PTERIGIUM
Oleh:
Muhammad Bagus Fidiandra (011923143122)
Pembimbing:
Ady Dwi Prakoso, dr., SpM
2.3 Epidemiologi
Prevalensi pterigium di dunia adalah sebesar 10,2%, tertinggi di daerah dataran rendah.
Di Indonesia, prevalensi pterigium adalah sebesar 10% pada tahun 20025. Pterigium lebih
sering ditemukan di daerah panas dengan iklim kering; prevalensinya dapat mencapai 22% di
daerah ekuator. Hal ini disebabkan karena area ini merupakan daerah dengan paparan radiasi
matahari yang tinggi, sehingga membuat masyarakatnya lebih rentan untuk terkena paparan
ultraviolet yang merupakan faktor resiko terjadinya pterigium. Di daerah tropis seperti
Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko timbulnya pterigium 44x lebih tinggi
dibandingkan di daerah non-tropis. Riset Kesehatan Dasar yang telah dilakukan pada tahun
2013 menyatakan bahwa prevalensi pterigium semua umur tahun 2013 adalah 8,3 persen.
Prevalensi pterigium dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan dan observasi nakes pada semua
responden tanpa batasan umur. Prevalensi pterigium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%),
sedangkan prevalensi di Riau dilaporkan mencapai 17%. Pada aspek mortalitas dan
morbiditasnya, pterigium dapat menyebabkan gangguan fungsi penglihatan yang serius pada
beberapa kasus. Pterigium juga dapat meradang, sehingga menyebabkan iritasi mata dan
terlihat kemerahan. Kondisi pterigium diketahui terjadi dua kali lebih sering pada laki-laki
dibandingkan dengan pada perempuan. Pada aspek umur, angka kejadian pterigium pada orang
berusia sebelum 20 tahun cukup jarang, namun orang dalam rentang umur 20-40 tahun
memiliki angka insidensi pterigium yang tinggi, sedangkan orang berumur diatas 40 tahun
memiliki angka prevalensi pterigium yang tertinggi8.
2.4 Etiopatofisiologi
Mekanisme patologi pterigium secara khusus belum diketahui, namun sampai saat ini telah
terdapat banyak teori patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV),
teori growth factor-sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell9.
1. Teori pajanan sinar UV mengungkapkan pajanan terutama terhadap sinar UV-B
menyebabkan perubahan sel di dekat limbus, proliferasi jaringan akibat pembentukan
enzim metalloproteinase, dan terjadi peningkatan signifikan produksi interleukin, yaitu IL-
I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa teori menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan
mutasi supresor gen tumor P53, sehingga terjadi proliferasi abnormal epitel limbus.
2. Teori growth factor dan pembentukan sitokin pro-inflamasi mengungkapkan bahwa pada
pterigium terjadi inflamasi kronik yang merangsang keluarnya berbagai growth factor dan
sitokin, seperti FGF (Fibroblast Growth Factor), PDGF (Platelet derived Growth Factor),
TGF-β (Transforming Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) serta
VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang akan mengakibatkan proliferasi sel,
remodelling matriks ektra-sel dan angiogenesis.
3. Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar ultraviolet, angin,
debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro-inflamasi, sehingga
merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell yang juga akan memproduksi
sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor akan
mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan epitel
yang akhirnya akan menimbulkan pterigium.
2.5 Faktor Risiko
Faktor risiko pterigium bersifat multifaktorial, antara lain pajanan sinar ultraviolet,
pajanan debu atau iritan, peradangan, serta kekeringan pada mata. Pajanan sinar ultraviolet
disebut paling penting namun patofisiologinya belum jelas, diduga terjadi kerusakan DNA,
RNA, dan matriks ekstraseluler. Sinar ultraviolet dari radikal bebas memicu kerusakan pada
DNA, RNA, dan matriks ekstrasel. Ultraviolet-B memacu ekspresi sitokin dan faktor
pertumbuhan di sel epitelial pterigial. Kekeringan pada mata ditemukan pada sebagian besar
pasien pterigium namun patofosiologinya belum jelas. Polimorfisme pada DNA perbaikan gen
Ku 70 telah dikaitkan dengan kecenderungan genetik pterigium5.
2.6 Klasifikasi
Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat berdasarkan stadium yaitu:
1. Derajat 1: jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
2. Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3. Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan
cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4: pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.
Gambar 3. Stadium pterigium, stadium 1 (A), stadium 2 (B), Stadium 3 (C), dan stadium 4
(D). (Sumber: Selviana dan Ibrahim, 2019)
2.10 Tatalaksana
Sebagai tindakan preventif, gunakan kacamata yang dapat memblok sinar ultraviolet (UV-A
dan UV-B) karena faktor risiko utama pterigium adalah pajanan sinar ultraviolet. Manajemen
medikamentosa jika terdapat keluhan. Obat tetes mata artifisial atau steroid jika disertai
inflamasi mata. Medikamentosa tidak akan mengurangi ataupun memperparah pterigium,
hanya mengurangi keluhan. Tantangan utama terapi pembedahan adalah mengatasi komplikasi
rekurensi yang sering terjadi, berupa pertumbuhan fibrovaskuler dari limbus ke tengah kornea.
Indikasi terapi pembedahan antara lain: tajam penglihatan berkurang akibat astigmatisma,
ancaman aksis visual terganggu, gejala iritasi berat, dan indikasi kosmetik4.
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul dikarenakan progresivitas pterigium yang dialami pasien antara
lain astigmatisme ireguler yang terjadi akibat pterigium yang tebal, serta penurunan visus
apabila pterigium menutupi visual axis.
2.12 Prognosis
Diagnosis yang cepat dan perawatan yang efektif dapat menghindari keterlambatan dalam
perawatan untuk memiliki prognosis yang lebih baik. Penegakan diagnosis yang dini lebih baik
agar dapat mendapatkan terapi lebih awal. Jenis dan tingkat keparahan pterigium juga
menentukan prognosis, Pemilihan jenis operasi-operasi pteridium tidak hanya menghasilkan
hasil visual yang lebih baik tetapi juga meminimalisir kemungkinan untuk relapse. Prognosis
pterigium secara visus dan kosmetik cukup baik, karena umumnya pasien dapat kembali ke
aktivitas normal dalam 48 jam pasca operasi13. Semakin sedikit komplikasi pasca operasi,
semakin baik prognosisnya.
BAB III
LAPORAN KASUS
Status generalis
Kepala-leher : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Thorax : gerak dada simetris, tidak ada retraksi
Paru : suara nafas vesikuler, tidak ada wheezing maupun rhonki
Cor : S1S2 tunggal, tidak ada murmur maupun gallop
Abdomen : supel, bising usus normal
Extremitas : akral hangat kering merah
3.9 Planning
1. Diagnosis
- Pemeriksaan histopatologi
- Pemeriksaan profil lipid
2. Terapi
- Gunakan kacamata pelindung untuk menghindari paparan UV dan mengurangi stimulus
pertumbuhan.
- Pemberian sodium diklofenak 0,1% jika pterygium mengalami iritasi.
- Rujuk ke spesialis mata untuk dilakukan evaluasi dan operasi.
3. Monitoring
- Tanda vital pasien
- Keluhan dan klinis pasien
- Pemeriksaan visus
- Pemeriksaan lapang pandang
- Tanda-tanda komplikasi
4. Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita pasien
- Menjelaskan kepada pasien mengenai rencana pengobatan atau terapi yang akan dilakukan.
- Menjelaskan kepada pasien mengenai komplikasi yang bisa timbul akibat penyakit yang
dideritanya saat ini dan prognosis penyakit tersebut.
- Edukasi tentang tindakan operasi yang akan dilakukan.
3.10 Prognosis
- Ad vitam : ad Bonam
- Ad functionam: Dubia ad bonam
- Ad sanationam: ad Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Dari anamnesis pasien Tn.S 55 tahun, mengeluhkan kedua mata tampak tumbuh
selaput pada bagian dekat hidung sejak sekitar 4 tahun. Selaput tersebut makin lama makin
panjang ke arah tengah mata. Pasien kadang mengeluh agak mengganjal. Tidak ada keluhan
mata merah, nyeri, mata kabur, berair ataupun silau. Faktor resiko pada pasien ini yang
menyebabkan adanya selaput yang identik dengan pterigium ini antara lain adalah faktor usia
dan pekerjaan pasien sebagai seorang petani yang sering bekerja di bawah terik matahari.
Karena pasien kerap terpajan sinar UV dari matahari, hal ini turut menjadi faktor risiko
penyebab timbulnya pterigium. Adanya selaput ini berawal dari bagian mata dekat hidung dan
berangsur menjalar ke bagian tengah mata (kornea) karena terus mendapat stimulasi, tidak
memakai kacamata, serta tidak di obati hingga sekarang sudah menjalar melewati limbus,
namun belum sampai menimbulkan keluhan gangguan visus. Apabila menghadapi keluhan
penurunan visus perlahan seperti pada pasien ini, perlu dipikirkan beberapa diagnosis banding
yaitu pseudopterigium dan pinguekulum.
Pada pasien ini di diagnosis dengan pterigium grade II dengan arkus senilis pada kedua
mata. Pterigium ditegakkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendukung,
antara lain adanya faktor risiko berupa pekerjaan dan usia, serta dari pemeriksaan fisik
ditemukan selaput yang identik dengan ciri pterigium. Arkus senilis pada pasien merupakan
hal yang umum dialami oleh orang dengan rentang usia diatas 40 tahun. Lingkaran abu-abu
keputihan di tepi kornea ini disebabkan oleh adanya jaringan adiposa, maka dari itu perlu
dipertimbangkan pada pasien ini untuk di periksakan profil lipid untuk mengetahui apakah
pasien juga menderita dislipidemia.
Untuk tatalaksana yang direncanakan untuk pasien ini, pasien diarahkan untuk
melakukan pencegahan agar tidak terpacu pertumbuhan pterigiumnya oleh stimulasi dari sinar
matahari dengan menggunakan kacamata pelindung. Pasien juga diresepkan tetes mata sodium
diklofenak 0,1% untuk digunakan apabila pterigium mengalami iritasi. Pasien akan dirujuk ke
dokter spesialis mata untuk kemudian dipertimbangkan untuk dilakukan operasi. Sedangkan
untuk arkus senilis pasien tidak bisa dihilangkan, namun akan diperiksa apakah pasien
membutuhkan obat dislipidemia. Kemudian pasien akan dilakukan monitoring post terapi
meliputi tanda vital pasien, klinis dan keluhan pasien, ketajaman visus, lapang pandang, serta
tanda–tanda komplikasi secara berkala. Edukasi yang akan diberikan kepada pasien adalah
seputar penjelasan tentang penyakit terkait dan prognosisnya, menjelaskan segala pemeriksaan
yang akan dilakukan dan tujuannya, menjelaskan terapi beserta tujuan, komplikasi yang bisa
terjadi serta edukasi agar kontrol rutin post tatalaksana definitif berupa terapi operatif.
DAFTAR PUSTAKA