Anda di halaman 1dari 23

Bed Side Teaching

PTERIGIUM

Oleh :

Irghea Puti Raudha 1840312238


Reno Hulandari 1840312244
Fariz Hidayatullah 1840312247

Preseptor :
dr. Julita, Sp.M

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA RSUP DR. M. DJAMIL PADANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018
Bed Side Teaching

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “pterygos” yang artinya sayap
(wing). Pterigium merupakan proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi
fibrovaskular dari bagian nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju
kornea hingga akhirnya menutup permukaannya. Pterigium bersifat degeneratif
dan invasif, umumnya pterigium terjadi bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk
segitiga dengan puncak dibagian sentral atau tengah kornea.1

Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi,


risiko timbulnya pterigium 44 kali lebih tinggi dibandingkan daerah non- tropis.
Insiden yang lebih tinggi dikaitkan dengan paparan sinar matahari kronis (sinar
ultraviolet), usia yang lebih tua, jenis kelamin laki-laki, sering terpapar daerah
berdebu, berpasir dan berangin.2

Pasien yang menderita pterigium sering mempunyai berbagai macam


keluhan, mulai dari tidak ada gejala hingga terdapat gejala, seperti keluhan mata
merah, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur. Penderita biasanya datang untuk
pemeriksaan mata lainnya, misalnya untuk pemeriksaan kacamata dan tidak
mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh diatas korneanya, namun terkadang
penderita merasa penglihatannya terganggu misalnya akibat astigmat.

Pada keadaan lanjut misalnya terjadi gangguan penglihatan (refraktif),


pterigium telah menutupi media penglihatan menutupi sebagian besar permukaan
kornea maupun untuk alasan kosmetik maka diperlukan tindakan pembedahan
berupa eksisi pterigium.
Bed Side Teaching

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “pterygos” yang artinya sayap
(wing). Pterigium merupakan proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi
fibrovaskular dari bagian nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju
kornea hingga akhirnya menutup permukaannya.1

2.2 Epidemiologi

Angka kejadian pterigium lebih banyak ditemukan pada pria dibanding


wanita, lebih banyak pada orang tua dan orang dengan sering aktivitas diluar
ruangan.1 Berdasarkan penelitian yg dilakukan oleh Liu et al, ditemukan
prevalensi pterigium terbanyak di daerah tropis dan insidensinya meningkat
berhubungan dengan paparan sinar matahari yang lama.3

2.3 Etiologi

Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui. Beberapa
faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan sinar ultraviolet kronik, mikro
trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi
kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu
ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterigium merupakan suatu fenomena
iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang
berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan
sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian
menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan
autosomal dominan.

2.4 Faktor Resiko


Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herediter.7
Bed Side Teaching

1. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterigium adalah terpapar sinar matahari kronik. Hal ini banyak terjadi
pada negara tropis. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
yang menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Penggunaan
kacamata dan topi juga merupakan pencegahan terkena paparan langsung
sinar ultraviolet.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal
dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari
pterigium.

2.5 Klasifikasi Pterigium


Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,
yaitu: 7
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:
 Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering
mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat.
Bed Side Teaching

 Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai
4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan
tear film dan dapat menimbulkan astigmat.
 Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona
optic membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai
kornea >4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya
pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata serta kebutaan.

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:7,8


 Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan
tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada
limbus kornea.
 Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan
menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.
 Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil,
vaskularisasi yang jelas
 Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.

Gambar 2.1 Pembagian Pterigium berdasarkan Stadium

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:7,9


 Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
Bed Side Teaching

 Pterigium regresif: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi


bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus


diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3 yaitu:7
 T1(atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
 T2(intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
 T3(fleshy,opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

2.6 Patofisiologi
Insiden pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus
terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV berperan
penting dalam patogenesis penyakit ini.10 Meskipun paparan sinar ultraviolet
kronis memainkan peran utama, patogenesis pterigium belum sepenuhnya
dipahami. Infeksi virus, mekanisme imunologi, remodeling matriks ekstraseluler,
faktor pertumbuhan, sitokin, antiapoptotic mekanisme, dan berbagai faktor
angiogenik telah terlibat dalam pathogenesis.11,12 Radiasi sinar UV dapat
menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga berakibat
pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium. Karena
kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga terjadi pada
gen lainnya. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi
degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali.
Mutasi pada gen TP53 pada sel basal limbal juga menyebabkan terjadinya
produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53-Rb-TGF-β. Oleh karena itu,
pterigium merupakan tumor secreting TGF-β. Banyaknya sekresi TGF-β oleh sel
pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan ekspresi
MMP yang terjadi pada pterigium.13 Matriks metalloproteinase (MMP) dan
jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung
jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi
ciri pterigium, serta kerusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam
kornea.11,14,15
Bed Side Teaching

Gambar 2.2 Kemungkinan jalur yang berperan dalam proses munculnya


pterigium13

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan


ultraviolet, debu, dan kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.17 Pterigium ini biasanya
bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak
dengan sinar ultraviolet, debu, dan kekeringan.18 Tseng dkk juga berspekulasi
bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem
cell.11,14,15 Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi conjungtivalization pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
Bed Side Teaching

vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membrane jaringan fibrotic. Tanda ini


juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan terjadi akibat radiasi sinar UV
sehingga terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.15,16

Gambar 2.3 A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar
UV memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. Defisiensi
limbal stem cell menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah15

Patogenesis pterigium juga bisa melibatkan respon inflamasi, seperti


sejumlah besar limfosit infiltrasi sel-T (CD3 +) ditemukan di substantia propria
spesimen pterigium. Hasil ini menunjukkan bahwa mekanisme imunologi,
mungkin dari tipe hipersensitivitas 1, 3 dan 4 dapat berkontribusi pada
patogenesis pterigium.15,16

2.7 Manifestasi Klinis

Tahap awal pada pterigium sering tanpa gejala. Jika tahap berlanjut maka
kita dapatkan keluhan-keluhan pasien seperti adanya ganjalan pada mata yang
semula dirasakan didekat kelopak namun lama-kelamaan semakin ke tengah
Bed Side Teaching

(kornea), mata merah dan tidak disertai sekret. Mata merah dengan tajam
penglihatan normal disertai jaringan fibrovaskular konjungtiva yang tumbuh
secara abnormal berbentuk seperti sayap (wing shaped). Gangguan penglihatan
dapat terjadi jika pterigium menutupi aksis visual atau terdapat astigmatisme.19

2.8 Diagnosis

Anamnesis

Pasien dengan pterigium menunjukkan berbagai macam keluhan mulai


dari tidak ada gejala sampai kemerahan, pembengkakan, gatal, iritasi, penglihatan
menjadi kabur berhubungan dengan peninggian lesi pada konjungtiva dan kornea
yang berdekatan pada satu atau kedua mata.21

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan dapat dijumpai benjolan atau tonjolan fibrovaskular


berbentuk segitiga dengan pinggiran yang meninggi dengan apeks yang mencapai
kornea dan badannya terletak pada konjugtiva inter palpebra. Bagian puncak dari
jaringan pterigium ini biasanya menampakkan garis coklat-kemerahan yang
merupakan tempat deposisi besi yang disebut garis Stocker. Pada umumnya
jaringan ini memiliki vaskularisasi yang baik dan biasanya terletak di nasal.22

Gambar 2.4 Pterigium


Bed Side Teaching

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis pterigium tidak


harus dilakukan, karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik kadang sudah dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis pterigium. Pemeriksaan histopatologi
dilakukan pada jaringan pterigium yang telah diekstirpasi. Gambaran pterigium
yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak adanya degenerasi
hialin pada stromanya.

2.9 Diagnosis Banding

1. Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang


berwarna kekuningan, yang sering di bagian nasal atau limbus temporal.
Pinguekula dan pterigium mempunyai etiologi dan lokasi yang sama tetapi
berbeda dari bentuk yang menginvasi bagian kornea superfisial dimana
pterigium berbentuk seperti sayap. Pinguekula juga biasanya di
konjungtiva perilimbal dan tidak akan menginvasi sehingga ke kornea.23

Gambar 2.5 Gambaran pinguekula

2. Pseudopterigium

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan ulkus


kornea.Pada pseudopterigium ini, sering didapatkan yang pasien
sebelumnya pernah ada riwayat trauma, trauma kimia, luka bakar atau
ulkus kornea.23
Bed Side Teaching

Gambar 2.6 Gambaran Pseudopterigium

3. Pannus

Pannus adalah adanya pertumbuhan pembuluh darah halus yang


mengarah ke permukaan kornea. Pannus ini sering disebabkan oleh
pemakaian lensa kontak yang tidak sesuai.24

Gambar 2.7 Gambaran pannus

4. Neoplasia intraepitelial konjungtival


Neoplasia intraepitelial konjungtival ini adalah tumor non invasif,
dimana membran basalnya masih baik. Tumor ini mempunyai progesifitas
yang lambat yang berasal dari mutasi sel tunggal di permukaan okuler.24

Gambar 2.5 Gambaran Neoplasia Intraepithelial Konjungtival

2.10 Penatalaksanaan
Bed Side Teaching

Pasien dengan pterigium dapat diobservasi dulu melainkan apabila lesi


pterigium itu sudah mulai menginvasi ke sentral kornea, pasien sudah mulai
mengeluh adanya mata merah, ketidaknyamanan mata, atau ada gangguan pada
fungsi visual.24

Indikasi untuk tindakan eksisi adalah apabila pterygium ini mengganggu


aksis visual, menyebabkan distorsi visual, induksi astigatisme ireguler,
berproliferasi dengan cepat ke sentral kornea (>3-4mm), menyebabkan iritasi
kronis dan ketidakselesaan yang persisten, restriksi pergerakan bola mata, atau
memberi efek pada nilai estetika. Objektif eksisi pterigium ini adalah untuk
mendapatkan permukaan okuler yang licin secara topografi dan normal.23

Prosedur eksisi ini dilakukan pada pasien dengan anestesi topikal, dan
pada beberapa kasus digunakan anestesi peribulbar atau retrobulbar terutama pada
kasus kekambuhan dengan komplikasi jaringan sikatrik. Sewaktu prosedur eksisi,
adalah sangat penting untuk mengeksisi jaringan sikatrik fibrovaskular sebanyak
yang mungkin. Apabila otot rektus medial terestriksi, harus ditangani supaya otot
tersebut dapat menjadi normal kembali.23

Beberapa teknik jahitan luka setelah pembedahan eksisi pterigium


adalah:23

a. Bare sclera
Teknik ini bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Perlu diketahui yang teknik ini mempunyai
tingkat rekurensi yang tinggi dan tidak direkomendasikan.

Gambar
2.6 Teknik
Bare Sclera

b. Simple closure
Bed Side Teaching

Teknik ini menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka


tetapi hanya efektif apabila luka pada konjungtiva relatif kecil.

Gambar 2.7 Teknik Simple Closure

c. Sliding flap
Insisi berbentuk huruf L dibuat disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

Gambar 2.8 Teknik Sliding Flap

d. Rotational flap
Insisi berbentuk huruf U dibuat disekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada
bekas eksisi.
Bed Side Teaching

Gambar 2.9 Teknik Rotational Flap

e. Autologous conjunctival transplantation


Ini adalah suatu teknik graft yang seringnya diambil dari
konjungtiva bulbar superior. Jaringan graft akan dieksisi sesuai dengan
ukuran luka, kemudian diambil dan dijahit di tempat luka atau difiksasi
dengan jaringan adhesif ( fibrin sealant yang diperbuat dari pooled
humanplasma).

Gambar 2.10 Teknik Autologous Conjunctival Transplantation

f. Autologous conjunctival-limbal transplantation


Suatu teknik graft juga tetapi melibatkan sel punca (stem cell)
limbal bersama dengan conjunctival graft.

g. Amniotic membrane transplantation


Teknik ini merupakan teknik alternatif dari conjunctival autograft,
tetapi teknik conjunctival graft lebih direkomendasikan. Amniotic
membrane transplantation inidiindikasikan apabila tidak dapat dilakukan
autologous conjunctiva. Teknik ini juga sesuai dengan pterigium yang luas
dimana eksisi luas diperlukan. Masih belum ada data yang cukup tentang
keberkesanan amniotic membrane transplantation sebagai tatalaksana
adjuvan pterigium. Selain itu, berdasarkan beberapa studi, penggunaan
Bed Side Teaching

mitomisin C (MMC) digabung dengan conjunctival grafting


mengurangkan risiko rekurensi dari pterigium setelah operasi.23
Komplikasi rekurensi dari pterigium adalah yang paling sering terjadi dan
karena itu tindakan eksisi digabung dengan penggunaan MMC sering
memberikan hasil yang lebih baik. MMC adalah suatu antibiotik yang
merupakan produk dari streptomyces caesiptosus yang berupaya untuk
mengalkalisasikan DNA double helix dan menghambat transkripsi dan
translasi DNA.24

Walaubagaimanapun, tetap perlu dilakukan penelitian selanjutnya


untuk menentukan route optimal untuk administrasi dan dosis dari MMC,
serta lama perawatan dengan penggunaan MMC dan efek jangka lama.
Konsentrasi MMC yang digunakan sewaktu intraoperatif adalah bervariasi
dari 0.002%-0.04%, administrasi lokal selama 3-5 menit.

Konsentrasi MMC untuk postoperatif pula adalah obat tetes, ditetes


2-4 kali per hari, bervariasi dari 0.02%-0.04%. Penggunaan MMC ini
perlu secara berhati-hati karena komplikasinya adalah aseptic skleral
nekrosis dan infeksi sklerokeratitis jika dipakai secara berlebihan. Ini
dapat terjadi setelah penggunaan beberapa bulan, atau tahun. 24Oleh karena
itu, jika berencana penatalaksanaan dengan penggunaan MMC, adalah
lebih baik digunakan secara intraoperatif dari diberi ke pasien secara
postoperatif. Penatalaksanaan postoperatif adalah diberikan obat tetes
kortikosteroid-antibiotik topikal selama 4-6 minggu, 4 tetes per hari
hingga inflamasi sembuh. Obat tetes ini harus dipakai secara konsisten
supaya risiko terjadi rekurensi dapat dikurangkan.23

Iradiasi beta merupakan salah satu usaha pertama untuk


mengurangkan risiko rekurensi pterigium. Iradiasi beta ini diberikan
melalui sumber strontium-/yttrium-90 yang dapat mengurangkan populasi
sel yang menyebabkan rekurensi pterigium. Tetapi, penggunaan teknik ini
dikatakan memberikan komplikasi serius seperti endolftalmitits yang
mengancam penglihatan.24
Bed Side Teaching

Inhibitor faktor pertumbuhan atau anti-VEGF adalah suatu antibodi


monoklonal yang digunakan untuk supresi pertumbuhan neovaskular
intraokuler. Penelitian sebelumnya sudah mengevaluasi potensi
Bevacizumab dalam manajemen pterigium. Tetapi, Bevacizumab ini
dikaitkan dengan efek samping yang tinggi termasuk toksisitas
kardiovaskuler.24

Saat ini tindakan eksisi dengan conjunctival autograft merupakan


satu-satunya tindakan kuratif untuk pterigium, digabung dengan
penggunaan mitomisin-C memberikan efek yang lebih bagus. Sifat lesi
pterigium itu sendiri yang berbeda secara molekuler memerlukan
pemeriksaan yang teliti agar dapat ditatalaksana dengan betul dan
mengurangkan risiko rekurensi.24

KOMPLIKASI

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:25


 Distorsi atau reduksi pandangan sentral
 Mata merah atau iritasi
 Scarring kronik pada konjungtiva dan kornea
 Pterigium yang meluas yang mengenai otot ekstra okuler dapat
menghambat pergerakan bola mata dan menyebabkan diplopia.
2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:25
Komplikasi yang paling sering muncul dari pembedahan pterigium
adalah rekurensi post operatif. Eksisi sederhana memiliki rekurensi sekitar
50-80%. Angka kekambuhan dapat dikurangi sampai 5-15% dengan
penggunaan konjungtival atau limbal autograft atau transplantasi membran
amnion saat eksisi. Komplikasi lain yang dapat muncul post-operatif
adalah:

 Infeksi
 Reaksi pada bahan jahitan
 Scarring pada kornea
Bed Side Teaching

 Diplopia
 Komplikasi yang jarang seperti perforasi bola mata, perdarahan vitreus
atau ablasio retina
PROGNOSIS

Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya


prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan
sitotastik tetes mata atau beta radiasi.26

Gangguan penglihatan dan kosmetik membaik setelah operasi.


Tetapi rekurensi post-operasi masih sering terjadi yaitu 30-50%.26 Data
RSCM menunjukkan angkarekurensi Pterigium mencapai 65,1% pada
penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5% pada penderita diatas usia
40 tahun.27

BAB III

LAPORAN KASUS
Bed Side Teaching

Identitas Pasien

Nama : Ny.SL

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 59 tahun

Negeri asal : Batusangkar

Anamnesis

Keluhan Utama

Mata kanan dan kiri berlemak sejak 21 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit sekarang

- Mata kanan dan kiri berlemak telah dirasakan sejak 21 tahun yang lalu

- Penglihatan buram (-)

- Penglihatan terasa terhalang-halang (-)

- Pasien kadang-kadang merasakan mata perih ketika bangun tidur

- Riwayat mata merah (-) mata sekret (-) mata gatal (-)

- Penglihatan ganda tidak ada

- Dulu pasien sering terpapar sinar matahari langsung dan juga sering
terpapar debu karena berkebun, sekarang pasien hanya sebagai ibu rumah
tangga.

Riwayat Penyakit dahulu

- Riwayat DM dan hipertensi tidak ada

- Riwayat trauma pada mata tidak ada

- Riwayat operasi pada mata tidak ada

- Riwayat mata kering tidak ada


Bed Side Teaching

Riwayat Penyakit keluarga

- Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan umum

- Kesadaran : Komposmentis kooperatif

- Keadaan umum : Baik

- Tekanan darah : 120/80mmHg

- Nadi : 88x/menit

Status Generalis :dalam batas normal

Status Opthalmikus

STATUS OPHTALMIKUS OD OS
Visus tanpa koreksi 20/25 20/40 F1
Visus dengan koreksi - -
Reflek fundus + +
Silia/ supersilia Trikiasis (-), diskriasis (-), Trikiasis (-), diskriasis (-),
madarosis (-) madarosis (-)
Palpebra superior Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Ptosis (-) Ptosis (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Margo palpebra Hordeolum (-), kalazion Hordeolum (-), kalazion
(-), ektropion (-), entropion (-), ektropion (-), entropion
(-), sikatrik (-) (-), sikatrik (-)
Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
Konjungtiva tarsalis Hiperemis (-), papil (-), Hiperemis (-), papil (-),
folikel (-) folikel (-)
Konjungtiva fornik Hiperemis (-), papil (-), Hiperemis (-), papil (-),
folikel (-) folikel (-)
Konjungtiva bulbi Hiperemis (-), tampak Hiperemis (-),tampak
jaringan fibrovaskular jaringan fibrovaskular
Bed Side Teaching

berbentuk segitiga (+), berbentuk segitiga (+),


injeksi konjungtiva (-), injeksi konjungtiva (-),
injeksi siliar (-) injeksi siliar (-)
Sklera Putih Putih
Kornea Tampak puncak jaringan Tampak puncak jaringan
fibrovaskular 2 mm dari fibrovaskular 1,5mm dari
limbus limbus
Kamera okuli anterior Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Pupil Bulat, ᴓ 3mm, reflek Bulat, ᴓ 3mm, reflek
cahaya (+) cahaya (+)
Korpus vitreum Jernih Jernih
Fundus:
- Media - Bening - Bening
- Papil optik - Bulat, berbatas - Bulat, berbatas
tegas C/D 0,3 tegas C/D 0,3
- Retina - Perdarahan (-), - Perdarahan (-),
eksudat (-) eksudat (-)
- Aa/vv retina - 2:3 - 2:3
- Makula - Reflek fovea (+) - Reflek fovea (+)
Tekanan bulbus okuli Normal (palpasi) Normal (palpasi)
Posisi bola mata Ortoforia Ortoforia
Gerak bola mata Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah
Posisi bulbus okuli Ortho Ortho
Gambar

Diagnosa kerja : Pterigium ODS grade II

Diagnosa banding : Pinguecula

Anjuran terapi : Cendo Lyteers Eye drop

Anjuran dan Edukasi :

1. Pakai kacamata anti UV atau topi pelindung saat beraktivitas di luar rumah
Bed Side Teaching

Prognosa :

- Quo ad vitam : Bonam

- Quo ad bonationam : dubia ad Bonam

- Quo ad functionam : Bonam

DAFTAR PUSTAKA

1. American academy of ophthalmology. Clinical approach to depositions


and degenerations of the conjunctiva, cornea, and sclera chapter 17. In
external disease and cornea. Singapore: Lifelong Education
Ophthalmologist. 2008. Hal 366.

2. Di Girolamo N, Chui J, Coroneo MT, Wakefield D: Pathogenesis of


pterygia: role of cytokines, growth factors, and matrix metalloproteinases.
Prog Retin Eye Res 2004, 23:195–228
3. Liu L, Wu J, Geng J, Yuan Z, Huang D. Geographical prevalence and risk
factors for pterygium: a systematic review and meta-analysis. BMJ Open.
2013;3(11):e003787.
4. Gazzard G, Saw SM, Farook M, et al. Pterygium in Indonesia: prevalence,
severity and risk factors.Br J Ophthalmol. 2002;86(12):1341–6.
Bed Side Teaching

5. Shiroma H, Higa A, Sawaguchi S, et al. Prevalence and risk factors of


pterygium in a southwestern island of Japan: the Kumejima Study. Am J
Ophthalmol. 2009;148(5):766–771.e1
6. Durkin SR, Abhary S, Newland HS, et al. The prevalence, severity and
risk factors for pterygium in central Myanmar: the Meiktila Eye Study. Br
J Ophthalmol. 2008;92(1):25–9

7. Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology 17th ed. New York: Mc Graw Hill Company. 2007. p. 67 -
72.
8. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in
Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
9. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG,
Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2 nd
ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
10. Solomon A.S. 2015. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. Availble
From: http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS
/Pterigium.pdf.
11. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in
pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.
12. Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and ligans
ephrins. Can J Ophthamol. 2009;44(2):138-40.
13. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis:
Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal
Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706
14. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.
Available from: URL: repository.usu.ac.id.Accessed July 7 ,2012.
15. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics
of pterigium .BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE .
2010;10(4):308-13.
Bed Side Teaching

16. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder
with Premalignant Features. The American Journal of Pathology.
2011;178(2):817-27.

17. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket


Textbook Atlas. New York : Thieme Stutgart. 2009.
18. Detorakis T, Spandidos Demetrios.Pathogenetic mechanisms and treatment
options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives (Review).
Department Of Opthalmology, University Hospital of Heraklion,Crete,
Greece. 2009.
19. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2007. hal:2-6, 120 – 123.
20. American Academy of Ophthalmology. Ophthalmic Pearls: Management
of Pterygium. 2010. p 37.
21. American Academy of Ophtalmology. Cornea. American Academic of
Ophtalmology. San Francisco, 2014-2015.
22. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course
Section 8: External Disease and Cornea. 2014-2015.pp 317-18.
23. Anida M, WIbowo A. J Medula Unila. Wanita 48 tahun dengan pterigium
stadium 2. 2017; 7 (3): pp: 46-9.
24. Detorakis ET. Spandidos DA. Pathogenetic Mechanisms and Treatment
Options for Ophthalmic Pterygium. IJMM. 2009; 23: 439-447.
25. Witcher PJ. Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology.
Edisi 17. New York : Mc Graw Hill company. 2007. P.67-72

26. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104
27. Gondhowiarjo TD. Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis.
Perdami. 2006.pp 56-8

Anda mungkin juga menyukai