OLEH :
KELOMPOK 6
TINJAUAN PUSTAKA.
Kornea adalah selaput bening mata yang dapat menembus cahaya, dan
merupakan jaringan penutup bola mata sebelah depan yang terdiri dari :
1. Epitel, terdiri dari 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih
2. Membrane Bowman, merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti strorma.
3. Stroma, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan yang lainnya.
4. Membrane descement, merupakan membrane aseluler, bersifat
sangat elastik
5. Endotel, yang berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk
heksagonal.
Kornea disarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus dan saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane
bowman melepaskan selubung schwannya. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma
atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Kornea merupakan tempat pembiasan sinar terkuat, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh
kornea.
Fisiologi
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan
strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgenes. Deturgenes, atau
keadaan dehidrasi relative jaringan kornea dipertahankan oleh pompa
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.
2.2. PTERIGIUM
collum
corpus
corpus
Gambar 2. Bentuk Pterigium
apeks
Pterigium memiliki tiga bagian :
1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas
zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini
menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi
(iron line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini
juga merupakan area kornea yang kering.
2. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap,
merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti
halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang
mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang
paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.
2.2.6. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif
seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar
ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata
buatan/topical lubricating drops.6,9
2. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
a. Menurut Ziegler :
a) Mengganggu visus
b) Mengganggu pergerakan bola mata
c) Berkembang progresif
d) Mendahului suatu operasi intraokuler
e) Kosmetik
b. Menurut Guilermo Pico :
a) Progresif, resiko rekurensi > luas
b) Mengganggu visus
c) Mengganggu pergerakan bola mata
d) Masalah kosmetik
e) Di depan apeks pterigium terdapat Grey
Zone
f) Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada
nodul pungtat
g) Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Ada
berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterigium di
antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya
tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang
kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil
dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran
luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan
perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,
Illionis).
2.2.8. KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium meliputi sebagai berikut:
1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah astigmat
karena pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya
mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran daripada
meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat.
Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat “tear
meniscus” antara puncak kornea dan peninggian pterigium. Astigmat yang
ditimbulkan oleh pterigium adalah astigmat “with the rule” dan iireguler
astigmat.
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan
menyebabkan diplopia.
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft
konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis
sklera dan kornea
3. Pterigium rekuren
BAB III
Kerangka Konsep hubungan nelayan dan penduduk sekitar pantai terhadap kejadian
pterigium
a. Penlight
b. Inspeksi
c. Skala ukur nominal
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.3.1. POPULASI
1. Kriteria Inklusi
a. Nelayan
b. Tinggal disekitar pantai/laut
c. Berusia 18 tahun ke atas
d. Setuju untuk dijadikan sampel penelitian
2. Kriteria Eksklusi
a. Memakai kaca mata
b. Memiliki Penyakit mata lainnya
4.3.2. SAMPLE
Sampel penelitian ini adalah seluruh nelayan dan penduduk pesisir pantai
waiselang yang telah memenuhi kriteria inklusi
4.4. METODE PENGUMPULAN DATA
Data yang dikumpulka adalah data primer, data dikumpulkan dengan cara mengidentifikasi
dan mengisi lembar observasi. Dimana pemeriksaan dilakukan setelah responden
menandatangani informed consent
4.5. METODE ANALISA DATA
Untuk melihat hubungan antara 2 variabel dependen dan independen menggunakan uji
statistik square. Analisa data akan dilakukan menggunakan SPSS.
DAFTAR PUSTAKA
Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 August 11]. Available from :
www.eyewiki.aao.org/Pterygium
Suharjo. Ilmu kesehatan Mata edisi 1. Yogyakarta. Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada.2007. hal 40-41
Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
Tasman, W and Jaeger, E.A. Pathology of Conjunctiva. In : Duane’s Ophtalmology. New York :
Lippincott William and Wilkins. 2007.
Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York : Thieme
Stutgart. 2000
Anton,dkk. Pterigium. [online] 2010. [ cited 2011 July 10]. Available from:
www.inascrs.org/pterygium/
Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San
Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
Subramanian,R. Pterygium. [online] 2008. [cited 2011 August 17]. Aviable from :
http://www.eophtha.com/eophtha/ejo40.html