Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan Pembangunan Kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup


sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat
yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional.
Untuk itu perlu ditingkatkan upaya guna memperluas dan mendekatkan pelayanan
Kesehatan kepada masyarakat dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau.
Selain itu dengan semakin meningkatnya pendidikan dan keadaan sosial ekonomi
masyarakat, maka sistem nilai dan orientasi dalam masyarakat pun mulai berubah.
Masyarakat mulai cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih baik, lebih
ramah dan lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan. Dengan semakin
meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan rumah sakit maka fungsi
pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira secara bertahap perlu terus ditingkatkan
agar menjadi lebih efektif dan efisien serta memberi kepuasan kepada pasien,
keluarga, maupun masyarakat.

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit.
Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu:
keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan,
keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap
keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang
berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan “bisnis” rumah sakit
yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Kelima aspek keselamatan
tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Namun harus
diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu
keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan, dan hal tersebut
terkait dengan isu mutu dan citra rumah sakit.

Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan


pasien sesuai dengan yang diucapkan Hipocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu
primum, non nocere (first, do no harm). Namun diakui dengan semakin
berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan, khususnya di rumah sakit,
menjadi semakin kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak
Diharapkan/KTD (adverse event) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati.

Di rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak
alat dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap
memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan
pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan terjadinya
KTD.

Pada tahun 2000 Institute of Medicine di Amerika Serikat menerbitkan laporan


yang mengagetkan banyak pihak: ‘TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health
System. Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado
serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD (adverse event) sebesar 2,9
%, dimana 6,6 % diantaranya meninggal. Sedangkan di New York KTD adalah
sebesar 3,7 % dengan angka kematian 13,6 %. Angka kematian akibat KTD pada
pasien rawat inap diseluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar
44.000-98.000 per tahun.
Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka-angka penelitian
rumah sakit di berbagai negara: Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia,
ditemukan KTD dengan rentang 3,2-16,6 %. Dengan data-data tersebut, berbagai
negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan
Pasien.

Di Indonesia data tentang KTD apalagi Kejadian Nyaris Cedera (near miss)
masih langka, namun dilain pihak terjadi peningkatan tuduhan “mal praktek”, yang
belum tentu sesuai dengan pembuktian akhir. Umumnya pelayanan medis yang
diberikan mengandung risiko, sebagian diantaranya berisiko ringan dan hampir tidak
berarti secara klinis, namun tidak sedikit pula yang memberikan konsekuensi medis
yang cukup berat. Risiko merupakan kemungkinan sesuatu terjadi atau potensi
bahaya yang terjadi yang dapat memberikan pengaruh kepada hasil akhir.

Risiko dapat berupa risiko klinis dan non klinis. Risiko klinis adalah risiko
yang dikaitkan langsung dengan layanan medis maupun layanan lain yang dialami
pasien selama di rumah sakit. Sementara risiko non klinis dapat berupa risiko bagi
organisasi maupun risiko finansial. Oleh karena itu setiap fasilitas pelayanan
kesehatan harus membangun sistem yang dapat menjamin bahwa setiap tindakan
yang dilakukan haruslah aman bagi pasien, petugas dan lingkungan sekitar.
Pendekatan yang dapatdilakukan adalah dengan manajemen risiko.

Manajemen risiko merupakan perilaku dan intervensi proaktif untuk


mengurangi kemungkinan cidera serta kehilangan. Dalam pelayanan kesehatan
rumah sakit, manajemen risiko bertujuan untuk mencegah cidera pada pasien dan
menghindari tindakan yang merugikan profesi kesehatan. Asuhan pelayanan
kesehatan yang bermutu tinggi dan sistem pelaksanaan yang aman, merupakan kunci
bagi manajemen risiko yang efektif dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Mayoritas cidera pada pasien dapat ditelusuri sampai kepada ketidaksempurnaan
sistem yang dapat menjadi penyebab primer cedera atau yang membuat perawat
melakukan kesalahan sehingga terjadi cedera pada pasien. Begitu terjadi cedera,
manajemen risiko harus memfokuskan perhatiannya pada upaya mengurangi akibar
cedera tersebut untuk memperkecil kemungkinan diambilnya tindakan hukum
terhadap petugas.

Agar upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira
dapat seperti yang diharapkan, maka perlu disusun Pedoman Peningkatan Mutu,
Keselamatan Pasien, dan Manajemen Risiko Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira.
Pedoman tersebut merupakan konsep peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit Ibu
dan Anak Safira, yang disusun sebagai acuan bagi pengelola Rumah Sakit Ibu dan
Anak Safira dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit.
Dalam buku panduan ini diuraikan tentang prinsip upaya peningkatan, langkah-
langkah pelaksanaannya, dan indikator mutu, keselamatan pasien, serta manajemen
risiko.

Selain itu mengingat keselamatan pasien sudah menjadi tuntutan masyarakat,


maka pelaksanaan peningkatan mutu, keselamatan pasien, dan manajemen risiko di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira perlu dilakukan. Untuk dapat meningkatkan mutu
pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira terutama didalam melaksanakan
keselamatan pasien sangat diperlukan suatu pedoman yang jelas sehingga angka
kejadian KTD dapat dicegah sedini mungkin.

BAB II
LATAR BELAKANG

A. PENINGKATAN MUTU
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang
baru. Florence Nightingale (1820 –1910) seorang perawat dari Inggris menekankan
pada aspek-aspek keperawatan pada peningkatan mutu pelayanan. Salah satu
ajarannya yang terkenal sampai sekarang adalah “hospital should do the patient no
harm”, rumah sakit jangan sampai merugikan atau mencelakakan pasien.

Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medis dimulai oleh


ahli bedah Dr. E.A.Codman dari Boston dalam tahun 1917. Dr. E.A Codman dan
beberapa ahli bedah lain kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk, karena
seringnya terjadi penyulit. Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena
kondisi yang tidak memenuhi syarat di rumah sakit. Untuk itu perlu ada penilaian
dan penyempurnaan tentang segala sesuatu yang terkait dengan pembedahan. Ini
adalah upaya pertama yang berusaha mengidentifikasikan masalah klinis, dan
kemudian mencari jalan keluarnya.

Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of
Surgeons(ACS) menyusun suatu Hospital Standardization Programme.Program
standarisasi adalah upaya pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan
mutu pelayanan. Program ini ternyata sangat berhasil meningkatkan mutu pelayanan
sehingga banyak rumah sakit tertarik untuk ikut serta. Dengan berkembangnya ilmu
dan teknologi maka spesialisasi ilmu kedokteran diluar bedah cepat berkembang.
Oleh karena itu program standarisasi perlu diperluas agar dapat mencakup disiplin
lain secara umum.

Pada tahun 1951 American College of Surgeon, American College of


Physicians, dan American Hospital Association bekerjasama membentuk suatu Joint
Commision on Accreditation of Hospital (JCAH) suatu badan gabungan untuk
menilai dan mengakreditasi rumah sakit.

Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal dan
essensial untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di rumah sakit, namun
telah memacu rumah sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya
sesuai dengan sumber daya yang ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara
tahun 1953-1965 standar akreditasi direvisi enam kali, selanjutnya beberapa tahun
sekali diadakan revisi.

Atas keberhasilan JCAH dalam meningkatkan mutu pelayanan, Pemerintah


Federal memberi pengakuan tertinggi dalam mengundangkan “Medicare Act”.
Undangundang ini mengabsahkan akreditasi rumah sakit menurut standar yang
ditentukan oleh JCAH. Sejak saat itu rumah sakit yang tidak diakreditasi oleh JCAH
tidak dapat ikut program asuransi kesehatan pemerintah federal (medicare), padahal
asuransi di Amerika sangat menentukan utilisasi rumah sakit karena hanya 9,3%
biaya rumah sakit berasal dari pembayaran langsung oleh pasien.

Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar dapat lulus
akreditasi suatu rumah sakit harus juga mempunyai program pengendalian mutu yang
dilaksanakan dengan baik.

Di Australia, Australian Council on Hospital Standards (ACHS) didirikan


dengan susah payah pada tahun 1971, namun sampai tahun 1981 badan ini baru
berhasil beroperasi dalam tiga negara bagian. Tetapi lambat laun ACHS dapat
diterima kehadirannya dan diakui manfaatnya dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan sehingga sekarang kegiatan ACHS telah mencakup semua negara bagian.
Pelaksanaan peningkatan mutu di Australia pada dasarnya hampir sama dengan di
Amerika.

Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan sangat tinggi,


namun masalah itu tetap merupakan hal baru dengan konsepsi yang masih agak
kabur bagi kebanyakan tenaga profesi kesehatan. Sedangkan pendekatan secara
Amerika sukar diterapkan karena perbedaan sistem kesehatan di masing-masing
negara di Eropa. Karena itu kantor Regional WHO untuk Eropa pada awal tahun
1980-an mengambil inisiatif untuk membantu negara-negara Eropa mengembangkan
pendekatan peningkatan mutu pelayanan disesuaikan dengan sistem pelayanan
kesehatan masingmasing.

Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang upaya
meningkatkan mutu dan penyelenggaraan simposium di Utrecht,Belanda tentang
metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983 di Barcelona,
Spanyol 6 suatu kelompok kerja yang dibentuk oleh WHO telah mengadakan
pertemuan untuk mempelajari peningkatan mutu khusus untuk Eropa.

Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun pada
simposium peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat kesan bahwa secara
nasional upaya peningkatan mutu di berbagai negara Eropa Barat masih pada
perkembangan awal.

Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan mutu


dan akreditasi rumah sakit secara nasional adalah Taiwan.Negara ini banyak
menerapkan metodologi dari Amerika.Sedangkan Malaysia mengembangkan
peningkatan mutu pelayanan dengan bantuan konsultan ahli dari Negeri Belanda.

Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah
dilakukan Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu
penetapan kelas rumah sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan
No.033/Birhup/1972. Secara umum telah ditetapkan beberapa kriteria untuk tiap
kelas Rumah sakit A,B,C,D. Kriteria ini kemudian berkembang menjadi standar-
standar. Kemudian dari tahun ke tahun disusun berbagai standar baik menyangkut
pelayanan, ketenagaan, sarana dan prasarana untuk masing-masing kelas rumah sakit.
Disamping standar, Departemen Kesehatan juga mengeluarkan berbagai panduan
dalam rangka meningkatkan penampilan pelayanan rumah sakit.

Sejak tahun 1984 Departemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai


indikator untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan (performance) rumah sakit
pemerintah kelas C dan rumah sakit swasta setara yaitu dalam rangka Hari Kesehatan
Nasional. Indikator ini setiap dua tahun ditinjau kembali dan disempurnakan.
Evaluasi penampilan untuk tahun 1991 telah dilengkapi dengan indikator kebersihan
dan ketertiban rumah sakit dan yang dievaluasi selain kelas C juga kelas D dan kelas
B serta rumah sakit swasta setara. Sedangkan evaluasi penampilan tahun 1992 telah
dilengkapi pula dengan instrumen mengukur kemampuan pelayanan. Evaluasi
penampilan rumah sakit ini merupakan langkah awal dari Konsep Continuous
Quality Improvement (CQI). Berbeda dengan konsep QA tradisional dimana dalam
monitor dan evaluasi dititik beratkan kepada pencapaian standar, maka pada CQI
fokus lebih diarahkan kepada penampilan organisasi melalui penilaian pemilik,
manajemen, klinik dan pelayanan penunjang. Perbedaan yang sangat mendasar yaitu
keterlibatan seluruh karyawan.

Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa rumah sakit telah mengadakan


monitoring dan evaluasi mutu pelayanan rumah sakitnya. Pada tahun 1981 RS Gatot
Subroto telah melakukan kegiatan penilaian mutu yang berdasarkan atas derajat
kepuasan pasien. Kemudian RS Husada pada tahun 1984 melakukan kegiatan yang
sama. RS Husada di Surabaya membuat penilaian mutu atas dasar penilaian
perilakudan penampilan kerja perawat. RS Dr.Soetomo Surabaya menilai mutu
melalu penilaian infeksi nosokomial sebagai salah satu indikator mutu pelayanan.RS
Cipto Mangunkusumo menggunakan upaya penggunaan obat secara rasional.

RS Islam Jakarta pernah menggunakan pengendalian mutu terpadu (TQC) dan


Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle = QCC). Beberapa RS lainnya juga
telah mencoba menerapkan Gugus Kendali Mutu, walaupun hasilnya belum ada yang
dilaporkan.

Sejalan dengan hal di atas maka Kementrian Kesehatan telah mengadakan


Pelatihan Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit pada beberapa rumah sakit.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk meningkatkan
mutu sudah cukup meluas walaupun dalam penerapannya sering ada perbedaan.

B. KESELAMATAN PASIEN
Sejak awal tahun 1900 institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada 3
(tiga) elemen yaitu input, proses dan output sampai outcome dengan bermacam
macam konsep dasar, program regulasi yang berwenang misalnya antara lain
penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, Penerapan Quality Assurance, Total
Quality Management, Countinous Quality Improvement, Perizinan, Akreditasi,
Kredensialing, Audit Medis, Indikator Klinis, Clinical Governance, ISO, dan lain
sebagainya.

Harus diakui program-program tersebut telah meningkatkan mutu pelayanan


rumah sakit baik pada aspek input, proses maupun output dan outcome. Namun harus
diakui, pada pelayanan yang telah berkualitas tersebut masih terjadi KTD yang tidak
jarang berakhir dengan tuntutan hukum. Oleh sebab itu perlu program untuk lebih
memperbaiki proses pelayanan, karena KTD sebagian dapat merupakan kesalahan
dalam proses pelayanan yang sebetulnya dapat dicegah melalui rencana pelayanan
yang komprehensif dengan melibatkan pasien berdasarkan haknya. Program tersebut
yang kemudian dikenal dengan istilah keselamatan pasien (patient safety).

Dengan meningkatnya keselamatan pasien rumah sakit diharapkan kepercayaan


masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit dapat meningkat. Selain itu keselamatan
pasien juga dapat mengurangi KTD, yang selain berdampak terhadap peningkatan
biaya pelayanan juga dapat membawa rumah sakit ke arena blamming, menimbulkan
konflik antara dokter/petugas kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis,
tuntutan dan proses hukum, tuduhan malpraktek, blow-up ke media massa yang
akhirnya menimbulkan opini negatif terhadap pelayanan rumah sakit. Selain itu
rumah sakit dan dokter bersusah payah melindungi dirinya dengan asuransi,
pengacara dsb. Tetapi pada akhirnya tidak ada pihak yang menang, bahkan
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit.

Pada Januari 2002 Executive Board WHO menyusun usulan resolusi, dan
kemudian diajukan pada World Health Assembly ke 55 Mei 2002, dan diterbitkan
sebagai Resolusi WHA55.18. Selanjutnya pada World Health Assembly ke 57 Mei
2004, diputuskan membentuk aliansi internasional untuk peningkatan keselamatan
pasien dengan sebutan World Alliance for Patient Safety, dan ditunjuk Sir Liam
Donaldson sebagai Ketua.

World Alliance for Patient Safety pada tahun 2004 menerbitkan 6 program
keselamatan pasien, dan tahun 2005 menambah 4 program lagi, keseluruhan 10
program WHO untuk keselamatan pasien adalah sbb :
1. Global Patient Safety Challenge :
a. 1st Challenge : 2005-2006 : Clean Care is Safer Care,
b. 2nd Challenge : 2007-2008 : Safe Surgery Safe Live
2. Patient for Patient Safety.
3. Taxonomy for Patient Safety.
4. Research for Patient Safety.
5. Solutions for Patient Safety.
6. Reporting and Learning.
7. Safety in action
8. Technology for Patient Safety
9. Care of acutely ill patients.
10. Patient safety knowledge at your fingertips.
WHO Collaborating Centre for Patient Safety, dimotori oleh Joint Commission
International, Suatu badan akreditasi dari Amerika Serikat, mulai tahun 2005
mengumpulkan pakar keselamatan pasien dari lebih 100 Negara, dengan kegiatan
mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamtan pasien, dan mencari
solusi berupa sistem atau intervensi sehingga mampu mencegah atau mengurangi
cedera pasien dan meningkatkan keselamatan pasien. Pada tgl 2 Mei 2007 WHO
Colaborating Centre for Patient Safety resmi menerbitkan panduan “Nine Life-
Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Keselamatan Pasien Rumah
Sakit”).
Sembilan topik yang diberikan solusinya adalah sbb:
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike
Medication Names).
2. Pastikan Identifikasi pasien.
3. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien.
4. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.
5. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated).
6. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.
7. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube).
8. Gunakan alat injeksi sekali pakai.
9. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi
nosokomial.

Setiap pelayanan kesehatan harus menyelenggarakan keselamatan pasien.


Penyelenggaraan keselamatan pasien dilakukan melalui pembentukan system
pelayanaan yang menerapkan:
1. Standar keselamatan pasien;
2. Sasaran keselamatan pasien; dan
3. Tujuh langkah menuju keselamatan pasien.

Sistem pelayanan tersebut harus menjamin pelaksanaan:


1. Asuhan pasien lebih aman, melalui upaya meliputi asesmen resiko, identifikasi
dan pengelolaan risiko pasien;
2. Pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, dan tindak
lanjutnya; dan
3. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Standar keselamatan pasien meliputi standar:


1. Hak pasien;
2. Pendidikan bagi pasien dan keluarga;
3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan;
4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
peningkatan keselamatan pasien;
5. Pendidikan bagi staf tentang keselamatan pasien;
6. Pendidikan bagi staf tentang keselamatan pasien; dan
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

Sasaran keselamatan pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut:


1. Mengidentifikasi pasien dengan benar;
2. Meningkatkan komunikasi yang efektif;
3. Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai;
4. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, pembedahan pada pasien yang
benar;
5. Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan; dan
6. Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh

Tujuh langkah menuju keselamatan pasien terdiri atas:


1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien;
2. Memimpin dan mendukung staf;
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;
4. Mengembangkan sistem pelaporan;
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien;
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien; dan
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.

C. MANAJEMEN RISIKO
Risiko dedefinisikan sebagai kemungkinan sesuatu yang terjadi atau potensi
bahaya yang terjadi yang dapat memberikan pengaruh pada hasil akhir. Risiko yang
dicegah berupa risiko klinis dan risiko non klinis. Risiko klinis adalah risiko yang
dikaitkan langsung dengan layanan medis maupun layanan lain yang dialami pasien
selama di rumah sakit. Sementara risiko non medis ada yang berupa risiko bagi
organisasi maupun risiko finansial. Risiko organisasi adalah yang berhubungan
langsung dengan komunikasi, produk layanan, proteksi data, system informasi dan
semua risiko yang dapat mempengaruhi pencapaian organisasi. Risiko finansial
adalah risiko yang dapat mengganggu kontrol finansial yang efektif, salah satunya
adalah sistem yang harusnya dapat menyediakan pencatatan akuntansi yang baik.
(Bury PCT, 2007)

Menurut Dwipraharso (2004) risiko medis dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:


1. Tingkat probabilitas dan keparahannya minimal (umumnya bersifat foreseeable
but unavoidable, calculated, controllabe).
2. Risiko ‘bermakna’ tetapi harus diambil karena ‘the only way’ (unavoidable).
3. Risiko 1 dan 2 memerlukan informed consent sehingga bila terjadi dokter tidak
bertanggung jawab secara hukum.
4. Risiko yang unforeseeable = untoward results

Dalam setiap pusat pelayanan kesehatan harus dibangun sistem yang dapat
menjamin bahwa setiap tindakan medik yang dilakukan haruslah aman bagi pasien
maupun petugas dan lingkungan sekitar. Pendekatan yang dilakukan disebut dengan
manajemen risiko.

Manajemen risiko menurut The Joint Commision On Acreditation of


Helathcare Organizations adalah aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan
oleh rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi, dan pengurangan risiko
terjadinya cidera atau kerugian pada pasien, pengunjung dan institusi rumah sakit.
Manajemen risiko dapat digambarkan sebagai proses berkelanjutan dari identifikasi
secar sistemik, evaluasi, dan penatalaksanaan risiko dengan tujuan mengurangi
dampak buruk organisasi maupun individu. Rumah sakit perlu menggunakan
pendekatan proaktif dalam melaksanakan manajemen risiko.

BAB III
TUJUAN

A. PENINGKATAN MUTU
Tujuan Peningkatan Mutu Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira adalah
tercapainya peningkatan mutu pelayanan RSUD Siak melalui :
1. Optimalisasi tenaga, sarana, dan prasarana.
2. Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan
yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan
kebutuhan pasien.
3. Pemanfaatan teknologi tepat guna, hasil penelitian dan pengembangan
pelayanan kesehatan.

B. KESELAMATAN PASIEN
Tujuan keselamatan pasien Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira adalah sebagai
berikut:
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian tidak diharapkan.

C. MANAJEMEN RISIKO
Tujuan manajemen Resiko Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira adalah sebagai
berikut:
1. Mencegah terjadinya risiko melalui pengembangan sistem manajemen
risiko.
2. Meningkatkan peran staf rumah sakit untuk terlibat aktif dalam manajemen
risiko.
3. Meningkatkan kesadaran staf rumah sakit bahwa mereka adalah bagian
dari sistem manajemen.
BAB IV
PENGERTIAN

Agar upaya peningkatan mutu, keselamatan pasien, dan manajemen risiko di


Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka
diperlukan adanya kesatuan bahasa tentang konsep dasar upaya peningkatan mutu
pelayanan.

A. PENGERTIAN UMUM

a. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien


Pengelolaan manajemen mutu dan keselamatan pasien rumah sakit secara
keseluruhan meliputi seluruh struktur dari kegiatan klinis dan manajemen
dari sebuah rumah sakit, termasuk kerangka untuk memperbaiki proses
kegiatan dan pengurangan resiko yang terkait dengan variasi-variasi dari
proses sekaligus pengawasan dari Tim mutu dan keselamatan pasien.

b. Upaya Peningkatan Mutu


Usaha menyeluruh untuk memperkecil (reduction) risiko pada pasien dan
staf secara berkesinambungan melalui proses memimpin dan merencanakan,
merancang proses, pengukuran berjalannya proses berjalan baik melalui
pengumpulan data dan analisis data, dan menerapkan dan melanjutkan
(sustaining) perubahan yang dapat menghasilkan perbaikan.

c. Keselamatan Pasien
Suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman,
meliputi asesmen risiko; identifikasi dan pengelolaan risiko pasien;
pelaporan dan analisis insiden; kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.

d. Clinical Pathway
Adalah alat manajemen multi disiplin berdasarkan praktek berbasis bukti
untuk kelompok tertentu pasien dengan perjalanan klinis yang bisa
diprediksi, di mana tugas yang berbeda (intervensi) oleh para profesional
yang terlibat dalam perawatan pasien didefinisikan, dioptimalkan dan
diurutkan baik oleh jam(IGD), hari (perawatan akut) atau kunjungan
(perawatan dirumah). Hasilnya terkait dengan intervensi tertentu.

e. Indikator Wajib Nasional


Indikator area klinis dan manajemen nasional meliputi:
1. Kepatuhan identifikasi pasien.
2. Emergency Respon Time (waktu tanggap pelayanan pelayanan gawat
darurat ≤ 5 menit).
3. Waktu tunggu rawat jalan.
4. Penundaaan operasi elektif.
5. Kepatuhan jam visite dokter spesialis.
6. Waktu lapor hasil tes kritis laboratorium.
7. Kepatuhan penggunaan formularium nasional bagi RS provider BPJS.
8. Kepatuhan cuci tangan.
9. Kepatuhan Upaya Pencegahan Risiko Cidera Akibat Pasien Jatuh pada
pasien rawat inap.
10. Kepatuhan terhadap clinical pathway.
11. Kepuasan pasien dan keluarga
12. Kecepatan respon terhadap komplain.

f. Pengukuran indikator mutu prioritas


1. Indikator area klinis
a. Kelengkapan asesmen medis dalam waktu 24 jam setelah pasien
masuk rawat inap.
b. Ketidakpatuhan pendokumentasian asesmen nyeri secara kontinyu di
status pasien.
c. Kesalahan diagnosa pre dan post operasi.
d. Kesalahan Penyerahan Perbekalan Farmasi.
e. Ketidaklengkapan Asesmen Pre Anestesi.
f. Infeksi Daerah Operasi (IDO).
g. Infeksi Saluran Kencing (ISK).
h. Kejadian Pasien Jatuh.

2. Indikator area manajemen


a. Keterlambatan respon time genset

3. Indikator penerapan Sasaran Keselamatan Pasien


a. Mengidentifikasi pasien dengan benar.
b. Meningkatkan komunikasi yang efektif.
c. Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai.
d. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang benar.
e. Mengurangi risiko infeksi akibat perawatan kesehatan.
f. Mengurangi risiko cedera pasien akibat terjatuh.

4. 3 panduan praktik klinis yang di evaluasi


a. Ketuban Pecah Dini di Kebidanan
b. Berat Badan Lahir Rendah di Neonatologi
c. Kejang Demam di Ilmu Penyakit Anak

B. MUTU PELAYANAN
1. Pengertian mutu
a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan suatu produk atau jasa.
b. Mutu adalah expertise, atau keahlian dan keterikatan (commitment)
c. Mutu adalah kegiatan tanpa salah dalam melakukan pekerjaan.

2. Definisi Mutu Pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira


Dimensi Mutu adalah derajat kesempurnaan pelayanan Rumah Sakit Ibu dan
Anak Safira untuk memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen akan
pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi dan standar
pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira agar, efisien dan efektif serta diberikan
secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosio
budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan Rumah Sakit
Ibu dan Anak Safira dan masyarakat konsumen.

3. Pihak yang Berkepentingan dengan Mutu


Banyak pihak yang berkepentingan dengan mutu, yaitu :
a. Konsumen.
b. Pembayar/perusahaan/asuransi.
c. Manajemen Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira
d. Karyawan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira Masyarakat.

Setiap kepentingan yang disebut di atas berbeda sudut pandang dan


kepentingannya terhadap mutu. Karena itu mutu adalah multi dimensional.

4. Dimensi Mutu
Dimensi atau aspeknya adalah :
a. Keprofesian.
b. Efisiensi.
c. Keamanan Pasien.
d. Kepuasan Pasien.
e. Aspek Sosial Budaya.

5. Mutu Terkait dengan Input, Proses, Output dan Outcome


Pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan menggunakan 3
variabel, yaitu :
a. Input: adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan
pelayanan kesehatan, seperti tenaga, dana, obat, fasilitas, peralatan,
bahan, teknologi, organisasi, informasi, dan lain-lain.Pelayanan
kesehatan yang bermutu memerlukan dukungan input yang bermutu pula.
Hubungan struktur dengan mutu pelayanan kesehatan adalah dalam
perencanaan danpenggerakan pelaksanaan pelayanan kesehatan.
b. Proses, merupakan aktivitas dalam bekerja, adalah merupakan interaksi
professional antara pemberi pelayanan dengan konsumen
(pasien/masyarakat). Proses ini merupakan variabel penilaian mutu yang
penting.
c. Output, ialah jumlah pelayanan yang dilakukan oleh unit kerja/rumah
sakit.
d. Outcome, ialah hasil pelayanan kesehatan, merupakan perubahan yang
terjadi pada konsumen (pasien/masyarakat), termasuk kepuasan dari
konsumen tersebut.

Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira adalah suatu institusi pelayanan kesehatan
yang kompleks, padat pakar dan padat modal. Kompleksitas ini muncul karena
pelayanan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira menyangkut berbagai fungsi
pelayanan, serta mencakup berbagai tingkatan maupun jenis disiplin. Agar Rumah
Sakit Ibu dan Anak Safira mampu melaksanakan fungsi yang demikian kompleks,
harus memiliki sumber daya manusia yang profesional baik di bidang teknis medis
maupun administrasi kesehatan. Untuk menjaga dan meningkatkan mutu, Rumah
Sakit Ibu dan Anak Safira harus mempunyai suatu ukuran yang menjamin
peningkatan mutu di semua tingkatan.
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira
diawali dengan penilaian akreditasi Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira yang
mengukur dan memecahkan masalah pada tingkat input dan proses. Pada kegiatan ini
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira harus menetapkan standar input, proses, output,
dan outcome, serta membakukan seluruh standar prosedur yang telah ditetapkan.
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira dipacu untuk dapat menilai diri (self assesment)
dan memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sebagai
kelanjutan untuk mengukur hasil kerjanya perlu ada alat ukur yang lain, yaitu
instrumen mutu pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira yang menilai dan
memecahkan masalah pada hasil (output dan outcome). Tanpa mengukur hasil
kinerja Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira tidak dapat diketahui apakah input dan
proses yang baik telah menghasilkan output yang baik pula. Indikator Rumah Sakit
Ibu dan Anak Safira yangdisusun dengan tujuan untuk dapat mengukur kinerja mutu
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira secara nyata.
BAB V
KEBIJAKAN

A. PENINGKATAN MUTU
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan keseluruhan
upaya dan kegiatan secara komprehensif dan integratif memantau dan menilai mutu
pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira memecahkan masalah-masalah yang
ada dan mencari jalan keluarnya, sehingga mutu pelayanan Rumah Sakit Ibu dan
Anak Safira akan menjadi lebih baik.

Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira upaya peningkatan mutu pelayanan adalah
kegiatan yang bertujuan memberikan asuhan atau pelayanan sebaik-baiknya kepada
pasien. Upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira akan
sangat berarti dan efektif bilamana upaya peningkatan mutu menjadi tujuan sehari-
hari dari setiap unsur di Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira termasuk pimpinan,
pelaksana pelayanan langsung dan staf penunjang.

Upaya peningkatan mutu termasuk kegiatan yang melibatkan mutu asuhan atau
pelayanan dengan penggunaan sumber daya secara tepat dan efisien. Walaupun
disadari bahwa mutu memerlukan biaya, tetapi tidak berarti mutu yang lebih baik
selalu memerlukan biaya lebih banyak atau mutu rendah biayanya lebih sedikit.

Berdasarkan hal di atas maka disusunlah kebijakan dari upaya peningkatan


mutu pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira.

1. Definisi Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak
Safira
Definisi upaya peningkatan mutu pelayanan adalah keseluruhan upaya
dan kegiatan yang komprehensif dan integratif yang menyangkut input, proses
dan output secara objektif, sistematik dan berlanjut memantau dan menilai
mutu dan kewajaran pelayanan terhadap pasien, dan memecahkan masalah-
masalah yang terungkapkan sehingga pelayanan yang diberikan di Rumah
Sakit Ibu dan Anak Safira berdaya guna dan berhasil guna.

2. Indikator mutu
Indikator mutu RSUD Siak meliputi indikator klinik, indikator yang
berorientasi pada waktu dan indikator ratio yang berdasarkan pada efektifitas
(effectivenes), efisiensi (efficiency), keselamatan (safety) dan kelayakan
(appropriateness).

3. Strategi
Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan RSUD Siak maka
disusunlah strategi sebagai berikut :
a. Setiap petugas harus memahami dan menghayati konsep dasar dan prinsip
mutu pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira sehingga dapat
menerapkan langkah-langkah upaya peningkatan mutu di masing-masing
unit kerjanya.
b. Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber daya manusia di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira, serta upaya meningkatkan kesejahteraan
karyawan.
c. Menciptakan budaya mutu di Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira, termasuk di
dalamnya Menyusun program mutu Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira
dengan pendekatan PDCA cycle.

4. Pendekatan Pemecahan Masalah


Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur)
yang berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini adalah
identifikasi masalah. Identifikasi masalah merupakan bagian sangat penting
dari seluruh proses siklus (daur), karena akan menentukan kegiatan-kegiatan
selanjutnya dari pendekatan pemecahan masalah ini. Masalah akan timbul
apabila :
a. Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada terdapat
penyimpangan.
b. Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut.
c. Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.

Dengan telah jelasnya cara memecahkan masalah maka bisa dilakukan


tindakan perbaikan. Namun agar pemecahan masalah bisa tuntas, setelah
diadakan tindakan perbaikan perlu dinilai kembali apakah masih ada yang
tertinggal. Dari penilaian kembali maka akan didapatkan masalah yang telah
terpecahkan dan masalah yang masih tetap merupakan masalah sehingga proses
siklus akan berulang mulai tahap pertama.

5. Prinsip Dasar Upaya Peningkatan Mutu Rumah Sakit Ibu dan Anak
Safira
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek
yang akan ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar
yang digunakan untuk mengukur mutu pelayanan Rumah Sakit Ibu dan Anak
Safira.

Indikator adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu


indikasi. Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk bisa
melihat perubahan. Indikator yang baik adalah yang sensitif tapi juga spesifik.
Kriteria adalah spesifikasi dari indikator.

Standar :
a. Tingkat kinerja atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang
berwenang dalam situasi tersebut, atau oleh mereka yang bertanggung jawab
untuk mempertahankan tingkat kinerja atau kondisi tersebut.
b. Suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat
baik.
c. Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat, nilai atau
mutu.
Dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan maka harus
memperhatikan prinsip dasar sebagai berikut:
1. Aspek yang dipilih untuk ditingkatkan:
“Pelayanan KPD”
2. Indikator yang dipilih
a. Indikator Wajib Nasional
b. Indikator Prioritas :
a) IndikatorArea Klinis
b) Indikator Area Manajemen
c) Indikator Sasaran Keselamatan Pasien

3. Kriteria profil indikator yang digunakan:


a. Judul indikator
b. Defenisi operasional
c. Tujuan, dimensi mutu
d. Dasar pemikiran/ alasan pemilihan indikator
e. Numerator, denominator, formula pengukuran
f. Metodologi pengumpulan data
g. Cakupan data
h. Frekuensi pengumpulan data
i. Frekuensi analisa data
j. Sumber data
k. Penanggung jawab pengumpul data
l. Publikasi data
4. Standar Yang Digunakan:
a. Acuan dari berbagai sumber
b. Benchmarking dengan rumah sakit yang setara
c. Berdasarkan trend yang menuju kebaikan
5. Sistem Manajemen Data Rumah Sakit meliputi:
a. Mempunyai sistem manajemen data yang didukung dengan teknologi
informasi mulai dari pengumpulan, pelaporan, analisis, validasi serta
publikasi internal dan eksternal rumah sakit memperhatikan kerahasiaan
pasien
b. Data yang dimaksud meliputi:
a) Indikator mutu unit
b) Indikator mutu prioritas
c. Data hasil pelaporan insiden keselamatan pasien
d. Data hasil monitoring kinerja staf klinis
e. Data hasil pengukuran budaya keselamatan pasien
f. Integrasi seluruh data diatas meliputi:
a) Pengumpulan
b) Pelaporan
c) Analisa
d) Validasi
e) Publikasi indikator mutu

6. Pengendalian Kualitas Pelayanan


Pengendalian adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus dilakukan
untuk menjamin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal kualitas produk dan jasa
pelayanan yang diproduksi. Pengendalian kualitas pelayanan pada dasarnya adalah
pengendalian kualitas kerja dan proses kegiatan untuk menciptakan kepuasan
pelanggan (quality or customer’s satisfaction) yang dilakukan oleh setiap orang dari
setiap bagian di Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira.

Pengertian pengendalian kualitas pelayanan di atas mengacu pada siklus


pengendalian (control cycle) dengan memutar siklus “Plan-Do-Check-Action” (P-D-
C-A) = Relaksasi (rencanakan– laksanakan–periksa–aksi). Pola P-D-C-A ini dikenal
sebagai “siklus Shewart”, karena pertama kali dikemukakan oleh Walter Shewart
beberapa puluh tahun yang lalu. Namun dalam perkembangannya, metodologi
analisis P-D-C-A lebih sering disebuit “siklus Deming”. Hal ini karena Deming
adalah orang yang mempopulerkan penggunaannya dan memperluas penerapannya.
Dengan nama apapun itu disebut, P-D-C-A adalah alat yang bermanfaat untuk
melakukan perbaikan secara terus menerus (continous improvement) tanpa berhenti.

Konsep P-D-C-A tersebut merupakan panduan bagi setiap manajer untuk


proses perbaikan kualitas (quality improvement) secara rerus menerus tanpa berhenti
tetapi meningkat ke keadaaan yang lebih baik dan dijalankan di seluruh bagian
organisasi.

Pengidentifikasian masalah yang akan dipecahkan dan pencarian sebab-


sebabnya serta penetuan tindakan koreksinya, harus selalu didasarkan pada fakta. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya unsur subyektivitas dan pengambilan
keputusan yang terlalu cepat serta keputusan yang bersifat emosional. Selain itu,
untuk memudahkan identifikasi masalah yang akan dipecahkan dan sebagai patokan
perbaikan selanjutnya perusahaan harus menetapkan standar pelayanan.

Keenam langkah P-D-C-A dapat dijelaskan sebagai berikut :


1. Langkah 1. Menentukan tujuan dan sasaran → Plan
Tujuan dan sasaran yang akan dicapai didasarkan pada kebijakan yang ditetapkan.
Penetapan sasaran tersebut ditentukan oleh pimpinan rumah sakit. Penetapan sasaran
didasarkan pada data pendukung dan analisis informasi. Sasaran ditetapkan secara
konkret dalam bentuk angka, harus pula diungkapkan dengan maksud tertentu dan
disebarkan kepada semua karyawan. Semakin rendah tingkat karyawan yang hendak
dicapai oleh penyebaran kebijakan dan tujuan, semakin rinci informasi.
2. Langkah 2. Menentukan metode untuk mencapai tujuan → Plan
Penetapan tujuan dan sasaran dengan tepat belum tentu akan berhasil dicapai
tanpa disertai metode yang tepat untuk mencapainya. Metode yang ditetapkan harus
rasional, berlaku untuk semua karyawan dan tidak menyulitkan karyawan untuk
menggunakannya. Oleh karena itu dalam menetapkan metode yang akan digunakan
perlu pula diikuti dengan penetapan standar kerja yang dapat diterima da dimengerti
oleh semua karyawan.

3. Langkah 3. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan → Do


Metode untuk mencapai tujuan yang dibuat dalam bentuk standar kerja. Agar
dapat dipahami oleh petugas terkait, dilakukan program pelatihan para karyawan
untuk memahami standar kerja dan program yang ditetapkan.

4. Langkah 4. Melaksanakan pekerjaan →Do


Dalam pelaksanaan pekerjaan, selalu terkait dengan kondisi yang dihadapi dan
standar kerja mungkin tidak dapat mengikuti kondisi yang selalu dapat berubah. Oleh
karena itu, keterampilan dan pengalaman para karyawan dapat dijadikan modal dasar
untuk mengatasi masalah yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan karena
ketidaksempurnaan standar kerja yang telah ditetapkan.

5. Langkah 5: Memeriksa akibat pelaksanaan →Check


Manajer atau atasan perlu memeriksa apakah pekerjaan dilaksanakan dengan
baik atau tidak. Jika segala sesuatu telah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan
dan mengikuti standar kerja, tidak berarti pemeriksaan dapat diabaikan. Hal yang
harus disampaikan kepada karyawan adalah atas dasar apa pemeriksaan itu
dilakukan. Agar dapat dibedakan manakah penyimpangan dan manakah yang bukan
penyimpangan, maka kebijakan dasar, tujuan, metode (standar kerja) dan pendidikan
harus dipahami dengan jelas baik oleh karyawan maupun oleh manajer. Untuk
mengetahui penyimpangan, dapat dilihat dari akibat yang timbul dari pelaksanaan
pekerjaan dan setelah itu dapat dilihat dari penyebabnya.

6. Langkah 6 : Mengambil tindakan yang tepat →Action


Pemeriksaan melalui akibat yang ditimbulkan bertujuan untuk menemukan
penyimpangan. Jika penyimpangan telah ditemukan, maka penyebab timbulnya
penyimpangan harus ditemukan untuk mengambil tindakan yang tepat agar tidak
terulang lagi penyimpangan. Menyingkirkan faktor-faktor penyebab yang telah
mengakibatkan penyimpangan merupakan konsepsi yang penting dalam
pengendalian kualitas pelayanan.

Konsep PDCA dengan keenam langkah tersebut merupakan sistem yang efektif
untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang
akan dicapai diperlukan partisipasi semua karyawan, semua bagian dan semua
proses. Partisipasi semua karyawan dalam pengendalian kualitas pelayanan
diperlukan kesungguhan (sincerety), yaitu sikap yang menolak adanya tujuan yang
semata-mata hanya berguna bagi diri sendiri atau menolak cara berfikir dan berbuat
yang semata-mata bersifat pragmatis. Dalam sikap kesungguhan tersebut yang
dipentingkan bukan hanya sasaran yang akan dicapai, melainkan juga cara bertindak
seseorang untuk mencapai sasaran tersebut.

Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan mencakup


semua jenis kelompok karyawan yang secara bersama-sama merasa bertanggung
jawab atas kualitas pelayanan dalam kelompoknya. Partisipasi semua proses dalam
pengendalian kualitas pelayanan dimaksudkan adalah pengendalian tidak hanya
terhadap output, tetapi terhadap hasil setiap proses. Proses pelayanan akan
menghasilkan suatu pelayanan berkualitas tinggi, hanya mungkin dapat dicapai jika
terdapat pengendalian kualitas dalam setiap tahapan dari proses. Dimana dalam
setiap tahapan proses dapat dijamin adanya keterpaduan, kerjasama yang baik antara
kelompok karyawan dengan manajemen, sebagai tanggung jawab bersama untuk
menghasilkan kualitas hasil kerja dari kelompok, sebagai mata rantai dari suatu
proses.

B. KESELAMATAN PASIEN
Mengacu kepada standar keselamatan pasien, maka Rumah Sakit Ibu dan Anak
Safira harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor
dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja mutu serta keselamatan
pasien.

Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi,misi, dan tujuan Rumah
Sakit Ibu dan Anak Safira, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah
klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko
bagi pasien sesuai dengan “ Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit”

Berkaitan hal tersebut diatas maka perlu ada kejelasan perihal tujuh Langkah
keselamatan pasien rumah sakit tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.
Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil. Langkah
penerapan:
a. Tingkat Rumah Sakit :
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira telah memiliki kebijakan yang
menjabarkan apa yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden,
bagaimana langkah-langkah pengumpulan fakta harus dilakukan dan
dukungan apa yang harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga.
a) Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira telah memiliki kebijakan dan
prosedur yang menjabarkan peran dan akuntabilitas individual bilamana
ada insiden.
b) Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira telah berupaya menumbuhkan budaya
pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit.
c) Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan
pasien.
b. Tingkat unit kerja
a) Pastikan semua rekan bekerja merasa mampu untuk berbicara mengenai
kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden.
b) Demonstrasikan kepada seluruh personil ukuran-ukuran yang dipakai di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira untuk memastikan semua laporan
dibuat secara terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan
tindakan/solusi yang tepat.

2. Pimpinan dan dukungan staf RS.


Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan
Pasien di seluruh jajaran Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira, Langkah
penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit :
a) Direksi bertanggung jawab atas keselamatan pasien.
b) Telah dibentuk Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien yang ditugaskan
untuk menjadi “penggerak” dalam gerakan keselamatan pasien.
c) Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat jajaran Direksi
maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim:
a) Semua pimpinan unit kerja wajib memimpin gerakan Keselamatan
Pasien.
b) Selalu jelaskan kepada seluruh personil relevansi dan pentingnya serta
manfaat bagi mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan
Pasien.
c) Tumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.

3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko


Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi
dan asesmen hal yang potensial bermasalah, Langkah penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit :
a) Telaah kembali input dan proses yang ada dalam manajemen risiko
klinis dan non klinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan
terintegrasi dengan Keselamatan Pasien dan staf.
b) Kembangkan indikator-indikator kinerja mutu dan Insiden Keselamatan
Pasien (IKP) bagi sistem pengelolaan risiko yang dapat dimonitor oleh
Direksi/Manajer Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira
c) Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari system
pelaporan insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif
meningkatkan kepedulian terhadap pasien.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim:
a) Dalam setiap rapat koordinasi selalu laksanakan diskusi tentang hal-hal
yang berkaitan dengan Keselamatan Pasien guna memberikan umpan
balik kepada Manajer terkait.
b) Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses
asesmen risiko rumah sakit.
c) Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan
akseptabilitas setiap risiko, dan ambilah langkah-langkah tepat untuk
memperkecil risiko tersebut.
d) Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke
proses asesmen dan pencatatan risiko rumah sakit.

4. Kembangkan Sistem Pelaporan


Pastikan staf agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/insiden, serta
rumah sakit mengatur pelaporan kepada Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(KKPRS). Langkah penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit.
Sistem pelaporan insiden ke dalam maupun ke luar rumah sakit mengacu
pada Pedoman Keselamatan Pasien Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira.

b. Tingkat Unit Kerja/Tim :


Berikan semangat kepada seluruh personil untuk secara aktif melaporkan
setiap insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap
terjadi juga, karena mengandung bahan pelajaran yang penting.

5. Libatkan dan Berkomunikasi Dengan Pasien.


Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien. Langkah
penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit :
a) Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira memiliki kebijakan dan pedoman
yang jelas tentang cara-cara komunikasi terbuka selama proses asuhan
tentang insiden dengan para pasien dan keluarganya.
b) Seluruh staf Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira terkait harus mampu
memastikan bahwa pasien dan keluarga mendapat informasi yang benar
dan jelas bilamana terjadi insiden.
c) Seluruh jajaran manajerial harus mampu memberi dukungan, pelatihan
dan dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien
dan keluarganya.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim :
a) Pastikan seluruh personil menghargai dan mendukung keterlibatan
pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden.
b) Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana
terjadi insiden, dan segera berikan kepada mereka informasi yang jelas
dan benar secara tepat.
c) Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada
pasien dan keluarganya.

6. Belajar Dan Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien. Seluruh staf


harus mampu untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana
dan mengapa KTD itu timbul. Langkah penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit:
a) Pastikan staf yang tekait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden
secara tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab.
b) Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria
pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA) yang
mencakup insiden yang terjadi dan minimum satu kali per tahun
melakukan melakukan Failure Modes and Effects Analysis (FMEA)
untuk proses risiko tinggi.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim:
a) Diskusikan dalam jajaran unit/tim pengalaman dari hasil analisis
insiden.
b) Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di masa
depan dan bagilah pengalaman tersebut secara lebih luas.

7. Cegah Cedera Melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien.


Gunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan
perubahan pada sistem pelayanan. Langkah penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit :
a) Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem
pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis, untuk
menentukan solusi.
b) Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem (input dan
proses), penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk
penggunaan instrumen yang menjamin keselamatan pasien.
c) Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang direncanakan.
Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas
insiden yang dilaporkan.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim :
a) Libatkan seluruh personil dalam mengembangkan berbagai cara untuk
membuat asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.
b) Telaah kembali perubahan-perubahan yang telah dibuat dan pastikan
pelaksanaannya.
c) Pastikan seluruh personil menerima umpan balik atas setiap tindak
lanjut tentang insiden yang dilaporkan.

Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang


komprehensif untuk menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut
secara menyeluruh harus dilaksanakan oleh setiap rumah sakit. Dalam pelaksanaan,
tujuh langkah tersebut tidak harus berurutan dan tidak harus serentak. Dapat dipilih
langkah-langkah yang paling strategis dan paling mudah dilaksanakan. Bila langkah-
langkah ini berhasil maka kembangkan langkah-langkah yang belum dilaksanakan.
Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan dengan baik maka dapat menambah
penggunaan metoda-metoda lainnya.

C. MANAJEMEN RISIKO
Manajemen risiko merupakan upaya yang proaktif untuk mencegah masalah di
kemudian hari, dilakukan terus menerus dan dalam suasana no blame culture.
Tahapan manajemen risiko adalah:
1. Risk Awareness.
Seluruh staf rumah sakit harus menyadari risiko yang mungkin terjadi di
unit kerjanya masing- masing, baik medis maupun non medis. Metode yang
digunakan untuk mengenali risiko antara lain: Self-assesment, sistem
pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (laporan insiden)
dan audit klinis.
2. Risk Control (and or Risk Prevention)
Langkah-langkah yang diambil manajemen untuk mengendalikan risiko.
Upaya yang dilakukan:
a. Mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution)
b. Mengurangi risiko (control solution) baik terhadap probabilitasnya
maupun terhadap derajat keparahannya.
c. Mengurangi dampaknya.

3. Risk Containment.
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau
kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan
sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko
dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan
insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat
terhadap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.
4. Risk Transfer
Akhir apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan kerugian,
maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang
sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.

Proses manajemen risiko yang digunakan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira
diadopsi dari Risk Management Logic (Dwipraharso, 2004), yang terdiri dari:
1. Asesmen Risiko
2. Identifikasi Risiko
3. Analisis Risiko
4. Urutkan Prioritas Risiko dengan Mengukur Tingkat Risiko
5. Tentukan Respon Rumah Sakit
6. Kelola Kasus Risiko untuk Meminimalkan Kerugian (Risk Control)
7. Evaluasi Risiko
8. Membangun Upaya Pencegahan
9. Kelola Pembiayaan Risiko (Risk Financing).
BAB VI
KEGIATAN

Pelaksanaan kegiatan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah sakit


Ibu dan Anak Safira adalah sebagai berikut:
1. Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira menetapkan kebijaksanaan dan langkah-
langkah upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit.
Untuk dapat melaksanakan upayapeningkatan mutu pelayanan di rumah
sakit, maka langkah awal yang diperlukan adalah adanya kebijaksanaan dan
langkah-langkah upaya peningkatan mutu dan keselamatan pasien dari
direktur.
2. Membentuk TIM PMKP di Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira dengan surat
keputusan direktur, lengkap beserta uraian tugas yang jelas.
3. Pimpinan beserta TIM PMKP Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira melakukan
kegiatan persiapan berupa pertemuan/rapat, lokakarya, pelatihan, dan
sebagainya kepada seluruh staf rumah sakit, sehingga ada kesamaan
pengertian tentang mutu, keselamatan pasien, dan manajemen risiko,
penghayatan konsep dasar dan prinsip, dan adanya kesepakatan tentang
langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan.
4. Pimpinan beserta TIM PMKP Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira membahas
dan merencanakan serta melaksanakan segala langkah-langkah yang
menyangkut persiapan upaya peningkatan mutu, keselamatan pasien, dan
manajemen risiko sebagai berikut:
a. Melakukan monitoring dan memandu penerapan program PMKP di
unit kerja
b. Membantu dan melakukan koordinasi dengan pimpinan unit
pelayanan dalam memilih prioritas perbaikan, pengukuran mutu/
indikator mutu dan menindaklanjuti hasil capaian indikator
c. Melakukan koordinasi dan pengorganisasian pemilihan prioritas
program di tingkat unit kerja serta menggabungkan menjadi prioritas
rumah sakit secara keseluruhan. Prioritas program rumah sakit ini
harus terkoordinasi dengan baik dalam pelaksanaannya
d. Menentukan profil indikator mutu, metode analisis, dan validasi data
dari data indikator mutu yang dikumpulkan dari seluruh unit kerja di
rumah sakit
e. Menyusun formulir untuk mengumpulkan data, menentukan jenis
data, serta bagaimana alur data dan pelaporan dilaksanakan
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan semua pihak terkait serta
menyampaikan masalah terkait pelaksanaan program mutu dan
keselamatan pasien
g. Terlibat secara penuh dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan PMKP
h. Bertanggung jawab untuk mengkomunikasikan masalah- masalah
mutu secara rutin kepada semua staf
i. Menyusun regulasi terkait dengan pengawasan dan penerapan
program PMKP.
j. Pimpinan beserta TIM PMKP Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira
melakukan presentasi hasil pelaksanaan upaya peningkatan mutu
pelayanan secara teratur.
BAB VII
METODE

Metode pelaksanaan peningkatan mutu di Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira
harus mengacu kepada Buku Pedoman PMKP Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira.

1. PANDUAN MUTU
a. DEFINISI
1) Konsep dasar
Peningkatan mutu harus dilakukan berdasarkan data. Penggunaan data
secara efektif dapat dilakukan bila praktek klinis dan praktek
manajemen telah dijalankan berdasarkan evidence based. Mutu tidak
terpisahkan dari standar, karena kinerja diukur berdasarkan standar.
Dalam standar akreditasi rumah sakit, ruang lingkup dari peningkatan
mutu pelayanan mencakup:
a) Pengukuran mutu dengan menggunakan indikator- indikator mutu
sebagai berikut: indikator mutu area klinis, indikator area
manajemen maupun di area keselamatan pasien.
b) Penilaian kinerja individu baik dari staf klinis maupun non klinis.
c) Standarisasi asuhan klinis yang meliputi Patient Center Care,
integrasi
d) pelayanan dan pelaksanaan Panduan Praktek Klinis (PPK) dan
Clinical Pathways (CP).

Peningkatan mutu di rumah sakit memiliki 5 fokus area yakni:


1. Kepemimpinan dan Perencanaan
a. Pimpinan tertinggi di rumah sakit “harus sangat” terlibat dalam semua aspek
perencanaan dan monitoring program peningkatan mutu.
b. Pimpinan membuat prioritas kegiatan.
c. Pimpinan menyediakan sumber daya yang diperlukan.
2. Rancangan Proses Klinis dan Manajerial
a. Informasi tentang proses mutu dapat berasal dari banyak sumber.
b. Clinical practice guidelines, Clinical pathways, dan/protocol digunakan
dimana setiap tahun 5 area prioritas dipilih oleh pimpinan dan clinical
gudelines/pathways/protokol di implementasikan di setiap area prioritas.
3. Pemilihan Indikator dan Pengumpulan data
Pimpinan menyusun prioritas dan memilih indikator
4. Validasi dan analisa dari data penilaian
a. Pengumpulan data, diverifikasi secara benar terutama data yang akan
dipublikasi
b. Diperlukan individu dengan pengalaman dalam data display dan analisa
c. Perlu sekali pembandingan dengan diri sendiri (lihat trend), dengan rumah
sakit lain, atau dengan best practise.
5. Mencapai dan mempertahankan peningkatan
a. Fokus pada area prioritas
b. Implementasi proses yang telah ditingkatkan
c. Mempertunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan
d. Monitoring peningkatan yang telah dilakukan agar dapat menjamin tetap
dilaksanakan.

b. INDIKATOR MUTU
Untuk dapat mengukur mutu diperlukan indikator mutu, dimana
upaya peningkatan mutu dimulai dengan menyusun disain/rancangan mutu,
dilanjutkan dengan implementasi disain mutu dengan cara monitoring mutu
melalui indikator mutu, dihasilkan data yang dianalisis dan dilanjutkan
dengan rencana tindak lanjut.

Indikator mutu adalah suatu cara mengukur mutu dari suatu kegiatan
yang merupakan variabel yang digunakan untuk menilai perubahan. Kriteria
indikator yang baik:
1. Sahih (valid) yaitu benar benar dapat dipakai untuk mengukur aspek yang
dinilai.
2. Dapat dipercaya (reliable) yaitu mampu menunjukkan hasil yang sama
pada saat berulang kali untuk waktu sekarang maupun yang akan datang.
3. Sensitif yaitu cukup peka untuk mengukur sehingga jumlahnya tidak
perlu banyak.
4. Spesifik yaitu memberikan gambaran perubahan, ukuran yang jelas, dan
tidak bertumpang tindih.

Langkah penetapan indikator prioritas adalah dengan menciptakan lingkungan


yang menyadari perlunya mengukur mutu dengan cara:
1. Membentuk tim penyusun
2. Pelajari sistem mutu yang ada
3. Tentukan sumber informasi yang dibutuhkan untuk menyusun indikator
4. Workshop untuk mendapat dukungan dari pihak terkait.
5. Memahami konteks/latar belakang penyusunan indikator (apa yang ingin
dikerjakan, mengapa, bagaimana, sebaik apa, dan problem apa yang
mungkin dijumpai).
6. Kejelasan tujuan penyusunan indikator.
7. Identifikasi pendukung dan penghambat dan bagaimana mengatasinya.

Langkah penyusunan indikator kinerja adalah dengan cara:


1. Review indikator-indikator yang ada dari literatur maupun dari Kemenkes.
2. Review indikator-indikator yang selama ini digunakan.
3. Identifikasi unit-unit terkait.
4. Identifikasi indikator-indikator yang yang dapat dimonitor.
5. Susun indikator dan buat kamus indikatornya.
6. Tetapkan metoda pengumpulan data dan sumber informasi.
7. Tentukan metoda analisis.
8. Sosialisasi.
9. Tetapkan cara pelaporan indikator.
10. Monitor proses pengumpulan data.
11. Monitor analisis terhadap indikator dan pelaporannya.
12. Monitor penggunaan hasil analisis indikator.
13. Hitung biaya implementasi.
14. Kaji ulang terhadap indikator, cara pengumpulan data, analisis dan hasil
analis,
15. pemanfaaatan indikator untuk perbaikan, tindak lanjut perbaikan.
16. Perbaikan/penambahan/atau pengurangan indikator.
17. Evaluasi dan on going monitor.

Cara menyusun indikator mutu:


1. Ada kejadian tujuan dan latar belakang dari tiap-tiap indikator, mengapa
indicator tersebut penting dan dapat menunjukkan tingkat kinerja
organisasi/bagian/unit kerja.
2. Kejelasan terminologi yang digunakan.
3. Kapan pengumpulan data (kapan indikator harus diupdate), kapan harus
dianalisis, cara analisis, dan interpretasinya.
4. Numerator dan denominator.
5. Threshold (target)
6. Dari mana data diperoleh (sistem informasi untuk mendukung perolehan
data)

Cara menetapkan treshold (target) mutu:


1. Rujukan (referensi) sebagai konsensus nasional atau konsensus profesi.
2. Jika rate based indicator belum dapat ditentukan, dapat ditetapkan treshold
secara konsensus pada tahun pertama.
3. Adakalanya treshold tidak dapat ditetapkan, penilaian terhadap indikator
berdasarkan trend naik atau turun.

Alur pemilihan indikator:


1. Identifikasi masalah di unit kerja.
2. Pilih masalah yang ingin/dapat diperbaiki.
3. Lakukan uji coba pengumpulan data.
4. Bila indikator sudah dipilih, buat profil indikatornya.
5. Bila ada, pilih indikator berdasarkan standar yang diminta.
6. Tetapkan indikator tersebut.
7. Tetapkan pengumpul data, latih, dan data mulai dikumpulkan.

Pemilihan indikator klinik:


1. Prioritas tinggi.
2. Sederhana.
3. Mulai dengan sedikit indikator.
4. Data tersedia.
5. Ditingkatkan secara bertahap.
6. Dampak terhadap pengguna dan pelayanan.
7. Mengukur berbagai dimensi mutu.

Pertimbangan dalam memilih indikator yang prioritas untuk menilai mutu


pelayanan:
1. Dipersyaratkan standar akreditasi.
2. Dipersyaratkan oleh pemilik (pertanggungjawaban).
3. Ketersediaan data.
4. High risk, high cost, high volume, problem prone.
5. Konsensus.
6. Dipersyaratkan oleh customer.

Kriteria untuk menentukan area prioritas :


1. Dampak pasien.
2. Area yang memerlukan perbaikan performa.
3. Level diperlukan perbaikan.
4. Hubungan dengan strategic plan RS.
5. Frekuensi kejadian/isu.
6. Peluang keberhasilan.
7. Dampak keuangan.
8. Fokus pimpinan.
9. Dampak outcome pasien.
10. Kepuasan karyawan

2. RUANG LINGKUP
a. MAKSUD DAN TUJUAN
1. Maksud
Terlaksananya kegiatan peningkatan mutu berbasis data dimana
penggunaan data secara efektif bisa dilakukan bila praktek klinis dan
praktek manajemen telah dijalankan berdasarkan evidence based.
2. Tujuan
a. Terlaksananya pengukuran mutu dengan menggunakan indicator
kunci/indikator prioritas baik di area klinis, area manajemen maupun
area sasaran keselamatan pasien.
b. Terlaksananya pengukuran mutu/penilaian kinerja di unit kerja yang
lebih dikenal dengan istilah standar pelayanan minimal di lingkup
pemerintah.
c. Terlaksananya penilaian kinerja individu baik untuk staf klinis
maupun non klinis
d. Terlaksananya standarisasi asuhan klinis yang meliputi Patient Center
Care. Integrasi pelayanan dan pelaksanaan Panduan Praktek Klinis
(PPK) dan Clinical Pathways (CP)

3. TATA LAKSANA
a. PROSES TATA LAKSANA PENINGKATAN MUTU
1. KEPEMIMPINAN DAN PERENCANAAN
Direktur terlibat langsung dalam penyusunan program peningkatan
mutu, berkolaborasi dalam melaksanakan program peningkatan mutu
bersama Tim Mutu dan Keselamatan Pasien yang mana program
peningkatan mutu berlaku untuk seluruh rumah sakit. Selain itu direktur
terlibat dalam monitoring program peningkatan mutu yang mulai dari
sistem, rancangan sistem, rancangan ulang, serta koordinasi semua
komponen dari kegiatan pengukuran mutu dan kegiatan pengendalian
dengan pendekatan sistematik. Selanjutnya menetapkan mekanisme
pengawasan program peningkatan mutu dan melaporkan semua program
kegiatan ke Dewan Pengawas/Pemilik RS dan semuanya tertuang dalam
dokumen kebijakan peningkatan mutu.

Direktur melalui Tim Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien


menetapkan prioritas rumah sakit dalam kegiatan evaluasi serta prioritas
rumah sakit dalam kegiatan peningkatan mutu. Dalam pelaksanaan
program peningkatan mutu direktur dan Tim Mutu dan Keselamatan
Pasien dan harus memahami teknologi dan unsur bantuan lain yang
dibutuhkan untuk menelusuri dan membandingkan hasil dari evaluasi dan
menyediakan teknologi dan dukungan sesuai dengan sumber daya yang
ada di rumah sakit.

Informasi tentang program peningkatan mutu disampaikan kepada


seluruh staf dengan komunikasi secara reguler melalui saluran yang
efektif. Rumah sakit dituntut pula untuk memilki program pelatihan bagi
staf sesuai dengan peranan mereka dalam program peningkatan mutu.
Pelatihan harus diberikan oleh individu yang berpengatahunan luas
memberikan pelatihan dimana nantinya hasil pelatihan tersebut dapat
diaplikasikan oleh staf sebagai bagian dari pekerjaan rutin mereka.

2. RANCANGAN PROSES KLINIS DAN MANAGERIAL


Rumah sakit membuat rancangan baru dan melakukan modifikasi
dari sistem dan proses sesuai prinsip peningkatan mutu. Prinsip
peningkatan mutu dan alat ukur dari program diterapkan pada rancangan
proses baru atau yang dimodifikasi. Dipilih indikator untuk mengevaluasi
apakah pelaksanaan rancangan proses baru atau rancangan ulang proses
telah berjalan baik, dan data sebagai indikator digunakan untuk
mengukur proses yang sedang berjalan.

Setiap tahun pimpinan menentukan paling sedikit lima area


prioritas dengan fokus penggunaan pedoman praktek klinis, clinical
pathways, dan/atau protokol klinis dan melaksanakannya di setiap area
prioritas yang ditetapkan, pedoman praktek klinis, clinical pathways,
dan/atau protokol klinis digunakan sebagai pedoman dalam meberikan
asuhan klinis yang mengacu kepada Permenkes RI Nomor 1438 Tahun
2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran, Pedoman Nasional Praktik
Kedokteran (PNPK), SPO Pelayanan Kedokteran, serta Panduan Praktik
Klinis yang dapat dilengkapi alur klinis (clinical pathway), algoritma,
protokol, prosedur dan standing order.

3. PEMILIHAN INDIKATOR DAN PENGUMPULAN DATA


Direktur menetapkan indikator kunci dalam struktur rumah sakit,
proses-proses, dan hasil (outcome) untuk diterapkan di seluruh rumah
sakit dalam rangka peningkatan mutu, menetapkan area sasaran untuk
penilaian dan peningkatan, dan hasil penilaian tersebut disampaikan
kepada pihak terkait dalam mekanisme pengawasan dan secara berkala
kepada pimpinan dan pemilik rumah sakit sesuai struktur rumah sakit
yang berlaku.

4. VALIDASI DAN ANALISIS DARI DATA PENILAIAN


Petugas dengan pengalaman, pengetahuan dan keterampilan cukup
mengumpulkan dan menganalisi data secara sistematik, data
dikumpulkan, dianalisis dan diubah menjadi informasi, orang yang
mempunyai pengalaman klinis atau manajerial, pengetahuan dan
keterampilan terlibat dalam proses, metoda dan teknik-teknik statistik
digunakan dalam melakukan analisis dari proses bila sesuai, dan hasil
analisi dilaporkan kepada mereka yang bertanggungjawab untuk
melakukan tindak lanjut.

Frekuensi melakukan analisis data disesuaikan dengan proses yang


sedang dikaji dan sesuai dengan ketentuan rumah sakit. Proses analisis
dilakukan dengan membandingkan secara internal, membandingkan
dengan rumah sakit lain bila tersedia, membandingkan dengan standar
keilmuan serta membandingkan dengan praktek yang baik.

Rumah sakit mengintegrasikan kegiatan validasi data ke dalam


proses manajemen mutu dan proses peningkatan, rumah sakit punya
proses validasi data secara internal, dan proses validasi data memuat
paling sedikit indicator yang dipilih seperti yang diharuskan.

Validasi data diperlukan pada saat :


1. Indikator baru diterapkan khususnya indikator klinis.
2. Agar diketahui publik, data dimuat di website rumah sakit atau dengan
cara lain.
3. Ada perubahan terhadap indikator yang ada, seperti cara pengumpulan
data diubah atau proses pengumpulan data, atau pengumpul data
diganti.
4. Data yang berasal dari indikator yang ada telah diubah tanpa ada
penjelasan.
5. Sumber data telah diubah.
6. Subjek dari pengumpulan data telah diubah.

Cara melakukan validasi data:


1. Mengumpulkan ulang data oleh orang kedua yang tidak terlibat dalam
pengumpulan data sebelumnya
2. Menggunakan sampel statistik sahih dari catatan, kasus atau data lain.
Sampel 100% dibutuhkan hanya jika jumlah pencatatan, kasus atau
data lainnya sangat kecil jumlahnya.
3. Membandingkan data asli dengan data yang dikumpulkan ulang.
4. Kalkulasi akurasi dengan membagi jumlah elemen data yang
ditemukan dengan total jumlah data elemen dikalikan dengan 100.
Tingkat akurasi 90% patokan yang baik.
5. Jika elemen data yang ditemukan ternyata tidak sama dengan catatan
dilakukan tindakan koreksi.
6. Koreksi sampel baru setelah semua tindakan koreksi dilakukan untuk
memastikan tindakan menghasilkan tingkat akurasi yang diharapkan.

5. VALIDASI DAN ANALISIS DARI DATA PENILAIAN


Direktur bertanggung jawab bahwa data yang disampaikan ke
publik dapat dipertanggungjawabkan dari segi mutu dan hasilnya
(outcome) serta data yang disampaikan kepada publik telah dievaluasi
dari segi validitas dan reliabilitasnya.

6. MENCAPAI DAN MEMPERTAHANKAN PENINGKATAN


Kegiatan perbaikan mutu dilakukan untuk area prioritas
sebagaimana yang ditetapkan direktur. Area yang ditetapkan direktur
dimasukkan kedalam kegiatan peningkatan, SDM atau lainnya yang
dibutuhkan untuk melaksanakan peningkatan disediakan atau diberikan.
Perubahan-perubahan direncanakan dan diuji. Dilaksanakan perubahan
yang menghasilkan peningkatan. Tersedia data yang menunjukkan bahwa
peningkatan tercapai secara efektif dan langgeng. Dibuat perubahan
kebijakan yang diperlukan untuk merencanakan untuk melaksanakan
pelaksanaan yang sudah dicapai dan mempertahankannya. Perubahan
yang berhasil dilakukan didokumentasikan.

7. TEKNIK PENETAPAN PRIORITAS


Dalam menetapkan prioritas ada beberapa pertimbangan yang harus
diperhatikan yakni:
a. Besarnya masalah yang terjadi.
b. Pertimbangan biaya.
c. Persepsi pemberi pelayanan asuhan.
d. Bisa tidaknya masalah tersebut diselesaikan.

Dalam menetapkan prioritas, diprioritaskan pada proses-proses


kegiatan utama yang kritikal, risiko tinggi, cenderung bermasalah yang
langsung terkait dengan mutu asuhan dan keamanan lingkungan.
Penetapan prioritas adalah suatu proses yang dilakukan oleh sekelompok
orang dengan menggunakan metoda tertentu untuk menentukan urutan
prioritas dari yang paling penting sampai yang kurang penting.

Penetapan prioritas dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Cara


penetapan prioritas dapat dibedakan menjadi 2 macam yakni:
1. Teknik non skoring
Dilakukan bila tidak tersedia data. Terbagi atas:
a. Metoda Delbeq
a) Peringkat masalah ditentukan oleh sekelompok orang yang berjumlah 6
sampai 8 orang
b) Dituliskan masalah apa yang akan ditentukan peringkat prioritasnya
c) Masing masing orang menuliskan peringkat urutan prioritas menurut dia
secara tertutup
d) Nilai peringkat di dijumlahkan, dan jumlah yang terbanyak menjadi
pertama
b. Metoda Delphi
a) Identifikasi masalah
b) Buat kuesioner
c) Kuesioner diikirimkan kepada orang yang dianggap ahli dengan jawaban
d) berisi alternatif pernyelesaian masalah
e) Hasil dirangkum
f) Ditetapkan skala prioriras berdasarkan jawaban para ahli

2. Teknik skoring
Pemilihan prioritas dilakukan dengan memberikan score (nilai) untuk berbagai
parameter tertentu yang ditetapkan (Metode Bryant). Parameter tersebut diantara:
a. Besarnya masalah
b. Kenaikan prevalensi
c. Keinginan untuk menyelesaikan masalah
d. Keuntungan bila masalah tersebut teratasi
e. Teknologi yang tersedia dalam mengatasi masalah
f. Sumber daya yang tersedia untuk mengatasi masalah

4. DOKUMENTASI
a. RENCANA KEGIATAN
Pelaksanaan program peningkatan mutu Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a) Pembentukan Tim Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien dengan
Sub Tim Peningkatan Mutu didalamnya
b) Penyusunan Kebijakan, Pedoman, Panduan, Program Kerja, dan SPO
Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
c) Penetapan rancangan proses klinis dan manajemen
d) Pemilihan indikator dan pengumpulan data
e) Validasi dan analisis dari indikator penilaian
f) Mencapai dan mempertahankan peningkatan.

b. MONITORING DAN EVALUASI


Kegiatan Peningkatan Mutu di Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira melakukan
kegiatan monitoring dan evaluasi sebagai berikut:

Seluruh jajaran manajemen Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira secara berkala
melakukan monitoring dan evaluasi Peningkatan Mutu, yang dilaksanakan
oleh Tim Mutu dan Keselamatan Pasien c.q Sub Tim Peningkatan Mutu
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira Tim Mutu dan Keselamatan Pasien c.q
Sub Tim Peningkatan Mutu Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira secara
berkala (paling lama 3 tahun) melakukan evaluasi pedoman, kebijakan dan
prosedur peningkatan yang dipergunakan di Rumah Sakit Ibu dan Anak
Safira Tim Mutu dan Keselamatan Pasien c.q Sub Tim Peningkatan Mutu
Rumah Sakit Ibu dan Anak Safira melakukan evaluasi kegiatan setiap
triwulan dan membuat tindak lanjutnya.

PANDUAN SISTEM PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN


a. DEFINISI
a) Keselamatan Pasien/Patient Safety
Suatu sistim yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi asesmen
risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadi cedera yang yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakkan atau tidak mengambil tindakkan yang seharusnya diambil
b) Insiden Keselamatan Pasien (IKP)/Patient Safety Incident
Yang selanjutnya disebut Insiden, adalah setiap kejadian yang tidak disengaja
dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang
dapat dicegah pada pasien.
Insiden di fasilitas pelayanan kesehatan meliputi:
1. Kondisi Potensial Cedera (KPC);
2. Kejadian Nyaris Cedera (KNC);
3. Kejadian Tidak Cedera (KTC); dan
4. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
5. Sentinel Event
c) Kondisi Potensial Cedera (KPC) merupakan kondisi yang sangat berpotensi
untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi Insiden.
d) Kejadian Nyaris Cedera (KNC) merupakan terjadinya Insiden yang belum
sampai terpapar ke pasien
e) Kejadian Tidak Cedera (KTC) merupakan Insiden yang sudah terpapar ke
pasien, tetapi tidak timbul cedera.
f) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan Insiden yang mengakibatkan
cedera pada pasien.
g) Kejadian Sentinel (Sentinel Event) merupakan suatu Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD) yang mengakibatkan kematian, cedera permanen, atau
cedera berat yang temporer dan membutuhkan intervensi untuk
mempertahankan kehidupan, baik fisik maupun psikis, yang tidak terkait
dengan perjalan penyakit atau keadaan pasien dan dapat disebabkan oleh hal
lain selain Insiden.
h) Definisi operasional Kejadian Sentinel
1. Kematian yang tidak diduga, termasuk dan tidak terbatas hanya:
1) Kematian yang tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit pasien
atau kondisi pasien (contoh kematian setelah infeksi pasca operasi atau
emboli paru-paru)
2) Kematian bayi aterm
3) Bunuh diri
2. Kehilangan permanen fungsi yang tidak terkait penyakit pasien atau
kondisi pasien.
3. Operasi salah tempat, salah prosedur dan salah pasien.
4. Terjangkit penyakit kronik atau penyakit fatal akibat transfusi darah atau
produk darah atau transplantasi organ atau jaringan.
5. Penculikan anak dan bayi serta bayi diserahkan kepada orang yang bukan
orang tuanya (ibu, bapak, kakek, nenek, saudara kandung bayi)
6. Perkosaan, kekejaman ditempat kerja seperti penyerangan (berakibat
kematian atau kehilangan fungsi secara permanen), atau pembunuhan
(yang disengaja) atas pasien, anggota staf, dokter, mahasiswa kedokteran,
siswa latihan, pengunjung atau vendor/pihak ketiga ketika berada dalam
lingkungan Rumah Sakit.
i) Definisi Operasional Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
1. Semua reaksi transfusi yang sudah dikonfirmasi, jika sesuai untuk rumah
sakit (proses untuk permintaan darah, penyimpanan darah, tes kecocokan,
2. distribusi darah)
3. Semua kejadian serius akibat efek samping obat, yang menimbulkan
dampak yang signifikan pada pasien.
4. Semua kesalahan pengobatan yang signifikan.
5. Semua perbedaan besar antara diagnosis praoperasi dan diagnosis pasca
operasi.
6. Efek samping atau pola efek samping selama sedasi moderat atau dalam
pemakaian anastesi.

Anda mungkin juga menyukai