikal yang muncul pada kornea),

- Collum (bagian limbal),

- Corpus (bagian sklera) membentang antara limbus dan canthus.

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi

kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian

tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat

menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada

jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular,

pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.


Gambar9. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan

terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B)

Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang

mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung

g. Diagnosis

 Anamnesis

Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari

tanpa gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan, pembengkakan,

gatal, iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari

konjungtiva dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada

intoleransi kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya

menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi

pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang

menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan

mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan

ganda atau diplopia.

 Pemeriksaan fisik

Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan

fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering

ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat

pula ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya.


 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah

topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat seberapa

besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.

h. Diagnosis Banding

 Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang

merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada

pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang

cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkus kornea,

dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea. Pseudopterigium dapat

ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura palpebra seperti halnya pada

pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya

sedangkan pada pterigium tidak. Pada pseudopterigium melalui anamnesa selalu

didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea.


Gambar 10. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal

konjunctiva bulbar yang diikuti luka bakar asam lokal

 Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang

berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal

limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena

kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi

tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.

Gambar 11. Pingueculum (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang

berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea.


i. Penatalaksanaan

Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan

pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan

yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual.

Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating

drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali

penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal anti-inflamasi

(misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan

kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih

lanjut.

Terapi pembedahan

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang

dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler :

- Mengganggu visus

- Mengganggu pergerakan bola mata

- Berkembang progresif

- Mendahului suatu operasi intraokuler

- Kosmetik

Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apeks, collum dan

corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan
gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah

menyerang kornea sering dihilangkan dengan pisau bedah. Dilakukan usaha untuk

mengidentifikasi bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium

sekaligus mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan

stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan

pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah yang

digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium:

1. Bare sclera : tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva

dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus, menyisakan area sklera

yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima karena tingginya tingkat

rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak

direkomendasikan).

2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik

ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk

memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk

membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas

eksisi.

5. Conjungtival graft: Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan

setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan

pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit


di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan

untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati

jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan

dan orientasi akurat dari grafttersebut. LawrenceW. Hirst, MBBS, dari Australia

merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah

dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini

Gambar 12. Teknik Operasi Pterigium

Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi masalah

yakni sekitar 30-50%. Eksisi Pterigium sering dikombinasikan dengan berbagai

langkah-langkah tambahan untuk mencegah rekurensi penyakit. Hal ini mungkin

secara luas diklasifikasikan sebagai metode medis adjuvan atau tambahan, beta-

iradiasi, dan metode pembedahan.

Transplantasi Membran Amnion


Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah

kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran

amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa

itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan

dan fibrosis dan epithelialisasi. Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam

pada studi yang ada,diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterigium primer

dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari

teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian konjungtiva bulbar.

Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal

menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah

menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu transplantasi membran

amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah

digunakan dalam autograft konjungtiva.

Terapi adjuvant

Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering digunakan

sebagai terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi pterigium. Beberapa

alternatif medis lainnya, seperti 5-fluorouracil dan daunorubisin, juga telah

dicoba.

Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah kekambuhan

pterigium primer dan untuk pterigium berulang. Tingkat kekambuhan yang

berhubungan dengan terapi mitomycin C secara signifikan lebih rendah

dibandingkan dengan eksisi bare sclera. Pada dasarnya dua bentuk aplikasi

mitomycin C yang saat ini digunakan - aplikasi intraoperatif pada spons bedah
yang direndam dalam larutan mitomycin C diterapkan secara langsung ke sclera

setelah eksisi pterigium, dan penggunaan pasca operasi mitomycin C topikal

sebagai obat tetes mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan

terkait penggunaan mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak berbeda

secara signifikan.

Dadeya dan Kamlesh mendemonstrasikan secara statistik perbedaan

signifikan dalam perbedaan tingkat kekambuhan pasien yang diobati dengan

daunorubisin dan mereka yang diobati dengan plasebo air. Mata yang diobati lebih

chemotic (20%), namun, dengan 6,7% setelah epitelisasi tertunda, dibandingkan

dengan mata kontrol, yang tidak memiliki komplikasi yang sama.

j. Komplikasi

Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut)


pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar
pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia.

Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:

 Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan
komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage
atau retinal detachment.
 Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting pada
sklera dan kornea.
 Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium
post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira
50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion
graft.
 Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di
atas pterigium.
k. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan

pasien dapat beraktivitas lagi setelah 24-48 jam post operasi. Pasien dengan

pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto

graft atau transplantasi membran amnion.


DAFTAR PUSTAKA

Dzunic B, Jovanovic P, Et Al.Analysis Of Pathohistological characteristics Of Pterigium.

Bosnian Journal Of Basic Medical Science. 2010;10 (4) : 308-13.

Raju Kv, Chandra A, Doctor R. Management Of Pterigium- A Brief Review. Kerala Journal

Of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.

Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The Bombay

Ophthamologists’ Association. 2008;11(4):129-30.

Chui J, Coroneo Tm, Et Al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder With Premalignant

Features. The American Journal Of Pathology. 2011;178(2):817-27.

Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-IV. FK UI. 2011;116

Aminlari,A dkk. Management Of pterigium. Opthalmic Pearl Cornea.2010

Mathias, F. New Treatment Option for pterigium. Expert reviw of opthalmology. 2017

Anda mungkin juga menyukai