“DERMATITIS ATOPIK”
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Irma Yasmin, Sp.KK
i
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
LAPORAN KASUS
“DERMATITIS ATOPIK”
Disusun Oleh:
Elgin Dinda Agustin
114170018
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikankan laporan kasus yang berjudul
“Dermatitis Atopik”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah
satu tugas Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di
Rumah Sakit Umum Daerah Tegurejo Semarang. Kami menyadari sangatlah sulit bagi
kami untuk menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sejak penyusunan sampai dengan terselesaikannya referat ini. Bersama ini kami
menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya serta penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada:
1. dr. Catur Setiya Sulistiyana, M.Med.Ed selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon yang telah memberikan sarana dan
prasarana kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan
baik dan lancar.
2. dr. Sri Windayati Hapsoro., Sp.KK, dr. Agnes Sri Widajati., Sp.KK, dr. Irma
Yasmin., Sp.KK selaku pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga,
dan pikiran untuk membimbing kami dalam penyusunan laporan kasus ini.
3. Umi Abi beserta keluarga kami yang senantiasa memberikan do’a, dukungan
moral maupun material.
4. Serta pihak lain yang tidak mungkin kami sebutkan satu-persatu atas
bantuannya secara langsung maupun tidak langsung sehingga laporan kasus
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Semarang, Oktober 2019
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................iii
DAFTAR ISI .............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .........................................................................................1
1.2 Tujuan ......................................................................................................2
1.3 Manfaat ....................................................................................................2
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Identitas ...................................................................................................3
2.2 Anamnesis ...............................................................................................3
2.3 PemeriksaanFisik ....................................................................................4
2.4 PemeriksaanPenunjang ...........................................................................6
2.5 Resume ....................................................................................................6
2.6 Diagnosis Banding ..................................................................................7
2.7 Diagnosis Kerja .......................................................................................7
2.8 Usulan Pemeriksaan Penunjang ..............................................................7
2.9 Penatalaksanaan ......................................................................................7
2.10 Prognosis ...............................................................................................8
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Definisi ....................................................................................................9
3.2 Epidemiologi ...........................................................................................9
3.3 Etiopatogenesis .......................................................................................10
3.4 Manifestasi Klinis ...................................................................................15
3.5 Pemeriksaan Penunjang ..........................................................................17
3.6 Diagnosis .................................................................................................18
3.8 Diagnosis Banding ..................................................................................22
iv
3.9 Komplikasi ..............................................................................................23
3.10 Penatalaksanaan ....................................................................................23
3.12 Prognosis ..............................................................................................31
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................34
v
BAB I
PENDAHULUAN
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
likenifikasi) dan keluhan gatal. Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen) misalnya bahan kimia (contoh
detergen, asam, basa, oli, semen), fisik (contoh sinar dan suhu), mikroorganisme
berlebihan limfosit T dan sel mast. Histamin dari sel mast menyebabkan rasa gatal dan
eritema. Gambaran klinis dari dermatitis atopok berupa bercak kemerahan bersisik
dengan batas tidak tegas terdapat pada wajah dan daerah lipatan. Penggarukan
atopik sering dijumpai pada bayi dan anak, tetapi dapat juga menetap sampai dewasa.2,3
Banyak istilah yang dipakai sebagai sinonim DA yaitu ekzema atopik, eczema
konstitusional, eczema fleksural, neurodermitis diseminata, prurigo Besnier.
Prevalensi DA pada orang dewasa adalah sekitar 1% sampai 3% dengan rasio
perempuan : laki-laki secara keseluruhan dari 1.3 : 1.0. Dermatitis atopik cenderung
diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi akan
mengalami DA. Pada masa kehidupan 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua
menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami gejala alergi sampai
2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua orang tua menderita atopi.1 Dermatitis
subakut ditandai dengan eritematosa, eksoriasi, skala papula. Dermatitis Atopik kronis
1
ditandai oleh plak menebal, penebalan kulit (likenifikasi), dan fibrosis papula (prurigo
nodularis).1.
1.2 Tujuan
2
BAB II
LAPORAN KASUS
3
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada anggota keluarga tidak didapati riwayat penyakit serupa. Di
keluarganya ada riwayat alergi makanan (udang) yaitu ibu pasien asma yaitu
nenek pasien.
5) Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat untuk keluhannya.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 04 Oktober 2019 pukul 10.30 WIB
di Bangsal RSUD Tugurejo Semarang.
a. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis (GCS 15: E4V5M6)
Tanda vital
Tekanan Darah : Tidak dilakukan
Nadi : 120 x /menit, irama reguler
Pernapasan : 32 x / menit, reguler
Suhu : 36.7C
b. Status Antropometri
Berat badan : 8,8 kg
Tinggi badan : 70 cm
c. Status Internis
Kepala Normocephal, tidak ada tanda trauma atau benjolan. Warna
rambut hitam, Distribusi rambut tidak merata, terdapat bercak
putih di puncak kepala, rambut di sekitar bercak putih mudah
dicabut
Mata Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks cahaya +/+,
diameter pupil 3 mm/ 3 mm.
Telinga Bentuk normal, sekret-/-, tidak ada kelainan kulit.
Hidung Deviasi septum -/-, sekret -/-, epistaksis -/-.
4
Mulut Bibir tampak normal, sianosis -, dan mukosa mulut basah.
Leher Tidak tampak adanya luka maupun benjolan, pembesaran
kelenjar getah bening-/- pembesaran kelenjar tiroid- .
Toraks Inspeksi: Dada terlihat simetris kanan dan kiri, pergerakan
dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri, tidak ada
yang tertinggal, tidak terdapat retraksi atau
penggunaan otot pernapasan tambahan. Pulsasi ichtus
kordis tidak terlihat.
Palpasi: Tidak terdapat nyeri tekan, ekspansi pernapasan simetri
kanan dan kiri, fremitus taktil sama kuat kanan dan kiri.
Ichtus kordis teraba.
Perkusi: Sonor pada seluruh lapang paru, batas paru-hepar di
ICS VI, batas kanan jantung di ICS IV linea
parasternalis dextra, apeks jantung di ICS VI linea
aksilaris anterior sinistra, dan pinggang jantung di ICS
IV parasternalis sinistra.
Auskultasi: Paru : Vesikuler +/+, Ronki -/-, Wheezing -/-.
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, Murmur (-).
Gallop (-).
Abdomen Inspeksi: Supel, turgor baik, dinding abdomen simetris, tidak
terlihat penonjolan massa.
Auskultasi : Bising Usus normal 12x/menit, normal
Perkusi : Timpani seluruh lapang perut, asites (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), Hepar dan lien tidak teraba.
Ekstremitas Akral hangat +/+, edema -/-.
d. Status Dermatologis:
Distribusi : Simetris
Regio : Pipi kanan dan kiri
Efloresensi : Tampak daerah lesi berupa papula eritema
5
.
Dokumentasi
2.5 Resume
Orang tua pasien datang ke RSUD Tugurejo dengan keluhan kemerahan di
kedua pipi anaknya disertai sering menggaruk pipi dan rewel. Keluhan timbul
sejak 1 hari setelah masuk RS. Kemerahan muncul tiba-tiba di kedua pipi pasien,
keluhan demam sebelumnya diakui dan pasien sedang diare sebelum masuk RS.
Keluhan pada pasien belum pernah diobati.
6
2.6 Diagnosis Banding
1) Dermatitis Kontak Iritan
2) Dermatitis Nurmularis
3) Skabies
2.7 Usulan Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Biakan Jaringan
2) Pemeriksaan Imunofluoresensi
3) Pemeriksaan Apusan Tzanck
2.9 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa:
1. Hindari semua faktor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinis
2. Menjauhi alergen pemicu
3. Hindari pemakaian bahan yang merangsang gatal seperti sabun keras dan bahan
pakaian dari wol.
Medikamentosa:
1) Topikal
a. Pada bentuk bayi diberi kortikosteroid ringan dengan efek
samping sedikit, misalnya krim hidrokortison 1-1,5%
b. Pada bentuk anak dan dewasa dengan likenifikasi dapat diberi
kortikosteroid kuat seperti betamethason dipropionat 0,05% atau
desoksimetason 0,25%. Untuk efek yang lebih kuat, dapat
dikombinasikan dengan asam salisilat 1-3% dalam salep.
Gunakan Moisturizer krim steroid topikal, atau obat-obatan
lainnya
2) Sistemik
a. Antihistamin golongan H1 untuk mengurangi gatal dan sebagai
penenang
7
c. Kortikosteroid jika gajala klinis berat dan sering mengalami
kekambuhan
d. Jika ada infeksi sekunder diberi antibiotik seperti eritromisin,
tetrasikin
2.10 Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanactionam : ad Bonam
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale, dan
konjungtivitis alergika).
Kata “atopi” pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang
dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai kepekaan dalam
keluarganya. Misalnya : asma bronchial, rhinitis alergika, dermatitis atopi, dan
konjungtivitis alergika.1
3.2 Epidemiologi
Oleh karena definisi secara klinis tidak ada yang tepat maka untuk menginterpretasikan
hasil penelitian epidemiologi harus berhati-hati. Berbagai penelitian menyatakan
bahwa prevalensi DA makin meningkat sehingga merupakan masalah kesehatan besar.
Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan Negara industri lain, prevalensi DA
pada anak mencapai 10-20%, sedangkan 1-3 % terjadi di negara agraris, misalnya Cina,
Eropa Timur, Asia Tengah, prevalensi DA jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak m
enderita DA daripada pria dengan rasio 1,3:1. Berbagai faktor lingkungan berpengaruh
terhadap prevalensi DA misalnya jumlah keluarga kecil, pendidikan ibu makin tinggi,
penghasilan meningkat, migrasi dari desa ke kota, dan meningkatnya penggunakan
antibiotik, berpotensi menaikan jumlah penderita DA.
Sedangkan rumah yang berpenghuni banyak, meningkatnya jumlah keluarga, urutan
lahir makin belakang, sering mengalami infeksi sewaktu kecil, akan melindungi
kemungkinan timbul DA pada kemudian hari.
9
DA cenderung diturunkan. Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu
yang menderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bula pertama.
Bila salah satu orang tua menderita atopi, lebih dari seperuh jumlah anak akna
mengalami gejala alergi sampai usia dua tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua
orang tua menderita atopi. Resiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang menderita
DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi, bila DA yang dialami berlanjut hingga masa
dewasa, ,maka resiko untuk mewariskan untuk anaknya sama saja yaitukira-kira 50%.1
3.3 Etiopatogenesis
10
Pada DA. kronis, ekspresi IL-5 akan mempertahankan eosinofil hidup
lebih lama dan menggiatkan fungsinya, sedangkan peningkatan ekspresi GM-
SCF mempertahankan hidup dan fungsi monosit, sel Langerhans, dan eosinofil.
Produksi TNF-a dan IFN-y pada DA. memicu kronisitas dan keparahan
dermatitis. Stimulasi TNF-a dan IFN-y pada keritinosit epidermal akan
meningkatkan jumlah RANTES (regulated on activation, normal T cell
expressed and secreted). Garukan kronis dapat menginduksi terlepasnya TNF-
a dan sitokin proinflamasi yang lain dari epidermis, sehingga mempercepat
timbulnya peradangan di kulit DA.
IL-4 meningkatkan perkembangan TH2, sedangkan IL-12 yang
diproduksi oleh makrofag, sel berdendrit,atau eosinofil, menginduksi TH1.
Subunit reseptor IL-12RP2 diekpresi pada TH1 tidak pada TH2. Sedangkan
ekspresi IL-12RP2 dihambat oleh IL-4, tetapi sebaliknya diinduksi oleh IL-12,
IFN-a, dan IFN-y. IL-4 juga menghambat produksi IFN-y dan menekan
deferensiasi sel TH1. Sel mas dan basofil juga merupakan sumber sitokin tipe
TH2, sehingga ekspresi IL-4 oleh sel T, sel mas/basofilpada DA. akan
merangsang perkembangan sel TH2.
Sel mononuklear penderita DA. meningkatkan aktivitas enzim cyclic-
adenosine monophosphate (CAMP) – phosphodiesterase (PDE), yang akan
meningkatkan sintesis IgE oleh sel B dan produksi IL-4 oleh sel T. Produksi
IgE dan IL-4 secara in vitro dapat diturunkan oleh penghambat PDE
(PDEinhibitor). Sekresi IL-10 dan PGE2 dari monosit juga meningkat; kedua
produk ini menghambat IFN-y yang dihasilkan oleh sel T.
Sel Langerhans (SL) pada kulit penderita DA. adalah abnormal, dapat
secara langsung menstimulasi sel TH tanpa adanya antigen; secara selektif
dapat mengaktivasi sel TH menjadi fenotip TH2. SL yang mengandung IgE
meningkat;sel ini mampu mempresentasikan alergen tungau debu rumah (D.
pteronyssinus) kepada sel T. SL yang mengandung IgE setelah menangkap
allergen akan mengaktifkan sel TH2 memori di kulit atopi, juga bermigrasi ke
11
kelenjar getah bening setempat untuk menstimulasi sel T nai've sehingga
jumlah sel TH2 bertambah banyak.
SL pada kulit normal mempunyai tiga macam reseptor untuk IgE, yaitu
FceRII, FceRII (CD23), dan IgE-binding protein. Reseptor FceRI mempunyai
afinitas kuat untuk mengikat IgE. IgE terikat pada SL melalui reseptor spesifik
FceRI pada permukaan SL. Pada orang normal dan penderita alergi saluran
napas kadar ekpresi FceRI di permukaan SLnya rendah, sedangkan di lesi
ekzematosa DA. tinggi. Ada korelasi antara ekspresi permukaan FceRI dan
kadar IgE dalam serum. Selain pada SL, reseptor IgE dengan afinitas tinggi
(FceRI) juga ditemukan pada permukaan sel mas dan monosit.
Kadar seramid pada kulit penderita DA. berkurang sehingga kehilangan
air (transepidermal water loss=TEWL) melalui epidermis dipermudah. Hal ini
mempercepat absorbsi antigen ke dalam kulit. Sebagaimana diketahui bahwa
sensitisasi epikutan terhadap alergen menimbulkan respons TH2 yang lebih
tinggi daripada melalui sistemik atau jalan udara, maka kulit yang terganggu
fungsi sawarnya merupakan tempat yang sensitif. 1
Respons Sistemik
Jumlah IFN-y yang dihasilkan oleh sel mononuklear darah tepi
penderita DA. menurun, sedangkan konsentrasi IgE dalam serum meningkat.
IFN-y menghambat sintesis IgE, proliferasi sel TH2 dan ekspresi reseptor IL-4
pada sel T. Sel T spesifik untuk alergen di darah tepi meningkat dan
memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan sedikit IFN-y. IL-4 dan IL-13 merupakan
sitokin yang menginduksi transkripsi pada ekson Cε sehingga terjadi
pembentukan IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi ekspresi molekul adesi
permukaan pembuluh darah, misalnya VCAM-1 (vascular cell adhesion
molecular-1), infiltrasi eosinofil, dan menurunkan fungsi sel TH1.
Sel monosit di darah tepi penderita DA. diaktivasi, mempunyai insidens
apoptosis spontan rendah, tidak responsif terhadap induksi apoptosis IL-4.
12
Hambatan apoptosis ini disebabkan oleh meningkatnya produksi GM-CSF oleh
monosit yang beredar pada DA.
Perubahan sistemik pada DA. adalah sebagai berikut:
- Sintesis IgE meningkat.
- IgE spesifik terhadap alergen ganda meningkat, termasuk terhadap
makanan, aeroalergen, mikroorganisme, toksin bakteri, dan autoalergen.
- Ekspresi CD23 (reseptor IgE berafinitas rendah) pada sel B dan monosit
meningkat.
- Pelepasan histamin dari basofil meningkat.
- Respons hipersensitivitas lambat terganggu.
- Eosinofilia.
- Sekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 oleh sel TH2 meningkat.
- Sekresi IFN-y oleh sel TH1 menurun.
- Kadar reseptor IL-2 yang dapat larut meningkat.
- Kadar CAMP-phosphodiesterase monosit meningkat, disertai peningkatan
IL-10 dan PGE21.
13
1. Genetik: diketahui bahwa kecenderungan mendapat penyakit atopi
diturunkan secara autosomal dominan; 75% anak akan mengalami alergi bila
kedua orang tua mempunyai riwayat alergi, dibandingkan dengan 50% anak
bila hanya 1 orang tua mempunyai yang riwayat alergi, meskipun demikian
faktor lain (lingkungan) sangat pula berpengaruh atas berkembangnya
penyakit.
2. Sosioekonomi: lebih banyak ditemukam pada status sosial yang lebih tinggi
dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Hal tersebut dapat
diterangkan dengan teori higiene.
3. Jumlah anggota keluarga: kejadian dermatitis atopik berbanding terbalik
dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. Hal tersebut dapat pula
diterangkan dengan teori higiene, yaitu terjadi infeksi pada anggota muda
keluarga yang ditularkan oleh anggota keluaraga yang lebih tua
4. Laktasi: makin lama mendapat air susu ibu makin kecil kemungkinan untuk
mendapat dermatitis atopik. Hal tersebut perlu dicermati karena
perkembangan penyakit berhubungan dengan alergen lingkunagan dan
status ibu (misanya perokok)
5. Pengenalan makanan padat terlalu dini (sebelum 4 bulan), akan
meningkatkan angka kejadian dermatitis atopik sebesar 1,6 kali. Sensitisasi
umumnya terjadi terhadap alergen makanan, terutama susu sapi, telur,
kacang-kacangan dan gandum
Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara,
pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan
kelembaban udara, water hardeness, asap roklok, penggunaan pendingin ruangan yang
berpengaruh pula pada kelemban, penggunanan shampo dan sabun yang berlebihan,
dan detergen yang tidak dibilas dengan sempurna.
14
3.4 Manifestasi Klinik
15
eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuh
penyakitnya.
Larangan makan atau minuman yang mengandung susu sapi pada bayi
masih ada silang pendapat. Ada yang melaporkan bahwa kelainan secara
dramatis membaik setelah makanan tersebut dihentikan, sebaliknya ada pula
yang mendapatkan tidak ada perbedaan.1
16
skuama, dan sering tejadi eksoriasi dan eksudasi karena garukan. Lambat laun
terjadi hiperpigmentasi.
Lesi sangat gatal, terutama pada malam hari waktu beristirahat. Pada
orang dewasa sering mengeluh bahwa penyakitnya kambuh bila mengalami
stres. Mungkin karena stres dapat menurunkan ambang rangsang gatal.
Penderita atopik memang sulit mengeluarkan keringat, sehingga rasa gatal
timbul bila mengadakan latihan fisik. Pada umumnya DA. remaja atau dewasa
berlangsung lama, kemudian cenderung menurun dan membaik (sembuh)
setelah usia 30 tahun, jarang sampai usia pertengahan; hanya sebagian kecil
terus berlangsung sampai tua. Kulit penderita DA. yang telah sembuh mudah
gatal dan cepat meradang bila terpajan oleh bahan iritan eksogen.
Penderita atopik berisiko tinggi menderita dermatitis tangan, kira-kira
70% suatu saat dapat mengalaminya. DA. pada tangan dapat mengenai
punggung maupun telapak tangan, sulit dibedakan dengan dermatitis kontak.
DA. di tangan biasa timbul pada wanita muda setelah melahirkan anak pertama,
ketika sering terpajan sabun dan air sebagai pemicunya.
Berbagai kelainan dapat menyertai DA, misalnya: hipedinearis palmaris,
xerosis kutis, iktiosis, pomfoliks, pitiriasis alba, keratosis pilaris, lipatan Dennie
Morgan, penipisan alis bagian luar (tanda Hertoghe), keilitis, katarak
subkapsular anterior, lidah geografik, liken spinulosus, dan keratokonus
(bentuk kornea yang abnormal). Selain itu penderita DA. cenderung mudah
mengalami kontak urtikaria, reaksi anafilaksis terhadap obat, gigitan atau
sengatan serangga.1,3
17
jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah eosinofil dalah
darah relatif meningkat. 8
2. Dermatografisme putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon yakni berturut-turut
akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah
disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul setelah beberapa menit.
Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi belainan. Garis merah tidak
disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit,
sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih. 8
3. Percobaan asetil kolin
Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan menyebabkan
hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi akan timbul
vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu jam.8
4. Percobaan histamin
Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita dermatitis atopi eritema
akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut
disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit orang normal.
3.7. Diagnosis 2
Diagnosis DA. didasarkan kriteria yang disusun oleh Hanifin dan Rajka
yang diperbaiki oleh kelompok kerja dari Inggris yang dikoordinasi oleh
Williams (1994).1
Kriteria mayor
- Pruritus
- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak
- Dermatitis di fleksura pada dewasa
- Dermatitis kronis atau residif
- Riwayat atopi pada penderita atau keluarganya
18
Gambar 1. Dermatitis pada muka dan fleksura
Kriteria minor
- Xerosis
- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)
- Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki
- lktiosis/hipediniar palmads/keratosis pilaris
19
- Pitiriasis alba
- Dermatitis di papila mame
- White dermographism dan delayed blanch response
- Keilitis
- Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
- Konjungtivitis berulang
- Keratokonus
- Katarak subkapsular anterior
- Orbita menjadi gelap
- Muka pucat atau eritem
- Gatal bila berkeringat
- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
- Aksentuasi perifolikular
- Hipersensitif terhadap makanan
- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi
- Tes kulit alergi tipe dadakan positif
- Kadar IgE di dalam serum meningkat
- Awitan pada usia dini1.
Diagnosis DA. harus mempunyai tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.
Untuk bayi, kriteria diagnosis dimodifikasi yaitu:
Tiga kriteria mayor berupa:
- riwayat atopi pada keluarga,
- dermatitis di muka atau ekstensor,
- pruritus,
ditambah tiga kriteria minor
- xerosis/iktiosis/hiperliniaris palmaris, aksentuasi perifolikular,
- fisura belakang telinga,
- skuama di skalp kronis.
20
Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh Hanifin dan Rajka didasarkan
pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis penelitian berbasis rumah sakit
(hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat dipakai pada penelitian berbasis
populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan pula pada kelompok kontrol, di
samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis dokter atau diuji untuk pengulangan
(repeatability). Oleh karena itu kelompok kerja Inggris (UK working party) yang
dikoordinasi oleh William memperbaiki dan meyederhanakan kriteria Hanifin dan
Rajka menjadi satu set kriteria untuk pedoman diagnosis DA. yang dapat diulang dan
divalidasi. Pedoman ini sahih untuk orang dewasa, anak, berbagai ras, dan sudah
divalidasi dalam populasi, sehingga dapat membantu dokter Puskesmas membuat
diagnosis1.
Pedoman diagnosis DA. yang diusulkan oleh kelompok tersebut yaitu:
- Harus mempunyai kondisi kulit gatal (itchy skin) atau dari laporan orang tuanya
bahwa anaknya suka menggaruk atau menggosok.
- Ditambah 3 atau lebih kriteria berikut:
1. Riwayat terkenanya lipatan kulit, misalnya lipat siku, belakang lutut, bagian
depan pergelangan kaki atau sekeliling leher (termasuk pipi anak usia di bawah
10 tahun).
2. Riwayat asma bronkial atau hay fever pada penderita (atau riwayat penyakit
atopi pada keluarga tingkat pertama dari anak di bawah 4 tahun).
3. Riwayat kulit kedng secara umum pada tahun terakhir.
4. Adanya dermatitis yang tampak di lipatan (atau dermatitis pada pipi/dahi dan
anggota badan bagian luar anak di bawah 4 tahun).
5. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak di bawah 4 tahun).
21
Gambar 3. Tempat Predileksi Dermatitis Atopik
22
3.9. Komplikasi
Infeksi sekunder5
3.10. Penatalaksanaan
Kulit penderita DA. cenderung lebih rentan terhadap bahan iritan, oleh karena
itu penting untuk mengidentifikasi kemudian menyingkirkan faktor yang memperberat
dan memicu siklus “gatal-garuk”, misalnya sabun dan deterjen; kontak dengan bahan
kimia, pakaian kasar, pajanan terhadap panas atau dingin yang ekstrim. Bila memakai
sabun hendaknya yang berdaya larut minimal terhadap lemak dan mempunyai pH
netral. Pakaian baru sebaiknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai untuk
membersihkan formaldehid atau bahan kimia tambahan. Mencuci pakaian dengan
deterjen harus dibilas dengan baik, sebab sisa deterjen dapat bersifat iritan. Kalau
selesai berenang harus segera mandi untuk membilas klorin yang biasanya digunakan
pada kolam renang. Stres psikik juga dapat menyebabkan eksaserbasi DA.1
Acapkali serangan dermatitis pada bayi dan anak dipicu oleh iritasi dari luar,
misalnya terlalu sering dimandikan; menggosok terlalu kuat; pakaian terlalu tebal, ketat
atau kotor; kebersihan kurang terutama di daerah popok; infeksi lokal; iritasi oleh
kencing atau feses; bahkan juga medicated baby oil. Pada bayi penting diperhatikan
kebersihan daerah bokong dan genitalia; popok segera diganti, bila basah atau kotor.
Upaya pertama adalah melindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak
memperparah penyakitnya. Usahakan tidak memakai pakaian yang bersifat iritan
(misalnya wol, atau sintetik), bahan katun lebih baik. Kulit anak/bayi dijaga tetap
tertutup pakaian untuk menghindari pajanan iritan atau trauma garukan.1
Mandi dengan pembersih yang mengandung pelembab; hindari pembersih
antibakterial karena berisiko menginduksi resistensi.1
23
Menurut Kim dalam jurnalnya, penatalaksanaan DA meliputi:
a. Farmakologi
Pelembab: Petrolatum, Aquaphor, atau agen yang lebih baru seperti
Atopiclair dan Mimyx (unggul tetapi lebih mahal dan membutuhkan
evaluasi lebih lanjut)
Steroid topikal (andalan saat pengobatan; umumnya digunakan dalam
hubungannya dengan pelembab): Hidrokortison, triamsinolon, atau
betametason; basis salep umumnya lebih disukai, khususnya di
lingkungan kering
Imunomodulator: Tacrolimus dan pimecrolimus (inhibitor kalsineurin;
dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua dan digunakan hanya sebagai
indikasi); omalizumab (antibodi monoklonal yang berfungsi
menghalangi imunoglobulin E [IgE])
PENGOBATAN TOPIKAL
Hidrasi kulit. Kulit penderita DA. kering dan fungsi sawarnya berkurang,
mudah retak sehingga mempermudah masuknya mikroorganisme patogen, bahan iritan
dan alergen. Pada kulit yang demikian perlu diberikan pelembab, misalnya krim
hidrofilik urea 10%; dapat pula ditambahkan hidrokortison 1% di dalamnya. Bila
memakai pelembab yang mengandung asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari
5%, karena dapat mengiritasi bila dermatitisnya masih aktif. Setelah mandi kulit dilap,
kemudian memakai emolien agar kulit tetap lembab. Emolien dipakai beberapa kali
sehari, karena lama kerja maksimum 6 jam. 1,3
Pasien disarankan Mandi yang sering dengan menambahkan minyak
pengemulsi (1L ditambahkan ke air mandi hangat) selama 5-10 menit dapat
melembabkan kulit. Minyak akan mempertahankan air pada kulit dan mencegah
penguapan. Dokter juga menyarankan pasien untuk memakai emolien seperti
petrolatum atau Aquaphor ke seluruh tubuh saat kulit masih basah, untuk menyegel
kelembaban dan memungkinkan air untuk diserap melalui stratum korneum. Salep
menyebar dengan baik pada kulit yang basah. Bahan aktif harus diterapkan sebelum
24
emolien. Emolien yang lebih baru seperti Atopiclair dan Mimyx telah dianjurkan
karena memiliki hasil yang lebih unggul, tetapi bahan tersebut mahal dan perlu evaluasi
lebih lanjut.6
Kortikosteroid topikal. Pengobatan DA. dengan kortikosteroid topikal adalah
yang paling sering digunakan sebagai anti-inflamasi lesi kulit. Namun demikian harus
waspada karena dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan.
Pada bayi digunakan salap steroid berpotensi rendah, misalnya hidrokortison 1
%-1,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid berpotensi menengah, misalnya
triamsinolon, kecuali pada muka digunakan steroid berpotensi lebih rendah.
Kortikosteroid berpotensi rendah juga dipakai di daerah genitalia dan intertriginosa,
jangan digunakan yang berpotensi kuat, misalnya fluorinated glucocorticoid. Bila
aktivitas penyakit telah terkontrol, dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali
seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh; sebaiknya dengan kortikosteroid
yang potensinya paling rendah.
Pada lesi akut yang basah dikompres dahulu sebelum digunakan steroid,
misalnya dengan larutan Burowi, atau dengan larutan permanganas kalikus 1:5000.
(Djuanda, 2011)
Hasil studi dari Belanda oleh Haeck dkk. menunjukkan bahwa penggunaan
kortikosteroid topikal untuk dermatitis atopik pada kelopak mata dan daerah periorbital
aman, namun masih dalam pengawasan karena dapat menginduksi glaukoma atau
katarak.6
Sebagai rejimen perawatan, bubuk hidrokortison 1,25% dalam Asam Mantle
digunakan sebagai emolien berbasis steroid terbukti efektif dan aman untuk waktu yang
lebih lama (misalnya bulan) untuk mencegah kemerahan akut dengan penambahan
steroid-kelas yang lebih tinggi untuk mengobati kemerahan akut secara cepat.6
Imunomodulator topikal
Takrolimus. Takrolimus (FK-506), suatu penghambat calcineurin, dapat
diberikan dalam bentuk salap 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun; untuk dewasa 0,03%
dan 0,1%. Takrolimus menghambat aktivasi sel yang terlibat dalam DA. yaitu: sel
25
Langerhans, sel T, sel mas, dan keratinosit. Pada pengobatan jangka panjang dengan
salep takrolimus, koloni S. aureus menurun. Tidak ditemukan efek samping kecuali
rasa seperti terbakar setempat. Tidak menyebabkan atrofi kulit seperti pada pemakaian
kortikosteroid; dapat digunakan di muka dan kelopak mata. (Djuanda, 2011)
Pimekrolimus. Dikenal juga dengan ASM 81, suatu senyawa askomisin yaitu
imunomodulator golongan makrolaktam, yang pertama ditemukan dari hasil fermentasi
Streptomyces hygroscopicus var. ascomyceticus. Cara kerja sangat mirip siklosporin
dan takrolimus yang dihasilkan dari Streptomyces tsuku-baensis, walaupun ketiganya
berbeda dalam struktur kimianya, yaitu bekerja sebagai pro-drug, yang baru menjadi
aktif bila terikat pada reseptor sitosolik imunofilin. Reseptor imunofilin untuk
askomisin ialah makrofilin-12. Ikatan askomisin pada makrofilin-12 dalam sitoplasma
sel T, akan menghambat calcineurin (suatu molekul yang dibutuhkan untuk inisiasi
transkripsi gen sitokin), sehingga produksi sitokin TH1 ( IFN-y dan IL-2) dan TH2 (
IL-4 dan IL-10) dihambat. Askomisin juga menghambat aktivasi sel mas. Askomisin
menghasilkan efek imunomodulator lebih selektif dalam menghambat fase elisitasi
dermatitis kontak alergik, tetapi respons imun primer tidak terganggu bila diberikan
secara sistemik, tidak seperti takrolimus dan siklosporin.1,3
Derivat askomisin yang digunakan ialah krim SDZ ASM 981 konsentrasi 1%,
mempunyai efektivitas sama dengan krim klobetasol-17- propionat 0.05% (steroid
superpoten), tidak menyebabkan atrofi kulit (setidaknya selama 4 minggu), aman pada
anak dan dapat dipakai pada kulit sensitif misalnya pada muka dan lipatan. Cara
pemakaian dioleskan 2 kali sehari. 1
Pimekrolimus dan takrolimus tidak dianjurkan pada anak usia kurang dari 2
tahun. Penderita yang diobati dengan pimekrolimus dan takrolimus dinasehati untuk
memakai pelindung matahari karena ada dugaan bahwa kedua obat tersebut berpotensi
menimbulkan kanker kulit. 1
Sementara klaim ini sedang diselidiki lebih lanjut, obat hanya digunakan jika
terdapat indikasi yaitu untuk dermatitis atopik pada orang yang lebih dari 2 y dan
hanya jika terapi lini pertama gagal. terapi ini jauh lebih mahal daripada kortikosteroid
dan seharusnya hanya digunakan sebagai terapi lini kedua.6
26
Preparat ter. Preparat ter mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi pada
kulit. Dipakai pada lesi kronis, jangan pada lesi akut. Sediaan dalam bentuk salap
hidrofilik, misainya yang mengandung likuor karbonis detergen 5% sampai 10 %, atau
crude coal tar 1 % sampai 5%.1
Antihistamin. Pengobatan DA. dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan
karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit. Dilaporkan bahwa aplikasi
topikal krim doksepin 5% dalam jangka pendek (satu minggu), dapat mengurangi gatal
tanpa terjadi sensitisasi. Tetapi perlu diperhatikan, bila dipakai pada area yang luas
akan menimbulkan efek samping sedatif. 1
PENGOBATAN SISTEMIK
Kortikosteroid. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk
mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka pendek, dan dosis rendah, diberikan
berselang-seling (alternate), atau diturunkan bertahap (tapering), kemudian segera
diganti dengan kortikosteroid topikal. Pemakaian jangka panjang menimbulkan
berbagai efek samping, dan bila dihentikan, lesi yang lebih berat akan muncul
kembali.1
Antihistamin. Antihistamin digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal
yang hebat, terutama malam hari, sehingga mengganggu tidur. Oleh karena itu
antihistamin yang dipakai ialah yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin
atau difenhidramin. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid
yang mempunyai efek antidepresan dan memblokade reseptor histamih H1 dan H2,
dengan dosis 10 sampai 75 mg secara oral malam hari pada orang dewasa.1
Anti-infeksi. Pada DA. ditemukan peningkatan koloni S. aureus. Untuk yang
belum resisten dapat diberikan eritromisin, asitromisin atau, klaritromisin, sedang
untuk yang sudah resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama
sefalosporin.1
Bila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks kortikosteroid dihentikan
sementara dan diberikan per oral asiklovir 400 mg 3 kali per hari selama 10 hari, atau
200 mg 4 kali per hari selama 10 hari.1
27
Interferon. IFN-y diketahui menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan
proliferasi sel TH2. Pengobatan dengan IFN-y rekombinan menghasilkan perbaikan
klinis, karena dapat menurunkan jumlah eosinofil total dalam sirkulasi.
Siklosporin. DA. yang sulit diatasi dengan pengobatan konvensional dapat
diberikan pengobatan dengan siklosporin dalam jangka pendek. Dosis jangka pendek
yang dianjurkan per oral: 5 mg/kg berat badan. Siklosporin adalah obat imunosupresif
kuat yang terutama bekerja pada sel T akan terikat dengan cyclophilin (suatu protein
intraselular) menjadi satu kompleks yang akan menghambat calcineurin sehingga
transkripsi sitokin ditekan. Tetapi, bila pengobatan dengan siklosporin dihentikan
umumnya penyakitnya akan segera kambuh lagi. Efek samping yang mungkin timbal
yaitu peningkatan kreatinin dalam serum, atau bahkan terjadi penurunan fungsi ginjal
dan hipertensi.1
28
bayi dan dapat melindungi terhadap sensitisasi untuk alergi tetapi mungkin
tidak melindungi terhadap asma. Pada bulan Januari 2015, Organisasi Alergi
Dunia merekomendasikan penggunaan probiotik oleh ibu hamil dan menyusui
untuk mencegah perkembangan DA. Rekomendasi ini didasarkan pada meta-
analisis dari 29 studi yang digunakan probiotik oleh ibu hamil mengurangi
kejadian eksim sebesar 9% selama masa follow up 1-5 tahun dan penggunaan
oleh wanita menyusui dikaitkan dengan 16% pengurangan eksim selama masa
follow up 6 bulan. Konsumsi probiotik oleh menyusui bayi dikaitkan dengan
penurunan 5% pada eksim selama 6 bulan sampai 6 tahun masa tindak lanjut. 5
Pada pasien dengan eksim herpeticum, asiklovir efektif.
Pada pasien dengan penyakit berat, dan terutama pada orang dewasa, fototerapi,
methotrexate (MTX), azathioprine, cyclosporine, mycophenolate mofetil dan
telah digunakan dengan sukses.
Kedua hydroxyzine dan diphenhydramine hydrochloride memberikan tingkat
tertentu bantuan dari gatal-gatal tetapi tidak efektif tanpa pengobatan lain.
Terapi berhasil dengan everolimus, macrolide rapamycin yang diturunkan,
telah dilaporkan pada 2 pasien dengan dermatitis atopik parah. Terapi
kombinasi dengan baik prednisone atau siklosporin A tidak efektif. Namun,
laporan dari ketidakefektifan everolimus telah dipertanyakan.
Hasil dengan banyak obat lain, seperti thymopentin, gamma interferon, dan
ramuan Cina, telah mengecewakan. Banyak obat yang tidak praktis untuk
digunakan, dan mereka bisa mahal. Beberapa obat herbal Cina mengandung
obat resep, termasuk prednison, dan telah dikaitkan dengan masalah jantung
dan hati.
Antibiotik digunakan untuk pengobatan infeksi klinis yang disebabkan oleh S
aureus atau flare penyakit. Mereka tidak berpengaruh pada penyakit yang stabil
tanpa adanya infeksi. Bukti laboratorium S aureus kolonisasi tidak bukti infeksi
klinis karena organisme staphylococcal umum menjajah kulit pasien dengan
dermatitis atopik.
29
Sebuah acak, penyidik-buta, percobaan terkontrol plasebo termasuk 31 pasien
menunjukkan bahwa salep mupirocin intranasal dan pemutih diencerkan
(sodium hipoklorit) mandi ditingkatkan atopik dermatitis gejala pada pasien
dengan tanda-tanda klinis infeksi bakteri sekunder. 6
30
Algoritma penatalaksanaan dermatitis atopik
Pelembab, edukasi
3.11. Prognosis
Jika penyembuhan telah dicapai dan faktor-faktor infeksi dapat dihindari,
prognosis umumnya baik.
Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita DA. Ada
kecenderungan perbaikan spontan pada masa anak, dan sering ada yang kambuh pada
masa remaja. Sebagian kasus menetap pada usia di atas 30 tahun. Penyembuhan
spontan DA. yang diderita sejak bayi pernah dilaporkan terjadi setelah umur 5 tahun
31
sebesar 40-60%, terutama kalau penyakitnya ringan. Sebelumnya juga ada yang
melaporkan bahwa 84% DA. anak berlangsung sampai masa remaja. Ada pula laporan,
DA. pada anak yang diikuti sejak bayi hingga remaja, 20% menghilang, dan 65 %
berkurang gejalanya. Lebih dari separo DA. remaja yang telah diobati kambuh kembali
setelah dewasa.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik DA. yaitu:
- DA luas pada anak
- menderita rinitis alergik dan asma bronkial
- riwayat DA. pada orang tua atau saudara kandung
- awitan (onset) DA. pada usia muda
- anak tunggal
- kadar igE serum sangat tinggi.
Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil akan berkembang menjadi
asma bronkial atau hay fever. Penderita atopi mempunyai risiko menderita dermatitis
kontak iritan akibat kerja di tangan.1
32
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dermatitis atopik (DA) adalah keadaan peradangan kulit kronis dan residif,
disertai gatal yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita (dermatitis atopi, rhinitis alergika, asma bronkhiale, dan
konjungtivitis alergika).
Standar diagnosis DA yaitu Kriteria major dan minor yang diusulkan oleh
Hanifin dan Rajka didasarkan pengalaman klinis. Kriteria ini cocok untuk diagnosis
penelitian berbasis rumah sakit (hospital based) dan eksperimental, tetapi tidak dapat
dipakai pada penelitian berbasis populasi, karena kriteria minor umumnya ditemukan
pula pada kelompok kontrol, di samping juga belum divalidasi terhadap diagnosis
dokter atau diuji untuk pengulangan (repeatability). Kombinasi penatalaksanaan untuk
pasien DA adalah Pelembab untuk kulit yang kering pada DA karena berkurangnya
fungsi sawar pada kulit yang menyebabkan terganggunya hidrasi pasien DA, selain itu
pengobatan kortikosteroid topical bisa menjadi pilihan dengan dosis yang tepat dan
immunomudulator topical. Selain itu, menghindari faktor pencetus adalah upaya
pencegahan yang paling baik jika didapatkan riwayat atopi dan alergi pada orang tua.
Prognosis pada DA umumnya baik, namun dapat memburuk jika terdapat riwayat atopi
dan alergi pada orang tua atau keluarga, Diperkirakan 30 hingga 50 persen DA. infantil
akan berkembang menjadi asma bronkial atau hay fever.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, S., dan Sri A., 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
2. Eichenfild et all. 2014. Guidelines of care for the management of atopic
dermatitis. American Academy of Dermatology Journal. 71:116-32
3. Harahap, M., Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates : Jakarta.2007
4. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin Clinical
Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.
34