Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Tujuan Pembangunan Kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat


bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal,
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. Untuk itu perlu
ditingkatkan upaya guna memperluas dan mendekatkan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Selain itu dengan semakin
meningkatnya pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka sistem nilai dan
orientasi dalam masyarakatpun mulai berubah.Masyarakat mulai cenderung menuntut
pelayanan umum yang lebih baik, lebih ramah dan lebih bermutu termasuk pelayanan
kesehatan. Dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan
rumah sakit maka fungsi pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuhsecara bertahap perlu
terus ditingkatkan agar menjadi lebih efektif dan efisien serta memberi kepuasan kepada
pasien, keluarga, maupun masyarakat.
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit.
Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit
yaitu:keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan,
keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap
keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang
berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan “bisnis” rumah sakit yang
terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Kelima aspek keselamatan tersebut
sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Namun harus diakui kegiatan
institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu keselamatan pasien
merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan, dan hal tersebut terkait dengan isu mutu
dan citra rumah sakit.
Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan
pasien sesuai dengan yang diucapkan Hipocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu
primum, non nocere (first, do no harm). Namun diakui dengan semakin berkembangnya
ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan, khususnya di rumah sakit, menjadi semakin
kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (adverse event)
apabila tidak dilakukan dengan hati-hati.
Di rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat
dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap
memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan
pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan terjadinya KTD.
Pada tahun 2000 Institute of Medicine di Amerika Serikat menerbitkan laporan
yang mengagetkan banyak pihak: ‘TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health System.
Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di Utah dan Colorado serta New
York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD (adverse event) sebesar 2,9 %, dimana 6,6 %
diantaranya meninggal. Sedangkan di New York KTD adalah sebesar 3,7 % dengan angka
kematian 13,6 %. Angka kematian akibat KTD pada pasien rawat inap diseluruh Amerika
yang berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar 44.000-98.000 per tahun.
Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka-angka penelitian rumah
sakit di berbagai negara: Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD
dengan rentang 3,2-16,6 %. Dengan data-data tersebut, berbagai negara segera melakukan
penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien.
Di Indonesia data tentang KTD apalagi Kejadian Nyaris Cedera (near miss) masih
langka, namun dilain pihak terjadi peningkatan tuduhan “mal praktek”, yang belum tentu
sesuai dengan pembuktian akhir. Dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien di
rumah sakit maka Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah mengambil
inisiatif membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS). Komite tersebut
telah aktif melaksanakan langkah-langkah persiapan pelaksanaan keselamatan pasien
rumah sakit dengan mengembangkan laboratorium program keselamatan pasien rumah
sakit.
Umumnya pelayanan medis yang diberikan mengandung risiko, sebagian
diantaranya berisiko ringan dan hampir tidak berarti secara klinis, namun tidak sedikit pula
yang memberikan konsekuensi medis yang cukup berat. Risiko merupakan kemungkinan
sesuatu terjadi atau potensi bahaya yang terjadi yang dapat memberikan pengaruh kepada
hasil akhir.
Risiko dapat berupa risiko klinis dan non klinis. Risiko klinis adalah risiko yang
dikaitkan langsung dengan layanan medis maupun layanan lain yang dialami pasien selama
di rumah sakit. Sementara risiko non klinis dapat berupa risiko bagi organisasi maupun
risiko finansial. Oleh karena itu setiap fasilitas pelayanan kesehatan harus membangun
sistem yang dapat menjamin bahwa setiap tindakan yang dilakukan haruslah aman bagi
pasien, petugas dan lingkungan sekitar. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan
manajemen risiko.
Manajemen risiko merupakan perilaku dan intervensi proaktif untuk mengurangi
kemungkinan cidera serta kehilangan. Dalam pelayanan kesehatan rumah sakit,
manajemen risiko bertujuan untuk mencegah cidera pada pasien dan menghindari tindakan
yang merugikan profesi kesehatan. Asuhan pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi dan
sistem pelaksanaan yang aman, merupakan kunci bagi manajemen risiko yang efektif
dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Mayoritas cidera pada pasien dapat ditelusuri
sampai kepada ketidaksempurnaan sistem yang dapat menjadi penyebab primer cedera atau
yang membuat perawat melakukan kesalahan sehingga terjadi cedera pada pasien. Begitu
terjadi cedera, manajemen risiko harus memfokuskan perhatiannya pada upaya mengurangi
akibar cedera tersebut untuk memperkecil kemungkinan diambilnya tindakan hukum
terhadap petugas.
Agar upaya peningkatan mutu pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh dapat seperti
yang diharapkan, maka perlu disusun Pedoman Peningkatan Mutu, Keselamatan Pasien,
dan Manajemen RisikoRSKIA Annisa Payakumbuh. Pedoman tersebut merupakan konsep
peningkatan mutu pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh, yang disusun sebagai acuan
bagi pengelola RSKIA Annisa Payakumbuh dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu
pelayanan rumah sakit. Dalam buku panduan ini diuraikan tentang prinsip upaya
peningkatan, langkah-langkah pelaksanaannya, dan indikator mutu, keselamatan pasien,
serta manajemen risiko
Selain itu mengingat keselamatan pasien sudah menjadi tuntutan masyarakat, maka
pelaksanaan peningkatan mutu, keselamatan pasien, dan manajemen risiko di RSKIA
Annisa Payakumbuh perlu dilakukan. Untuk dapat meningkatkan mutu pelayanan RSKIA
Annisa Payakumbuh terutama didalam melaksanakan keselamatan pasien sangat
diperlukan suatu pedoman yang jelas sehingga angka kejadian KTD dapat dicegah sedini
mungkin
BAB II
LATAR BELAKANG

A. PENINGKATAN MUTU
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Florence Nightingale (1820 –1910) seorang perawat dari Inggris menekankan pada aspek-
aspek keperawatan pada peningkatan mutu pelayanan. Salah satu ajarannya yang terkenal
sampai sekarang adalah “hospital should do the patient no harm”, rumah sakit jangan
sampai merugikan atau mencelakakan pasien.
Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medis dimulai oleh ahli
bedah Dr. E.A.Codman dari Boston dalam tahun 1917. Dr.E.A Codman dan beberapa ahli
bedah lain kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk, karena seringnya terjadi
penyulit. Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena kondisi yang tidak
memenuhi syarat di rumah sakit. Untuk itu perlu ada penilaian dan penyempurnaan tentang
segala sesuatu yang terkait dengan pembedahan. Ini adalah upaya pertama yang berusaha
mengidentifikasikan masalah klinis, dan kemudian mencari jalan keluarnya.
Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of Surgeons
(ACS) menyusun suatu Hospital Standardization Programme.Program standarisasi adalah
upaya pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan. Program
ini ternyata sangat berhasil meningkatkan mutu pelayanan sehingga banyak rumah sakit
tertarik untuk ikut serta. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi maka spesialisasi
ilmu kedokteran diluar bedah cepat berkembang. Oleh karena itu program standarisasi
perlu diperluas agar dapat mencakup disiplin lain secara umum.
Pada tahun 1951 American College of Surgeon, American College of Physicians,
dan American Hospital Association bekerjasama membentuk suatu Joint Commision on
Accreditation of Hospital (JCAH) suatu badan gabungan untuk menilai dan mengakreditasi
rumah sakit.
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal dan
essensial untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di rumah sakit, namun telah
memacu rumah sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya sesuai
dengan sumber daya yang ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara tahun 1953-
1965 standar akreditasi direvisi enam kali, selanjutnya beberapa tahun sekali diadakan
revisi.
Atas keberhasilan JCAH dalam meningkatkan mutu pelayanan, Pemerintah Federal
memberi pengakuan tertinggi dalam mengundangkan “Medicare Act”. Undang-undang ini
mengabsahkan akreditasi rumah sakit menurut standar yang ditentukan oleh JCAH. Sejak
saat itu rumah sakit yang tidak diakreditasi oleh JCAH tidak dapat ikut program asuransi
kesehatan pemerintah federal (medicare), padahal asuransi di Amerika sangat menentukan
utilisasi rumah sakit karena hanya 9,3% biaya rumah sakit berasal dari pembayaran
langsung oleh pasien.
Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar dapat lulus
akreditasi suatu rumah sakit harus juga mempunyai program pengendalian mutu yang
dilaksanakan dengan baik.
Di Australia, Australian Council on Hospital Standards (ACHS) didirikan dengan
susah payah pada tahun 1971, namun sampai tahun 1981 badan ini baru berhasil beroperasi
dalam tiga negara bagian. Tetapi lambat laun ACHS dapat diterima kehadirannya dan
diakui manfaatnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan sehingga sekarang kegiatan
ACHS telah mencakup semua negara bagian. Pelaksanaan peningkatan mutu di Australia
pada dasarnya hampir sama dengan di Amerika.
Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan sangat tinggi,
namun masalah itu tetap merupakan hal baru dengan konsepsi yang masih agak kabur bagi
kebanyakan tenaga profesi kesehatan. Sedangkan pendekatan secara Amerika sukar
diterapkan karena perbedaan sistem kesehatan di masing-masing negara di Eropa. Karena
itu kantor Regional WHO untuk Eropa pada awal tahun 1980-an mengambil inisiatif untuk
membantu negara-negara Eropa mengembangkan pendekatan peningkatan mutu pelayanan
disesuaikan dengan sistem pelayanan kesehatan masing-masing.
Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang upaya
meningkatkan mutu dan penyelenggaraan simposium di Utrecht,Belanda tentang
metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983 di Barcelona, Spanyol
suatu kelompok kerja yang dibentuk oleh WHO telah mengadakan pertemuan untuk
mempelajari peningkatan mutu khusus untuk Eropa.
Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun pada
simposium peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat kesan bahwa secara nasional
upaya peningkatan mutu di berbagai negara Eropa Barat masih pada perkembangan awal.
Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan mutu dan
akreditasi rumah sakit secara nasional adalah Taiwan.Negara ini banyak menerapkan
metodologi dari Amerika.Sedangkan Malaysia mengembangkan peningkatan mutu
pelayanan dengan bantuan konsultan ahli dari Negeri Belanda.
Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah dilakukan
Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu penetapan kelas
rumah sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.033/Birhup/1972.
Secara umum telah ditetapkan beberapa kriteria untuk tiap kelas Rumah sakit A,B,C,D.
Kriteria ini kemudian berkembang menjadi standar-standar. Kemudian dari tahun ke tahun
disusun berbagai standar baik menyangkut pelayanan, ketenagaan, sarana dan prasarana
untuk masing-masing kelas rumah sakit.Disamping standar, Departemen Kesehatan juga
mengeluarkan berbagai panduan dalam rangka meningkatkan penampilan pelayanan rumah
sakit.
Sejak tahun 1984 Departemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai indikator
untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan (performance) rumah sakit pemerintah
kelas C dan rumah sakit swasta setara yaitu dalam rangka Hari Kesehatan Nasional.
Indikator ini setiap dua tahun ditinjau kembali dan disempurnakan. Evaluasi penampilan
untuk tahun 1991 telah dilengkapi dengan indikator kebersihan dan ketertiban rumah sakit
dan yang dievaluasi selain kelas C juga kelas D dan kelas B serta rumah sakit swasta
setara. Sedangkan evaluasi penampilan tahun 1992 telah dilengkapi pula dengan instrumen
mengukur kemampuan pelayanan. Evaluasi penampilan rumah sakit ini merupakan
langkah awal dari Konsep Continuous Quality Improvement (CQI). Berbeda dengan
konsep QA tradisional dimana dalam monitor dan evaluasi dititik beratkan kepada
pencapaian standar, maka pada CQI fokus lebih diarahkan kepada penampilan organisasi
melalui penilaian pemilik, manajemen, klinik dan pelayanan penunjang. Perbedaan yang
sangat mendasar yaitu keterlibatan seluruh karyawan.
Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa rumah sakit telah mengadakan monitoring
dan evaluasi mutu pelayanan rumah sakitnya. Pada tahun 1981 RS Gatot Subroto telah
melakukan kegiatan penilaian mutu yang berdasarkan atas derajat kepuasan pasien.
Kemudian RS Husada pada tahun 1984 melakukan kegiatan yang sama. RS Husada di
Surabaya membuat penilaian mutu atas dasar penilaian perilaku dan penampilan kerja
perawat. RS Dr.Soetomo Surabaya menilai mutu melalui penilaian infeksi nosokomial
sebagai salah satu indikator mutu pelayanan.RS Cipto Mangunkusumo menggunakan
upaya penggunaan obat secara rasional.
RS Islam Jakarta pernah menggunakan pengendalian mutu terpadu (TQC) dan
Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle = QCC). Beberapa RS lainnya juga telah
mencoba menerapkan Gugus Kendali Mutu, walaupun hasilnya belum ada yang
dilaporkan.
Sejalan dengan hal di atas maka Kementrian Kesehatan telah mengadakan
Pelatihan Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit pada beberapa rumah sakit.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk meningkatkan mutu
sudah cukup meluas walaupun dalam penerapannya sering ada perbedaan.

B. KESELAMATAN PASIEN
Sejak awal tahun 1900 institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada 3 (tiga)
elemen yaitu input, proses dan output sampai outcome dengan bermacam macam konsep
dasar, program regulasi yang berwenang misalnya antara lain penerapan Standar Pelayanan
Rumah Sakit, Penerapan Quality Assurance, Total Quality Management, Countinous
Quality Improvement, Perizinan, Akreditasi, Kredensialing, Audit Medis, Indikator Klinis,
Clinical Governance, ISO, dan lain sebagainya.
Harus diakui program-program tersebut telah meningkatkan mutu pelayanan rumah
sakit baik pada aspek input, proses maupun output dan outcome. Namun harus diakui, pada
pelayanan yang telah berkualitas tersebut masih terjadi KTD yang tidak jarang berakhir
dengan tuntutan hukum. Oleh sebab itu perlu program untuk lebih memperbaiki proses
pelayanan, karena KTD sebagian dapat merupakan kesalahan dalam proses pelayanan yang
sebetulnya dapat dicegah melalui rencana pelayanan yang komprehensif dengan
melibatkan pasien berdasarkan haknya. Program tersebut yang kemudian dikenal dengan
istilah keselamatan pasien (patient safety).
Dengan meningkatnya keselamatan pasien rumah sakit diharapkan kepercayaan
masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit dapat meningkat. Selain itu keselamatan
pasien juga dapat mengurangi KTD, yang selain berdampak terhadap peningkatan biaya
pelayanan juga dapat membawa rumah sakit ke arena blamming, menimbulkan konflik
antara dokter/petugas kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis, tuntutan dan
proses hukum, tuduhan malpraktek, blow-up ke media massa yang akhirnya menimbulkan
opini negatif terhadap pelayanan rumah sakit. Selain itu rumah sakit dan dokter bersusah
payah melindungi dirinya dengan asuransi, pengacara dsb. Tetapi pada akhirnya tidak ada
pihak yang menang, bahkan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan
rumah sakit.
Pada Januari 2002 Executive Board WHO menyusun usulan resolusi, dan kemudian
diajukan pada World Health Assembly ke 55 Mei 2002, dan diterbitkan sebagai Resolusi
WHA55.18. Selanjutnya pada World Health Assembly ke 57 Mei 2004, diputuskan
membentuk aliansi internasional untuk peningkatan keselamatan pasien dengan sebutan
World Alliance for Patient Safety, dan ditunjuk Sir Liam Donaldson sebagai Ketua.
World Alliance for Patient Safety pada tahun 2004 menerbitkan 6 program
keselamatan pasien, dan tahun 2005 menambah 4 program lagi, keseluruhan 10 program
WHO untuk keselamatan pasien adalah sbb :
1. Global Patient Safety Challenge :
1st Challenge : 2005-2006 : Clean Care is Safer Care,
2nd Challenge : 2007-2008 : Safe Surgery Safe Lives.
2. Patient for Patient Safety.
3. Taxonomy for Patient Safety.
4. Research for Patient Safety.
5. Solutions for Patient Safety.
6. Reporting and Learning.
7. Safety in action.
8. Technology for Patient Safety.
9. Care of acutely ill patients.
10. Patient safety knowledge at your fingertips.
WHO Collaborating Centre for Patient Safety, dimotori oleh Joint Commission
International, Suatu badan akreditasi dari Amerika Serikat, mulai tahun 2005
mengumpulkan pakar keselamatan pasien dari lebih 100 Negara, dengan kegiatan
mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamtan pasien, dan mencari solusi
berupa sistem atau intervensi sehingga mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien
dan meningkatkan keselamatan pasien. Pada tgl 2 Mei 2007 WHO Colaborating Centre
for Patient Safety resmi menerbitkan panduan “Nine Life-Saving Patient Safety Solutions”
(“Sembilan Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit”).
Sembilan topik yang diberikan solusinya adalah sbb:
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike
Medication Names).
2. Pastikan Identifikasi pasien.
3. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien.
4. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.
5. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated).
6. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.
7. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube).
8. Gunakan alat injeksi sekali pakai.
9. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi
nosokomial.

C. MANAJEMEN RISIKO
Risiko dedefinisikan sebagai kemungkinan sesuatu yang terjadi atau potensi bahaya
yang terjadi yang dapat memberikan pengaruh pada hasil akhir.
Risiko yang dicegah berupa risiko klinis dan risiko non klinis. Risiko klinis adalah
risiko yang dikaitkan langsung dengan layanan medis maupun layanan lain yang dialami
pasien selama di rumah sakit. Sementara risiko non medis ada yang berupa risiko bagi
organisasi maupun risiko finansial. Risiko organisasi adalah yang berhubungan langsung
dengan komunikasi, produk layanan, proteksi data, sistem informasi dan semua risiko yang
dapat mempengaruhi pencapaian organisasi. Risiko finansial adalah risiko yang dapat
mengganggu kontrol finansial yang efektif, salah satunya adalah sistem yang harusnya
dapat menyediakan pencatatan akuntansi yang baik. (Bury PCT, 2007)
Menurut Dwipraharso (2004) risiko medis dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1. Tingkat probabilitas dan keparahannya minimal (umumnya bersifat foreseeable
but unavoidable, calculated, controllabe).
2. Risiko ‘bermakna’ tetapi harus diambil karena ‘the only way’ (unavoidable).
3. Risiko 1 dan 2 memerlukan informed consent sehingga bila terjadi dokter tidak
bertanggung jawab secara hukum.
4. Risiko yang unforeseeable = untoward results
Dalam setiap pusat pelayanan kesehatan harus dibangun sistem yang dapat
menjamin bahwa setiap tindakan medik yang dilakukan haruslah aman bagi pasien
maupun petugas dan lingkungan sekitar. Pendekatan yang dilakukan disebut dengan
manajemen risiko.
Manajemen risiko menurut The Joint Commision On Acreditation of Helathcare
Organizations adalah aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit
untuk melakukan identifikasi, evaluasi, dan pengurangan risiko terjadinya cidera atau
kerugian pada pasien, pengunjung dan institusi rumah sakit. Manajemen risiko dapat
digambarkan sebagai proses berkelanjutan dari identifikasi secar sistemik, evaluasi, dan
penatalaksanaan risiko dengan tujuan mengurangi dampak buruk organisasi maupun
individu. Rumah sakit perlu menggunakan pendekatan proaktif dalam melaksanakan
manajemen risiko.
BAB III
TUJUAN

A. PENINGKATAN MUTU
Tujuan Peningkatan Mutu RSKIA Annisa Payakumbuhadalah tercapainya
peningkatan mutu pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh melalui :
a. Optimasi tenaga, sarana, dan prasarana.
b. Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan yang
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan kebutuhan pasien.
c. Pemanfaatan teknologi tepat guna, dan pengembangan pelayanan kesehatan.

B. KESELAMATAN PASIEN
Tujuan keselamatan pasien RSKIA Annisa Payakumbuh adalah sebagai berikut:
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian tidak diharapkan.

C. MANAJEMEN RISIKo
Tujuan manajemen risiko RSKIA Annisa Payakumbuh adalah sebagai berikut:
1. Mencegah terjadinya risiko melalui pengembangan sistem manajemen risiko.
2. Meningkatkan peran staf rumah sakit untuk terlibat aktif dalam manajemen
risiko.
3. Meningkatkan kesadaran staf rumah sakit bahwa mereka adalah bagian dari
sistem manajemen risiko.
BAB IV
PENGERTIAN

Agar upaya peningkatan mutu, keselamatan pasien, dan manajemen risiko di


RSKIA Annisa Payakumbuhdapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka diperlukan
adanya kesatuan bahasa tentang konsep dasar upaya peningkatan mutu pelayanan.
A. PENGERTIAN UMUM
a. Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien
Pengelolaan manajemen mutu dan keselamatan pasien rumah sakit secara
keseluruhan meliputi seluruh struktur dari kegiatan klinis dan manajemen dari
sebuah rumah sakit, termasuk kerangka untuk memperbaiki proses kegiatan dan
pengurangan resiko yang terkait dengan variasi-variasi dari proses sekaligus
pengawasan dari komite mutu dan keselamatan pasien.
b. Upaya Peningkatan Mutu
Usaha menyeluruh untuk memperkecil (reduction) risiko pada pasien dan staf
secara berkesinambungan melalui proses memimpin dan merencanakan, merancang
proses, pengukuran berjalannya proses berjalan baik melalui pengumpulan data dan
analisis data, dan menerapkan dan melanjutkan (sustaining) perubahan yang dapat
menghasilkan perbaikan.
c. Keselamatan Pasien
Suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini
termasuk: asesmen risiko; identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien; pelaporan dan analisis insiden; kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
d. Clinical Pathway
Adalah alat manajemen multi disiplin berdasarkan praktek berbasis bukti untuk
kelompok tertentu pasien dengan perjalanan klinis yang bisa diprediksi, di mana
tugas yang berbeda (intervensi) oleh para profesional yang terlibat dalam perawatan
pasiendidefinisikan, dioptimalkan dandiurutkanbaik oleh jam (IGD), hari
(perawatan akut) atau kunjungan(perawatan dirumah). Hasilnya terkait dengan
intervensi tertentu.
e. Sentinel
Suatu Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang mengakibatkan kematian
atau cedera yang serius, biasanya dipakai untuk kejadian yang sangat tidak
diharapkan atau tidak dapat diterima seperti operasi pada bagian tubuh yang salah.
Pemilihan kata “sentinel” terkait dengan keseriusan cedera yang terjadi sehingga  
pecarian fakta terhadap kejadian ini mengungkapkan adanya masalah yang serius
pada kebijakan dan prosedur yang berlaku.
Rumah sakit menetapkan definisi operasional dari kejadian sentinel yang meliputi:
a. Kematian yang tidak diduga dan tidak terkait dengan perjalanan penyakit
pasien atau kondisi yang mendasari penyakitnya (contoh, bunuh diri).
b. Kehilangan fungsi yang tidak terkait dengan perjalanan penyakit pasien atau
kondisi yang mendasari penyakitnya.
c. Salah tempat, salah prosedur, salah pasien bedah.
d. Bayi yang diculik atau bayi yang diserahkan kepada orang yang bukan
orang tuanya.
f. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
Suatu kejadian yang tidak diharapkan yang mengakibatkan cedera pasien
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien.
Cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis karena
tidak dapat dicegah.
g. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
Suatu kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau
tidak melakukan tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat
mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi.
Contoh:
a. Karena keberuntungan. Misalnya pasien diberi obat yang seharusnya kontra
indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat.
b. Karena pencegahan. Misalnya suatu obat dengan dosis lethal akan diberikan,
tetapi staf lain mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan.
c. Karena peringanan, Misalnya suatu obat dengan overdosis lethal diberikan,
diketahui secara dini lalu diberikan antidotenya.
h. Kejadian Tidak Cedera (KTC)
Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang
sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
i. Kondisi Potensial Cedera
Kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi
insiden.
j. RCA (Root Cause Analysis)/ Analisis Akar Masalah
Suatu proses terstruktur yang mengidentifikasi faktor penyebab atau faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya penyimpangan kinerja termasuk KTD.
k. Manajemen Risiko
Budaya, proses dan struktur yang diarahkan untuk mewujudkan peluang-peluang
sambil mengelola efek yang tidak diharapkan.
l. FMEA (Failure Mode and Effects Analysis)
FMEA merupakan alat yang digunakan untuk menganalisa keandalan suatu sistem
dan penyebab kegagalannya untuk mencapai persyaratan keandalan dan keamanan
sistem, desain dan proses dengan memberikan informasi dasar mengenai prediksi
keandalan sistem, desain, dan proses.
Salah satu alat bantu yang populer untuk melakukan asesmen resiko yang proaktif.
Dikatakan proaktif karena yang dilakukan adalah analisis proses atas potensi-
potensi risiko yang belum terjadi.

B. MUTU PELAYANAN

1. Pengertian mutu
a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan suatu produk atau jasa.
b. Mutu adalah expertise, atau keahlian dan keterikatan (commitment) yang selalu
dicurahkan pada pekerjaan.
c. Mutu adalah kegiatan tanpa salah dalam melakukan pekerjaan.
2. Definisi Mutu Pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh
Adalah derajat kesempurnaan pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuhuntuk
memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang
tersedia di RSKIA Annisa Payakumbuhsecara wajar, efisien dan efektif serta diberikan
secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosial budaya dengan
memperhatikan keterbatasan dan kemampuan RSKIA Annisa Payakumbuh dan masyarakat
konsumen.
3. Pihak yang Berkepentingan dengan Mutu
Banyak pihak yang berkepentingan dengan mutu, yaitu :
a. Konsumen.
b. Pembayar/perusahaan/asuransi.
c. Manajemen RSKIA Annisa Payakumbuh.
d. Karyawan RSKIA Annisa Payakumbuh.
e. Masyarakat.
f. Pemerintah.
g. Ikatan profesi.
Setiap kepentingan yang disebut di atas berbeda sudut pandang dan kepentingannya
terhadap mutu. Karena itu mutu adalah multi dimensional.

4. Dimensi Mutu
Dimensi atau aspeknya adalah :
a. Keprofesian.
b. Efisiensi.
c. Keamanan Pasien.
d. Kepuasan Pasien.
e. Aspek Sosial Budaya.

4. Mutu Terkait dengan Input, Proses, Output dan Outcome


Pengukuran mutu pelayanan kesehatan dapat diukur dengan menggunakan 3 variabel,
yaitu :
a. Input: adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pelayanan
kesehatan, seperti tenaga, dana, obat, fasilitas, peralatan, bahan, teknologi,
organisasi, informasi, dan lain-lain.Pelayanan kesehatan yang bermutu
memerlukan dukungan input yang bermutu pula. Hubungan struktur dengan
mutu pelayanan kesehatan adalah dalam perencanaan dan penggerakan
pelaksanaan pelayanan kesehatan.
b. Proses, merupakan aktivitas dalam bekerja, adalah merupakan interaksi
profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien/masyarakat).
Proses ini merupakan variabel penilaian mutu yang penting.
c. Output, ialah jumlah pelayanan yang dilakukan oleh unit kerja/rumah sakit.
d. Outcome, ialah hasil pelayanan kesehatan, merupakan perubahan yang terjadi
pada konsumen (pasien/masyarakat), termasuk kepuasan dari konsumen
tersebut.
Pengukuran mutu pelayanan kesehatan RSKIA Annisa Payakumbuhdiawali
dengan penilaian akreditasi RSKIA Annisa Payakumbuh yang mengukur dan
memecahkan masalah pada tingkat input dan proses. Pada kegiatan ini RSKIA Annisa
Payakumbuhharus menetapkan standar input, proses, output, dan outcome, serta
membakukan seluruh standar prosedur yang telah ditetapkan. RSKIA Annisa
Payakumbuh dipacu untuk dapat menilai diri (self assesment) dan memberikan
pelayanan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Sebagai kelanjutan untuk
mengukur hasil kerjanya perlu ada alat ukur yang lain, yaitu instrumen mutu pelayanan
RSKIA Annisa Payakumbuhyang menilai dan memecahkan masalah pada hasil (output
dan outcome). Tanpa mengukur hasil kinerja RSKIA Annisa Payakumbuh tidak dapat
diketahui apakah input dan proses yang baik telah menghasilkan output yang baik pula.
Indikator RSKIA Annisa Payakumbuh yangdisusun dengan tujuan untuk dapat
mengukur kinerja mutu RSKIA Annisa Payakumbuh secara nyata.
BAB V
KEBIJAKAN
A. PENINGKATAN MUTU
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan keseluruhan upaya
dan kegiatan secara komprehensif dan integratif memantau dan menilai mutu pelayanan
RSKIA Annisa Payakumbuh, memecahkan masalah-masalah yang ada dan mencari jalan
keluarnya, sehingga mutu pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh akan menjadi lebih baik.
Di RSKIA Annisa Payakumbuhupaya peningkatan mutu pelayanan adalah
kegiatan yang bertujuan memberikan asuhan atau pelayanan sebaik-baiknya kepada pasien.
Upaya peningkatan mutu pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh akan sangat berarti dan
efektif bilamana upaya peningkatan mutu menjadi tujuan sehari-hari dari setiap unsur di
RSKIA Annisa Payakumbuhtermasuk pimpinan, pelaksana pelayanan langsung dan staf
penunjang.
Upaya peningkatan mutu termasuk kegiatan yang melibatkan mutu asuhan atau
pelayanan dengan penggunaan sumber daya secara tepat dan efisien. Walaupun disadari
bahwa mutu memerlukan biaya, tetapi tidak berarti mutu yang lebih baik selalu memerlukan
biaya lebih banyak atau mutu rendah biayanya lebih sedikit.
Berdasarkan hal di atas maka disusunlah kebijakan dari upaya peningkatan mutu
pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh.
1. Definisi Upaya Peningkatan Mutu Pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh
Adalah keseluruhan upaya dan kegiatan yang komprehensif dan integratif yang
menyangkut input, proses dan output secara objektif, sistematik dan berlanjut memantau
dan menilai mutu dan kewajaran pelayanan terhadap pasien, dan memecahkan masalah-
masalah yang terungkapkan sehingga pelayanan yang diberikan di RSKIA Annisa
Payakumbuh berdaya guna dan berhasil guna.
2. Indikator mutu
Indikator mutu RSKIA Annisa Payakumbuh meliputi indikator klinik, indikator
yang berorientasi pada waktu dan indikator ratio yang berdasarkan pada efektifitas
(effectivenes), efisiensi (efficiency), keselamatan (safety) dan kelayakan
(appropriateness).
3. Strategi
Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan RSKIA Annisa Payakumbuh
maka disusunlah strategi sebagai berikut :
a. Setiap petugas harus memahami dan menghayati konsep dasar dan prinsip mutu
pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh sehingga dapat menerapkan langkah-langkah
upaya peningkatan mutu di masing-masing unit kerjanya.
b.Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber daya manusia di RSKIA
Annisa Payakumbuh, serta upaya meningkatkan kesejahteraan karyawan.
c. Menciptakan budaya mutu di RSKIA Annisa Payakumbuh, termasuk di dalamnya
menyusun program mutu RSKIA Annisa Payakumbuh dengan pendekatan PDCA
cycle.
4. Pendekatan Pemecahan Masalah
Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur) yang
berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini adalah identifikasi
masalah. Identifikasi masalah merupakan bagian sangat penting dari seluruh
proses siklus (daur), karena akan menentukan kegiatan-kegiatan selanjutnya dari
pendekatan pemecahan masalah ini. Masalah akan timbul apabila :
a. Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada terdapat
penyimpangan.
b. Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut.
c. Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.
Dengan telah jelasnya cara memecahkan masalah maka bisa dilakukan
tindakan perbaikan.Namun agar pemecahan masalah bisa tuntas, setelah diadakan
tindakan perbaikan perlu dinilai kembali apakah masih ada yang tertinggal. Dari
penilaian kembali maka akan didapatkan masalah yang telah terpecahkan dan
masalah yang masih tetap merupakan masalah sehingga proses siklus akan berulang
mulai tahap pertama.
5. Prinsip Dasar Upaya Peningkatan RSKIA Annisa Payakumbuh
Prinsip dasar upaya peningkatan mutu pelayanan adalah pemilihan aspek
yang akan ditingkatkan dengan menetapkan indikator, kriteria serta standar
yang digunakan untuk mengukur mutu pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh.
Indikator: Adalah ukuran atau cara mengukur sehingga menunjukkan suatu indikasi.
Indikator merupakan suatu variabel yang digunakan untuk bisa melihat perubahan.
Indikator yang baik adalah yang sensitif tapi juga spesifik.
Kriteria: Adalah spesifikasi dari indikator
Standar :
a. Tingkat kinerja atau keadaan yang dapat diterima oleh seseorang yang berwenang
dalam situasi tersebut, atau oleh mereka yang bertanggung jawab untuk
mempertahankan tingkat kinerja atau kondisi tersebut.
b. Suatu norma atau persetujuan mengenai keadaan atau prestasi yang sangat baik.
c. Sesuatu ukuran atau patokan untuk mengukur kuantitas, berat, nilai atau mutu
Dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan maka harus memperhatikan
prinsip dasar sebagai berikut:
1. Aspek yang dipilih untuk ditingkatkan
a. Keprofesian
b. Efisiensi
c. Keamanan pasien
d. Kepuasan pasien
e. Sarana dan lingkungan fisik

2. Indikator yang dipilih


a. Indikator lebih diutamakan untuk menilai output daripada input dan proses
b. Bersifat umum, yaitu lebih baik indikator untuk situasi dan kelompok daripada
untuk perorangan.
c. Dapat digunakan untuk membandingkan dengan rumah sakit lain, baik di dalam
maupun luar negeri.
d. Dapat mendorong intervensi sejak tahap awal pada aspek yang dipilih untuk
dimonitor.
e. Didasarkan pada data yang ada.

3. Kriteria yang digunakan


Kriteria yang digunakan harus dapat diukur dan dihitung untuk dapat
menilai indikator, sehingga dapat sebagai batas yang memisahkan antara mutu baik dan
mutu tidak baik.
4. Standar yang digunakan
Standar yang digunakan ditetapkan berdasarkan:
a. Acuan dari berbagai sumber
b. Benchmarking dengan rumah sakit yang setara
c. Berdasarkan trend yang menuju kebaikan

5. Pengendalian Kualitas Pelayanan


Pengendalian adalah keseluruhan fungsi atau kegiatan yang harus dilakukan
untuk menjamin tercapainya sasaran perusahaan dalam hal kualitas produk dan jasa
pelayanan yang diproduksi. Pengendalian kualitas pelayanan pada dasarnya adalah
pengendalian kualitas kerja dan proses kegiatan untuk menciptakan kepuasan
pelanggan (quality or customer’s satisfaction) yang dilakukan oleh setiap orang dari
setiap bagian di RSKIA Annisa Payakumbuh.
Pengertian pengendalian kualitas pelayanan di atas mengacu pada siklus
pengendalian (control cycle) dengan memutar siklus “Plan-Do-Check-Action” (P-D-
C-A) = Relaksasi (rencanakan– laksanakan–periksa–aksi). Pola P-D-C-A ini dikenal
sebagai “siklus Shewart”, karena pertama kali dikemukakan oleh Walter Shewart
beberapa puluh tahun yang lalu. Namun dalam perkembangannya, metodologi analisis
P-D-C-A lebih sering disebuit “siklus Deming”. Hal ini karena Deming adalah orang
yang mempopulerkan penggunaannya dan memperluas penerapannya.
Dengan nama apapun itu disebut, P-D-C-A adalah alat yang bermanfaat
untuk melakukan perbaikan secara terus menerus (continous improvement) tanpa
berhenti.
Konsep P-D-C-A tersebut merupakan panduan bagi setiap manajer untuk
proses perbaikan kualitas (quality improvement) secara rerus menerus tanpa berhenti
tetapi meningkat ke keadaaan yang lebih baik dan dijalankan di seluruh bagian
organisasi, seperti tampak pada gambar 1.
Dalam gambar 1 tersebut, pengidentifikasian masalah yang akan
dipecahkan dan pencarian sebab-sebabnya serta penetuan tindakan koreksinya, harus
selalu didasarkan pada fakta.Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya unsur
subyektivitas dan pengambilan keputusan yang terlalu cepat serta keputusan yang
bersifat emosional. Selain itu, untuk memudahkan identifikasi masalah yang akan
dipecahkan dan sebagai patokan perbaikan selanjutnya perusahaan harus menetapkan
standar pelayanan.
Hubungan pengendalian kualitas pelayanan dengan peningkatan perbaikan
berdasarkan siklus P-D-C-A (Relationship between Control and Improvement under P-
D-C-A Cycle) diperlihatkan dalam gambar 2. Pengendalian kualitas berdasarkan siklus
P-D-C-A hanya dapat berfungsi jika sistem informasi berjalan dengan baik dan siklus
tersebut dapat dijabarkan dalam enam langkah seperti diperlihatkan dalam gambar 3.
Peningkatan

Pemecahan masalah
A P
C D dan peningkatan

A P Standar
C D Pemecahan masalah
Standar
Gambar 1. Siklus dan Proses Peningkatan PDCA

Plan Do Check Action

Follow-up
Corrective
Action Plan
(1)
(6) Menentukan
Action Tujuan dan sasaran
Mengambil Improvement
tindakan (2)
yang tepat Menetapkan
Metode untuk
Gambar 2. Relationship Between Control and Improvement Under P-D-C-A Cycle
Mencapai tujuan
0............. 336

(5)) (3)
Menyelenggarakan
Memeriksa akibat p Pendidikan dan
Check pelaksanaan latihan
(4))
Melaksanakan
pekerjaan Do

Gambar 3. Siklus PDCA


Keenam langkah P-D-C-A yang terdapat dalam gambar 3 di atas dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Langkah 1. Menentukan tujuan dan sasaran → Plan
Tujuan dan sasaran yang akan dicapai didasarkan pada kebijakan yang ditetapkan.
Penetapan sasaran tersebut ditentukan oleh pimpinan rumah sakit. Penetapan sasaran
didasarkan pada data pendukung dan analisis informasi.
Sasaran ditetapkan secara konkret dalam bentuk angka, harus pula diungkapkan dengan
maksud tertentu dan disebarkan kepada semua karyawan. Semakin rendah tingkat
karyawan yang hendak dicapai oleh penyebaran kebijakan dan tujuan, semakin rinci
informasi.

b. Langkah 2. Menentukan metode untuk mencapai tujuan → Plan


Penetapan tujuan dan sasaran dengan tepat belum tentu akan berhasil dicapai tanpa
disertai metode yang tepat untuk mencapainya. Metode yang ditetapkan harus rasional,
berlaku untuk semua karyawan dan tidak menyulitkan karyawan untuk
menggunakannya. Oleh karena itu dalam menetapkan metode yang akan digunakan
perlu pula diikuti dengan penetapan standar kerja yang dapat diterima dan dimengerti
oleh semua karyawan.
c. Langkah 3. Menyelenggarakan pendidikan dan latihan → Do
Metode untuk mencapai tujuan yang dibuat dalam bentuk standar kerja. Agar dapat
dipahami oleh petugas terkait, dilakukan program pelatihan para karyawan untuk
memahami standar kerja dan program yang ditetapkan.
d. Langkah 4. Melaksanakan pekerjaan →Do
Dalam pelaksanaan pekerjaan, selalu terkait dengan kondisi yang dihadapi dan
standar kerja mungkin tidak dapat mengikuti kondisi yang selalu dapat berubah. Oleh
karena itu, ketrampilan dan pengalaman para karyawan dapat dijadikan modal dasar
untuk mengatasi masalah yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan karena
ketidaksempurnaan standar kerja yang telah ditetapkan.
e. Langkah 5: Memeriksa akibat pelaksanaan →Check
Manajer atau atasan perlu memeriksa apakah pekerjaan dilaksanakan dengan baik
atau tidak. Jika segala sesuatu telah sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dan
mengikuti standar kerja, tidak berarti pemeriksaan dapat diabaikan. Hal yang harus
disampaikan kepada karyawan adalah atas dasar apa pemeriksaan itu dilakukan. Agar
dapat dibedakan manakah penyimpangan dan manakah yang bukan penyimpangan,
maka kebijakan dasar, tujuan, metode (standar kerja) dan pendidikan harus dipahami
dengan jelas baik oleh karyawan maupun oleh manajer. Untuk mengetahui
penyimpangan, dapat dilihat dari akibat yang timbul dari pe laksanaan pekerjaan dan
setelah itu dapat dilihat dari penyebabnya.
f. Langkah 6 : Mengambil tindakan yang tepat →Action
Pemeriksaan melalui akibat yang ditimbulkan bertujuan untuk menemukan
penyimpangan. Jika penyimpangan telah ditemukan, maka penyebab timbulnya
penyimpangan harus ditemukan untuk mengambil tindakan yang tepat agar tidak
terulang lagi penyimpangan. Menyingkirkan faktor-faktor penyebab yang telah
mengakibatkan penyimpangan merupakan konsepsi yang penting dalam
pengendalian kualitas pelayanan.
Konsep PDCA dengan keenam langkah tersebut merupakan sistem yang efektif
untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang akan
dicapai diperlukan partisipasi semua karyawan, semua bagian dan semua proses.
Partisipasi semua karyawan dalam pengendalian kualitas pelayanan diperlukan
kesungguhan (sincerety), yaitu sikap yang menolak adanya tujuan yang semata-mata hanya
berguna bagi diri sendiri atau menolak cara berfikir dan berbuat yang semata-mata bersifat
pragmatis. Dalam sikap kesungguhan tersebut yang dipentingkan bukan hanya sasaran
yang akan dicapai, melainkan juga cara bertindak seseorang untuk mencapai sasaran
tersebut.
Partisipasi semua pihak dalam pengendalian kualitas pelayanan mencakup semua
jenis kelompok karyawan yang secara bersama-sama merasa bertanggung jawab atas
kualitas pelayanan dalam kelompoknya. Partisipasi semua proses dalam pengendalian
kualitas pelayanan dimaksudkan adalah pengendalian tidak hanya terhadap output, tetapi
terhadap hasil setiap proses. Proses pelayanan akan menghasilkan suatu pelayanan
berkualitas tinggi, hanya mungkin dapat dicapai jika terdapat pengendalian kualitas dalam
setiap tahapan dari proses. Dimana dalam setiap tahapan proses dapat dijamin adanya
keterpaduan, kerjasama yang baik antara kelompok karyawan dengan manajemen, sebagai
tanggung jawab bersama untuk menghasilkan kualitas hasil kerja dari kelompok, sebagai
mata rantai dari suatu proses.

B. KESELAMATAN PASIEN
Mengacu kepada standar keselamatan pasien, maka RSKIA Annisa
Payakumbuhharus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara
intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja mutu serta
keselamatan pasien.
Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi,misi, dan tujuan RSKIA
Annisa Payakumbuh, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini,
praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai
dengan “ Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit”
Berkaitan hal tersebut diatas maka perlu ada kejelasan perihal tujuh langkah
keselamatan pasien rumah sakit tersebut.
Uraian Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah sebagai
berikut:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
Langkah penerapan:
a. Tingkat Rumah Sakit :
RSKIA Annisa Payakumbuh telah memiliki kebijakan yang menjabarkan
apa yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-
langkah pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang harus
diberikan kepada staf, pasien dan keluarga.
 RSKIA Annisa Payakumbuh telah memiliki kebijakan dan prosedur yang
menjabarkan peran dan akuntabilitas individual bilamana ada insiden.
 RSKIA Annisa Payakumbuh telah berupaya menumbuhkan budaya pelaporan
dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit.
 Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan pasien.
b. Tingkat Unit Kerja
 Pastikan semua rekan sekerja merasa mampu untuk berbicara mengenai
kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden.
 Demonstrasikan kepada seluruh personil ukuran-ukuran yang dipakai di RSKIA
Annisa Payakumbuh untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka
dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.
3. Pimpinan Dan Dukungan Staf RS
Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien di
seluruh jajaran RSKIA Annisa Payakumbuh.
Langkah penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit :
 Direksi bertanggung jawab atas keselamatan pasien.

 Telah dibentuk Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien yang ditugaskan untuk menjadi
“penggerak” dalam gerakan keselamatan pasien.
 Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat jajaran Direksi maupun rapat-
rapat manajemen rumah sakit.
 Keselamatan Pasien menjadi materi dalam semua program orientasi dan pelatihan di
RSKIA Annisa Payakumbuh dan dilaksanakan evaluai dengan pre dan post test.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim:
 Semua pimpinan unit kerja wajib memimpin gerakan Keselamatan Pasien.

 Selalu jelaskan kepada seluruh personil relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi
mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien.
 Tumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.

4. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Resiko


Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan
asesmen hal yang potensial bermasalah.
Langkah penerapan:
a. Tingkat Rumah Sakit :
 Telaah kembali input dan proses yang ada dalam manajemen risiko klinis dan
non klinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan
Keselamatan Pasien dan staf.
 Kembangkan indikator-indikator kinerja mutu dan Insiden Keselamatan Pasien
(IKP) bagi sistem pengelolaan risiko yang dapat dimonitor oleh
Direksi/Manajer RSKIA Annisa Paykumbuh.
 Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan
insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan
kepedulian terhadap pasien.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim:
 Dalam setiap rapat koordinasi selalu laksanakan diskusi tentang hal-hal yang
berkaitan dengan Keselamatan Pasien guna memberikan umpan balik kepada
Manajer terkait.
 Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko
rumah sakit.
 Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan akseptabilitas
setiap risiko, dan ambilah langkah-langkah yang tepat untuk memperkecil risiko
tersebut.
 Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke proses
asesmen dan pencatatan risiko rumah sakit.

5. Kembangkan Sistem Pelaporan


Pastikan staf agar dengan mudah dapat melaporkan kejadian/insiden, serta rumah sakit
mengatur pelaporan kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS).
Langkah penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit
Sistem pelaporan insiden ke dalam maupun ke luar rumah sakit mengacu pada
Pedoman Keselamatan Pasien RSKIA Annisa Payakumbuh.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim :
Berikan semangat kepada seluruh personil untuk secara aktif melaporkan setiap
insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena
mengandung bahan pelajaran yang penting.

6. Libatkan dan Berkomunikasi Dengan Pasien


Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.
Langkah penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit :
 RSKIA Annisa Payakumbuh memiliki kebijakan dan pedoman yang jelas
tentang cara-cara komunikasi terbuka selama proses asuhan tentang insiden
dengan para pasien dan keluarganya.
 Seluruh staf RSKIA Annisa Payakumbuh terkait harus mampu memastikan
bahwa pasien dan keluarga mendapat informasi yang benar dan jelas
bilamana terjadi insiden.
 Seluruh jajaran manajerial harus mampu memberi dukungan, pelatihan dan
dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien dan
keluarganya
b. Tingkat Unit Kerja/Tim :
 Pastikan seluruh personil menghargai dan mendukung keterlibatan pasien
dan keluarganya bila telah terjadi insiden.
 Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi
insiden, dan segera berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar
secara tepat.
 Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien
dan keluarganya.
 Belajar Dan Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien
 Seluruh staf harus mampu untuk melakukan analisis akar masalah untuk
belajar bagaimana dan mengapa KTD itu timbul.
Langkah penerapan:
a. Tingkat Rumah Sakit:
 Pastikan staf yang tekait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden
secara tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab.
 Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas kriteria
pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA) yang
mencakup insiden yang terjadi dan minimum satu kali per tahun melakukan
melakukan Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) untuk proses risiko
tinggi.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim:
 Diskusikan dalam jajaran unit/tim pengalaman dari hasil analisis insiden.
 Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di masa
depan dan bagilah pengalaman tersebut secara lebih luas.
 Cegah Cedera Melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien
Gunakan informasi yang ada tentang kejadian / masalah untuk melakukan
perubahan pada sistem pelayanan.
Langkah Penerapan:
a. Tingkat Rumah Sakit :
 Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem
pelaporan, asesmen risiko, kajian insiden, dan audit serta analisis, untuk
menentukan solusi.
 Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang sistem (input dan proses),
penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk penggunaan
instrumen yang menjamin keselamatan pasien.
 Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang direncanakan.
 Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS-PERSI.
 Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden
yang dilaporkan.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim :
 Libatkan seluruh personil dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat
asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.
 Telaah kembali perubahan-perubahan yang telah dibuat dan pastikan
pelaksanaannya.
 Pastikan seluruh personil menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang
insiden yang dilaporkan.
Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang komprehensif
untuk menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut secara menyeluruh
harus dilaksanakan oleh setiap rumah sakit. Dalam pelaksanaan, tujuh langkah tersebut
tidak harus berurutan dan tidak harus serentak. Dapat dipilih langkah-langkah yang paling
strategis dan paling mudah dilaksanakan. Bila langkah-langkah ini berhasil maka
kembangkan langkah-langkah yang belum dilaksanakan. Bila tujuh langkah ini telah
dilaksanakan dengan baik maka dapat menambah penggunaan metode-metode lainnya.

C. MANAJEMEN RISIKO
Manajemen risiko merupakan upaya yang proaktif untuk mencegah
masalah di kemudian hari, dilakukan terus menerus dan dalam suasana no blame
culture.
Tahapan manajemen risiko adalah:
1. Risk Awareness.
Seluruh staf rumah sakit harus menyadari risiko yang mungkin terjadi di
unit kerjanya masing- masing, baik medis maupun non medis. Metode yang
digunakan untuk mengenali risiko antara lain: Self-assesment, sistem pelaporan
kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (laporan insiden) dan audit klinis.
2. Risk Control (and or Risk Prevention)
Langkah-langkah yang diambil manajemen untuk mengendalikan risiko.
Upaya yang dilakukan:
a. Mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution)
b. Mengurangi risiko (control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun
terhadap derajat keparahannya.
c. Mengurangi dampaknya.
3. Risk Containment.
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau
kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan
sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko
dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan
insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat
terhadap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.
4. Risk Transfer
Akhir apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka
diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai,
misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Proses manajemen risiko yang digunakan di RSKIA Annisa Payakumbuhdiadopsi
dari Risk Management Logic (Dwipraharso, 2004), yang terdiri dari:
1. Asesmen Risiko
2. Identifikasi Risiko
3. Analisis Risiko
4. Urutkan Prioritas Risiko dengan Mengukur Tingkat Risiko
5. Tentukan Respon Rumah Sakit
6. Kelola Kasus Risiko untuk Meminimalkan Kerugian (Risk Control)
7. Evaluasi Risiko
8. Membangun Upaya Pencegahan
9. Kelola Pembiayaan Risiko (Risk Financing)
BAB VI
PENGORGANISASIAN

STRUKTUR ORGANISASI KOMITE MUTU DANKESELAMATAN PASIEN


RSKIA ANNNISA PAYAKUMBUH

DIREKTUR

KOMITE
MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN

SUB KOMITE SUB KOMITE SUB KOMITE


MUTU KESELAMATAN PASIEN MANAJEMEN RISIKO

Ketua: Ketua : Ketua:

PIC PIC PIC


Unit KERJA Unit KERJA Unit KERJA

Komite Mutu dan Keselamatan Pasien mempunyai tugas merencanakan, menyusun,


melakukan monitoring, dan evaluasi terhadap semua kegiatan yang terkait dengan Mutu
Pelayanan dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang bertujuan untuk tercapainya Mutu
Pelayanan dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit sesuai standar dengan langkah kerja
sebagai berikut:
1. Menyusun program mutu, program keselamatan pasien, dan program manajemen
risiko.
2. Memonitor apakah proses berjalan dengan benar melalui pengumpulan data.
3. Melakukan analisis data dari data data yang telah dikumpulkan
4. Melakukan dan memastikan adanya perubahan yang dapat menghasilkan
perbaikan.
5. Menggerakkan kepemimpinan menuju perubahan budaya organisasi.
6. Mengidentifikasi dan menurunkan risiko dan penyimpangan secara proaktif.
7. Menggunakan data agar fokus perbaikan pada isu prioritas.

Sub Komite Mutu mempunyai tugas sebagai berikut:


1. Memilih sepuluh area indikator klinis untuk ditetapkan direktur yang selanjutnya
dilakukan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan.
2. Memilih sembilan area indikator manajemen untuk ditetapkan direktur yang
selanjutnya dilakukan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan.
3. Bersama Komite Medis memilih lima area prioritas dengan fokus penggunaan
pedoman praktek klinis dan clinical pathways atau protokol klinis untuk ditetapkan
direktur yang selanjutnya dilakukan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan.
4. Membantu direktur dalam hal penetapan indikator mutu unit kerja yang
selanjutnya unit kerja melakukan pemantauan, analisis, evaluasi, dan pelaporan ke
direktur melalui Komite Mutu dan Keselamatan Pasien
5. Melakukan penilaian terhadap progran yang telah dilaksanakan mencakup struktur,
proses, dan hasil yang mana hasil penilaian disampaikan kepada pihak terkait
secara berkala sesuai alur yang telah ditetapkan.

Sub Komite Keselamatan Pasien mempunyai tugas sebagai berikut:


1. Memilih indikator kunci untuk menilai setiap sasaran keselamatan pasien
(International Patient Safety Goals/IPSG).
2. Menetapkan definisi dari kejadian sentinel, melakukan analisis akar masalah (Root
Cause Analysis/RCA), pada semua kejadian sentinel, dan melakukan tindak lanjut
dari RCA tersebut.
3. Menganalisis Kejadian Tidak Diharapkan/KTD yang liputi semua reaksi transfusi
yang terjadi di rumah sakit, semua kejadian kesalahan obat, jika terjadi sesuai
definisi yang ditetapkan rumah sakit, semua kesalahan medis (medical error) yang
signifikan jika terjadi sesuai dengan definisi rumah sakit, semua kejadian yang
tidak diharapkan dalam keadaan sedasi atau selama dilakukan anestesi, serta
kejadian lain seperti ledakan infeksi mendadak (Infection Outbreak), pasien jatuh,
dan lain-lain.
4. Menetapkan definisi Kejadian Nyaris Cedera/KNC, menetapkan jenis kejadian
yang harus dilaporkan sebagai KNC, menetapkan proses untuk melakukan
pelaporan KNC, menganalisis dan melakukan tindakan untuk mengurangi KNC.
5. Membuat catatan kejadian, menganalisis, mengevaluasi serta melaporkan hasil
secara reguler melalui pertemuan dan atau tertulis ke unit atau atasan terkait,
eksternal dan internal sesuai ketentuan yang berlaku.

Sub Komite Manajemen Risiko mempunyai tugas sebagai berikut:


1. Mengidentifikasi risiko di setiap unit rumah sakit
2. Menetapkan prioritas risiko
3. Melakukan pelaporan terhadap risiko
4. Melakukan manajemen risiko (termasuk analisis dan pembuatan Failure Mode and
Effect Analysis/ FMEA
5. Melakukan manajemen dari hal hal lain yang terkait
6. Melaksanakan dan membuat catatan secara proaktif tetntang penggunaaan alat
untuk mengurangi risiko paling sedikit setahun sekali.
BAB VII
TATA HUBUNGAN KERJA

TATA HUBUNGAN KERJA KOMITE MUTU DANKESELAMATAN PASIEN


DENGAN UNIT KERJA LAIN DI LINGKUNGAN
RSKIA ANNISA PAYAKUMBUH

Governing body
5 (Dewas) 4

Saran Laporan

Direksi 3
6
Instruksi
Saran

Laporan dan
Instruksi Komite Mutu dan Rekomendasi
Saran 7 Keselamatan 2
Analisa data
Pasien Validasi data II
Monev

Laporan,
8 Seluruh satuan kerja 1 validasi dan
Implementasi analisa data
Pengumpulan
data
BAB VIII
KEGIATAN

Pelaksanaan kegiatan Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah


Sakit RSKIA Annisa Payakumbuh adalah sebagai berikut:
1. RSKIA Annisa Payakumbuh menetapkan kebijaksanaan dan langkah-langkah upaya
peningkatan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit. Untuk dapat melaksanakan
upaya peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit, maka langkah awal yang
diperlukan adalah adanya kebijaksanaan dan langkah-langkah upaya peningkatan
mutu dan keselamatan pasien dari direktur.
2. Membentuk Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP) di RSKIA Annisa
Payakumbuh dengan surat keputusan direktur, lengkap beserta uraian tugas yang
jelas.
3. Pimpinan beserta Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP) RSKIA Annisa
Paykumbuh melakukan kegiatan persiapan berupa pertemuan/rapat, lokakarya,
pelatihan, dan sebagainya kepada seluruh staf rumah sakit, sehingga ada kesamaan
pengertian tentang mutu, keselamatan pasien, dan manajemen risiko, penghayatan
konsep dasar dan prinsip, dan adanya kesepakatan tentang langkah-langkah kegiatan
yang akan dilakukan.
4. Pimpinan beserta Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP) RSKIA Annisa
Payakumbuh membahas dan merencanakan serta melaksanakan segala langkah-
langkah yang menyangkut persiapan upaya peningkatan mutu, keselamatan pasien,
dan manajemen risiko sebagai berikut:
a. Identifikasi masalah
b. Inventarisasi kegiatan yang telah dilaksanakan
c. Memilih aspek yang akan ditingkatkan
d. Memilih metode pendekatan yang akan dipakai
e. Menentukan sumber data
f. Identifikasi indikator
5. Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP)RSKIA Annisa Payakumbuh
menyusun rencana kegiatan
6. Pimpinan beserta Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP) RSKIA Annisa
Payakumbuh melakukan presentasi hasil pelaksanaan upaya peningkatan mutu
pelayanan secara teratur.
BAB IX
METODE
Metode pelaksanaan peningkatan mutu di RSKIA Annisa Payakumbuh harus
mengacu kepada Buku Pedoman Peningkatan Mutu, Keselamatan Pasien, dan Manajemen
Risiko RSKIA Annisa Payakumbuh, dan nantinya teknis pelaksanaan akan dituangkan
dalam 3 Buku Panduan yakni Panduan Peningkatan Mutu, Panduan Keselamatan Pasien,
dan Panduan Manajemen Risiko RSKIA Annisa Payakumbuh.

BAB X
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Kegiatan Peningkatan Mutu, Keselamatan Pasien, dan Manajemen Risiko di
RSKIA Annisa Payakumbuh melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan sebagai
berikut:
1. RSKIA Annisa Payakumbuh wajib melakukan pencatatan dan pelaporan pada
seluruh kegiatan Peningkatan Mutu, Keselamatan Pasien, dan Manajemen Risiko
yang telah ditetapkan.
2. Komite Mutu dan Keselamatan Pasien RSKIA Annisa Payakumbuh melakukan
pencatatan kegiatan yang telah dilakukan dan membuat laporan kegiatan kepada
Direktur Rumah Sakit secara berkala.
BAB XI
MONITORING DAN EVALUASI

Kegiatan Peningkatan Mutu, Keselamatan Pasien, dan Manajemen Risiko di RSKIA


Annisa Payakumbuh melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi sebagai berikut:
1. Seluruh jajaran manajemen RSKIA Annisa Payakumbuh secara berkala melakukan
monitoring dan evaluasi Peningkatan Mutu, Keselamatan Pasien, dan Manajemen Risiko
yang dilaksanakan oleh Komite Mutu dan Keselamatan Pasien RSKIA Annisa
Payakumbuh.
2. Komite Mutu dan Keselamatan Pasien RSKIA Annisa Payakumbuh secara berkala
(paling lama 3 tahun) melakukan evaluasi pedoman, kebijakan dan prosedur
peningkatan yang dipergunakan di RSKIA Annisa Payakumbuh.
3. Komite Mutu dan Keselamatan Pasien RSKIA Annisa Payakumbuh melakukan
evaluasi kegiatan setiap triwulan dan membuat tindak lanjutnya
BAB X
PENUTUP

Dengan semakin meningkatnya taraf hidup dan pengetahuan masyarakat, maka semakin
meningkat kesadaran dan tuntutan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu.
Namun perlu disadari, upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan merupakan “never
ending process” dan perlu didukung oleh sumber daya dan dana yang memadai. Dalam
implementasinya ia bukan hal yang mudah karena menyangkut monitoring banyak hal.
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan telah dijalankan tetapi memang belum secara
sistematik dan belum ada legislasi yang kuat. Keberhasilan upaya peningkatan mjutu
pelayanan kesehatan tergantung dari jalinan kerjasama semua stake holder kesehatan.
Pengelola pelayanan kesehatan harus menyadari bahwa “Quality is matter of survival”

Anda mungkin juga menyukai