Anda di halaman 1dari 17

CASE REPORT DOKTER MUDA

PTERIGIUM

Oleh:
Muhammad Bagus Fidiandra (011923143122)

Pembimbing:
Ady Dwi Prakoso, dr., SpM

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RSUD DR. SOETOMO
SURABAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kata pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron, yang berarti sayap. Pterigium
adalah pertumbuhan fibrovaskuler non-maligna konjungtiva yang biasanya mencapai kornea
berbentuk segitiga; terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan proliferasi fibrotik yang
dominan1. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun
temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea2. Penyakit ini dapat menyebabkan
terjadanya astigmatisma serta menimbulkan gangguan lain seperti menurunnya tajam
penglihatan, iritasi kronik, inflamasi rekuren, penglihatan ganda, serta gangguan pergerakan
bola mata3. Faktor risiko mengidap pterigium antara lain: genetik, pajanan sinar matahari,
pajanan sinar UV, dan usia dewasa4. Prevalensi pterigium di dunia adalah sebesar 10,2%,
tertinggi di daerah dataran rendah. Di Indonesia, prevalensi pterigium adalah sebesar 10% pada
tahun 20025. Pterigium lebih sering ditemukan di daerah panas dengan iklim kering;
prevalensinya dapat mencapai 22% di daerah ekuator. Hal ini disebabkan karena area ini
merupakan daerah dengan paparan radiasi matahari yang tinggi, sehingga membuat
masyarakatnya lebih rentan untuk terkena paparan ultraviolet yang merupakan faktor resiko
terjadinya pterygium. Prevalensi di Riau, Indonesia, dilaporkan mencapai 17%. Insidens
pterigium di Indonesia sebesar 13,1%.
Keberadaan pterigium dikaitkan dengan adanya astigmatisma. Umumnya tingkat
keparahan astigmatisma berkaitan dengan ukuran pterigium yang melewati limbus, bukannya
ukuran pterigium secara keseluruhan dari bagian basal. Resiko terjadinya gangguan refraksi
seperti astigmatisma meningkat jika pterigium telah melewati derajat II. Pterigium yang dapat
dihindari jika orang dari sarana pelayanan kesehatan memberikan perhatian yang lebih dalam
penatalaksanaannya. Sehingga diharapkan dapat dilakukan deteksi awal untuk
mempertahankan prognosis yang baik.Oleh karena masih banyaknya kasus pterigium di
Indonesia dan juga berdasarkan ulasan diatas, maka dengan ini disusunlah laporan Case Report
mengenai pteridium.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan
kelopak mata. Konjungtiva divaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis6.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet yang berfungsi
membasahi bola mata terutama kornea. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1. Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
2. Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
3. Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Kantung konjungtiva termasuk konjungtiva
bulbar, forniks pada 3 sisi dan lipatan semilunar medial, dan konjungtiva palpebra. Serat otot
polos membentuk otot levator mempertahankan fornix superior dan slip fibrosa
memperpanjang bentuk tendon rectus horisontal ke konjungtiva dan plika temporal untuk
membentuk suapan selama tatapan horizontal

Gambar 1. Struktur konjungtiva (Sumber: Gooderham et al., 2017)

2.2 Definisi Pterigium


Pterigium merupakan sebuah kelainan pada konjugtiva yang sering dijumpai.
Pterigium didefinisikan sebagai penebalan jaringan konjungtiva bulbi dan jaringan
fibrovaskuler yang berbentuk segitiga, menyerupai daging yang dibatasi oleh fisura palpebra
dan menjalar/menginvasi ke kornea secara progresif. Pterygium sendiri dapat dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu puncak atau kepala, leher, dan tubuh. Pterygium dapat mengganggu
penglihatan melalui berbagai mekanisme, sepeti memblokir sumbu visual dan menginduksi
astigmatisme yang signifikan. Beberapa penelitian menunjukkan pterigium memiliki beberapa
kesamaan dengan kanker, yakni proliferasi sel aktif dengan apoptosis minimal, invasi (kornea),
serta rekurensi yang tinggi setelah operasi, sehingga sering dianggap jaringan premaligna7.

Gambar 2. Pterigium (Arai, et al., 2017)

2.3 Epidemiologi
Prevalensi pterigium di dunia adalah sebesar 10,2%, tertinggi di daerah dataran rendah.
Di Indonesia, prevalensi pterigium adalah sebesar 10% pada tahun 20025. Pterigium lebih
sering ditemukan di daerah panas dengan iklim kering; prevalensinya dapat mencapai 22% di
daerah ekuator. Hal ini disebabkan karena area ini merupakan daerah dengan paparan radiasi
matahari yang tinggi, sehingga membuat masyarakatnya lebih rentan untuk terkena paparan
ultraviolet yang merupakan faktor resiko terjadinya pterigium. Di daerah tropis seperti
Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44x lebih tinggi
dibandingkan di daerah non-tropis. Riset Kesehatan Dasar yang telah dilakukan pada tahun
2013 menyatakan bahwa prevalensi pterigium semua umur tahun 2013 adalah 8,3 persen.
Prevalensi pterigium dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes pada semua
responden tanpa batasan umur. Prevalensi pterigium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%),
sedangkan prevalensi di Riau dilaporkan mencapai 17%. Pada aspek mortalitas dan
morbiditasnya, pterigium dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan yang serius pada
beberapa kasus. Pterigium juga dapat meradang, sehingga menyebabkan iritasi mata dan
terlihat kemerahan. Kondisi pterigium diketahui terjadi dua kali lebih sering pada laki-laki
dibandingkan dengan pada perempuan. Pada aspek umur, angka kejadian pterigium pada orang
berusia sebelum 20 tahun cukup jarang, namun orang dalam rentang umur 20-40 tahun
memiliki angka insidensi pterigium yang tinggi, sedangkan orang berumur diatas 40 tahun
memiliki angka prevalensi pterigium yang tertinggi8.

2.4 Etiopatofisiologi
Mekanisme patologi pterigium secara khusus belum diketahui, namun sampai saat ini telah
terdapat banyak teori patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV),
teori growth factor-sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell9.
1. Teori pajanan sinar UV mengungkapkan pajanan terutama terhadap sinar UV-B
menyebabkan perubahan sel di dekat limbus, proliferasi jaringan akibat pembentukan
enzim metalloproteinase, dan terjadi peningkatan signifikan produksi interleukin, yaitu IL-
I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa teori menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan
mutasi supresor gen tumor P53, sehingga terjadi proliferasi abnormal epitel limbus.
2. Teori growth factor dan pembentukan sitokin pro-inflamasi mengungkapkan bahwa pada
pterigium terjadi inflamasi kronik yang merangsang keluarnya berbagai growth factor dan
sitokin, seperti FGF (Fibroblast Growth Factor), PDGF (Platelet derived Growth Factor),
TGF-β (Transforming Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) serta
VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang akan mengakibatkan proliferasi sel,
remodelling matriks ektra-sel dan angiogenesis.
3. Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar ultraviolet, angin,
debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro-inflamasi, sehingga
merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell yang juga akan memproduksi
sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor akan
mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan epitel
yang akhirnya akan menimbulkan pterigium.
2.5 Faktor Risiko
Faktor risiko pterigium bersifat multifaktorial, antara lain pajanan sinar ultraviolet,
pajanan debu atau iritan, peradangan, serta kekeringan pada mata. Pajanan sinar ultraviolet
disebut paling penting namun patofisiologinya belum jelas, diduga terjadi kerusakan DNA,
RNA, dan matriks ekstraseluler. Sinar ultraviolet dari radikal bebas memicu kerusakan pada
DNA, RNA, dan matriks ekstrasel. Ultraviolet-B memacu ekspresi sitokin dan faktor
pertumbuhan di sel epitelial pterigial. Kekeringan pada mata ditemukan pada sebagian besar
pasien pterigium namun patofosiologinya belum jelas. Polimorfisme pada DNA perbaikan gen
Ku 70 telah dikaitkan dengan kecenderungan genetik pterigium5.

2.6 Klasifikasi
Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat berdasarkan stadium yaitu:
1. Derajat 1: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3. Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan
cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 3. Stadium pterigium, stadium 1 (A), stadium 2 (B), Stadium 3 (C), dan stadium 4
(D). (Sumber: Selviana dan Ibrahim, 2019)

2.7 Gejala Klinis


- Asimptomatik
Pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali.
Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan
adanya keganasan atau alasan kosmetik.
- Mata sering berair dan tampak merah.
Riwayat mata merah berulang, biasanya banyak terdapat pada penderita yang banyak bekerja
di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi. Dapat ditanyakan
riwayat trauma sebelumnya untuk mengeliminasi diagnosis banding.
- Rasa panas dan gatal
- Merasa seperti ada benda asing.
- Timbul astigmatisme
Hal ini ditimbulkan akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut, biasanya
astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme irregular sehingga mengganggu
penglihatan.
- Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga
tajam penglihatan menurun.

2.8 Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis pada pterigium adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang mendukung dan dapat ditambahkan dengan pemeriksaan tambahan. Pada anamnnesis
umumnya didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair,
ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang,
riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi,
serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik mata, inspeksi
pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterigium dapat
memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan
flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal,
tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal. Pemeriksaan tambahan yang
dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar
komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.

2.9 Diagnosa Banding


Diagnosis banding untuk pterigium dapat berupa pinguekulum dan pseudopterigium.
Pinguekulum merupakan penebalan yang terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul
yang berwarna kekuningan. Pseudopterigium Merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh
karena ulkus kornea.
Gambar 4. Pinguekulum (Sumber: AAO, 2015)

Gambar 5. Pseudopterigium (Sumber: AAO, 2015)

2.10 Tatalaksana
Sebagai tindakan preventif, gunakan kacamata yang dapat memblok sinar ultraviolet (UV-A
dan UV-B) karena faktor risiko utama pterigium adalah pajanan sinar ultraviolet. Manajemen
medikamentosa jika terdapat keluhan. Obat tetes mata artifisial atau steroid jika disertai
inflamasi mata. Medikamentosa tidak akan mengurangi ataupun memperparah pterigium,
hanya mengurangi keluhan. Tantangan utama terapi pembedahan adalah mengatasi komplikasi
rekurensi yang sering terjadi, berupa pertumbuhan fibrovaskuler dari limbus ke tengah kornea.
Indikasi terapi pembedahan antara lain: tajam penglihatan berkurang akibat astigmatisma,
ancaman aksis visual terganggu, gejala iritasi berat, dan indikasi kosmetik4.

Indikasi dilakukan operasi antara lain:


1. Indikasi medik. Pterigium yang mencapai jarak lebih dari separuh limbus memiliki risiko
untuk mengenai visual axis yang dapat berakibat pada diplopia/astigmatisme, menyebabkan
keluhan mata merah, berair, silau.
2. Indikasi kosmetik. Pada beberapa orang adanya pterigium walau tidak sampai mengganggu
fungsi penglihatan tetap ingin melakukan tindakan operasi.
3. Indikasi Sosial. Jauhnya tempat tinggal dengan fasyankes yang memadai juga menjadi
pertimbangan untuk dilakukannya operasi.
4. Indikasi lain seperti adanya restriksi gerakan mata, kemerahan yang kronis pada konjungtiva,
serta adanya rasa mengganjal yang mengganggu pasien10.

Teknik eksisi antara lain:


1. Bare sclera: ialah teknik eksisi sederhana pada bagian kepala dan badan pterigium
serta membiarkan dasar sklera (scleral bed) terbuka sehingga terjadi re-epitelisasi. Kerugian
teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi yang dapat mencapai 24-89%.
2. Conjunctival autograft technique: angka rekurensi bervariasi dari 2% hingga paling
tinggi 40%. Prosedur menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi
bagian superotemporal, dieksisi sesuai ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan. Faktor yang penting untuk keberhasilan operasi
pterigium adalah kemampuan untuk diseksi graft tipis dan tepat ukuran untuk menutupi defek
konjungtiva dengan inklusi minimal dari jaringan Tenon. Hasil graft yang tipis dan bebas
tegangan telah terbukti tidak terjadi retraksi setelah operasi, menghasilkan hasil kosmetik
yang baik dengan tingkat rekurensi yang rendah11. Insisi luas untuk eksisi pterigium dan graft
yang besar direkomendasikan sebagai karena dengan teknik ini rekurensinya sangat rendah.
3. Amniotic membrane grafting: digunakan untuk mencegah rekurensi, bisa digunakan
untuk menutupi sklera yang terbuka setelah eksisi pterigium. Graft ini dianggap memicu
kesembuhan dan mengurangi angka rekurensi karena efek anti-inflamasinya, memicu
pertumbuhan epitelial dan sifatnya yang menekan sinyal transformasi TGF-beta, dan
proliferasi fibroblast12. Tingkat rekurensinya 2,6-10,7% untuk pterigium primer dan 37,5%
untuk pterigium rekuren. Membran amniotik ditempatkan di atas permukaan sklera dengan
bagian basis menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Lem fibrin berperan
membantu membran amniotik agar menempel pada jaringan episklera4.
Gambar 6. Teknik eksisi pterigium (Ramalingam, et al., 2011)

2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul dikarenakan progresivitas pterigium yang dialami pasien antara
lain astigmatisme ireguler yang terjadi akibat pterigium yang tebal, serta penurunan visus
apabila pterigium menutupi visual axis.

2.12 Prognosis
Diagnosis yang cepat dan perawatan yang efektif dapat menghindari keterlambatan dalam
perawatan untuk memiliki prognosis yang lebih baik. Penegakan diagnosis yang dini lebih baik
agar dapat mendapatkan terapi lebih awal. Jenis dan tingkat keparahan pterigium juga
menentukan prognosis, Pemilihan jenis operasi-operasi pteridium tidak hanya menghasilkan
hasil visual yang lebih baik tetapi juga meminimalisir kemungkinan untuk relapse. Prognosis
pterigium secara visus dan kosmetik cukup baik, karena umumnya pasien dapat kembali ke
aktivitas normal dalam 48 jam pasca operasi13. Semakin sedikit komplikasi pasca operasi,
semakin baik prognosisnya.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PENDERITA


Nama : Tn S
Usia : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lamongan
Pekerjaan : Petani
Agama :-
Status :-

3.2. DATA DASAR


Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama: kedua mata tampak tumbuh selaput
Riwayat Penyakit Sekarang
Kedua mata tampak tumbuh selaput pada bagian dekat hidung sejak sekitar 4 tahun. Selaput
tersebut makin lama makin panjang ke arah tengah mata. Pasien kadang mengeluh agak
mengganjal. Tidak ada keluhan mata merah, nyeri, mata kabur, berair ataupun silau.
Riwayat Pengobatan
Tidak ada
Riwayat Penggunaan Kacamata
Pasien tidak pernah menggunakan kacamata.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit DM, HT, ataupun trauma, Pasien juga tidak memiliki
riwayat operasi.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit sistemik atau penyakit mata tertentu.
Riwayat Sosial
-Tidak ada data-

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


GCS : 456
TD : 110/70
Nadi : 80x/meit
RR :20x/menit
Suhu :36,5oC

Status generalis
Kepala-leher : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorax : gerak dada simetris, tidak ada retraksi
Paru : suara nafas vesikuler, tidak ada wheezing maupun rhonki
Cor : S1S2 tunggal, tidak ada murmur maupun gallop
Abdomen : supel, bising usus normal
Extremitas : akral hangat kering merah

Status Lokalis Mata


OD Pemeriksaan OS
6/6 Visus 6/6
17,3 mmHg TIO 17,3 mmHg
Segmen Anterior
Edema (-), spasme (-) Palpebra Edema (-), spasme (-)

Hiperemi (+), Jaringan Hiperemi (+), Jaringan fibrovaskular


fibrovaskular berbentuk Konjungtiva berbentuk segitiga melewati limbus
segitiga melewati limbus
2mm dari kornea 2mm dari kornea

Jernih, arkus senilis (+) Kornea Jernih, arkus senilis (+)


Bilik mata
Dalam Dalam
depan
Radier (+) Iris Radier (+)
Bulat, 3 mm RC (+) Pupil Bulat, 3 mm, RC (+)
Jernih Lensa Jernih
OD Pemeriksaan OS
Segmen Posterior
Positif Fundus refleks Positif

Batas tegas, warna normal, Papil N. II Batas tegas, warna normal, CD


CD 0,3 ratio 0,3
Perdarahan (-), eksudat (-) Retina Perdarahan (-), eksudat (-)
positif Refleks makula positif

Foto Klinis Pasien


OD OS

3.6 Daftar Masalah


Anamnesis:
- Tumbuh selaput di kedua mata
- Keluhan sejak 4 tahun yang lalu
- Selaput tumbuh progresif mengarah ke tengah (kornea)
- Rasa mengganjal di kedua mata
Pemeriksaan Fisik:
- Konjungtiva ODS slight hiperemi
- Konjungtiva ODS terdapat jaringan fibrovaskuler yang berbentuk segitiga, menyerupai
daging yang menjalar melewati limbus dan berjarak sekitar 2 mm dari kornea
- Terdapat lingkaran berwarna abu-abu keputihan pada tepi kornea ODS

3.7 Diagnosis Banding


Pseudopterigium dan pinguekulum
3.8 Diagnosis Kerja
ODS Pterigium Grade II + Arcus Senilis

3.9 Planning
1. Diagnosis
- Pemeriksaan histopatologi
- Pemeriksaan profil lipid
2. Terapi
- Gunakan kacamata pelindung untuk menghindari paparan UV dan mengurangi stimulus
pertumbuhan.
- Pemberian sodium diklofenak 0,1% jika pterygium mengalami iritasi.
- Rujuk ke spesialis mata untuk dilakukan evaluasi dan operasi.
3. Monitoring
- Tanda vital pasien
- Keluhan dan klinis pasien
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan lapang pandang
- Tanda-tanda komplikasi
4. Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita pasien
- Menjelaskan kepada pasien mengenai rencana pengobatan atau terapi yang akan dilakukan.
- Menjelaskan kepada pasien mengenai komplikasi yang bisa timbul akibat penyakit yang
dideritanya saat ini dan prognosis penyakit tersebut.
- Edukasi tentang tindakan operasi yang akan dilakukan.

3.10 Prognosis
- Ad vitam : ad Bonam
- Ad functionam: Dubia ad bonam
- Ad sanationam: ad Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari anamnesis pasien Tn.S 55 tahun, mengeluhkan kedua mata tampak tumbuh
selaput pada bagian dekat hidung sejak sekitar 4 tahun. Selaput tersebut makin lama makin
panjang ke arah tengah mata. Pasien kadang mengeluh agak mengganjal. Tidak ada keluhan
mata merah, nyeri, mata kabur, berair ataupun silau. Faktor resiko pada pasien ini yang
menyebabkan adanya selaput yang identik dengan pterigium ini antara lain adalah faktor usia
dan pekerjaan pasien sebagai seorang petani yang sering bekerja di bawah terik matahari.
Karena pasien kerap terpajan sinar UV dari matahari, hal ini turut menjadi faktor risiko
penyebab timbulnya pterigium. Adanya selaput ini berawal dari bagian mata dekat hidung dan
berangsur menjalar ke bagian tengah mata (kornea) karena terus mendapat stimulasi, tidak
memakai kacamata, serta tidak di obati hingga sekarang sudah menjalar melewati limbus,
namun belum sampai menimbulkan keluhan gangguan visus. Apabila menghadapi keluhan
penurunan visus perlahan seperti pada pasien ini, perlu dipikirkan beberapa diagnosis banding
yaitu pseudopterigium dan pinguekulum.
Pada pasien ini di diagnosis dengan pterigium grade II dengan arkus senilis pada kedua
mata. Pterigium ditegakkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendukung,
antara lain adanya faktor risiko berupa pekerjaan dan usia, serta dari pemeriksaan fisik
ditemukan selaput yang identik dengan ciri pterigium. Arkus senilis pada pasien merupakan
hal yang umum dialami oleh orang dengan rentang usia diatas 40 tahun. Lingkaran abu-abu
keputihan di tepi kornea ini disebabkan oleh adanya jaringan adiposa, maka dari itu perlu
dipertimbangkan pada pasien ini untuk di periksakan profil lipid untuk mengetahui apakah
pasien juga menderita dislipidemia.
Untuk tatalaksana yang direncanakan untuk pasien ini, pasien diarahkan untuk
melakukan pencegahan agar tidak terpacu pertumbuhan pterigiumnya oleh stimulasi dari sinar
matahari dengan menggunakan kacamata pelindung. Pasien juga diresepkan tetes mata sodium
diklofenak 0,1% untuk digunakan apabila pterigium mengalami iritasi. Pasien akan dirujuk ke
dokter spesialis mata untuk kemudian dipertimbangkan untuk dilakukan operasi. Sedangkan
untuk arkus senilis pasien tidak bisa dihilangkan, namun akan diperiksa apakah pasien
membutuhkan obat dislipidemia. Kemudian pasien akan dilakukan monitoring post terapi
meliputi tanda vital pasien, klinis dan keluhan pasien, ketajaman visus, lapang pandang, serta
tanda–tanda komplikasi secara berkala. Edukasi yang akan diberikan kepada pasien adalah
seputar penjelasan tentang penyakit terkait dan prognosisnya, menjelaskan segala pemeriksaan
yang akan dilakukan dan tujuannya, menjelaskan terapi beserta tujuan, komplikasi yang bisa
terjadi serta edukasi agar kontrol rutin post tatalaksana definitif berupa terapi operatif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marcella M. Manajemen Pterigium. CDK Edisi Suplemen-1. 2019;46:23-25.


2. Muchtar H, Triswanti N. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pterygium Pada
Pasien Yang Berobat Di Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2013 - 2014.
Jurnal Medika Malahayati. 2015;2(1):8-14. (pte 3)
3. Emilia E. Third Grade Pterygium Of A Farmer. Medula. 2014;2(3):38-43. (pte 2)
4. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of pterygium. Ophthalmic Pearls.2010 ;p. 37-8
5. American Academy of Ophtalmology. Pterygium-Asia Pacific [Internet]. 2015 [cited 2017
May 31]. Available from: https://www.aao.org/topic-detail/pterygiumasia-pacific
6. Selviana B, Ibrahim A. Pterigium Grade III pada Oculi Sinistra. Medula. 2021;8(2):148-153.
7. Ginger-Eke H, Ogbonnaya C, Ezisi C. PTERYGIUM: Recent trends and perspectives—A
review of pathogenesis and current management options. Nigerian Journal of Ophthalmology
[Internet]. 2018 [cited 23 March 2021];26(2):89-98. Available from:
https://www.nigerianjournalofophthalmology.com/article.asp?issn=0189-
9171;year=2018;volume=26;issue=2;spage=89;epage=98;aulast=Ginger-Eke;type=0
8. Fisher J. Pterygium [Internet]. Medscape. 2019 [cited 23 March 2021]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#a6
9. Lima FVI, Manuputty GA. Hubungan paparan sinar matahari dengan angka kejadian pterigium
di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah tahun 2013. Moluca Medica. 2014; 4(2);101-9
10. Singh SK. Pterygium: epidemiology prevention and treatment. Community Eye Health.
2017;30(99):S5-S6.
11. Fuest M, Mehta JS, Coroneo MT. New treatment options for pterygium. Expert Review of
Ophtalmology. 2017;12(3):193-6
12. Neuradin G, Yeung S. The use of dry amniotic membrane in pterygium surgery. Clinical
Ophtalmology. 2016;10:705-12
13. Fisher, J.P. Pterygium. Medscape 2017; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

Anda mungkin juga menyukai