PTERIGIUM
Oleh :
Preseptor :
dr. Julita, Sp.M
BAB I
PENDAHULUAN
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “pterygos” yang artinya sayap
(wing). Pterigium merupakan proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi
fibrovaskular dari bagian nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju
kornea hingga akhirnya menutup permukaannya. Pterigium bersifat degeneratif
dan invasif, umumnya pterigium terjadi bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk
segitiga dengan puncak dibagian sentral atau tengah kornea.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “pterygos” yang artinya sayap
(wing). Pterigium merupakan proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi
fibrovaskular dari bagian nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju
kornea hingga akhirnya menutup permukaannya.1
2.2 Epidemiologi
2.3 Etiologi
Hingga saat ini etiologi pasti pterigium masih belum diketahui. Beberapa
faktor resiko pterigium antara lain adalah paparan sinar ultraviolet kronik, mikro
trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi
kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas. Selain itu
ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterigium merupakan suatu fenomena
iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering
terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang
berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan
sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penelitian
menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan
autosomal dominan.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor risiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterigium adalah terpapar sinar matahari kronik. Hal ini banyak terjadi
pada negara tropis. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
yang menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Penggunaan
kacamata dan topi juga merupakan pencegahan terkena paparan langsung
sinar ultraviolet.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterigium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal
dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan
partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari
pterigium.
Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium
rekuren tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering
nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai
4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan
tear film dan dapat menimbulkan astigmat.
Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona optic.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona
optic membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai
kornea >4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya
pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan
pergerakan bola mata serta kebutaan.
2.6 Patofisiologi
Insiden pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus
terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV berperan
penting dalam patogenesis penyakit ini.10 Meskipun paparan sinar ultraviolet
kronis memainkan peran utama, patogenesis pterigium belum sepenuhnya
dipahami. Infeksi virus, mekanisme imunologi, remodeling matriks ekstraseluler,
faktor pertumbuhan, sitokin, antiapoptotic mekanisme, dan berbagai faktor
angiogenik telah terlibat dalam pathogenesis.11,12 Radiasi sinar UV dapat
menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga berakibat
pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium. Karena
kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar UV, mutasi juga terjadi pada
gen lainnya. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi
degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali.
Mutasi pada gen TP53 pada sel basal limbal juga menyebabkan terjadinya
produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53-Rb-TGF-β. Oleh karena itu,
pterigium merupakan tumor secreting TGF-β. Banyaknya sekresi TGF-β oleh sel
pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan ekspresi
MMP yang terjadi pada pterigium.13 Matriks metalloproteinase (MMP) dan
jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung
jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi
ciri pterigium, serta kerusakan lapisan Bowman dan invasi pterigium ke dalam
kornea.11,14,15
Bed Side Teaching
Gambar 2.3 A. Patogenesis pterigium: kerusakan limbal fokal oleh karena sinar
UV memicu migrasi mutasi limbal stem cell ke central kornea. B. Defisiensi
limbal stem cell menyebabkan conjungtivalization kornea dari segala arah15
Tahap awal pada pterigium sering tanpa gejala. Jika tahap berlanjut maka
kita dapatkan keluhan-keluhan pasien seperti adanya ganjalan pada mata yang
semula dirasakan didekat kelopak namun lama-kelamaan semakin ke tengah
Bed Side Teaching
(kornea), mata merah dan tidak disertai sekret. Mata merah dengan tajam
penglihatan normal disertai jaringan fibrovaskular konjungtiva yang tumbuh
secara abnormal berbentuk seperti sayap (wing shaped). Gangguan penglihatan
dapat terjadi jika pterigium menutupi aksis visual atau terdapat astigmatisme.19
2.8 Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
1. Pinguekula
2. Pseudopterigium
3. Pannus
2.10 Penatalaksanaan
Bed Side Teaching
Prosedur eksisi ini dilakukan pada pasien dengan anestesi topikal, dan
pada beberapa kasus digunakan anestesi peribulbar atau retrobulbar terutama pada
kasus kekambuhan dengan komplikasi jaringan sikatrik. Sewaktu prosedur eksisi,
adalah sangat penting untuk mengeksisi jaringan sikatrik fibrovaskular sebanyak
yang mungkin. Apabila otot rektus medial terestriksi, harus ditangani supaya otot
tersebut dapat menjadi normal kembali.23
a. Bare sclera
Teknik ini bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera. Perlu diketahui yang teknik ini mempunyai
tingkat rekurensi yang tinggi dan tidak direkomendasikan.
Gambar
2.6 Teknik
Bare Sclera
b. Simple closure
Bed Side Teaching
c. Sliding flap
Insisi berbentuk huruf L dibuat disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
d. Rotational flap
Insisi berbentuk huruf U dibuat disekitar luka bekas eksisi untuk
membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada
bekas eksisi.
Bed Side Teaching
KOMPLIKASI
Infeksi
Reaksi pada bahan jahitan
Scarring pada kornea
Bed Side Teaching
Diplopia
Komplikasi yang jarang seperti perforasi bola mata, perdarahan vitreus
atau ablasio retina
PROGNOSIS
BAB III
LAPORAN KASUS
Bed Side Teaching
Identitas Pasien
Nama : Ny.SL
Umur : 59 tahun
Anamnesis
Keluhan Utama
- Mata kanan dan kiri berlemak telah dirasakan sejak 21 tahun yang lalu
- Riwayat mata merah (-) mata sekret (-) mata gatal (-)
- Dulu pasien sering terpapar sinar matahari langsung dan juga sering
terpapar debu karena berkebun, sekarang pasien hanya sebagai ibu rumah
tangga.
- Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan umum
- Nadi : 88x/menit
Status Opthalmikus
STATUS OPHTALMIKUS OD OS
Visus tanpa koreksi 20/25 20/40 F1
Visus dengan koreksi - -
Reflek fundus + +
Silia/ supersilia Trikiasis (-), diskriasis (-), Trikiasis (-), diskriasis (-),
madarosis (-) madarosis (-)
Palpebra superior Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Ptosis (-) Ptosis (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Margo palpebra Hordeolum (-), kalazion Hordeolum (-), kalazion
(-), ektropion (-), entropion (-), ektropion (-), entropion
(-), sikatrik (-) (-), sikatrik (-)
Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
Konjungtiva tarsalis Hiperemis (-), papil (-), Hiperemis (-), papil (-),
folikel (-) folikel (-)
Konjungtiva fornik Hiperemis (-), papil (-), Hiperemis (-), papil (-),
folikel (-) folikel (-)
Konjungtiva bulbi Hiperemis (-), tampak Hiperemis (-),tampak
jaringan fibrovaskular jaringan fibrovaskular
Bed Side Teaching
1. Pakai kacamata anti UV atau topi pelindung saat beraktivitas di luar rumah
Bed Side Teaching
Prognosa :
DAFTAR PUSTAKA
7. Witcher PJ, Eva RP. Conjunctiva. In: Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology 17th ed. New York: Mc Graw Hill Company. 2007. p. 67 -
72.
8. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in
Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt.
Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.
9. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG,
Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2 nd
ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
10. Solomon A.S. 2015. Pterigium. British.Journal.Ophtalmology. Availble
From: http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS
/Pterigium.pdf.
11. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in
pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308–313.
12. Garg P. Pathogenesis of Pterigium: role of Eph receptors and ligans
ephrins. Can J Ophthamol. 2009;44(2):138-40.
13. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis:
Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal
Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706
14. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.
Available from: URL: repository.usu.ac.id.Accessed July 7 ,2012.
15. Dzunic B, Jovanovic P, et al. Analysis of pathohistological characteristics
of pterigium .BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE .
2010;10(4):308-13.
Bed Side Teaching
16. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder
with Premalignant Features. The American Journal of Pathology.
2011;178(2):817-27.
26. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III
penerbitAirlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104
27. Gondhowiarjo TD. Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis.
Perdami. 2006.pp 56-8