Anda di halaman 1dari 16

PROPOSAL PENELITIAN GAMBARAN PENGETAHUAN NELAYAN

DAN PENDUDUK TERHADAP KEJADIAN PTERIGIUM DI DUSUN


WAISELANG

OLEH :
KELOMPOK 6

1. Rosmini Kaimudin 3. Juster P Heumasse


2. Hairany Sasole 4. Maxmillian Metekoy
3. Gelssy Louhatapessy 5. Juliat Makatita
6. Meilin Makoto 6. Welpriyanty Wemay
7. Vensca Lohy

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)
MALUKU HUSADA
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pterigium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguicula berbentuk


segitiga berdaging ke kornea, umumnya disisi nasal, secara bilateral. Keadaan
ini diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan
lingkugan dengan angin banyak, karena sering terdapat pada orang-orang yang
sebagian besar hidupnya berada di lingkungan berangin, penuh sinar matahari,
berdebu dan berpasir. (Schwab and Dawson 2000).

Pterigium merupakan penyakit mata yang umum dijumpai serta merupakan


masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia dan tingkat
prevalensi bervariasi. Pada beberapa pulau-pulau tropis di indonesia dilaporkan
memiliki tingkat prevalensi hingga 17%.
Di Indonesia sendiri telah dilakukan penelitian terhadap 1.200 orang dewasa
yang berusia 21 tahun ke atas. Dimana penelitian ini dilakukan di provinsi
sumatera dan didapati kejadian pterigium yang tinggi yaitu 14,1%. Kejadian ini
meningkat sesuai dengan usia dan riwayat aktivitas di luar rumah (paparan sinar
matahari) dimana hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya. (Gazzard et al.
2002).

Mengingat tinggi angka kejadian pterigium pada orang-orang yang beraktifitas


di luar ruangan dan berbagia faktor resiko yang dapat menyebabkannya, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan nelayan dan lingkungan
tempat tinggal sekitar pantai terhadap kejadian pterigium.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pengetahuan nelayan dan penduduk disekitar
pantai dengan pterigium di Dusun Waiselang

1.3. Tujuan Penelitian


Agar mahasiswa dapat mengerti gambaran pengetahuan nelayan dan
penduduk disekitar pantai terhadap pterigium di Dusun Waiselang
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA.

2.1. Anatomi Konjugtiva dan Kornea


2.1.1. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan lapisan membrane mukosa tipis dan


transparan yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan
permukaan anterior dari bola mata hingga berhenti di perbatasan
korneoskleral atau limbus.1 Konjungtiva membentuk sebuah kantung
(cul de sac) pada bagian yang disebut juga sebagai konjungtiva forniks
yang membuka secara anterior dengan fisura palpebral. Konjungtiva
berbatasan dengan kulit, epitel dari saluran kelenjar tarsal, dengan
kanalikuli lakrimal dan kantung lakrimal di bagian palpebra, serta
dengan epitel kornea pada limbus.

2.1.2. Anatomi Kornea

Kornea adalah selaput bening mata yang dapat menembus cahaya, dan
merupakan jaringan penutup bola mata sebelah depan yang terdiri dari :
1. Epitel, terdiri dari 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang  tindih
2. Membrane  Bowman, merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti strorma.
3. Stroma, terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan yang lainnya.
4. Membrane descement, merupakan membrane aseluler, bersifat
sangat elastik
5. Endotel, yang berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk
heksagonal.
Kornea disarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus dan saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane
bowman melepaskan selubung schwannya. Daya regenerasi saraf
sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Trauma
atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem  pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Kornea merupakan tempat pembiasan sinar terkuat, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh
kornea.

Fisiologi
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan
strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgenes. Deturgenes, atau
keadaan dehidrasi relative jaringan kornea dipertahankan oleh pompa
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.

2.2. PTERIGIUM

2.2.1. DEFINISI PTERIGIUM


Pterigium adalah suatu timbunan atau benjolan pada selaput lendir atau konjungtiva
yang bentuknya seperti segitiga dengan puncak berada di arah kornea. Timbunan
atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya akan
berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke daerah kornea, sehingga bisa
menjadi menutup kornea dari arah nasal dan sampai ke pupil, jika sampai menutup
pupil maka penglihatan kita akan terganggu. Suatu pterygium merupakan massa
ocular eksternal superficial yang mengalami elevasi yang sering kali terbentuk diatas
konjungtiva perilimbal dan akan meluas ke permukaan kornea. Pterygia ini bisa
sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai
yang besar sekali, dan juga jejas fibrofaskular yang tumbuhnya sangat cepat yang
bisa merusakkan topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini
kadangkala bisa menutupi pusat optik dari kornea.2,5
2.2.2. ETIOLOGI
Penyebab pterigium belum diketahui secara pasti. Namun, kondisi ini lebih banyak
terjadi pada mereka yang sering melakukan aktivitas di luar ruangan. Paparan sinar
matahari berlebih menjadi faktor yang paling berpotensi menyebabkan pterigium.
Selain itu, mata yang kering juga diduga bisa menjadi faktor pemicu. Pasir, debu,
asap, serta angin diduga dapat meningkatkan risiko pterigium. Pterigium juga dapat
bermula dari munculnya pinguecula pada mata. Pinguecula yang tumbuh hingga
mencapai kornea mata dapat berubah menjadi pterigium.

2.2.3. KLASIFIKASI PTERIGIUM

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,


progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:
1. Berdasarkan Tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala
pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi
ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih
cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren
tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-
kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau
rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil,
tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4
mm).
Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterigium stadium 1 Gambar 3. Pterigium stadium 2

Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5. Pterigium stadium 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


a) Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea
di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
b) Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran, tetapi tidak pernah hilang.
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
a) T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
b) T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
c) T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
2.2.4. PATOGENESIS PTERIGIUM

Pterigium terjadi sebagai respon terhadap faktor lingkungan seperti paparan terhadap


matahari ( sinar UV ), daerah kering, daerah berdebu,atau faktor iritan
lainnya.Mekanisme patologis dari terjadinya pterygium belum diketahuisecara
sempurna; hanya terdapat banyak teori yang mencobamengemukakan tahap
patogenesis dari penyakit ini, dan teori-teoritersebut mencakup!" . P a p a r a n
U V % mengaktivasi sel yang terletak dekat limbus. Aktivasi ini menyebabkan
perubahan fenotipik dari populasi se-sel epitel, pembentukan sitokin inflamasi dan
angiogenik serta pembentukan  growth factors
hal ini terjadi karena Ultra'iolet adalah mutagen untuk tumor suppressor gene, yang
menyebabkan tidak terjadinya apoptosis sehingga Memproduksi, yang menimbulkan
proses kolagenasemeningkat, sehingga tampak jaringan subepithelial fibrovascular.

2.2.5. GEJALA KLINIK PTERIGIUM


Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama
sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan
tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea
tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual
sehingga tajam penglihatan menurun.

collum

corpus
corpus
Gambar 2. Bentuk Pterigium
apeks
Pterigium memiliki tiga bagian :
1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas
zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini
menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi
(iron line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini
juga merupakan area kornea yang kering.
2. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap,
merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti
halnya kepala.
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang
mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva
bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang
paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.

2.2.6. PENATALAKSANAAN

1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif
seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar
ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata
buatan/topical lubricating drops.6,9
2. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
a. Menurut Ziegler :
a) Mengganggu visus
b) Mengganggu pergerakan bola mata
c) Berkembang progresif
d) Mendahului suatu operasi intraokuler
e) Kosmetik
b. Menurut Guilermo Pico :
a) Progresif, resiko rekurensi > luas
b) Mengganggu visus
c) Mengganggu pergerakan bola mata
d) Masalah kosmetik
e) Di depan apeks pterigium terdapat Grey
Zone
f) Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada
nodul pungtat
g) Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Ada
berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterigium di
antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya
tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas
eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang
kemudian diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil
dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran
luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan
perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield,
Illionis).

Gambar 3. Teknik Operasi Pterigium


2.2.7. PENCEGAHAN
Pencegahan pterigium dapat dilakukan dengan mengenakan kacamata
hitam atau topi saat beraktivitas di luar ruangan. Hal ini bertujuan untuk menghindari
paparan sinar matahari, asap, atau debu yang dapat memicu pterigium.
Untuk mencegah mata terasa kering, kelembapan mata dapat dijaga dengan
menggunakan obat tetes air mata buatan. Selain berguna untuk mencegah pterigium,
penggunaan pelumas pada mata juga dapat mencegah kambuhnya pterigium.

2.2.8. KOMPLIKASI
Komplikasi pterigium meliputi sebagai berikut:
1. Astigmat
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterigium adalah astigmat
karena pterigium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya
mekanisme penarikan oleh pterigium serta terdapat pendataran daripada
meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat.
Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat “tear
meniscus” antara puncak kornea dan peninggian pterigium. Astigmat yang
ditimbulkan oleh pterigium adalah astigmat “with the rule” dan iireguler
astigmat.
2. Kemerahan
3. Iritasi
4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea
5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan
menyebabkan diplopia.
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft
konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis
sklera dan kornea
3. Pterigium rekuren
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. KERANGKA TEORI

Variabel Independen Variabel Dependen

Nelayan, Penduduk Pterigium


sekitar pantai

Kerangka Konsep hubungan nelayan dan penduduk sekitar pantai terhadap kejadian
pterigium

3.2. DEFENISI OPERASIONAL

a. Nelayan merupakan seseorang yang kesehariannya menghabiskan waktu untuk mencari


ikan dipantai
b. Penduduk sekitar pantai merupakan masyarakat yang pemukimannya berada di tepian
pantai
c. Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskuler berbentuk segitiga ke arah
konjungtiva

Alat ukur pada penelitian ini adalah

a. Penlight
b. Inspeksi
c. Skala ukur nominal
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. JENIS PENELITIAN


Jenis penelitian merupakan suatu penelitian analitik degan pendekatan cross sectional
untuk melihat hubungan nelayan dan penduduk sekitar pantai dengan kejadian pterigium di
Waiselang

4.2. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini akan dilakukan di Waiselang. Penelitian direncanakan dilakukan pada


tanggal 6-9 Maret 2021

4.3. POPULASI DAN SAMPEL

4.3.1. POPULASI

Populasi adalah seluruh Nelayan dan penduduk sekitar pantai

1. Kriteria Inklusi
a. Nelayan
b. Tinggal disekitar pantai/laut
c. Berusia 18 tahun ke atas
d. Setuju untuk dijadikan sampel penelitian
2. Kriteria Eksklusi
a. Memakai kaca mata
b. Memiliki Penyakit mata lainnya

4.3.2. SAMPLE

Sampel penelitian ini adalah seluruh nelayan dan penduduk pesisir pantai
waiselang yang telah memenuhi kriteria inklusi
4.4. METODE PENGUMPULAN DATA

Data yang dikumpulka adalah data primer, data dikumpulkan dengan cara mengidentifikasi
dan mengisi lembar observasi. Dimana pemeriksaan dilakukan setelah responden
menandatangani informed consent
4.5. METODE ANALISA DATA

Untuk melihat hubungan antara 2 variabel dependen dan independen menggunakan uji
statistik square. Analisa data akan dilakukan menggunakan SPSS.
DAFTAR PUSTAKA

Aminlari, a.,et al, 2010. Management of Pterygium. Ophtalmic Perals; 37-38

Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 August 11]. Available from :
www.eyewiki.aao.org/Pterygium

Suharjo. Ilmu kesehatan Mata edisi 1. Yogyakarta. Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada.2007. hal 40-41

Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.

Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.


Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.

Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 July 24]


http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

Tasman, W and Jaeger, E.A. Pathology of Conjunctiva. In : Duane’s Ophtalmology. New York :
Lippincott William and Wilkins. 2007.

Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York : Thieme
Stutgart. 2000

Anton,dkk. Pterigium. [online] 2010. [ cited 2011 July 10]. Available from:
www.inascrs.org/pterygium/

Drakeiron. Pterigium. [online]2009. [cited 2011 August 11]. Avaible from :


http://drakeiron.wordpress.com/info-pterigium.

Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San
Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366

Maheswari, sejal. Pterydium-inducedcornealrefractive changes.[online] 2007. [cited 2011


August 11]. Aviable from : http//www.ijo.in/article.asp?issn

Subramanian,R. Pterygium. [online] 2008. [cited 2011 August 17]. Aviable from :
http://www.eophtha.com/eophtha/ejo40.html

Anda mungkin juga menyukai