PENDAHULUAN
A. PENINGKATAN MUTU
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebenarnya bukanlah hal yang baru.
Florence Nightingale (1820 –1910) seorang perawat dari Inggris menekankan pada aspek-
aspek keperawatan pada peningkatan mutu pelayanan. Salah satu ajarannya yang terkenal
sampai sekarang adalah “hospital should do the patient no harm”, rumah sakit jangan
sampai merugikan atau mencelakakan pasien.
Di Amerika Serikat, upaya peningkatan mutu pelayanan medis dimulai oleh ahli
bedah Dr. E.A.Codman dari Boston dalam tahun 1917. Dr.E.A Codman dan beberapa ahli
bedah lain kecewa dengan hasil operasi yang seringkali buruk, karena seringnya terjadi
penyulit. Mereka berkesimpulan bahwa penyulit itu terjadi karena kondisi yang tidak
memenuhi syarat di rumah sakit. Untuk itu perlu ada penilaian dan penyempurnaan tentang
segala sesuatu yang terkait dengan pembedahan. Ini adalah upaya pertama yang berusaha
mengidentifikasikan masalah klinis, dan kemudian mencari jalan keluarnya.
Kelanjutan dari upaya ini pada tahun 1918 The American College of Surgeons
(ACS) menyusun suatu Hospital Standardization Programme.Program standarisasi adalah
upaya pertama yang terorganisasi dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan. Program
ini ternyata sangat berhasil meningkatkan mutu pelayanan sehingga banyak rumah sakit
tertarik untuk ikut serta. Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi maka spesialisasi
ilmu kedokteran diluar bedah cepat berkembang. Oleh karena itu program standarisasi
perlu diperluas agar dapat mencakup disiplin lain secara umum.
Pada tahun 1951 American College of Surgeon, American College of Physicians,
dan American Hospital Association bekerjasama membentuk suatu Joint Commision on
Accreditation of Hospital (JCAH) suatu badan gabungan untuk menilai dan mengakreditasi
rumah sakit.
Pada akhir tahun 1960 JCAH tidak lagi hanya menentukan syarat minimal dan
essensial untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada di rumah sakit, namun telah
memacu rumah sakit agar memberikan mutu pelayanan yang setinggi-tingginya sesuai
dengan sumber daya yang ada. Untuk memenuhi tuntutan yang baru ini antara tahun 1953-
1965 standar akreditasi direvisi enam kali, selanjutnya beberapa tahun sekali diadakan
revisi.
Atas keberhasilan JCAH dalam meningkatkan mutu pelayanan, Pemerintah Federal
memberi pengakuan tertinggi dalam mengundangkan “Medicare Act”. Undang-undang ini
mengabsahkan akreditasi rumah sakit menurut standar yang ditentukan oleh JCAH. Sejak
saat itu rumah sakit yang tidak diakreditasi oleh JCAH tidak dapat ikut program asuransi
kesehatan pemerintah federal (medicare), padahal asuransi di Amerika sangat menentukan
utilisasi rumah sakit karena hanya 9,3% biaya rumah sakit berasal dari pembayaran
langsung oleh pasien.
Sejak tahun 1979 JCAH membuat standar tambahan, yaitu agar dapat lulus
akreditasi suatu rumah sakit harus juga mempunyai program pengendalian mutu yang
dilaksanakan dengan baik.
Di Australia, Australian Council on Hospital Standards (ACHS) didirikan dengan
susah payah pada tahun 1971, namun sampai tahun 1981 badan ini baru berhasil beroperasi
dalam tiga negara bagian. Tetapi lambat laun ACHS dapat diterima kehadirannya dan
diakui manfaatnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan sehingga sekarang kegiatan
ACHS telah mencakup semua negara bagian. Pelaksanaan peningkatan mutu di Australia
pada dasarnya hampir sama dengan di Amerika.
Di Eropa Barat perhatian terhadap peningkatan mutu pelayanan sangat tinggi,
namun masalah itu tetap merupakan hal baru dengan konsepsi yang masih agak kabur bagi
kebanyakan tenaga profesi kesehatan. Sedangkan pendekatan secara Amerika sukar
diterapkan karena perbedaan sistem kesehatan di masing-masing negara di Eropa. Karena
itu kantor Regional WHO untuk Eropa pada awal tahun 1980-an mengambil inisiatif untuk
membantu negara-negara Eropa mengembangkan pendekatan peningkatan mutu pelayanan
disesuaikan dengan sistem pelayanan kesehatan masing-masing.
Pada tahun 1982 kantor regional tersebut telah menerbitkan buku tentang upaya
meningkatkan mutu dan penyelenggaraan simposium di Utrecht,Belanda tentang
metodologi peningkatan mutu pelayanan. Dalam bulan Mei 1983 di Barcelona, Spanyol
suatu kelompok kerja yang dibentuk oleh WHO telah mengadakan pertemuan untuk
mempelajari peningkatan mutu khusus untuk Eropa.
Walaupun secara regional WHO telah melakukan berbagai upaya, namun pada
simposium peningkatan mutu pada bulan Mei 1989 terdapat kesan bahwa secara nasional
upaya peningkatan mutu di berbagai negara Eropa Barat masih pada perkembangan awal.
Di Asia, negara pertama yang sudah mempunyai program peningkatan mutu dan
akreditasi rumah sakit secara nasional adalah Taiwan.Negara ini banyak menerapkan
metodologi dari Amerika.Sedangkan Malaysia mengembangkan peningkatan mutu
pelayanan dengan bantuan konsultan ahli dari Negeri Belanda.
Di Indonesia langkah awal yang sangat mendasar dan terarah yang telah dilakukan
Departemen Kesehatan dalam rangka upaya peningkatan mutu yaitu penetapan kelas
rumah sakit pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.033/Birhup/1972.
Secara umum telah ditetapkan beberapa kriteria untuk tiap kelas Rumah sakit A,B,C,D.
Kriteria ini kemudian berkembang menjadi standar-standar. Kemudian dari tahun ke tahun
disusun berbagai standar baik menyangkut pelayanan, ketenagaan, sarana dan prasarana
untuk masing-masing kelas rumah sakit.Disamping standar, Departemen Kesehatan juga
mengeluarkan berbagai panduan dalam rangka meningkatkan penampilan pelayanan rumah
sakit.
Sejak tahun 1984 Departemen Kesehatan telah mengembangkan berbagai indikator
untuk mengukur dan mengevaluasi penampilan (performance) rumah sakit pemerintah
kelas C dan rumah sakit swasta setara yaitu dalam rangka Hari Kesehatan Nasional.
Indikator ini setiap dua tahun ditinjau kembali dan disempurnakan. Evaluasi penampilan
untuk tahun 1991 telah dilengkapi dengan indikator kebersihan dan ketertiban rumah sakit
dan yang dievaluasi selain kelas C juga kelas D dan kelas B serta rumah sakit swasta
setara. Sedangkan evaluasi penampilan tahun 1992 telah dilengkapi pula dengan instrumen
mengukur kemampuan pelayanan. Evaluasi penampilan rumah sakit ini merupakan
langkah awal dari Konsep Continuous Quality Improvement (CQI). Berbeda dengan
konsep QA tradisional dimana dalam monitor dan evaluasi dititik beratkan kepada
pencapaian standar, maka pada CQI fokus lebih diarahkan kepada penampilan organisasi
melalui penilaian pemilik, manajemen, klinik dan pelayanan penunjang. Perbedaan yang
sangat mendasar yaitu keterlibatan seluruh karyawan.
Selain itu secara sendiri-sendiri beberapa rumah sakit telah mengadakan monitoring
dan evaluasi mutu pelayanan rumah sakitnya. Pada tahun 1981 RS Gatot Subroto telah
melakukan kegiatan penilaian mutu yang berdasarkan atas derajat kepuasan pasien.
Kemudian RS Husada pada tahun 1984 melakukan kegiatan yang sama. RS Husada di
Surabaya membuat penilaian mutu atas dasar penilaian perilaku dan penampilan kerja
perawat. RS Dr.Soetomo Surabaya menilai mutu melalui penilaian infeksi nosokomial
sebagai salah satu indikator mutu pelayanan.RS Cipto Mangunkusumo menggunakan
upaya penggunaan obat secara rasional.
RS Islam Jakarta pernah menggunakan pengendalian mutu terpadu (TQC) dan
Gugus Kendali Mutu (Quality Control Circle = QCC). Beberapa RS lainnya juga telah
mencoba menerapkan Gugus Kendali Mutu, walaupun hasilnya belum ada yang
dilaporkan.
Sejalan dengan hal di atas maka Kementrian Kesehatan telah mengadakan
Pelatihan Peningkatan Mutu Pelayanan Rumah Sakit pada beberapa rumah sakit.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa kesadaran untuk meningkatkan mutu
sudah cukup meluas walaupun dalam penerapannya sering ada perbedaan.
B. KESELAMATAN PASIEN
Sejak awal tahun 1900 institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada 3 (tiga)
elemen yaitu input, proses dan output sampai outcome dengan bermacam macam konsep
dasar, program regulasi yang berwenang misalnya antara lain penerapan Standar Pelayanan
Rumah Sakit, Penerapan Quality Assurance, Total Quality Management, Countinous
Quality Improvement, Perizinan, Akreditasi, Kredensialing, Audit Medis, Indikator Klinis,
Clinical Governance, ISO, dan lain sebagainya.
Harus diakui program-program tersebut telah meningkatkan mutu pelayanan rumah
sakit baik pada aspek input, proses maupun output dan outcome. Namun harus diakui, pada
pelayanan yang telah berkualitas tersebut masih terjadi KTD yang tidak jarang berakhir
dengan tuntutan hukum. Oleh sebab itu perlu program untuk lebih memperbaiki proses
pelayanan, karena KTD sebagian dapat merupakan kesalahan dalam proses pelayanan yang
sebetulnya dapat dicegah melalui rencana pelayanan yang komprehensif dengan
melibatkan pasien berdasarkan haknya. Program tersebut yang kemudian dikenal dengan
istilah keselamatan pasien (patient safety).
Dengan meningkatnya keselamatan pasien rumah sakit diharapkan kepercayaan
masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit dapat meningkat. Selain itu keselamatan
pasien juga dapat mengurangi KTD, yang selain berdampak terhadap peningkatan biaya
pelayanan juga dapat membawa rumah sakit ke arena blamming, menimbulkan konflik
antara dokter/petugas kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis, tuntutan dan
proses hukum, tuduhan malpraktek, blow-up ke media massa yang akhirnya menimbulkan
opini negatif terhadap pelayanan rumah sakit. Selain itu rumah sakit dan dokter bersusah
payah melindungi dirinya dengan asuransi, pengacara dsb. Tetapi pada akhirnya tidak ada
pihak yang menang, bahkan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan
rumah sakit.
Pada Januari 2002 Executive Board WHO menyusun usulan resolusi, dan kemudian
diajukan pada World Health Assembly ke 55 Mei 2002, dan diterbitkan sebagai Resolusi
WHA55.18. Selanjutnya pada World Health Assembly ke 57 Mei 2004, diputuskan
membentuk aliansi internasional untuk peningkatan keselamatan pasien dengan sebutan
World Alliance for Patient Safety, dan ditunjuk Sir Liam Donaldson sebagai Ketua.
World Alliance for Patient Safety pada tahun 2004 menerbitkan 6 program
keselamatan pasien, dan tahun 2005 menambah 4 program lagi, keseluruhan 10 program
WHO untuk keselamatan pasien adalah sbb :
1. Global Patient Safety Challenge :
1st Challenge : 2005-2006 : Clean Care is Safer Care,
2nd Challenge : 2007-2008 : Safe Surgery Safe Lives.
2. Patient for Patient Safety.
3. Taxonomy for Patient Safety.
4. Research for Patient Safety.
5. Solutions for Patient Safety.
6. Reporting and Learning.
7. Safety in action.
8. Technology for Patient Safety.
9. Care of acutely ill patients.
10. Patient safety knowledge at your fingertips.
WHO Collaborating Centre for Patient Safety, dimotori oleh Joint Commission
International, Suatu badan akreditasi dari Amerika Serikat, mulai tahun 2005
mengumpulkan pakar keselamatan pasien dari lebih 100 Negara, dengan kegiatan
mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamtan pasien, dan mencari solusi
berupa sistem atau intervensi sehingga mampu mencegah atau mengurangi cedera pasien
dan meningkatkan keselamatan pasien. Pada tgl 2 Mei 2007 WHO Colaborating Centre
for Patient Safety resmi menerbitkan panduan “Nine Life-Saving Patient Safety Solutions”
(“Sembilan Solusi Keselamatan Pasien Rumah Sakit”).
Sembilan topik yang diberikan solusinya adalah sbb:
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike
Medication Names).
2. Pastikan Identifikasi pasien.
3. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien.
4. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar.
5. Kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated).
6. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan.
7. Hindari salah kateter dan salah sambung slang (tube).
8. Gunakan alat injeksi sekali pakai.
9. Tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk pencegahan infeksi
nosokomial.
C. MANAJEMEN RISIKO
Risiko dedefinisikan sebagai kemungkinan sesuatu yang terjadi atau potensi bahaya
yang terjadi yang dapat memberikan pengaruh pada hasil akhir.
Risiko yang dicegah berupa risiko klinis dan risiko non klinis. Risiko klinis adalah
risiko yang dikaitkan langsung dengan layanan medis maupun layanan lain yang dialami
pasien selama di rumah sakit. Sementara risiko non medis ada yang berupa risiko bagi
organisasi maupun risiko finansial. Risiko organisasi adalah yang berhubungan langsung
dengan komunikasi, produk layanan, proteksi data, sistem informasi dan semua risiko yang
dapat mempengaruhi pencapaian organisasi. Risiko finansial adalah risiko yang dapat
mengganggu kontrol finansial yang efektif, salah satunya adalah sistem yang harusnya
dapat menyediakan pencatatan akuntansi yang baik. (Bury PCT, 2007)
Menurut Dwipraharso (2004) risiko medis dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:
1. Tingkat probabilitas dan keparahannya minimal (umumnya bersifat foreseeable
but unavoidable, calculated, controllabe).
2. Risiko ‘bermakna’ tetapi harus diambil karena ‘the only way’ (unavoidable).
3. Risiko 1 dan 2 memerlukan informed consent sehingga bila terjadi dokter tidak
bertanggung jawab secara hukum.
4. Risiko yang unforeseeable = untoward results
Dalam setiap pusat pelayanan kesehatan harus dibangun sistem yang dapat
menjamin bahwa setiap tindakan medik yang dilakukan haruslah aman bagi pasien
maupun petugas dan lingkungan sekitar. Pendekatan yang dilakukan disebut dengan
manajemen risiko.
Manajemen risiko menurut The Joint Commision On Acreditation of Helathcare
Organizations adalah aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit
untuk melakukan identifikasi, evaluasi, dan pengurangan risiko terjadinya cidera atau
kerugian pada pasien, pengunjung dan institusi rumah sakit. Manajemen risiko dapat
digambarkan sebagai proses berkelanjutan dari identifikasi secar sistemik, evaluasi, dan
penatalaksanaan risiko dengan tujuan mengurangi dampak buruk organisasi maupun
individu. Rumah sakit perlu menggunakan pendekatan proaktif dalam melaksanakan
manajemen risiko.
BAB III
TUJUAN
A. PENINGKATAN MUTU
Tujuan Peningkatan Mutu RSKIA Annisa Payakumbuhadalah tercapainya
peningkatan mutu pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh melalui :
a. Optimasi tenaga, sarana, dan prasarana.
b. Pemberian pelayanan sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan yang
dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu sesuai dengan kebutuhan pasien.
c. Pemanfaatan teknologi tepat guna, dan pengembangan pelayanan kesehatan.
B. KESELAMATAN PASIEN
Tujuan keselamatan pasien RSKIA Annisa Payakumbuh adalah sebagai berikut:
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit.
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan kejadian tidak diharapkan.
C. MANAJEMEN RISIKo
Tujuan manajemen risiko RSKIA Annisa Payakumbuh adalah sebagai berikut:
1. Mencegah terjadinya risiko melalui pengembangan sistem manajemen risiko.
2. Meningkatkan peran staf rumah sakit untuk terlibat aktif dalam manajemen
risiko.
3. Meningkatkan kesadaran staf rumah sakit bahwa mereka adalah bagian dari
sistem manajemen risiko.
BAB IV
PENGERTIAN
B. MUTU PELAYANAN
1. Pengertian mutu
a. Mutu adalah tingkat kesempurnaan suatu produk atau jasa.
b. Mutu adalah expertise, atau keahlian dan keterikatan (commitment) yang selalu
dicurahkan pada pekerjaan.
c. Mutu adalah kegiatan tanpa salah dalam melakukan pekerjaan.
2. Definisi Mutu Pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuh
Adalah derajat kesempurnaan pelayanan RSKIA Annisa Payakumbuhuntuk
memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
standar profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang
tersedia di RSKIA Annisa Payakumbuhsecara wajar, efisien dan efektif serta diberikan
secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosial budaya dengan
memperhatikan keterbatasan dan kemampuan RSKIA Annisa Payakumbuh dan masyarakat
konsumen.
3. Pihak yang Berkepentingan dengan Mutu
Banyak pihak yang berkepentingan dengan mutu, yaitu :
a. Konsumen.
b. Pembayar/perusahaan/asuransi.
c. Manajemen RSKIA Annisa Payakumbuh.
d. Karyawan RSKIA Annisa Payakumbuh.
e. Masyarakat.
f. Pemerintah.
g. Ikatan profesi.
Setiap kepentingan yang disebut di atas berbeda sudut pandang dan kepentingannya
terhadap mutu. Karena itu mutu adalah multi dimensional.
4. Dimensi Mutu
Dimensi atau aspeknya adalah :
a. Keprofesian.
b. Efisiensi.
c. Keamanan Pasien.
d. Kepuasan Pasien.
e. Aspek Sosial Budaya.
Pemecahan masalah
A P
C D dan peningkatan
A P Standar
C D Pemecahan masalah
Standar
Gambar 1. Siklus dan Proses Peningkatan PDCA
Follow-up
Corrective
Action Plan
(1)
(6) Menentukan
Action Tujuan dan sasaran
Mengambil Improvement
tindakan (2)
yang tepat Menetapkan
Metode untuk
Gambar 2. Relationship Between Control and Improvement Under P-D-C-A Cycle
Mencapai tujuan
0............. 336
(5)) (3)
Menyelenggarakan
Memeriksa akibat p Pendidikan dan
Check pelaksanaan latihan
(4))
Melaksanakan
pekerjaan Do
B. KESELAMATAN PASIEN
Mengacu kepada standar keselamatan pasien, maka RSKIA Annisa
Payakumbuhharus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara
intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja mutu serta
keselamatan pasien.
Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi,misi, dan tujuan RSKIA
Annisa Payakumbuh, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini,
praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai
dengan “ Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit”
Berkaitan hal tersebut diatas maka perlu ada kejelasan perihal tujuh langkah
keselamatan pasien rumah sakit tersebut.
Uraian Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah sebagai
berikut:
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
2. Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
Langkah penerapan:
a. Tingkat Rumah Sakit :
RSKIA Annisa Payakumbuh telah memiliki kebijakan yang menjabarkan
apa yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-
langkah pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang harus
diberikan kepada staf, pasien dan keluarga.
RSKIA Annisa Payakumbuh telah memiliki kebijakan dan prosedur yang
menjabarkan peran dan akuntabilitas individual bilamana ada insiden.
RSKIA Annisa Payakumbuh telah berupaya menumbuhkan budaya pelaporan
dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit.
Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan pasien.
b. Tingkat Unit Kerja
Pastikan semua rekan sekerja merasa mampu untuk berbicara mengenai
kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden.
Demonstrasikan kepada seluruh personil ukuran-ukuran yang dipakai di RSKIA
Annisa Payakumbuh untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka
dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.
3. Pimpinan Dan Dukungan Staf RS
Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien di
seluruh jajaran RSKIA Annisa Payakumbuh.
Langkah penerapan :
a. Tingkat Rumah Sakit :
Direksi bertanggung jawab atas keselamatan pasien.
Telah dibentuk Panitia Mutu dan Keselamatan Pasien yang ditugaskan untuk menjadi
“penggerak” dalam gerakan keselamatan pasien.
Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat jajaran Direksi maupun rapat-
rapat manajemen rumah sakit.
Keselamatan Pasien menjadi materi dalam semua program orientasi dan pelatihan di
RSKIA Annisa Payakumbuh dan dilaksanakan evaluai dengan pre dan post test.
b. Tingkat Unit Kerja/Tim:
Semua pimpinan unit kerja wajib memimpin gerakan Keselamatan Pasien.
Selalu jelaskan kepada seluruh personil relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi
mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien.
Tumbuhkan sikap kesatria yang menghargai pelaporan insiden.
C. MANAJEMEN RISIKO
Manajemen risiko merupakan upaya yang proaktif untuk mencegah
masalah di kemudian hari, dilakukan terus menerus dan dalam suasana no blame
culture.
Tahapan manajemen risiko adalah:
1. Risk Awareness.
Seluruh staf rumah sakit harus menyadari risiko yang mungkin terjadi di
unit kerjanya masing- masing, baik medis maupun non medis. Metode yang
digunakan untuk mengenali risiko antara lain: Self-assesment, sistem pelaporan
kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (laporan insiden) dan audit klinis.
2. Risk Control (and or Risk Prevention)
Langkah-langkah yang diambil manajemen untuk mengendalikan risiko.
Upaya yang dilakukan:
a. Mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution)
b. Mengurangi risiko (control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun
terhadap derajat keparahannya.
c. Mengurangi dampaknya.
3. Risk Containment.
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau
kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan
sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko
dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan
insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat
terhadap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.
4. Risk Transfer
Akhir apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka
diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai,
misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.
Proses manajemen risiko yang digunakan di RSKIA Annisa Payakumbuhdiadopsi
dari Risk Management Logic (Dwipraharso, 2004), yang terdiri dari:
1. Asesmen Risiko
2. Identifikasi Risiko
3. Analisis Risiko
4. Urutkan Prioritas Risiko dengan Mengukur Tingkat Risiko
5. Tentukan Respon Rumah Sakit
6. Kelola Kasus Risiko untuk Meminimalkan Kerugian (Risk Control)
7. Evaluasi Risiko
8. Membangun Upaya Pencegahan
9. Kelola Pembiayaan Risiko (Risk Financing)
BAB VI
PENGORGANISASIAN
DIREKTUR
KOMITE
MUTU DAN KESELAMATAN PASIEN
Governing body
5 (Dewas) 4
Saran Laporan
Direksi 3
6
Instruksi
Saran
Laporan dan
Instruksi Komite Mutu dan Rekomendasi
Saran 7 Keselamatan 2
Analisa data
Pasien Validasi data II
Monev
Laporan,
8 Seluruh satuan kerja 1 validasi dan
Implementasi analisa data
Pengumpulan
data
BAB VIII
KEGIATAN
BAB X
PENCATATAN DAN PELAPORAN
Kegiatan Peningkatan Mutu, Keselamatan Pasien, dan Manajemen Risiko di
RSKIA Annisa Payakumbuh melakukan kegiatan pencatatan dan pelaporan sebagai
berikut:
1. RSKIA Annisa Payakumbuh wajib melakukan pencatatan dan pelaporan pada
seluruh kegiatan Peningkatan Mutu, Keselamatan Pasien, dan Manajemen Risiko
yang telah ditetapkan.
2. Komite Mutu dan Keselamatan Pasien RSKIA Annisa Payakumbuh melakukan
pencatatan kegiatan yang telah dilakukan dan membuat laporan kegiatan kepada
Direktur Rumah Sakit secara berkala.
BAB XI
MONITORING DAN EVALUASI
Dengan semakin meningkatnya taraf hidup dan pengetahuan masyarakat, maka semakin
meningkat kesadaran dan tuntutan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu.
Namun perlu disadari, upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan merupakan “never
ending process” dan perlu didukung oleh sumber daya dan dana yang memadai. Dalam
implementasinya ia bukan hal yang mudah karena menyangkut monitoring banyak hal.
Peningkatan mutu pelayanan kesehatan telah dijalankan tetapi memang belum secara
sistematik dan belum ada legislasi yang kuat. Keberhasilan upaya peningkatan mjutu
pelayanan kesehatan tergantung dari jalinan kerjasama semua stake holder kesehatan.
Pengelola pelayanan kesehatan harus menyadari bahwa “Quality is matter of survival”