Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya bilateral di sisi nasal. Keadaan ini diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, daerah yang kering dan lingkungan yang banyak angin, karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu atau berpasir. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft konjungtiva dan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan. I.2 I.3 I.4 RUMUSAN MASALAH I.2.1 Bagaimana etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Pterigium? TUJUAN I.3.1 Mengetahui etiologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan Pterigium. MANFAAT I.4.1 I.4.2 Menambah wawasan mengenai penyakit mata khususnya Pterigium. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit mata.

BAB II STATUS PASIEN

2.1

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Umur Alamat Pendidikan Pekerjaan Status Suku Bangsa Tanggal Periksa No. RM : Ny.T : Perempuan : 45 tahun : Dampit : SD : Petani : Menikah : Jawa : 21 Juli 2011 : 260483

2.2

Anamnesa
1. Keluhan Utama : mata kanan dan kiri terdapat selaput dan terasa ngganjel. 2. Riwayat Penyakit Sekarang : Seorang pasien perempuan umur 45 tahun datang

ke poliklinik Mata RSUD Kepanjen dengan keluhan mata kanan dan kiri terdapat selaput dan terasa ngganjel. selaput pada mata kiri lebih dulu muncul sejak 2 tahun lalu, sedangkan pada mata kanan mulai muncul sejak 1 tahun lalu. selaput tersebut semakin lama semakin melebar ke bagian tengah mata. Selain itu pasien mengeluh matanya terasa perih jika terkena angin, dan air saat mandi, gatal, seperti berpasir dan keluar air mata berlebih. Pasien belum berobat sebelumnya. Pasien mengatakan sering terpapar sinar matahari dan debu, seharihari pasien sering naik motor untuk pergi ke sawah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu: riwayat penyakit serupa (-), kencing manis (-),

darah tinggi (-), alergi makanan & obat (-), trauma (-), mata merah (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat penyakit serupa (+), kencing manis (-),

darah tinggi (-),alergi makanan & obat (-)


5. Riwayat Pengobatan: (-) 6. Riwayat Kebiasaan: pasien setiap hari naik motor untuk berangkat bekerja di

sawah

2.3

Status Generalis Kesadaran : compos mentis (GCS 456) Vital sign : Tensi : dalam batas normal Nadi : dalam batas normal RR : dalam batas normal Suhu : dalam batas normal

2.4

Status Oftalmologi

Pemeriksaan AV Tanpa koreksi Dengan koreksi TIO Kedudukan Pergerakan Palpebra - Odem - Hiperemi - Trikiasis Konjungtiva - Tarsal - Bulbi

OD 6/6 Tidak dilakukan N/P orthophoria

OS 6/6 Tidak dilakukan N/P Othophoria

Hiperemi (-) Selaput putih di sisi nasal melewati limbus < 2 mm Jernih Cembung Cukup Hitam, kripte (+) Bulat, central, RC (+) jernih Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hiperemi (-) Selaput putih di sisi nasal melewati limbus > 2 mm, belum lewat pupil Jernih Cembung Cukup Hitam, kripte (+) Bulat, central, RC (+) jernih Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Kornea - warna - permukaan - infiltrate Bilik mata depan - kedalaman - hifema - hipopion Iris Pupil Lensa - warna - Iris shadow Vitreus Retina

2.5

Diagnosa Working diagnosis Differential Diagnosis : OD Pterigium Stadium II OS Pterigium Stadium III : Pseudopterigium, Pengikula

2.6

Penatalaksanaan
-

Planning Diagnosis Planning Therapy

: Slit Lamp, Lab.Gula darah : OS CLG (25 Juli 2011) C Lyteers ED 6 dd gtt 1 ODS

2.7

Prognosa Ad vitam: ad bonam Ad Functionam: dubia ad malam Ad Sanationam: dubia ad malam

2.8

Persipan Operasi (25 Juli 2011) Pengukuran tekanan darah: T:140/90 mmhg GDS : 93 mg/dL Bulu mata pada mata kiri dipotong Pelaksanaan operasi (25 Juli 2011) Laporan operasi
Diagnose prabedah: OS Pterigium Stadium III Diagnose pasca bedah: OS post CLG

Tindakan pembedahan: CLG


Laporan pembedahan:

anastesi subconjunctiva incise kecil pada konjungtiva menuju medial head dari pterigium ambil pterigium dengan dikerok untuk mengangkat lapisan tipis epithelium dengan kombinasi deseksi tumpul dan traksi Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, sebelumnya diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah mendiseksi konjungtiva dari tenon selama pengambilan autograft.

Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang akan digraft.

- Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan menggunakan nylon - olesi mata dengan salep kloramfenicol kemudian tutup dengan kassa steril
Instruksi pasca bedah : -

medikamentosa:C. Inmatrol ED 6x1 tetes, Asam mefenamat

3x1 tab, amoksisilin tab 3x1

2.9 Follow Up: Tanggal 27 Juli 2011 S : tidak ada keluhan O: Status Ophtalmologis

KIE

Pemeriksaan AV Tanpa koreksi Dengan koreksi TIO Kedudukan Pergerakan Palpebra - edema - hiperemi - trikiasis Konjungtiva - tarsal - bulbi

OD 6/6 Tidak dilakukan N/P orthophoria

OS 6/12 Tidak dilakukan N/P Orthophoria

Hiperemi (-) Selaput putih di sisi nasal melewati limbus < 2 mm Jernih Cembung Kedalaman cukup Hitam, kripte (+) Bulat, central, RC (+) Jernih Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hiperemi (+) Hiperemi (+)

Kornea - warna - permukaan - infiltrate Bilik mata depan - kedalaman - hifema - hipopion Iris Pupil Lensa - warna - Iris shadow Vitreus Retina

Jernih Cembung Kedalaman cukup Hitam, kripte (+) Bulat, central, RC (+) Jernih Tidak dilakukan Tidak dilakukan

A : OD Pterigium Stadium II OS post CLG P : C.Inmatrol ED 6 dd gtt 1 OS

BAB III TELAAH KASUS

3.1

Anatomi & Fisiologi Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian

3.1.1 Anatomi Konjungtiva belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. 2 Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : - Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari tarsus. - Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva

bulbi 2 Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak 2

3.1.2 Anatomi kornea Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 2 Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu : 1. Epitel

Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

2. Membran Bowman Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. 3. Stroma

Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. 2

4. membrane descement

merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40m.2 berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m. endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. 2

5. Endotel

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 2 Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.2

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea. 2

3.2

Definisi Pterigium Pterygium ( baca :ter igee um) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya

wing atau sayap. Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.2

3.3

Epidemologi Pterigium Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.8 Di Indonesia, hasil survei Departemen Kesehatan RI Tahun 1982 pterigium menempati urutan ketiga terbesar (8,79 %) dari penyakit mata. Hasil survei nasional tahun 1993-1996

tentang angka kesakitan mata di 8 propinsi di Indonesia menempatkan pterigium pada urutan kedua (13,9 %).3 Gizzard dkk dalam penelitian di Indonesia menemukan bahwa angka prevalensi tertinggi ditemukan di propinsi Sumatra.4 Sedangkan dari survei kesehatan indra penglihatan dan pendengaran tahun 1995 prevalensi penyakit mata di Sulawesi Utara menempatkan pterigium pada urutan pertama (17,9 %).5 Mandang pada tahun 1970 menemukan 14,69 % pterigium khususnya di 19 desa dan 17,50 % pterigium di 3 ibukota kecamatan di Kabupaten Minahasa. Di Minahasa, pterigium merupakan penyakit mata nomor 3 sesudah kelainan refraksi dan penyakit infeksi luar. Mangindaan IAN, Bustani NM melaporkan 21,35 % pterigium di 2 desa di Kabupaten Minahasa Utara, hasil 12,92 % pada pria dan 8,43 % pada wanita, 9,55 % berusia di atas 50 tahun, dengan pekerjaan petani sebesar 10,11 % terbanyak adalah pterigium stadium 3 yaitu 42,11 % yang tumbuh di bagian nasal sebesar 55,26 %.6,7 3.4 Etiologi Pterigium Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi yang disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, pasir, cahaya matahari, lingkungan dengan angina yang banyak dan udara yang panas selain itu factor genetik dicurigai sebagai factor predisposisi.9,10 Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter. 1. Radiasi ultraviolet Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting. 2. Faktor Genetik Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan. 3. Faktor lain Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal. efisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.11

10

3.5

Patofisiologi Pterigium Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada

orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini.12 Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. 12,13 Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra.4 Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi. 4 3.6 Gejala dan Tanda Pterigium Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, tajam penglihatan menurun.

11

Dari pemeriksaan didapatkan adanya penonjolan daging, berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva interpalpebrae sampai kornea, tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang berwarna coklat kemerahan, umumya tumbuh di daerah nasal (pada 90% kasus). Dibagian depan dari apek pterigium terdapat infiltrate kecil-kecil yang disebut islet of Fuch. Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang kadang-kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita.15,16,17 Klasifikasi Pterygium: 1. Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja. 2. Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal. Pterygium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu pterygium progresif dan pterygium regresif: 14
Pterygium progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan

kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).


Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Tipe ini akhirnya akan membentuk

membran yang tidak hilang. Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu : 18
Derajat 1: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea. Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati

kornea.
Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam

keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm)


Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Pterigium derajat 2

Pterigium derajat 3

12

Pterigium derajat 4

3.8 Diagnosa Banding Pterigium 3.8.1 Pseudopterigium Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea.5,6

Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah 5 -

Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea seperti ukak kornea, sedangkan pterigium tidak. Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea sebelumnya. Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedang

pseudopterigium tidak. Jumlah pembuluh darah pada pseudopterigium sama dengan keadaan pembuluh darah normal. Pseudopterigium dapat diselipi sonde dibawahnya, sedang pterigium tidak Pterigium bersifat progresif, pseudopterigium tidak. Pinguekula merupakan penebalan pada konjungtiva bulbi berbentuk segitiga dengan puncak di perifer dasar di limbus kornea, berwarna kuning keabu-abuan dan terletak di celah kelopak mata. Timbul akibat iritasi oleh angin, debu dan sinar matahari yang berlebihan. Biasanya pada orang dewasa yang berumur kurang lebih 20 tahun.1

3.8.2 Pinguekula

13

Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering terdapat hanya dua lapis sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen stroma berdegenerasi hialin yang amorf kadang-kadang terdapat penimbunan serat-serat yang terputus-putus. Dapat terlihat penimbunan kalsium pada lapisan permukaan. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam Pinguekula akan tetapi bila meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang melebar. Tidak ada pengobatan yang khas, tetapi bila terdapat gangguan kosmetik dapat dilakukan pembedahan pengangkatan.1
3.7 Penatalaksanaan Pterigium

3.7.1

Non Farmakologi Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko

berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung. 3.7.2 Farmakologi Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea. 3.7.3 Bedah Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat. 1. Indikasi Operasi Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

14

Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus
Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6

2. Teknik Pembedahan Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.1 Teknik Bare Sclera Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.1 Teknik Autograft Konjungtiva memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.1
(a) Pterygium (b) Pterygium diangkat (c) daerah yang diangkat (d) Konjungtiva di daerah yang tidak terkena sinar UV (misal dibawah palpebra superior) diangkat (e) konjungtiva tersebut ditransplant

15

Cangkok Membran Amnion Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.1 3.7.4 Terapi Tambahan Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.1 MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.1 Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.1 Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian: 1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.

16

2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone. 3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6

minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.6
3.8 Komplikasi Pterigium 1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut: -

Gangguan penglihatan Mata kemerahan Iritasi Gangguan pergerakan bola mata. Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea Dry Eye sindrom 3 Infeksi Ulkus kornea Graft konjungtiva yang terbuka Diplopia Adanya jaringan parut di kornea 3

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut: -

3.9 Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.6
3.10

Prognosa Pterigium

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. 6 Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi. 6

17

Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.

BAB IV PENUTUP

4.1

Kesimpulan Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosa OD Pterigium stadium II dan

OS pterigium Stadium III. Terapi yang diberikan adalah C. Lyteers, OS CLG. Terapi post CLG dengan C. Inmatrol, Asam Mefenamat, dan Amoksisilin. Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab dari piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena faktor degeneratif. Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya. Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.
4.2

Saran Pemberian KIE kepada masyarakat awam mengenai cara mencegah timbulnya pterigium

yaitu dengan cara melindungi mata dengan topi dan kaca mata.

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 117
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya

Medika. Jakarta. 2000 3. Sirlan F, Wiyana IGP. Survey morbiditas mata dan kebutaan di Indonesia, 1993-1996. Warta kesehatan mata. 1996 ; VII : 7. 4. Gazzard G, Pterygium in Indonesia : prevalence, severity and risk factors. Br. J Ophtalmol. 2002 ; 86 : 1341-46.
5. Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas. Laporan hasil survey kasehatan indra

penglihatan dan pendengaran di propinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Utara tahun 1995. Jakarta. 6. Oka Pn. The pterygium and its management. Dept ofophtalmology Airlangga university school of medicine dr. soetomo. General Hospital Surabaya, Indonesia. 1979 7. Mangindaan IAN, Bustani NM. Insiden pterigium di desa bahoi dan serei di pesisir pantai minahasa utara,2005
8. Jerome

Fisher,

PTERYGIUM.

2009.

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
9. Fisher JP. Pterigium. (Online) http://www.eMedicine.com 10. Ilyas S. Mata Merah dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003

11. Lazuarni. 2009. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat 2010. Tesis. Fakultas kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan
12. American Academy Of Ophthalmology. 2005-2006. Base and Clinical Science Course

,section 8, External Disease and Corne. P:344,403

19 13. Khurana A.K. 2007. Community Ophthalmology in Comprehensive Ophthalmology.

Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age international Limited Publisher.P: 443-457 14. T H Tan Donald et All. 2005. Pterigium.Clinical Ophthalmology. An Asian Perspective Chapter 3.2. Saunder Elsevier.Singapore. P: 207-214
15. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum ed 14. Widya

Medika. Jakarta. 2000


16. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Binarupa Aksara. Jakarta. 1983 17. Pterygium.

Handbook

of

Ocular

Disease

Management.

(Online)

http://www.revoptom.com diakses 3 Maret 2007 18. D. Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak W.S Gilbert,2006, Pterigium,Panduan Management Klinis Perdani, CV Ondo, Jakarta,P: 56-58
19. Ilyas S. Pterigium dalam Sari Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003 20. Ilyas S. Mata Merah dalam Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FK UI. Jakarta. 2003

21. Wisnujono S, dkk. Pterigium dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1994
22. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of

Pterygium 23. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 104
24. Jerome

Fisher,

PTERYGIUM.

2009

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

Anda mungkin juga menyukai