MORBUS HANSEN
Disusun Oleh:
Yohanes Edwin Budiman 0906508541
Farah Asyuri Yasmin 0906552611
Christopher Rico Andrian 0906554251
Deriyan Sukma Widjaja 0906554270
Narasumber:
dr. Aida Suryadiredja, SpKK(K)
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 16 tahun
Alamat : Pisangan Lama
Suku Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : pelajar SMP
Tanggal masuk RS : 2 Mei 2013
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Persahabatan pada
tanggal 2 Mei 2013, pukul 11.30 WIB secara autoanamnesis dan alloanamnesis.
Keluhan Utama:
Baal dan bercak kemerahan pada perut dan punggung yang semakin meluas sejak 1
bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
STATUS NEUROLOGIS
- GCS : 15 (E4M6V5)
- Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas normal, paresis (-)
- Kekuatan motorik : 5555 5555
5555 5555
+2 +2
- Refleks fisiologis: +2 +2
- Pemeriksaan saraf perifer:
o Nervus aurikularis magnus : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
o Nervus ulnaris : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
o Nervus poplitea lateralis : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
o Nervus tibialis posterior : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
- Pemeriksaan sensorik: terdapat hipestesi pada lesi di perut, dada, dan punggung.
STATUS DERMATOLOGIKUS
2
Pada regio dada dan abdomen, terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada
tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip, dan
persebarannya diskret.
3
Pada regio punggung kiri, terdapat plak hipopigmentasi dengan tepi eritematosa,
multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval, berbatas
sirkumskrip, dan persebarannya diskret.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Bakterioskopik (1 Mei 2013 di RSCM)
a. Indeks Bakteri : 11/5
b. Indeks Morfologi : 5/500 x 100% = 1,0%
Diagnosis: MH - BL
RESUME
Pasien laki-laki, 16 tahun, dengan keluhan baal dan kemerahan yang semakin meluas
sejak 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Baal dan bercak kemerahan pada perut dan
punggung yang semakin meluas sejak 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya
bercak muncul saat bulan Desember 2012 berupa bercak putih, kemudian lama-
kelamaan bercak putih disertai kemerahan dan sedikit gatal yang sifatnya hilang timbul
tidak menentu. Tidak terdapat kelemahan pada ekstremitas atau bagian tubuh lainnya.
Pasien sudah pernah berobat ke Puskesmas dan diberikan bedak dan obat tablet, tetapi
keluhan tidak membaik. Keluhan belum pernah dialami sebelumnya. Tidak terdapat
orang lain dengan keluhan serupa. Tidak ada riwayat kontak dengan hewan atau
berkontak dengan tanah.
DIAGNOSIS
Morbus Hansen Borderline Lepromatosa
DIAGNOSIS BANDING
Tinea korporis
PEMERIKSAAN ANJURAN
Kerokan kulit KOH
PENGOBATAN/TATALAKSANA:
- Non-medikamentosa
4
o Edukasi mengenai penyakit dan rencana pengobatan bekepanjangan
o Teratur meminum obat dan kontrol setiap bulan
o Menjaga hygiene sepeti mengganti baju dan mandi setiap kali
berkeringat
o Menjaga kontak dengan orang lingkungan sekitar untuk mencegah
penularan
o Menjaga kebersihan lesi dari luka atau kotoran, dengan melakukan
pengecekan setiap hari
o Tanggap akan efek samping obat dan reaksi obat dan segera berobat ke
dokter.
- Medikamentosa
o MDT-MB program WHO (12-18 bulan)
Hari ke-1 (dari 28 hari)
Rifampisin 1x 600 mg/hari
DDS 1x100mg/hari
Klofazimin 1x300mg/hari
Hari ke-2 sampai 28 (dari 28 hari)
DDS 1x100 mg/hari
Klofazimin 1x50mg/hari
PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad Bonam
Ad fungsionam : Bonam
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
MORBUS HANSEN
Mobus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium leprae
merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif, tahan asam dan alkohol, bersifat
intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum dapat dibiakkan di medium
artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini.1,2
a. Patogenesis
Seseorang yang terinfeksi M. leprae belum tentu akan menderita penyakit kusta.
Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan menimbulkan
manifestasi klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan-pun tergantung dari sistem
imunitas seluler yang dimiliki host. Pada dasarnya, M. leprae memiliki patogenitas
dan daya invasi rendah karena penderita yang terinfeksi lebih banyak kuman belum
tentu menimbulkan manifestasi klinis yang lebih parah. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa derajat penyakit lebih dipengaruhi oleh reaksi imunitas host
dibandingkan derajat infeksinya. 1,3,4,5
6
Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya
sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub
tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi oleh
imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu yang
sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel ini akan
mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-γ, TNF, IL-2, IL-6, IL-12 serta
molekul kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di kulit,
makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M. leprae
sehingga kuman dapat dieliminasi.1,3,5
Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag gagal
memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara
mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang biak
di dalamnya. Sel ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra yang
dapat ditemukan di subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta derivat-
derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat ditemukan
tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping telinga, hidung,
penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll). 1,3,5
Perlu diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan. Sampai saat
ini, cara penularannya belum diketahui secara pasti. Kontak langsung antarkulit yang
erat dalam jangka waktu lama serta transmisi airborne (secara inhalasi) diyakini
menjadi jalur penularan penyakit ini. Masa inkubasinya bervariasi antara 40 hari
7
hingga 40 tahun, namun pada umumnya terjadi dalam 3-5 tahun setelah pertama kali
terinfeksi.1
Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang stabil
dan tidak mungkin berubah. Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline
(BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak stabil
sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas. Tipe indeterminate (I) tidak
dimasukkan ke dalam spektrum. Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali sembuh
sebesar 70%. Sementara 30% sisanya kemungkinan dapat berkembang menjadi tipe-
tipe di dalam spektrum diatas.1,2,4
Pada tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB).
8
Gambar 4. Perbandingan Klasifikasi Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO
9
Gambar 5. Spektrum Klinis dan Respon Imunologi Berdasarkan Tipe Lepra3
Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun 1995
WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan
kerusakan saraf.
10
sensitivitas dilakukan menggunakan kapas (untuk rangsang raba), jarum (untuk
rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan hinggin (untuk rangsang
suhu).1,2
Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf perifer
harus diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai kusta. Fungsi
otonom dapat dinilai dengan memperhatikan ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi
atau diperiksa dengan bantuan tinta gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer yang
diketahui dengan cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf
yang bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf
perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n. radialis, n.
ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior.1
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan ziehl-
neelsen. Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan dari 4-6 tempat yang lesinya
paling aktif. Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah cuping telinga
kiri dan kanan, sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari lesi yang paling aktif.
Irisan yang dibuat harus sampai di lapisan dermis, melampaui subepidermal clear
zone yang mengandung sel virchow.
M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah saat
pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks
morfologi (IM) dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah
keseluruhan basil tahan asam yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis,
nilainya bergradasi dari 0 hingga 6+. Sedangkan indeks morfologi merupakan
persentase bentuk basil yang solid dibandingkan dengan jumlah keseluruhan basil
(solid + nonsolid).1,3,4
Pemeriksaan Histopatologik
Pada tipe tuberkuloid, gambaran histopatologik yang dapat ditemukan adalah
tuberkel (massa epiteloud yang berlebihan dikelilingi oleh sel limfosit), kuman
hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan pada tipe lepromatosa
terdapat sel-sel virchow yang mengandung banyak kuman di subepidermal clear
zone.1,4
11
Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk membantu
diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi di kulit tidak
ada). Uji yang dapat dilakukan antara lain:
- Uji MLPA
- Uji ELISA
- M. leprae dipstick test
- M. leprae flow test1
d. Reaksi Kusta
Merupakan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya terjadi
setelah pengobatan dan berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 2 jenis reaksi
kusta, antara lain:
Reaksi ENL (eritema nodusum leprosum)
Reaksi ENL termasuk dalam reaksi imun humoral (antigen + antibodi +
komplemen). Biasanya terjadi pada tipe lepromatosa dan pada reaksi ini, tidak
terjadi perubahan tipe. Reaksi ENL terjadi akibat banyaknya kuman yang hancur
dan mati ketika mendapatkan pengobatan. Basil yang hancur ini mengeluarkan
banyak antigen sehingga berinteraksi dengan antibodi dan mengaktivasi sistem
komplemen. Komplek imun ini beredar di sirkulasi dan dapat menyerang berbagai
organ. Karakteristik reaksi ENL adalah ditemukannya nodus eritematosa yang
nyeri dengan predileksi di lengan dan tungkai.1,3,5
Reaksi Reversal (reaksi borderline / reaksi upgrading)
Berbeda dengan reaksi ENL, pada reaksi reversal dapat terjadi perubahan tipe
tergantung sistem imun selular. Oleh karena itu, reaksi reversal disebut juga
sebagai reaksi borderline. Reaksi reversal merupakan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat. Pada reaksi ini, terjadi peningkatan imunitas sehingga terjadi perpindahan
tipe ke arah tuberkoloid yang terjadi secara cepat dan mendadak. Biasanya reaksi
ini terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Karakteristik reaksi reversal adalah
lesi yang sudah ada semakin aktif dan timbul lesi-lesi baru. Pada tipe ini, juga
dapat muncul gejala neuritis akut yang memerlukan tatalaksana sesegera
mungkin. 1,3,5
12
Gambar 6. Patogenesis Reaksi ENL dan Reaksi Reversal5
TATALAKSANA KUSTA
a. Obat Utama1 :
1. DDS
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali
dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi
terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT.
2. Rifampisin
Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT
karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi
kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.
3. Klofazimin (lamprene)
Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi
relaps/kambuh. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau
100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu.
Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin
merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial.
13
4. Protionamid.
Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam
jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.
b. Obat alternatif:1
1. Ofloksasin
Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M.
leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek
samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat
(insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan
pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi
daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg.
Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.
leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28
hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18
bulan.1,8,9
Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas :
kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2 sampai
hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada periode ini
15
adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat dilakukan
dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1 minggu.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT
(Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control).
Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada
keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan
bakterioskopis.
17
negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC tidak
diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps.
h. Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan BI sebelum pengobatan sebesar
>3. WHO menyarankan agar pasien dengan BI yang tinggi dapat diterapi lebih dari
12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan bakteriologisnya.
Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara total dapat
menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi adalah relaps
sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.
18
i. Pengobatan Reaksi kusta1,9
1. Reaksi tipe 1 (reversal)
Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat
19
Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang
pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini,
mengenali reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
20
PEMBAHASAN
a. Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, keluhan utama pasien adalah bercak kemerahan dan
baal pada perut dan punggung yang semakin meluas sejak 1 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Bercak kemerahan yang berada di perut dan punggung, dapat memiliki
berbagai macam diagnosis banding, contohnya adalah tinea korporis, kandidosis,
erisipelas, pitiriasis rosea, utrikaria dan Morbus Hansen (MH).
Berdasarkan lesi yang terlihat pada badan dan tubuh pasien, didapatkan
efloresensi berupa:
“Pada regio dada dan abdomen, terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada
tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip, dan
persebarannya diskret.”
“Pada regio punggung kiri, terdapat plak hipopigmentasi dengan pinggiran
eritematosa, multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval,
berbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret.”
Maka dapat disingkirkan beberapa diagnosis yaitu:
Kandidosis, pada kandidosis, lesi yang didapatkan adalah plak eritematosa
berbatas tegas, bersisik basah yang dikelilingi lesi satelit berupa vesikel dan
pustul dengan tempat predileksi di lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal,
lipat payudara, antara jari tangan, atau kaki, glans penis, dan umbilikus.1 Pada
pasien, lesi berada di punggung, perut dan dada, dan juga tidak didapatkan lesi
satelit.
Erisipelas, merupakan penyakit infeksi akut, dengan lesi merah cerah berbatas
tegas, dan pinggir-pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut.1 Pada
lesi yang terdapat pada tubuh pasien tidak didapatkan tanda-tanda radang akut
yaitu panas, ataupun nyeri dan pada pasien terdapat lesi hipopigmentasi yang
tidak didapatkan pada erisipelas.
Pitiriasis rosea, merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
dimulai dengan sebulah lesi inisal (herald patch) berbatuk eritema dan skuama
halus, yang kemudian disusul oleh lesi yang lebih kecil di badan, lengan dan
paha atas yang membentuk lesi sejajar dengan kostae, hingga membentuk pohon
cemara terbalik.1 Pada pasien ini tidak didapatkan bentuk lesi tersebut.
21
Berdasarkan riwayat penyakit pasien, didapatkan keluhan-keluhan lain berupa;
lesi awal hipopigmentasi, gatal dan baal. Berdasarkan keluhan-keluhan tersebut,
terdapat keluhan yang menjurus menuju penyakit MH, yaitu baal yang merupakan
defisit neurologis. Berdasarkan anamnesis lanjutan, tidak didapatkan tanda-tanda lain
keterlibatan neurologis yang lain seperti kelemahan pada lengan, tangan, tungkai,
maupun kakinya. Akan tetapi diagnosis MH belum dapat disingkirkan.
Diagnosis selanjutnya yang belum dapat disingkirkan adalah tinea korporis.
Tinea korporis merupakan penyakit dermatofitosis yang menyerang jaringan dengan
jaringan tanduk seperti kulit, rambut, dan kuku. Penyakit ini disebabkan oleh
Microsporum, Tricophyton, dan epidermophyton, yang dapat bersifat zoophilic,
antrophilic, dan geophilic. Pada badan disebut tinea korporis dengan gejala klinis
berupa lesi eritematosa, dapat terdapat hiperpigmentasi juga dengan tepi lesi yang lebih
aktif berupa tanda peradangan (lebih eritema, atau dengan vesikel dan papul) dan
terdapatnya skuama, dengan faktor predisposisi berupa kulit yang lembab, sering
berkeringat, dengan hygiene yang kurang.1 Pada pasien, didapatkan faktor predisposisi
berupa seringnya berkeringat, karena aktifitas yang dilakukan pasien (bermain sepak
bola) dan penampakan kulit yang cenderung lembab. Sedangkan faktor lain seperti
resiko penularan dari orang lain (antrophilic), binatang (zoophilic) dan tanah
(geophilic) tidak ditemukan. Sehingga diagnosis tinea korporis belum dapat
disingkirkan ataupun ditegakkan.
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan neurologis yang mendukung
untuk gejala klinis morbus hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf-saraf perifer,
kekuatan motorik dan pemeriksaan sensorik. Dari hasil yang didapatkan, tidak terdapat
adanya pembesaran saraf-saraf perifer, dan kelemahan kekuaran motorik pada pasien,
akan tetapi terdapat hipestesia pada lesi di punggung dan perut yang dilakuan dengan
pemeriksaan rangsang raba dan nyeri. Penemuan klinis ini mengarah pada diagnosis
morbus hansen.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, maka didapatkan bahwa
diagnosis kerja untuk pasien ini adalah morbus hansen dengan diagnosis banding tinea
korporis yang belum dapat disingkirkan. Pemeriksaan penunjang lain yang arus
dilakukan adalah pemeriksaan slit skin smear untuk memastikan diagnosis kerja
morbus hansen dan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH untuk dapat memastikan
atau menyingkirkan diagnosis banding Tinea korporis.
22
Pada MH, didapatkan klasifikasi Ridley-Joping, dan World Heatlh
Organization (WHO). Menurut klasifikasi Ridley-Joping,1,10 pada pasien terdapat ciri
lesi mengarah ke lepromatosa dengan lesi polimorfik, berupa plak hipopigmentasi yang
dikelilingi eritematosa, dengan jumlah lesi kurang lebih dari 5, dengan penampakan
yang terlihat sedikit madidans. Akan tetapi terdapat juga lesi yang mengarah kearah
tuberkoloid berupa lesi dengan distribus asimetris, batas jelasm dan anestesi yang jelas.
Sehingga pada pasien klasifikasi Ridley-Joping menurut penampakan lesi berada pada
klasifikasi borderline. Sedangkan menurut Klasifikasi WHO,1,10 dari penampakannya,
pasien lebih mengarah pada pausibasiler, akan tetapi untuk kepentingan pengobatan
pada tahun 1987, telah terjadi perubahan bahwa yang dimaksud MH-MB adalah semua
lesi MH dengan uji Basil Tahan Asam (BTA) positif. Sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan BTA terlebih dahulu untuk dapat menentukan diagnosis ini.
Pemeriksaan yang telah dilakukan adalah pemeriksaan slit skin smear dengan
hasil yaitu Indeks Bakteri (IB) pada pasien adalah 11/5 dengan Indeks Morfologi (IM)
1%. Dengan adanya pemeriksaan ini, maka diagnosis MH dapat ditegakkan dengan
klasifikasi Borderline Lepromatous.
Pemeriksaan lainnya, yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan kerokan kulit
KOH untuk dapat menyingkirkan diagnosis banding tinea korporis.
b. Terapi
Terapi, pada pasien ini untuk terapi nonmedikamentosa adalah dengan
mengedukasi pasien mengenai penyakit dan rencana pengobatannya yang relatif
memakan waktu lama dan memerlukan kerjasama dari pasien untuk teratur minum obat
dan kontrol setiap bulannya. Selain itu pasien juga harus menjaga hygiene dan
ketahanan tubuhnya karena manifestasi dari MH sangat tergantung dari sistem imun
tubuh. Pasien juga harus mencegah penularan kepada orang sekitar. Tanggap akan
keadaan lesi yang terdapat pada tubuh merupakan salah satu cara untuk mencegah
kecacatan karena akibat sensibilitas yang hilang pasien kehilangan rasa nyeri ketika ada
luka ataupun kotoran. Pasien harus tanggap tentang efek samping obat dari ringan
hingga berat dan segera kembali ke dokter tempat ia kontrol agar segera dapat ditangani,
begitu juga dengan reaksi kusta baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2.
Menurut program WHO yaitu dilakukan dengan pengobatan MH-MB dengan
menggunakan blister, yaitu, hari pertama dengan dapson 100 mg, rifampisin 600 mg,
dan klofazimin 300 mg. Untuk obat pada hari pertama ini, pasien harus meminum obat
23
langsung didepan petugas kesehatannya. Sedangkan pada hari lainnya, diberikan
klofazimin 50 mg, dan dapson 100 mg, setiap hari dari hari ke-2 hingga hari ke 28,
diminum sekali sehari pada waktu dan jam yang sama. Pasien harus datang untuk
mengambil obat baru setiap hari ke-29 dan mendapatkan paket blister yang sama.
Pengobatan ini harus terus diulang hingga 12 bulan minimal dan maksimal 18 bulan.
Setiap hari pertama untuk tiap bulannya, pasien terus dilakukan pemeriksaan
neurologis ulang, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mata, pemeriksaan efek
samping obat dan resistensi obat serta pemeriksaan reaksi kusta. Selain itu dilakukan
pemeriksaan bakterioskopis setiap 3 bulan sampai selesai pengobatan dengan
memperhatikan indeks bakteri dan indeks morfologis untuk mengetahui kemungkinan
resistensi. Setelah selesai dari pengobatan dilanjutkan masa Release From Treatment
(RFT) selama 5 tahun dengan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan pengobatan setiap
tahun. Sebagai dokter umum juga harus sigap jika menemukan indikasi rujukan yaitu:10
1. Memastikan diagnosis kusta
2. Neuritis aku dan subakut
3. Reaksi kusta yang berat
4. Ulkus kusta
5. Komplikasi pada mata
6. Reaksi terhadap MDT
7. Tersangka resistensi DDS
8. Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah rekonstruksi
9. Pasien kusta dengan kondisi umum jelek atau dengan keadaan darurat
lainnya
10. Pasien kusta yang memerlukan terapi okupasi
11. Pasien kusta yang membutuhkan terapi okupasi
12. Luka besar dan dalam (ulkus/neuropati pada anggota gerak)
13. Pasien kusta yang membutuhkan tindakan bedah septic karena
soteomielitis, sinus yang dalam, fistel dan sebagainya
14. Pasien yang memerlukan protese
15. Pasien yang memerlukan rehabilitasi kerja
16. Indikasi sosial
17. Pasien yang memerlukan klofazimin atau talidomid untuk mengobati
reaksi tipe II berat.
24
KESIMPULAN
Pada pria berumur 18 tahun dengan lesi pada punggung, dada dan perut, sesuai
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat diagnosis
sebagai Morbus Hansen tipe Borderline Lepromatosa. Pasien mendapatkan terapi non-
medikamentosa dan medikamentosa berupa MDT-MB.
25
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
26