Astrid Amanda/ 406118023 Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Mata RSUD Kota Semarang Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Periode 13 May- 15 juni 2013 Pembimbing : dr. Hj. Nanik Sri Mulyani, Sp. M dr . Irastri , Sp.M
1.
-
Konjungtiva palpebra: melapisi bagian belakang palpebra superior dan inferior, dibagi menjadi 3 bagian ; Konjungtiva Marginal : zona transisi dari kelopak mata. Konjungtiva Tarsal : memiliki banyak pembuluh darah dan melekat erat pada lempeng tarsal. Konjungtiva Orbita : melapisi lempeng tarsal sampai dengan forniks.
2. Konjungtiva Forniks Tempat peralihan konjungtiva palpebra dengan bulbi. Terdiri atas jar. Ikat longgar dan lemak. Lebih tebal namun melekat longgar bola mata dapat bergerak bebas. Terbagi menjadi 4 bagian superior , inferior, lateral dan medial.
3. Konjungtiva Bulbi Konjungtiva tertipis dan sangat transparan sklera dan pembuluh darah dibawahnya terlihat dengan jelas. Melekat longgar kecuali pada bagian 3 mmdekat limbus dan dekat insersi mulculus recti.
Limbus (1) , adalah pertemuan antara konjungtiva dan kornea . Konjungtiva Bulbi (2) melapisi bola mata dan melebar ke dalam sudut yang dibentuk oleh konjungtiva forniks (3) . Kongjungtiva tarsalis (4 )melapisi bagian tarsus. Konjungtiva marginalis (6) terletak di batas kelopak ,dimana lapisan epitel mulai terkeratinisasi. (5) pungtum
lapisan : epitel dan lamina propria. Pada lamina propria : terdapat lap. Adenoid dan fibrosa. 1. Lapisan Epitel Konjungtiva 2-5 lapis lap. Sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Sel epitel superficial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus dispersi lap. air mata
plica semilunaris dan karankula memberi warna konjungtiva Sel langerhans, yang merupakan sel dendritik immune system ( APC)
2. Lamina Propria Epitel konjungtiva disangga oleh suatu jar ikat, disebut substansia propria , terdiri dari 2 bagian: A. Lapisan Adenoid Mengandung jar. Limfoid banyak limfosit CALT agregasi limfoid yg tdd dari limf. T dan B
konjungtivitis alergi, sel mast juga dapat ditemukan pada lap. Epitel konjungtiva.
B. Lapisan Fibrosa Banyak pembuluh darah dan saraf- saraf konjungtiva, kecuali pada bagian tarsal konjungtiva. Kelenjar Krause : pada jar. Subkonjungtival bag. dalam pada forniks superior dan inferior. Kelenjar Wolfring : lebih besar dibanding kelenjar Krause, terdapat 2-5 pada palpebra superior dan 1-3 pada palpebra inf.
Fungsi - Fungsi sekresi - Kebutuhan Oksigen untuk kornea - Melindungi mata dengan mekanisme nonspesifik dan spesifik.
Kornea adalah selaput bening mata yang dapat menembus cahaya, merupakan jar. Penutup bola mata sebelah depan yg tdd :
1.
Epitel : 5 lap. sel epitel tidak bertanduk yg tersusun rapi , merupakan lanjutan dari epitel konjungtiva bulbi.
2. Membrana Bowman : lamel- lamel tanpa sel atau nukleus ,modifikasi dari jaringan stroma. Hanya mempunyai sedikit daya tahan sehingga mudah rusak dan tak dapat dibentuk kembali. 3. Stroma : jaringan yang tersusun sejajar dan sangat rapi kornea sangat jernih
4. Membrana Descement : membrane aseluler, bersifat sangat elastic. Lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik lainnya. 5. Endotel : Berasal dari mesotelium, berlapis satu dan berbentuk heksagonal. Meliputi bagian posterior membran Descemet, membungkus meshwork dan iris.
Fungsi : membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahaya struktur yang uniform, avaskuler dan deturgenes Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea Fungsi sawar epitel dan stroma
II. PTERYGIUM
A. DEFINISI
Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva, bersifat degeneratif dan invasif, biasa terletak pada celah kelopak mata bagian nasal ataupun temporal konjungtiva, meluas ke daerah kornea. Berbentuk segitiga, dengan puncak di daerah kornea dan basis terletak pada konjungtiva bulbi di fisura palpebra.
B. EPIDEMIOLOGI
Tersebar di seluruh dunia
Prevalensi juga tinggi di daerah yang berdebu dan kering. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 400 Lintang. Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari yang tinggi, risiko timbulnya pterigium 44x lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan prevalensi 16,8%.
pertambahan usia. Terbanyak pada usia dekade dua dan tiga, Dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Rekurensi lebih sering pada usia muda dibanding tua. Dua kali lebih sering terjadi pada pria dibandingkan dengan wanita.
C. FAKTOR RESIKO
1. Radiasi ultraviolet 2. Faktor Genetik 3. Usia 4. Pekerjaan 5. Tempat tinggal 6. Faktor lain - Iritasi kronik / inflamasi pada area limbus atau perifer korea - Pterygium angiogenesis factor - Dry eye - Virus Papilloma - Pharmacotherapy antiangiogenesis
D. ETIOLOGI
Sampai saat ini, etiologi pterygium merupakan
sesuatu yang idiopatik Diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah iklim panas gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya.
E. PATOFISIOLOGI
F. KLASIFIKASI
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
body, apex (head) dan cap. 1. Bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, 2. Bagian atasnya disebut apex , 3. Ke belakang disebut cap. Subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium.
Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu : 1. Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterygium (disebut cap pterygium). 2. Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk membran tetapi tidak pernah hilang
kornea. Berikut adalah pembagian menurut Youngson: 1. Derajat 1 : Apeks pada kornea < 1,5 mm dari limbus 2. Derajat 2 : Apeks pada kornea < setengah radius kornea 3. Derajat 3 : Apeks pada kornea melebihi setengah radius kornea 4. Derajat 4 : Apeks mencapai pertengahan kornea
pada badan pterigium dengan melihat gambaran pembuluh darah episklera. Oleh Tan, dkk, pterigium dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Atropi/T1: Pembuluh darah episklera tampak jelas 2. Intermediate/T2: Hanya sebagian pembuluh darah episklera tampak 3. Fleshy/T3: Pterygium yang tebal sehingga pembuluh darah episklera tidak tampak
Spesialis Mata Indonesia 1. Derajat 1: Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea 2. Derajat 2: Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2mm melewati kornea 3. Derajat 3: Jika pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 34mm) 4. Derajat 4: Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan
letak pterygium,yaitu: 1. Pterygium Simpleks; jika pterygium hanya terdapat di nasal/ temporal saja. 2. Pterygium Dupleks; jika pterygium terdapat di nasal dan temporal.
Pterygium Simpleks
Nasal Pterygium Temporal Pterygium
Pterygium Duplex
darah, warnanya menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis bewarna putih dan stasioner. Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tidak ada keluhan sama sekali (asimptomatik). Jika terdapat keluhan pada fase awal, seringkali hanya keluhan kosmetik.
Mata sering berair dan merah 2. Merasa seperti ada benda asing 3. Timbulnya astigmatisme ehingga mengganggu penglihatan. 4. Pada pterygium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual tajam penglihatan juga menurun
1.
slit lamp diperiksa segmen anterior serta ditentukan derajat pertumbuhan pterygium. Tajam penglihatan penderita : kartu Snellen Pemeriksaan Tekanan Intra Okuler (TIO) memastikan tidak adanya penyakit penyerta lainnya (glaukoma). Pada pteryigum derajat 4 yang tidak dapat diukur dengan tonometer Schiotz palpasi digital. Astigmatisme kornea : keratometer baik secara manual atau menggunakan alat auto-refrakto-keratometer.
I. Diagnosa Banding
1.
Pinguekula: benjolan pada konjungtiva bulbi. Benjolan tersebut berbentuk kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi.
Pinguecula
2. Pseudopterygium : perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium terjadi akibat adanya inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea.
Pseudopterygium
J. PENATALAKSANAAN
Pterygium sering bersifat rekuren, terutama pada
pasien yang masih berusia muda. Pengobatan pterygium adalah dengan dilakukan pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmatisme ireguler atau pterygium yg telah menutupi media penglihatan
mengurangi iritasi maupun paparan terhadap ultra violet. Jika meradang diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan kortikosteroid, sediaan air mata buatan untuk lubrikasi permukaan ocular dan untuk mengatasi kerusakan tear film. Pada pasien pterygium derajat 3 dan 4, dilakukan tindakan bedah berupa pengangkatan pterygium
Tujuan utama dari pengangkatan pterygium ini yaitu: Memberikan hasil yang baik secara kosmestik. Mengupayakan komplikasi yang seminimal mungkin Angka kekambuhan yang rendah.
Indikasi eksisi pterygium sangat bervariasi a.l : Kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap Gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual Adanya gangguan pergerakan bola mata.
Terdapat beberapa macam cara atau teknik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu : 1. Bare sclera Tidak terdapat jahitan atau jahitan benang absorbable digunakan untuk melekatkan konjungtiva . Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka (bare sclera).
2. Simple closure Tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil). 3. Sliding flaps Suatu insisi berbentuk L dibuat disekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek.
4. Rotational flaps Insisi berbentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya. 5. Conjungtival grafts Suatu free graft, yang biasanya berasal dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
6. Amnion membrane transplantation keuntungan : a) Mengurangi frekuensi rekuren pterygium, b) Mengurangi fibrosis pada permukaan bola mata. c) Menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblast pterygium.
Beta- irradiation
Digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak. tidak direkomendasikan dan jarang digunakan.
MMC
Telah digunakan sebagai pengobatan tambahan
karena kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Dua bentuk MMC yang saat ini digunakan: 1. Aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan 2. Penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk
tetes/hari selama 5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu. 2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
7. Lamelar keratoplasty Excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid. Setelah operasi pengangkatan pterygium selesai dilaksanakan, mata yang dioperasi ditutup dengan kasa sepanjang malam dan diberikan antibiotik topikal dan anti inflamasi topikal beberapa kali sehari. Ganti kasa secara teratur, dan lakukan kontrol post operasi.
K. KOMPLIKASI
Komplikasi pada penyakit pterygium adalah: mata
merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea. Sedangkan pada pasien yang belum dieksisi, dapat terjadi : distorsi dan penglihatan sentral yang berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada.
Perforasi korneosklera, graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, granuloma konjungtiva ,skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus.
pterygium post operasi. Eksisi pterigium dengan operasi yang biasa, memiliki angka kekambuhan yang tinggi sekitar 50-80%. Angka rekurensi ini menurun menjadi sekitar 515% dengan penggunan konjunctival/limbal autografts atau amniotic membrane transplants pada saat melakukan eksisi.
L. PROGNOSA
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi
adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali
suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan kekambuhan pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya kekambuhan terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi.
seperti riwayat keluarga yang positif atau karena sering terpapar sinar matahari dalam waktu yang lama, disarankan untuk menggunakan topi dan pelapis UVblocking pada lensa kacamata saat berada di daerah dengan paparan sinar matahari tinggi. Pencegahan ini penting bagi pasien yang tinggal di daerah tropis atau subtropis dan bagi pasien yang memiliki aktivitas outdoor yang sangat tinggi paparan sinar mataharinya.
THANK YOU