Anda di halaman 1dari 17

Laporan kasus

KERATITIS PUNCTATA
SUPERFISIALIS OD

Oleh :
Karina, S.Ked
NIM. 1508438059

Pembimbing :
dr. Efhandi Nukman, Sp.M

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU
2017

BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1950, Thygeson adalah orang pertama yang menggambarkan
secara klinis mengenai penyakit keratitis pungtata superfisialis yang kemudian
juga disebut keratitis pungtata superfisialis thygeson. Keratitis pungtata
superfisialis adalah penyakit bilateral rekurens kronik yang jarang ditemukan;
wanita lebih sering terkena. Penyakit ini ditandai dengan kekeruhan epitel yang
meninggi berbentuk lonjong dan berbatas tegas, yang menampakan bintik-bintik
pada pemulasan dengan fluorescein, terutama di daerah pupil. Kekeruhan ini tidak
tampak dengan mata telanjang, tetapi mudah dilihat dengan slitlamp atau kaca
pembesar. Kekeruhan subepitelial di bawah lesi epitel sering terlihat selama masa
penyembuhan penyakit epitel ini1.
Organisme penyebabnya belum ditemukan, tetapi di curigai virus. Pada
satu kasus, berhasil diisolasi virus varicella-zooster dari kerokan kornea 1. Keratitis
pungtata superfisialis ditandai dengan munculnya gejala iritasi ringan, penglihatan
yang sedikit buram, dan fotophobia1. Keratitis pungtata superfisialis biasanya
terjadi pada dekade kedua atau ketiga kehidupan, meskipun penyakit ini dapat
terjadi pada segala usia. Perjalanan penyakit ini bersifat kronis dan ditandai
dengan eksaserbasi dan remisi. Durasi penyakit berkisar antara 1 bulan sampai 24
tahun namun dalam beberapa studi juga ditemukan bahwa durasi penyakit dapat
berlangsung lebih lama hingga 41 tahun.2
Penatalaksanaan keratitis pungtata superfisialis ini disesuaikan dengan
tingkat keparahan penyakit mulai dari penggunaan obat tetes mata sebagai
pelumas, penggunaan kortikosteroid topikal hingga penggunaan kontak lensa
sebagai terapi untuk mengurangi iritasi yang terjadi pada pasien. Terapi terbaru
pada pasien dengan penyakit ini adalah penggunaan siklosporin A topikal yang
dihubungkan dengan hasil yang baik dan efek samping yang minimal.2
Keratitis pungtata superfisial yang sering ditemukan karena faktor
eksogen, seperti lensa kontak, bulu mata atas. Biasanya ditemukan sebagai gejala
sekunder dari keratitis benttuk lainnya. Itu juga bisa di sebabkan oleh faktor
endogen, seperti Thygeson disease.5
KPS mempunyai karakteristik tersembunyi. Umumnya penyakit ini terlihat
setelah perjalanan penyakit 1 bulan sampai 24 tahun, dengan durasi rata rata 3,5

1
tahun. Rentan usia yang terkena keratitis pungtata superfisial ialah berumur 20
30 tahun. 3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
A ANATOMI KORNEA
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata,
merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya dan merupakan lapisan
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea merupakan bagian mata
yang tembus cahaya dan menutup bola mata disebelah depan. Pembiasan sinar
terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar
masuk dilakukan oleh kornea. Rata rata ketebalan kornea pada orang dewasa
adalah sekitar 0,52 mm di sentral dan 0,65 mm di perifer. Diameter horizontal
kornea rata rata orang dewasa adalah 11,75 mm dan diameter vertikalnya rata
rata 10,66 mm.5
Dari anterior ke posterior, kornea memiliki 5 lapisan yang saling berhubungan
yaitu lapisan epitel (yang merupakan kelanjutan dari epitel di konjungtiva bulba),
membran bowman, stroma, membrana descement dan endotel.4
1 Epitel, terdiri atas 5 lapisan sel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih, 1 lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering
terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi menjadi
lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya
melalui dermosom dan makula ekluden, ikatan ini menghambat pengaliran
air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan
membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan
mengakibatkan erosi rekuren.
2 Membran Bowman, terletak di bawah epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian
stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3 Stroma, terdiri atas lamel yang merupakan susuna kolagen yang sejajar 1
dengan lainnya, pada permukaan terlihat ayaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat
kolagen memakan waktu lama yang kadang kadang sampai 15 bulan.
Stroma ini adalah merupakan sekitar 90% dari ketebalan kornea.
4 Membran Descement, merupakan membran aseluler dan merupakan batas
belakang stroma kornea yang dihasilkan dari sel endotel dan merupakan

3
membran basalnya. Membran ini bersifat sangat elastik dan berkembang
terus seumur hidup.4 Endotel, terdiri atas 1 lapisan sel dengan bentuk
heksagonal, besarnya sampai 40 60 mm. endotel tidak mempunyai daya
regenerasi.
5 Endotel, berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40 m. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.

Gambar 1. Lapisan Kornea


(Sumber: Riordan P. Anatomi dan Embriologi. Oftalmologi Umum. Edisi
17 Cetakan Pertama. Widya Medika Jakarta, 2015)

B FISIOLOGI KORNEA
Fungsi utama kornea adalah sebagai membran protektif dan sebuah
jendela yang dilalui cahaya untuk mencapai retina. Transparansi kornea
dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur yang uniform yang
sifat deturgescence. Transparansi stroma dibentuk oleh pengaturan fisis special
dari komponen komponen fibril. Walaupun indeks refraksi dari masing masing
fibril kolagen berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang kecil (300 A) dari
fibril dan jarak yang kecil diantara mereka (300 A) mengakibatkan pemisahan dan
regularitas yang menyebabkan sedikit pembiasan cahaya dibandingkan dengan
inhomogenitas optikalnya. Sifat deturgescence di jaga dengan pompa bikarbonat
aktif dari endotel dan fungsi barbier dari epitel dan endotel. Kornea di jaga agar
tetap berada pada keadaan basah dengan kada air sebanyak 78%.6
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang
sangatlah penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25
dioptri dari total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74%
dari seluruh kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada

4
kornea dapat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus
seseorang.6
Kornea merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea sangat
sensitif. Saraf saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui membrana
bowman dan berakhir secara bebas diantara sel sel epithelial serta tidak
memiliki selubung myelin lagi sekitar 2 3 mm dari limbus ke sentral kornea,
sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea. Kornea menerima
suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi taktil yang terkecil
pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap kerusakan pada kornea
(erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet) mengekspose
ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai dengan refleks
lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas penutupan
mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri selalu
mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea.5,6
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan yang bradittrofik, metabolismenya lambat dimana ini berarti
penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)
diperoleh dari 3 sumber, yaitu :6
1 Difusi dari kapiler-kapiler disekitarnya
2 Difusi dari humor aquous
3 Difusi dari film air mata
Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut
dan membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar
dan pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada
film air mata juga melindungi mata dari infeksi.6

C KERATITIS PUNGTATA
a Definisi
Keratitis pungtata merupakan keratitis yang terkumpul di daerah membran
Bowman dengan infiltrat berbentuk bercak-bercak halus. Keratitis ini disebut juga
dengan Thygesons disease karena ditemukan pertama kali oleh dr. Phillip
Thygeson di amerika. Keratitis pungtata disebabkan oleh hal yang tidak spesifik
dan dapat terjadi pada moluskum kontagiosum, akne rosasea, herpes zoster,

5
herpes simpleks, blefaritis, keratitis neuroparalitik, infeksi virus, dry eyes,
vaksinia, trakoma dan trauma radiasi, trauma, lagoftalmus, keracunan obat seperti
neomisin, tobramisin dan bahan pengawet lain.1
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan
jelas, yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein,
terutama di daerah pupil. Uji fluoresein merupakan sebuah tes untuk mengetahui
terdapatnya kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna
fluoresein akan berubah berwarna hijau pada media alkali. Zat warna fluoresein
bila menempel pada epitel kornea maka bagian yang terdapat defek akan
memberikan warna hijau karena jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa.
Sebelum dilakukan uji ini, mata diteteskan anestetikum pantokain 1 tetes.
Kemudian zat warna fluoresein 0,5% - 2% diteteskan pada mata atau kertas
fluoresein ditaruh pada forniks inferior seama 20 detik. Zat warna lalu diirigasi
dengan garam fisiologik sampai seluruh air mata tidak berwarna hijau lagi.
Kemudian dilakukan penilaian pada kornea yang berwarna hijau. Bila terdapat
warna hijau pada kornea berarti terdapat defek pada epitel kornea. Defek ini dapat
berbentuk erosi kornea atau infiltrat yang mengakibatkan kerusakan epitel.
Kekeruhan ini tidak tampak dengan mata telanjang, namun mudah dilihat dengan
slit-lamp dengan lampu berwarna biru sehingga permukaan kornea terlihat warna
hijau.1,4
b Etiologi & klasifikasi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi
pada Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes simpleks, Herpes zoster,
Blefaritis neuroparalitik, infeksi virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry
eyes, keratitis lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan
bahaya pengawet lainnya. Klasifikasi keratitis berdasarkan lokasi yang terkena
dari lapisan kornea :1
1 Keratitis superfisialis
a Keratitis epithelial
i Keratitis pungtata superfisialis
ii Herpes simplek
iii Herpes zoster

6
b Keratitis subepitelial
i Keratitis didiformis dari Westhoff
ii Keratitis numularis dari Dimmer
c Keratitis stromal
i Keratitis neuroparalitik
2 Keratitis profunda
a Keratitis sklerotikan
b Keratitis intersisial
c Keratitis disiformis

c Manifestasi klinis
Pada keratitis pungtata pasien dapat mengeluh mata berair bilateral, sensasi
terbakar pada mata, sensasi adanya benda asing pada mata, dan iritasi pada mata.
Pada tahap inaktif penyakit pasien mungkin tidak mengalami suatu keluhan. Pada
pemeriksaan fisik keratitis pungtata superfisialis ditandai dengan keratitis epitel
tanpa adanya peradangan pada konjungtiva atau stroma bersifat bilateral, berulang
dan fokal. Pada tahap aktif penyakit lesi kornea kasar dan menyatu, berbentuk
oval, sedikit menonjol, titik abu-abu keputihan pada kornea. Lesi cenderung
menumpuk dan terpusat pada kornea dan dapat ditemukan 1 -50 lesi pada kornea.7
Sensitivitas kornea biasanya normal atau hanya sedikit menurun, tetapi tidak
hilang seperti pada keratitis herpes simpleks. Meskipun reaksi konjungtiva tidak
ditemukan, namun reaksi minimal dengan injeksi konjungtiva dapat muncul.
Selama tahap inaktif penyakit, lesi dapat menghilang, atau dapat muncul dengan
gambaran abu-abu, berbentuk seperti taburan bintang, dan kekeruhan pada
subepitel. Kekeruhan pada subepitel pada pada beberapa pasien dapat menjadi
permanen. Serangan dapat berlangsung hingga beberapa bulan dan masuk ke
remisi sampai 3 tahun. Penyakit ini dapat terus berlangsung untuk periode rata-
rata 3,5-7,5 tahun, meskipun laporan dari lebih dari 24, 30, dan 41 tahun telah
dilaporkan, terutama dengan penggunaan steroid.7

7
Gambar 2. Keratitis pungtata superfisialis.
(Sumber: Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook
Atlas. 2nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2000)

d Patofisiologi Gejala
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi.
Maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma
kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi
pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak
sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan
permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah
ulkus kornea.1,8
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada
kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan
fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama
palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat
progresif, regresi iris, yang meradang dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan
iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan fenomena reflek yang
berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia, yang berat
pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi
terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.
Meskipun berair mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea,
umumnya tidak ada tahi mata kecuali pada ulkus bakteri purulen. Karena kornea

8
berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea
umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat.8

e Diagnosa
Anamnesis pasien penting pada penyakit kornea. Sering dapat
diungkapkan adanya riwayat traumakenyataannya, benda asing dan abrasi
merupakan dua lesi yang umum pada kornea. Adanya riwayat penyakit kornea
juga bermanfaat. Keratitis akibat infeksi herpes simpleks sering kambuh, namun
karena erosi kambuh sangat sakit dan keratitis herpetik tidak, penyakit-penyakit
ini dapat dibedakan dari gejalanya. Hendaknya pula ditanyakan pemakaian obat
lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai kortikosteroid, yang dapat
merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau oleh virus, terutama
keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat penyakit-
penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh terapi
imunosupresi khusus.1,8
Dokter memeriksa kornea dengan melakukan inspeksi di bawah
pencahayaan yang memadai. Pemeriksaan sering lebih mudah dengan meneteskan
anestesi lokal. Pemulusan fluorescein dapat memperjelas lesi epitel superfisialis
yang tidak mungkin tidak telihat bila tidak dipulas. Pemakaian biomikroskop
(slitlamp) penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar, jika tidak tersedia,
dapat dipakai kaca pembesar dan pencahayaan terang. Harus diperhatikan
perjalanan pantulan cahaya saat menggerakkan cahaya di atas kornea. Daerah
kasar yang menandakan defek pada epitel terlihat dengan cara ini.8

Gambar 3. Tes Fluoresensi pada KPS.


(Sumber: Bisweell Rodrick. Kornea. Oftalmologi Umum. Edisi 17
Cetakan Pertama. Widya Medika Jakarta, 2015)

9
Mayoritas kasus keratitis bakteri pada komunitas diselesaikan dengan
terapi empiris dan dikelola tanpa hapusan atau kultur. Hapusan dan kultur sering
membantu dalam kasus dengan riwayat penyakit yang tidak jelas. Hipopion yang
terjadi di mata dengan keratitis bakteri biasanya steril, dan pungsi akuos atau
vitreous tidak perlu dilakukan kecuali ada kecurigaan yang tinggi oleh mikroba
endophthalmitis. Kultur adalah cara untuk mengidentifikasi organisme kausatif
dan satu-satunya cara untuk menentukan kepekaan terhadap antibiotik. Kultur
sangat membantu sebagai panduan modifikasi terapi pada pasien dengan respon
klinis yang tidak bagus dan untuk mengurangi toksisitas dengan mengelakkan
obat-obatan yang tidak perlu. Dalam perawatan mata secara empiris tanpa kultur
dimana respon klinisnya tidak bagus, kultur dapat membantu meskipun
keterlambatan dalam pemulihan patogen dapat terjadi. Sampel kornea diperoleh
dengan memakai agen anestesi topikal dan menggunakan instrumen steril untuk
mendapatkan atau mengorek sampel dari daerah yang terinfeksi pada kornea.
Kapas steril juga dapat digunakan untuk mendapatkan sampel. Ini paling mudah
dilakukan dengan perbesaran Slit Lamp.7,8
Biopsi kornea dapat diindikasikan jika terjadi respon yang minimal
terhadap pengobatan atau jika kultur telah negatif lebih dari satu kali dengan
gambaran klinis yang sangat mendukung suatu proses infeksi. Hal ini juga dapat
diindikasikan jika infiltrat terletak di pertengahan atau dalam stroma dengan
jaringan atasnya tidak terlibat. Pada pasien kooperatif, biopsi kornea dapat
dilakukan dengan bantuan Slit Lamp atau mikroskop operasi. Setelah anestesi
topikal, gunakan sebuah pisau untuk mengambil sepotong kecil jaringan stroma,
yang cukup besar untuk memungkinkan pembelahan sehingga satu porsi dapat
dikirim untuk kultur dan yang lainnya untuk histopatologi. Spesimen biopsi harus
disampaikan ke laboratorium secara tepat waktu.8

f Tatalaksana

10
Pemberian tetes kortikosteroid untuk jangka pendek sering kali dapat
menghilangkan kekeruhan dan keluhan subjektif, tetapi kekambuhan umum
terjadi. Pemberian kortikosteroid topikal untuk waktu lama dapat memperpanjang
perjalanan penyakit hingga bertahun tahun dan berakibat timbulnya glaukoma
dan katarak terinduksi steroid. Lensa kontak terapeutik telah dipakai untuk
mengendalikan gejala. Obat tetes cyclosporine topikal 1% atau 2%, efektif
sebagai pengganti kortikosteroid.1
Kortikosteroid kemungkinan akan memperpanjang durasi keseluruhan
penyakit dan kortikosteroid khususnya dalam penggunaan jangka panjang akan
menyebabkan masalah serius pada bola mata dan dapat memberikan efek
glaukoma dan katarak yang disebabkan oleh steroid. Jika perlu, pasien dapat
diobati dengan pemberian kortikosteroid dengan kekuatan dosis yang rendah
seperti prednisolone acetate 0,1% satu drop selama 2 minggu dengan gejala yang
berat dan diagnosis yang jelas. Sebagian besar pasien dapat dengan aman dan
dikontrol dengan pemberian kortikosteroid dengan topikal, tetapi harus dijelaskan
efek samping obat yang diberikan. Lensa kontak terapeutik efektif untuk
mengurangi dan menghilangkan gejala di lesi epitel pada keratitis punktata
superfisial thygeson. Nesburn dan rekan rekannya berhasil mengobati empat
pasien dengan keratitis punktata superfisial thygeson dengan trifluridine 1 %
drop. Gejala dan tanda klinis menghilang dengan kortikosteroid topika, tetapi
secara keseluruhan memberikan respon yang baik. Pemberian idoxuridine
merupakan kontraindikasi terhadap keratitis pungtata superfisial thygeson
terutama pada subepitel.9
Pemberiaan secara topikal dengan cyclosporine A 0,5% dan 2 %
pengobatan yang berhasil untuk keratitis pungtata superfisial thygeson. Pemberian
cyclosporine A 2% selama 6 bulan. Keratektomi potoefraktif dan keratektomi
pototerapeutik mempunyai kekurangan dan kekambuhan pada keratitis pungtata
superfisial thygeson.9

11
RAHASIA

STATUS BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. AP Pendidikan : SMK
Umur : 20 tahun Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki Status : Belum menikah
Alamat : Jl. Yos Sudarso MRS : 6 Maret 2017
Pekerjaan : Swasta MR : 447029

Keluhan Utama
Mata kanan merah disertai kabur sejak 4 hari yang lalu

Riwayat penyakit sekarang


Mata kanan merah disertai pandangan kabur tiba-tiba saat bangun tidur
sejak 4 hari yang lalu. Mata kanan mengeluarkan kotoran, terutama pada pagi hari
dan air mata keluar berlebihan, serta ada sensasi yang mengganjal, terasa nyeri,
serta silau bila terkena cahaya. Kedua mata kabur saat melihat objek jauh sejak 3
tahun yang lalu namun tidak pernah diperiksakan maupun diobati. Riwayat
demam (-), riwayat trauma (-), dan riwayat pemakaian kacamata atau lensa kontak
(-).

Riwayat penyakit dahulu


- Riwayat terpapar pencetus alergi tidak ada
- Riwayat DM (-)

Riwayat pengobatan
- Pasien belum pernah mengobati kelainan pada matanya tersebut.

Riwayat penyakit keluarga

12
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.

PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan umum : tampak sakit ringan
- Kesadaran : komposmentis kooperatif
- Vital Sign : TD : 110/80 mmHg
FN : 76 x/menit
Nafas : 18 x/menit
Suhu : 36, 8oC

STATUS OPTHALMOLOGI
OD OS
20/400 Visus Tanpa Koreksi 20/400
20/50 Visus Dengan Koreksi 20/25
Posisi Bola Mata
Orthoporia

Gerakan Bola Mata

Baik ke segala arah Baik ke segala arah


Normal (palpasi) Tekanan Bola Mata Normal (palpasi)
Spasme Palpebra Normal
Injeksi (-) Konjungtiva Tenang
Infiltrat punctata epitelial
Kornea Jernih
(+)
Injeksi (+) Sklera Tenang
Keruh, sulit dinilai COA Dalam, jernih
Bulat, sentral, : 3 mm, Bulat, sentral, : 3 mm,
Reflek cahaya langsung Reflek cahaya langsung
Iris/Pupil
(+), reflek cahaya tidak (+), reflek cahaya tidak
langsung (+) langsung (+)
Sulit dinilai Lensa Jernih
Reflek fundus (+) Fundus Reflek fundus (+)

Sulit dinilai Vitreous Jernih

13
Sulit dinilai Papil Papil bulat, batas tegas
CDR 0,3, AV ratio 2:3

Sulit dinilai Retina Dalam batas normal

Sulit dinilai Makula Edema (-)

Gambar

Skema

KESIMPULAN

Tn. AP 20 tahun datang dengan keluhan mata kanan merah disertai


pandangan kabur sejak 4 hari yang lalu. Sekret terutama pada pagi hari, lakrimasi
(+), mata terasa perih, fotofobia (+), blefarospasme (+).
Pemeriksaan opthalmologi didapatkan pada mata kanan visus tanpa
koreksi 20/400, injeksi konjungtiva (+), infiltrat kornea (+).

14
DIAGNOSIS :
- Keratitis Punctata Superfisialis OD
- Miopia ODS

TERAPI :
- Cendo Xytrol ED 6x1 tetes/ 4 jam OD
- Cendo Floxa ED 6x1 tetes/ 4 jam OD
- Methylprednisolon 2x8mg/ 12 jam PO

ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG :


- Tes Fluoresein

PROGNOSIS :
- Quo ad vitam : bonam
- Quo ad functionam : bonam
- Quo ad kosmetik : bonam

DAFTAR PUSTAKA

1 Biswell R. Kornea. Dalam: Vaughan & Asbury : oftalmologi umum. Ed-


17; alih Bahasa: Brahm U Pendit; editor edisi Bahasa Indonesia, Diana
Susanto. Jakarta: EGC, 2009. p 142-3.

2 Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Pocket Textbook


Atlas. 2nd edition. Stuttgart ; thieme ; 2000. p. 118-56

15
3 Bouchaanrd SC, Lin A. Noninfectious Keratitis. In : Ophthalmology. 4 th
edition. 2014. p.242

4 Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi keempat. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta: 2011. p. 149-50

5 Riordan P. Anatomi dan Embriologi. Oftalmologi Umum. Edisi 17


Cetakan Pertama. Widya Medika Jakarta, 2015. p. 1-26

6 Hasanreisoglu M, Avisar R. Long-term cyclosporine A therapy in


thygesons superficial punctate keratitis: a case report. Cases Journal,
Biomed Central 2008 Des 23;1-3

7 Duszak RS, et all. Thygeson Superficial Punctate Keratitis Clinical


Presentation. Medscape 2014 Oct 14;1-3

8 Bisweell Rodrick. Kornea. Oftalmologi Umum. Edisi 17 Cetakan Pertama.


Widya Medika Jakarta, 2015. p. 125-48

9 Skorich N.D. Thygesons Superficial Punctate Keratitis. In : Principles and


Practice of Cornea. Jaypee-Highlights Medical. Edisi pertama. Vol 1. New
Delhi :2013.p.547 8.

16

Anda mungkin juga menyukai