Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Mata


2.1.1 Bola Mata
Bola mata orang dewasa normal hampir mendekati bulat , dengan diameter
anteroposterior sekitar 24,5 mm.

2.1.2 Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan
dengan epitel kornea di limbus.

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan


melekat erat ke tarsus . Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
posterior (pada fornices superior dan inferior) dan menbungkus jaringan episklera
dan menjadi konjungtiva bulbaris (Vaughan, 2000).
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitales di fornices dan
melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2000).

2.1.3 Kapsula Tenon


Kapsula Tenon adalah suatu membran fibrosa yang membungkus bola
mata dari limbus sampai ke nervus optikus. Di dekat limbus, konjungtiva, kapsula
tenon, dan episklera menyatu.

2.1.4 Sklera dan Episklera


Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar. Jaringan
ini padat dan berwarna putih serta bersambungan dengan kornea di sebelah

Universitas Sumatera Utara


anterior dan duramater nervus optikus di belakang. Permukaan luar sklera anterior
dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari jaringan elastik halus, episklera yang
mengandung banyak pembuluh darah yang memasuk sklera .

2.1.5 Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan.

2.1.6 Retina
Merupakan bagian yang penting dalam memberikan pesan kepada otak
dalam bentuk semula dari benda dan diterima oleh otak sebagai impuls kimia
yang dapat menggambarkan apa yang dilihat.

2.1.7 Aparatus Lakrimalis


Terdiri dari komponen kelenjar Lakrimalis, kelenjar Krause, dan kelenjar
Wolfring yaitu bagian yang menghasilkan sekresi air mata, sakus lakrimalis, dan
duktus nasolakrimalis.

2.2 Pterygium
2.2.1 Defenisi
Pterygium ( baca :ter igee um) berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron
yang artinya wing atau sayap. Pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini
biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea (Vaughan, 2000). Umumnya pterygium tidak akan
bertumbuh atau membesar, namun kelainan bisa terjadi hingga pterygium
menutupi bagian kornea mata.

2.2.2 Penyebab
Pterygium berhubungan erat dengan kondisi lingkungan.Penyebab paling
umum adalah paparan atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima

Universitas Sumatera Utara


oleh mata. Ultraviolet (UV), baik UV A ataupun UV B berperan penting dalam
hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor- faktor lain seperti alergen,
kimia, debu, dan zat pengiritasi lainnya (Agus, 2005).
Telah banyak sekali penelitian yang mencari korelasi hubungan UV
dengan pterygium. Menurut Yan Qi-Chang, 2006, waktu terpapar dengan
ultraviolet telah digunakan untuk mengukur jumlah kuantitas dari paparan UV di
penelitian internasional untuk mencari hubungan penyakit pterygium dengan sinar
UV.

2.2.3 Faktor risiko


Perubahan dari atmosfer terutama karena kerusakan dari lapisan ozon,
jumlah dan intensitas dari sinar ultraviolet meningkat. Hal ini berhubungan erat
dengan meningkatnya kejadian pterygium dengan sinar ultraviolet. Insidensi
pterygium lebih tinggi pada pasien yang bekerja di luar ruangan yang mempunyai
waktu yang lebih banyak untuk terpapar dengan sinar matahari. Lamanya waktu
terpapar dengan radiasi UV B dipercaya menjadi faktor resiko dari pterygium
pada daerah di bawah garis lintang (Seang-Mei Saw, 1999).
Menurut Wlodarczyk di dalam Yan Qi-Chang, (2006) diketahui pterygium
berhubungan dengan paparan UV A dan UV B. Insidensi pterygium erat dengan
paparannya sinar ultraviolet pada usia muda dan menengah. Dan ini juga
dikatakan bahwa usia ini menjadi tahap yang sensitif terhadap terjadinya
pteygium (Yan Qi-Chang, 2006). Namun, insiden juga meningkat lebih tinggi
pada keluarga yang mempunyai riwayat pterygium, kemungkinan diturunkan
autosom dominan.

2.2.4.Patogenesis
2.2.4.1Iritasi kronis oleh debu kimia (basa)
Konjungtiva merupakan lapisan terluar dari bola mata, sehingga sangat
rentan terkena iritasi yang terus menerus, konjungtiva juga sering mengalami
trauma dan infeksi. Walaupun sangat rentan terhadap iritasi, infeksi, dan trauma,

Universitas Sumatera Utara


mata mempunyai mekanisme perlindungan dengan mengeluarkan air mata bila
ada rangsangan benda asing (Agus, 2005).
Proses ini disebabkan oleh adanya lapisan musin yang dapat menangkap
benda asing dan segera memompakan air mata, sehingga mata menjadi basah dan
mengencerkan air materi benda asing untuk melindungi mata dari infeksi ataupun
trauma kecil seperti debu atau uap yang bersifat iritan. Iritasi yang disebabkan
oleh debu, basa mengakibatkan lisis lapisan lipid pada film air mata dan prosesnya
terus berlanjut jika terpapar dalam waktu yang lama sehingga mempengaruhi
permukaan konjungtiva terutama daerah limbus dan mengakibatkan
terangsangnya epitel limbus. Hal ini menyebabkan timbulnya jaringan ikat hialin
dan fibrosa yang menyebar menurut garis nasotemporal (Agus, 2005).

2.2.4.1 Paparan Ultraviolet (UV)


UV terdiri dari tiga jenis yaitu UV A (320-400 nm), UV B (290-320 nm),
UV C (290 nm). Penyebab terjadinya pterygium ini adalah paparanan UV B, dan
telah diketahui bahwa UV B dapat meyebabkan efek mutagenik pada sel.
Pancaran sinar UV B dari sinar matahari hanya 5% yang sampai pada bumi.
Respon biologis pada sinar ini berefek akut dan kronik dan paparan tertinggi akan
diterima pada wilayah ekuator dan pada dataran tinggi. Efek UV B menimbulkan
mutasi sel epitel limbus yang merubah TP53 (Tumor Protein) tumor supresor gen
di bagian parental limbal basal sel, gen jaringan elastin, serta sel fibroblast di
epitel limbus sehingga terbentuk jaringan seperti tumor karena pertumbuhan sel
ini.
Pertumbuhan ini akan berlanjut dan dapat menginvasi basal membran
kornea. Sumber UV bisa berasal dari sinar matahari, dalam paparannya
dipengaruhi oleh lapisan ozon yang melindungi bumi. Patogenesis pterygium
merupakan suatu teki-teki yang masih diperdebatkan, ada yang mengemukakan
teori bahwa terjadinya pterygium merupakan reaksi hipersensitivitas tipe 1, sel T
mediated tipe IV hipersensitivitas respon, proliferasi fibroblast terakselarasi,
kekeringan pada konjuntiva dan kornea, dan angiongenik faktor (Seang-Mei
Saw,1999).

Universitas Sumatera Utara


2.2.5 Gambaran Klinis
Pterygium lebih sering dijumpai pada laki - laki yang bekerja di luar
rumah. Pterygium sebagai lipatan berbentuk segitiga pada kongjungtiva yang
meluas ke kornea pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium (Laszuarni, 2009).
Kira- kira 90 % pterygium terletak di daerah nasal. Nasal dan temporal
pterygium dapat terjadi pada mata yang sama, temporal pterygium jarang
ditemukan. Kedua mata sering terlibat, namun jarang asimetris. Perluasan
pterygium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual aksis,
menyebabkan penglihatan kabur (Agus, 2005).
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu:body, apex (head) dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah kantus
dan disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex, dan ke arah belakang
disebut cap. Suatu subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan
membentuk batas pinggir pterygium.
Pterygium berdasarkan perjalanan penyakitnya dibagi 2 tipe yaitu
pterygium progresif dan pterygium regresif: (Laszuarni, 2009).
Pterygium progresif : tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium).
Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vascular. Tipe ini akhirnya
akan membentuk membran yang tidak hilang.
Pada fase awal pterygium muncul tanpa gejala, tetapi keluhan kosmetik.
Gangguan penglihatan terjadi ketika pterygium mencapai daerah pupil atau
meyebabkan kornea astigmatisma akibat pertumbuhan fibrosis pada tahap
regresif. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan
mata.
Pterygim dapat dibagi ke dalam beberapa tipe:
1. Tipe I: meluas 2 mm dari kornea.
2. Tipe II: menutupi kornea sampai 4 mm dapat primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma.
3. Tipe III: mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual.

Universitas Sumatera Utara


Pterygium juga dapat dibagi dalam 4 derajat yaitu:
1. Derajat 1: Pterygium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat 2: Pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2
mm melewati kornea.
3. Derajat 3: Pterygium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata, dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan
normal sekitar 3- 4 mm).
4. Derajat 4: Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga
menggangu penglihatan.

2.2.6 Diagnosa Banding


Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama
yaitu pinguecula dan pseudopterigium. Bentuknya kecil, meninggi, massa
kekuningan berbatasan dengan limbus pada congjungtiva bulbi di fisura
intrapalpebra dan kadang-kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak
diindikasikan. Prevalensi insiden meningkat dengan meningkatnya umur.
Pinguecula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama
pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar UV bukan faktor risiko penyebab
pinguecula (Vaughan, 2000).
Pertumbuhan fibrovascular yang mirip dengan pterygium,
pertumbuhannya membentuk sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien s
marginal degeneration. Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana
fibrovaskular scar yang timbul pada kongjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda
dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan ocular
sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, kongjungtivitis sikatrik, trauma bedah
atau ulcus perifer kornea. Untuk mengidentifikasikan pseudopterygium, cirinya
pada limbus cornea, pseudopterygium tidak didapati bagian head, cap dan body
dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissura yang
berbeda dengan true pterygium (Laszuarni, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.2.7 Penatalaksanaan
Keluhan ringan pterygium berupa fotofobia dan mata sering di atasi
dengan cara menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikan,
vasokonstriktor atau kortikosteroid digunakan secara aman untuk menghilangkan
gejala jika digunakan secara benar terutama pada derajat 1 dan 2 atau tipe 1.
Untuk mencagah progresivitas beberapa peneliti menganjurkan penggunaan
kacamata pelindung UV.
Indikasi eksisi untuk pterygium termasuk ketidaknyamanan yang
menetap, gangguan penglihatan, ukuran > 3-4 mm dan pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual aksis dan adanya gangguan
pergerakan bola mata. Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai keadaan
normal gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering
digunakan untuk mengangkat pterygium adalah menggunakan pisau yang datar
untuk mendiseksi pterygium ke arah limbus (Laszuarni, 2009).
Beberapa pilihan untuk menutup luka termasuk (Laszuarni, 2009):
1. Bare sclera: Tidak ada jahitan atau benang absorbable digunakan untuk
melekatkan konjungtivita ke superficial sclera di depan insersi rektus .
Meninggalkan suatu daerah sclera terbuka (teknik ini tingkat rekurensi
40-50%)
2. Simple closure: Pinggir dari kongjungtiva yang bebas dijahit bersama
(efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).
3. Sliding flap: Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk
flap conjungtiva untuk menutup luka.
4. Rotational flap: Insisi bentuk U dibuat disekitar luka untuk membentuk
lidah dari kongjungtiva yang diputar untuk menutup luka.
5. Congjungtiva graft: Suatu free graft biasanya dari kongjungtiva superior
dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
6. Amnion Membran Transplantasi: Mengurangi frekuensi rekuren
pterygium mengurangi fibrosis atau scar pada permukaan bola mata .
7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototeraupetic keratectomy dan
terbaru dengan menggunakan gabungan angiostatic steroid.

Universitas Sumatera Utara


2.2.8 Komplikasi
Komplikasi pterygium antara lain:
Distorsi dan penglihatan sentral berkurang
Merah
Iritasi
Scar ( parut) kronis pada konjungtiva dan kornea
Pada pasien yang belum eksisi, scar pada otot rectus medial yang dapat
menyebabkan diplopia
Komplikasi setelah eksisi pterygium adalah:
Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, kongjungtiva
graft longgar, dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,
vitreous hemorage atau retinal detachment.
Penggunaan mytomicin C setelah operasi dapat menyebabkan ectasis atau
melting pada sklera dan kornea.
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah pterygium yang
rekuren setelah operasi.

2.2.9 Strategi Pencegahan


UV B adalah merupakan paparan yang primer, sehingga perlu dilakukan
perlindungan mata dari paparan secara langsung. Sinar matahari merupakan
sumber UV yang paling besar sehingga hindari bekerja di tempat yang terbuka,
pembatasan lama paparan pada radiasi ultraviolet dan jika diperlukan gunakan
topi yang berdiameter besar dan kacamata anti UV, juga perhatikan faktor- faktor
yang dapat mempengaruhinya juga seperti penggunaan kacamata untuk
menghindari paparan angin secara langsung, dan kurangi paparan terhadap
paparan bahan kimia baik yang berbentuk partikel debu (Yan Qi-Chang, 2006).

2.3 Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup)
yang bersangkutan. Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri

Universitas Sumatera Utara


manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang
ada dalam diri manusia (Purwanto, 1999).
Notoatmodjo (1993) yang menyatakan perilaku manusia dapat dilihat dari
3 aspek, yaitu aspek fisik, psikis, sosial yang secara rinci merupakan refleksi
kejiwaan seperti : pengetahuan, motivasi, persepsi sikap, dan sebagian yang
ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor faktor pengalaman, keyakinan, cara
fisik, dan sosial budaya masyarakat.
Menurut L. Blum dalam buku Notoatmodjo (1993) disebutkan bahwa
perilaku sesorang terdiri atas 3 bagian yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kognitif dapat diukur dari pengetahuan, afektif dari sikap atau tanggapan, dan
psikomotor diukur melalui tindakan praktik yang dilakukan. Namun, pada
pembahasan yang saat ini hanya dibahas dari segi pengetahuan.

2.3.1 Pengetahuan (knowledge)


Menurut Notoadmodjo (2003), perilaku dikembangkan menjadi tiga tingkat
yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan. Pengetahuan adalah hasil pengindraan
manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya.
Secara garis besar pengetahuan dibagi menjadi enam tingkat, yaitu :
1) Tahu (Know) diartikan hanya sebagai memanggil memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu.
2) Memahami (Comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasi materi tersebut yang benar.
3) Aplikasi (Application) diartikan sebagai kemapuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya.
4) Analisis (Analysis) adalah suatu kemampuan untuk mennjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen komponen, tetapi masih dalam
suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama
lain.

Universitas Sumatera Utara


5) Sintesis (Synthesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk
meletakkan atau menghubungkan bagian bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru.
6) Evaluasi (Evaluation) berkaitan dengan kemapuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.3.2 Cara Memperoleh Pengetahuan


2.3.2.1. Cara Tradisional untuk Memperoleh Pengetahuan
Cara ini dipakai untuk memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum
ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis.
Cara penemuan pengetahuan ini antara lain :
a. Cara coba-salah ( Trial and Error )
Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin
sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi
persoalan atau masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan menggunakan
kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut
tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain. Apabila kemungkinan kedua ini
gagal pula, maka dicoba kembali dengan kemungkinan ketiga dan seterusnya,
sampai masalah tersebut dapat terpecahkan. Itulah sebabnya maka cara ini disebut
metode trial (coba) and error (gagal atau salah) atau metode coba-salah / coba-
coba.
b. Cara Kekuasaan atau Otoritas
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan-kebiasaan
dan tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran apakah yang
dilakukan tersebut baik atau tidak. Misalnya, mengapa ibu yang sedang menyusui
harus minum jamu. Dari sejarah kita ketahui dan kita pelajari bahwa kekuasaan
raja zaman dulu adalah mutlak, sehingga apapun yang keluar dari mulut raja
adalah kebenaran yang mutlak dan harus diterima oleh masyarakat atau rakyatnya.
Kebiasaan-kebiasaan ini seolah-olah diterima dari sumbernya sebagai kebenaran
yang mutlak. Sumber pengetahuan tersebut dapat berupa pemimpin-pemimpin
masyarakat baik formal maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintah dan

Universitas Sumatera Utara


sebagainya. Dengan kata lain pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan pada
otoritas atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas atau kekuasaan
ahli ilmu pengetahuan.
c. Berdasarkan Pengalaman Pribadi
Pengalaman adalah guru yang baik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini
mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan,
atau pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun digunakan sebagai upaya
memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali
pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi, maka
untuk memecahkan masalah lain yang sama, orang dapat pula menggunakan cara
tersebut.
d. Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia. Cara berfikir
manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan
penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya, baik melalui induksi maupun
deduksi. Induksi dan deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan
pemikiran secara tidak langsung melalui pernyataan-pernyataan yang
dikemukakan, kemudian dicari hubungannya sehingga dapat dibuat suatu
kesimpulan itu melalui pernyataan-pernyataan khusus kepada yang umum
dinamakan induksi. Sedangkan deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan umum kepada yang khusus (Notoatmodjo, 2005).

2.3.2.2 Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan


Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini
lebih sistematis, logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau
lebih popular disebut metodologi penelitian. Cara ini mula-mula dikembangkan
oleh Francis Balon (15611626). Ia adalah seorang tokoh yang mengembangkan
metode berpikir induktif. Mula-mula ia mengadakan pengamatan langsung
terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan kemudian hasil pengamatannya
tersebut dikumpulkan dan diklarifikasikan, dan akhirnya diambil kesimpulan

Universitas Sumatera Utara


umum. Kemudian metode berfikir indukt if yang dikembangkan oleh Balon
dilanjutkan oleh Deobold Van Dollen. Ia mengatakan bahwa dalam memperoleh
kesimpulan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung, dan membuat
pencatatan-pencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan obyek yang
diamatinya. Pencatatan ini mencakup tiga hal pokok, yakni :
a. Segala sesuatu yang positif, yakni gejala tertentu yang muncul pada saat
dilakukan pengamatan.
b. Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala tertentu yang tidak muncul saat
dilakukan pengamatan.
c. Gejala yang muncul secara gravitasi, yaitu gejala-gejala yang berubah-ubah
pada kondisi-kondisi tertentu (Notoatmodjo, 2005).

2.3.3 Pengukuran dan Indikator Perilaku Kesehatan dari Segi Pengetahuan

Pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh


seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan. Pengetahuan tentang cara-
cara memelihara kesehatan ini meliputi:
1) Pengetahuan tentang penyakit menular dan tidak menular (jenis penyakit dan
tanda-tandanya atau gejalanya, penyebabnya, cara penularannya, cara
pencegahannya, cara mengatasi atau menangani sementara).
2) Pengetahuan tentang faktor-faktor yang terkait dan mempengaruhi kesehatan
antara lain: gizi makanan, sarana air bersih, pembuangan air limbah,
pembuangan kotoran manusia, pembuangan sampah, perumahan sehat, polusi
udara, dan sebagainya.
3) Pengetahuan tentang fasilitas pelayanan kesehatan yang professional maupun
yang tradisional.
4) Pengetahuan untuk menghindari kecelakaan baik kecelakaan rumah tangga,
maupun kecelakaan lalu lintas dan tempat-tempat umum

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai