Anda di halaman 1dari 26

Case Report Session

HERPES ZOSTER

Oleh:

Kelsy Qoridisa 1840312245

Yulia Oksi Yulanda 1840312218

Preseptor:

Dr. dr. Satya Wydya Yenny, Sp. KK (K), FINSDV, FAADV

dr. Tutty Ariani, Sp. DV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP. Dr. M. DJAMIL PADANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Herpes Zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi


erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom akibat reaktivasi infeksi laten
virus varisela zoster.1

Herpes zoster muncul dengan tampilan erupsi pada kulit yang biasanya
gatal, nyeri (pada satu dermatom), makula kemerahan hingga vesikel yang jika
pecah menjadi krusta.1

Prevalensi kasus herpes zoster diperkirakan mencapai 2-3 kasus per-1000


penduduk. Pada sebuah studi deskriptif yang dilakukan pada tahun 2018 di US,
terdapat peningkatan kasus herpes zoster pertahunnya dari tahun 1998 hingga
2012.2

Herpes zoster sering rekuren dan cenderung kronik pada pasien


immunokompromise, selain itu herpes zoster biasanya meninggalkan gejala nyeri
pasca herpes (NPH) yang mengganggu kualitas hidup pasien meskipun sudah
sembuh,1

Peningkatan kejadian Herpes Zoster seperti yang telah diuraikan diatas


menunjukkan bahwa penatalaksanaan terhadap herpes zoster belum dilakukan
dengan baik, untuk itu penulis tertarik untuk membahasa mengenai Herpes Zoster
dan kaitannya dengan pasien yang ada di RSUP Dr. M. Djamil Padang

1.2Rumusan Masalah

Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, dan


tatalaksana herpes zoster dsn kaitannya dengan salah satu pasien herpes zoster di
RSUP Dr. M. Djamil Padang

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
tentang herpes zoster.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang


merujuk dari berbagai literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Herpes Zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan manifestasi


erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom akibat reaktivasi infeksi laten
virus varisela zoster.1,2 Herpes zoster merupakan manifestasi reaktivasi infeksi
laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron ganglion sensoris radiks
dorsais, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik yang menyebar ke
jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama.1,3

2.2 Epidemiologi

Penyebaran herpes zoster sama seperti varisela. Penyakit ini, seperti yang
diterangkan dalam definisi, merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
penderita mendapat varisela.1

Penyakit herpes zoster terjadi sporadis sepanjang tahun tanpa mengenal


musim. Insidensnya mencapai 2-3 kasus per-1000 orang/tahun. Pada sebuah studi
yang dilakukan pada tahun 2018 di US yang meneliti perkembangan penyakit
herpes zoster dari tahun 1998-2016 ditemukan data bahwa terjadi peningkatan
kejadian pada periode 1998-2002 yakni 679.432 kasus menjadi 3.840.458 pada
periode 2012-2016. Insiden dan keparahan penyakit meningkat seiring
pertambahan usia.2

Sementara itu pada penelitian yang dilakukan pada RSUP Sanglah Denpasar
periode April 2015 hingga Maret 2016, ditemukan 28 pasien Herpes Zoster
dengan laki-laki 60,7% dan perempuan 39,3% dengan usia terbanyak 45-64
tahun.4
2.3 Etiopatogenesis

Varicella zoster virus (VZV) adalah penyebab diantara varicella (cacar air)
dan zoster (shingles). Tiga genotipe dari α-herpes virus telah diidentifikasi dan
terbukti memiliki variasi geografis.5

Selama perjalanan dari varicella, VZV lewat melalui lesi di kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan diangkut secara sentripetal
sampai serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus membentuk
infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Walaupun virus laten di ganglia
mempertahankan potensi untuk infektivitas penuh, reaktivasi bias sewaktu-waktu,
infeksi virus tidak tampak saat fase laten. Mekanisme yang terlibat dalam
reaktivasi VZV laten tidak jelas, namun reaktivasi telah dikaitkan dengan
immunosupresi, stres emosional, iradiasi dari sumsum tulang belakang,
keterlibatan tumor, serabut ganglion dorsalis, atau struktur yang berdekatan,
trauma lokal, manipulasi bedah tulang belakang , dan sinusitis frontalis (sebagai
endapan zoster oftalmica). Yang paling penting adalah penurunan kekebalan
seluler VZV spesifik yang terjadi dengan bertambahnya usia. VZV yang
mengalami reaktivasi akan menimbulkan ruam kulit yang terlokalisata di dalam
satu dermatom.2,3

VZV juga dapat mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang


jelas. Jumlah kecil yang dilepaskan antigen virus selama reaktivasi tersebut,
diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan system kekebalan tubuh
VZV. 1,2

Ketika kekebalan seluler VZV spesifik berada pada beberapa tingkat kritis,
reakticasi virus tidak bisa ditahan lagi. Virus berkembang biak dan menyebar di
dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan parah, sebuah
proses yang sering disertai dengan neuralgia parah. Infeksi VZV kemudian
menyebar secara antidromikal menuruni saraf sensorik, menyebabkan neuritis
parah, dan dilepaskan dari saraf sensorik yang berakhir di kulit, di mana ia
menghasilkan karakteristik dari vesikel zoster. Penyebaran infeksi ganglionic
proksimal sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan hasil serabut di
leptomeningitis lokal, pleocyosis cairan serebrospinal, dan myelitis segmental.
Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang akun akar saraf anterior untuk
palsi lokal yang mungkin menyertai erosi kulit, dan infeksi berkelanjutan dalam
sistem saraf pusat (SSP) dapat mengakibatkan komplikasi herpes zoster
(meningoenchepalitis, myelitis melintang).2

2.4 Gejala Klinis

Terbagi menjadi tiga stadium antara lain : 1,2


 Stadium prodromal :
Biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena
disertai dengan panas, malaise dan nyeri kepala.
 Stadium erupsi :
Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2 hari
akan timbul gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan kulit
diantara gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain adalah
sama sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama. Lokasi lesi
sesuai dermatom, unilateral dan biasanya tidak melewati garis tengah dari tubuh.
 Stadium krustasi :
Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2
minggu. Sering terjadi neuralgi pasca herpetica terutama pada orang tua yang
dapat berlangsung berbulan-bulan parestesi yang bersifat sementara.(7,8)
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi – lesi baru yang
tetap timbul brlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi
berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Disamping gejala kulit dapat juga dijumpai
pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi penyakit ini adalah
unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persarafan. Pada
susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf pusat
kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis memungkinkan hal
tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena member gejala yang khas.
Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena gangguan pada nervus
trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis dan otikus (dari ganglion
genikulatum).
Varicella dan herpes zoster A. Selama infeksi (varicella dan cacar air) primer
varicella-zoster virus (VZV) virus menginfeksi ganglia sensoris. B. VZV tetap
dalam fase laten dalam ganglia untuk kehidupan C. Indiviual dengan fungsi
kekebalan tubuh berkurang, VZV aktif kembali dalam ganglia sensoris, turun
melalui saraf sensorik, dan direplikasi di kulit.(3)

Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus


trigeminus, sehingga menimbulkan kelainan pada mata, disamping itu juga
cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya.
1

Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan otikus,
sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit
yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinnitus, vertigo, gangguan pendengaran,
nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan.2

Herpes zoster abortif artinya penyakit ini berlangsung dalam waktu yang
singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa vesikel dan eritem.1

Herpes zoster generalisata kelainan kulitnya unilateral dan segmental


ditambah kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikel yang
soliter dan ada umbilikasi. Kasus ini terutama terjadi pada orang tua atau pada
orang yang kondisi fisikny sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma
malignum.1,2,3
Neuralgia pascahepatik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh. Nyeri ini dapat
berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri
yang bervariasi dalam kehidupan sehari –hari. Kecenderungan ini dijumpai pada
orang yang mendapat herpes zoster diatas usia 40 tahun.1,2

2.5 Patogenesis Nyeri pada Herpes Zoster dan Neuralgia Paska Herpetik

Nyeri merupakan keluhan yang dirasakan penderita herpes zoster.


Khususnya pada pasien tua, nyeri yang terdistribusi pada saraf sensorik bisa
menetap sampai beberapa minggu, bulan, bahkan tahun setelah lesi kulit sembuh.
Nyeri kronis yang menetap ini disebut neuralgia paska herpetik, didefinisikan
dengan nyeri yang menetap setelah lesi kulit sembuh atau yang menetap lebih
dari 4 minggu, tanpa melihat derajat perbaikan. Tidak seperti nyeri yang
menyertai kerusakan jaringan akut dimana pada NPH tidak ditemukan kelainan
biologik. Nyeri pada herpes merupakan hasil dari aktifitas jaras spinotalamikus
dan pontin hipotalamik. Nyeri ini adalah suatu bentuk nyeri neuropati yang
disebabkan oleh kerusakan pada sistim saraf. Sensasi nyeri tersebut merupakan
hasil dari proses komplek sensorik pada level tertinggi di susunan saraf pusat.1,3

Dari pemeriksaan neuropatologi ditemukan adanya inflamasi akut oleh


herpes zoster yang maksimal pada serabut ganglion posterior. Inflamasi akut ini
menyebabkan nyeri pada suatu dermatom kemudian meluas ke perifer sepanjang
saraf sensorik dan kadang-kadang ke bagian proksimal saraf sensorik dan motorik
dari dermatom yang terkena. Replikasi VZV di sel neuron ganglion posterior
menimbulkan inflamasi dan kerusakan pada sel tersebut, sehingga terjadi
peningkatan sensitifitas dan respon yang berlebihan pada nosireseptor / reseptor
taktil yang dikenal dengan sensitisasi perifer. Pada proses inflamasi ini terjadi
pelepasan sitokin-sitokin yang ikut memperberat kerusakan neuron. Nyeri pada
herpes tidak disebabkan oleh kuatnya rangsangan pada reseptor sensorik, tetapi
disebabkan oleh gangguan fungsi transmisi pada serat saraf sensorik setelah
rangsangan taktil pada nosireseptor di kulit.4
Meskipun sensitisasi perifer penting pada mekanisme terjadinya nyeri
pada herpes zoster, masih tidak bisa dijelaskan kenapa area kulit yang mengalami
hipersensitifitas hanya terjadi di dermatom yang terkena, seperti allodynia atau
hiperalgesia yang merupakan hasil dari sensitisasi sentral, yaitu perubahan yang
terjadi pada kornu posterior medula spinalis sebagai konsekuensi rangsangan
pada nosireseptor. Kerusakan akson sensorik karena herpes zoster menimbulkan
gangguan impuls yang menyebabkan depolarisasi terus-menerus pada medula
spinalis menimbulkan respon yang berlebihan pada kornu posterior medula
spinalis terhadap semua rangsangan (wind up mechanism).3

Gangguan fungsi saraf yang berkepanjangan pada kornu posterior medula


spinalis juga disebabkan karena pada saat depolarisasi, kalsium masuk ke sel
neuron. Masuknya kalsium diinduksi rangsangan glutamat atau aspartat terhadap
reseptor N-metil-d-asam glutamat / aspartat yang terjadi ketika sel neuron yang
rusak di kornu posterior menghantarkan impuls. Glutamat atau aspartat
merupakan neurotransmiter yang dikeluarkan oleh sel neuron yang rusak akibat
proses peradangan. Akibat gangguan fungsi pada kornu posterior medula spinalis
terjadi sensitisasi sentral temporer bahkan permanen meskipun tidak ada
rangsangan taktil pada nosireseptor.2

Berbagai perubahan patologik bisa menyebabkan nyeri berkepanjangan yang


susah dikontrol setelah herpes zoster. Tahapan respon yang menyebabkan nyeri
sesudah terjadinya kerusakan saraf terjadi sangat cepat. Pelepasan neurotransmiter
timbul dalam beberapa detik setelah kerusakan saraf. Hipersensitifitas dan
sensitisasi sel neuron terjadi dalam beberapa menit, remodeling sel-sel neuron
terjadi dalam beberapa jam, responstruktural terjadi dalam beberapa hari atau
dalam beberapa bulan. Hal ini berarti setiap usaha pengobatan bisa mengurangi
kerusakan saraf lebih lanjut selama dilakukan pada fase akut.1

2.6 Diagnosis Banding

Herpes zoster awal dapat didiagnosis banding dengan dermatitis venenata


atau dermatitis kontak. Herpes zoster yang timbul di daerah genitalia mirip
dengan herpes simpleks, sedangkan herpes zoster diseminata dapat mirip dengan
variscela.1

2.7 Diagnosis

Teknik yang sama digunakan untuk mendiagnosis varicella dan digunakan


untuk mendiagnosa herpes zoster juga. Tampilan klinis seringkali cukup untuk
menegakkan diagnosis, dan pada hapusan Tzanck dapat mengkonfirmasi
kecurigaan klinis.1,2 Namun, lokasi atau penampilan dari lesi kulit mungkin
atipikal (terutama di immunocompromised pasien) sehingga membutuhkan
konfirmasi laboratorium.5

Kultur virus adalah dimungkin, tetapi virus varicella-zoster itu labil dan
relatif sulit untuk pulih dari penyeka lesi kulit. Sebuah uji direct
imunofluorescence lebih sensitif dibandingkan kultur virus dan memiliki
tambahan keuntungan dari biaya yang lebih murah dan waktu yang lebih cepat.
Seperti kultur virus, direct imunofluorescence assay dapat membedakan infeksi
virus herpes simplex dengan infeksi virus varisela-zoster. Polymerase-chain-
reaction techniques yang berguna untuk mendeteksi DNA virus varicella-zoster
di cairan dan jaringan.3,4

Herpes simplex zosteriform bisa dengan hasil positif untuk Tzanck smear,
namun jumlah lesi biasanya lebih terbatas dan derajat nyeri substansialnya
kurang. Persiapan selain Tzanck, uji DFA lebih disukai untuk kultur virus, karena
cepat, identifikasi jenis virus, dan memiliki hasil yang lebih akurat. Bila
dibandingkan pada VZV, Tzanck smear adalah 75% positif (sampai dengan 10%
false-positif dan variabilitas yang tinggi, tergantung pada keterampilan edema
interseluler dan intraseluler.5

Bagian atas dari dermis, dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi
perivaskular limfosit dan leukosit polimorfonuklear, Limfosit atipikal mungkin
juga ditemukan. Sebuah vaskulitis leukocytoclastic mendasari kesan infeksi VZV
selama HSV. Inflamasi dan perubahan degeneratif juga dicatat dalam serabut
ganglia posterior dan serabut saraf dorsalis yang terkena. Lesi sesuai dengan
sistem persarafan dari ganglon saraf yang terkena, dengan nekrosis sel-sel saraf.5
2.8 Komplikasi Herpes Zoster

A. Neuralgia paska herpetik

Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai
beberapa tahun. Kerusakan saraf perifer dan neurons di ganglion memicu
signal nyeri afferent. Peradangan pada kulit memicu signal nociceptive yang
menjelaskan nyeri kutaneus. Pelepasan berlebihan dari asam amino dan
neuropeptida yang diinduksi oleh impuls yang terus-menerus dari impuls
afferen selama fase prodormal dan akut dari herpes zoster bisa menyebabkan
kerusakan eksitotosik dan kehilangan penghambat interneurons pada kornu
dorsal spinal. Kerusakan neurons di corda spinal dan ganglion, dan juga pada
saraf perifer adalah penting sebagai pathogenesis dari NPH.4

Kerusakan saraf afferent primer bisa menjadi aktif spontan dan


hipersensitif ke stimuli perifer juga ke stimulasi simpatis. Pada gilirannya,
kelebihan aktifitas nociceptor dan impuls generasi ektopik bisa membuat peka
neurons system saraf pusat, menghasilkan memperpanjang dan menambah
respon sentral menjadi tidak merusak sebagaimana stimuli yang beracun.
Secara klinis, hasil mekanisme ini ada pada allodynia (nyeri dan/atau sensasi
yang tidak nyaman ditimbulkan oleh stimulus yang secara normal tidak sakit,
contoh : sentuhan halus) dengan sedikit atau tidak ada kehilangan sensoris, dan
menjelaskan bentukan nyeri dengan infiltrasi local lidokain.5

Neuralgia pasca-herpetik adanya nyeri di daerah kulit yang dipersarafi


oleh saraf yang terkena. Nyeri ini bisa menetap selama beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah terjadinya suatu episode herpes zoster. Nyeri bisa
dirasakan terus menerus atau hilang-timbul dan bisa semakin memburuk pada
malam hari atau jika terkena panas maupun dingin. Nyeri paling sering
dirasakan pada penderita usia lanjut; 25-50% penderita yang berusia diatas
50% mengalami neuralgia pasca-herpetik. Tetapi hanya 10% dari seluruh
penderita yang mengalami neuralgia pasca-herpetik. Pada sebagian besar
kasus, nyeri akan menghilang dalam waktu 1-3 bulan; tetapi pada 10-20%
kasus, nyeri menetap selama lebih dari 1 tahun dan jarang berlangsung sampai
lebih dari 10 tahun.5

Pada sebagian besar kasus, nyeri bersifat ringan dan tidak memerlukan
pengobatan khusus.Perubahan Anatomis dan fungsional bertanggung jawab
pada kemunculan NPH yang akan dibentuk awal pada herpes zoster. Konsisten
dengan ini adalah korelasi untuk inisiasi nyeri hebat dan kehadiran nyeri
prodormal dengan pembentukan NPH dikemudiannya dan kegagalan terapi
antiviral untuk mencegah penuh NPH.5

B. Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa


komplikasi. Sebaliknyapada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV,
keganasan, atau berusia lanjutdapat disertai komplikasi. Vesikel sering
manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.3,4

C. Kelainan pada mata

Keterlibatan mata dapat mengancam penglihatan jika tidak terdeteksi dan


diterapidengan tepat. Adanya edem orbita adalah emergensi ophtalmologi dan
pasien harusdirujuk ke spesialis mata. Iritis, iridocyclitis, glaucoma, dan ulkus
kornea dapat terjadipada kasus ini. Keterlibatan hanya di daerah dibawah
fisura palpebra inferior tanpadisertai keterlibatan dari kelopak atas dan nasal
menunjukkan tidak adanya komplikasipada mata karena daerah kelopak bawah
diinervasi oleh nervus maksillaris superior.3,4

D. Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan
otikus gangliongenikulatum), sehingga memberikan gejala paralisis otot muka
(paralisis Bell), kelainankulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus,
vertigo, gangguan pendengaran,nistagmus, nausea, dan gangguan
pengecapan.5
E. Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virussecara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf
yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapatterjadi seperti: di wajah, diafragma,
batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus.Umumnya akan sembuh
spontan.3,4

2.9 Penatalaksanaan Herpes Zoster

Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:1

A. Mengatasi infeksi virus akut

B. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster

C. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat
menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang
dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan
digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga
kebersihan badan. Pasien juga disarankan untuk memangkas kuku secara
teratur untuk mencegah kerusakan kulit karena garukan.1,2

Pasien harus menjaga diri agar terhindar dari cidera termal akibat
penggunaan kompres hangat dengan suhu terlalu tinggi & akibat cedera panas
yg tidak terasa (bantalan pemanas, radiator), serta hindari pemajanan berulang
terhadap deterjen, pembersih, dan pelarut. Jika kulit pasien sangat kering
dianjurkan menggunakan sabun yang tidak menggandung antiseptik seperti
sabun bayi. Pasien juga disarankan untuk menggunakan preparat tabir surya.
Dalam mempertahankan kelembaban kulit agar tidak terjadi penguapan air
dipermukaan kulit maka pasien dianjurkan menggunakan pelembab setiap
setalah mandi ataupun setiap kulit terasa kering. Pasien harus menggunakan
obat-obatan yang diberikan secara teratur, tanpa membeli sendiri jika obat
sudah habis. Maka dari itu pasien harus rajin control.2,3

2.9.1 Pengobatan Khusus

1. Obat Antivirus

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya


valasiklovir danfamsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun intravena.
Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertamasejak lesi muncul. Dosis asiklovir
peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama7 hari, sedangkan
melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien
yangimunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain
yang dapatdigunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir.
Valasiklovir diberikan3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena konsentrasi dalam
plasma tinggi. Selain itufamsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga
bekerja sebagai inhibitor DNApolimerase. Famsiklovir diberikan 3×200
mg/hari selama 7 hari.2,3

2. Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan


oleh virus herpeszoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat.
Dosis asam mefenamatadalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau
dapat juga dipakai sep\erlunya ketika nyeri muncul.5

3. Kortikosteroid Indikasi

Pemberian kortikostreroid ialah untuk mencegah Sindrom Ramsay


Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis.
Yang biasa diberikan ialah Prednison dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah
seminggu dosis diturunkan secarabertahap. Dengan dosis prednison setinggi
itu imunitas akan tertekan sehingga lebihbaik digabung dengan obat
antivirus.4,5
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. IA
Usia : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Dusun Baru Korong Kasai Batang Anai, Padang
Pariaman
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang
Negeri Asal : Padang
ANAMNESA
Seorang pasien laki-laki, berusia 37 tahun datang ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUP. Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 10 Desember 2018, dengan:

Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan adanya gelembung-gelembung berisi cairan jernih
yang berkelompok diatas bercak merah yang terasa nyeri pada punggung bawah
sebelah kanan dan makin meluas sejak 4 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


- Awalnya sejak 4 hari yang lalu muncul kemerahan pada punggungkanan
pasien yang terasa nyeri kemudian kulit kemerahan tersebut berubah
menjadi gelembung-gelembung kecil berkelompok berisi cairan, lalu
gelembung-gelembung tersebut bertambah banyak dan makin menyebar
ke daerah paha kanan
- Badan terasa lemah sejak 1 minggu yang lalu
- Demam dirasakan sejak 1 minggu yang lalu
- Sakit kepala, mual, dan muntah sejak 1 minggu yang lalu
- 1 hari yang lalu pasien berobat ke puskesmas mendapat 4 macam obat,
pasien lupa nama obatnya (tablet putih 3x1, 2 macam tablet merah 2x1,
dan tablet coklat 1x1). Kemudian pasien disarankan untuk berobat ke
RSUP dr. M. Djamil Padang
- Riwayat menderita cacar air sebelumnya tidak ada
- Pasien telah didiagnosa menderita SIDA sejak 4 bulan yang lalu dan
mendapat terapi ARV sejak 4 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami penyakit berupa gelembung-gelembung


kecil seperti ini sebelumnya

Riwayat Keluarga/Atopi/ Alergi :

 Tidak ada riwayat bersin-bersin di pagi hari


 Tidak ada riwayat galigato
 Tidak ada riwayat asma
 Tidak ada riwayat alergi obat
 Tidak ada riwayat alergi makanan
 Tidak ada riwayat alergi terhadap serbuk sari

Riwayat Pengobatan

 Pasien belum pernah mengobati gelembung- gelembung berisi cairan


yang nyeri tersebut

Riwayat Sosial Ekonomi

 Pasien merupakan seorang pegawai swasta


 Pasien berdomisili di Batang Anai, Padang Pariaman

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

 Keadaan umum : Tampak sakit sedang

 Kesadaran umum : Komposmentis Kooperatif.

 Tekanan darah : Diharapkan dalam batas normal.

 Nadi : Diharapkan dalam batas normal.


 Nafas : Diharapkan dalam batas normal.

 Suhu : Diharapkan dalam batas normal.

 Berat badan : 60 kg

 Tinggi badan : 170 cm

 IMT : 20,2 kg/m2

 Status Gizi : Normoweight

Status Dermatologikus

 Lokasi : Punggung kanan dan paha kanan

 Distribusi : Unilateral terlokalisir.

 Bentuk : Bulat-tidak khas.

 Susunan : Herpetiformis

 Batas : Tidak tegas

 Ukuran : Miliar sampai Lentikular

 Efloresensi : Vesikel-vesikel berkelompok dan bula diatas plak


eritem, disertai erosi, ekskoriasi, krusta
merah kehitaman

 Status Venerologikus : diharapakan dalam batas normal

 Kelainan selaput : diharapkan dalam batas normal

 Kelainan kuku : diharapkan dalam batas normal

 Kelainan rambut : diharapakan dalam batas normal

 Kelainan kelenjar limfe : diharapakan dalam batas normal


Resume :

Telah diperiksa seorang pasien laki-laki berusia 37 tahun di Poliklinik


Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang tanggal 10 desember 2018
dengan keluhan:

 Awalnya sejak 4 hari yang lalu muncul kemerahan pada punggungkanan


pasien yang terasa nyeri kemudian kulit kemerahan tersebut berubah
menjadi gelembung-gelembung kecil berkelompok berisi cairan, lalu
gelembung-gelembung tersebut bertambah banyak dan makin menyebar
ke daerah paha kanan
 Badan terasa lemah sejak 1 minggu yang lalu
 Demam dirasakan sejak 1 minggu yang lalu
 Sakit kepala, mual, dan muntah sejak 1 minggu yang lalu
 1 hari yang lalu pasien berobat ke puskesmas mendapat 4 macam obat,
pasien lupa nama obatnya (tablet putih 3x1, 2 macam tablet merah 2x1,
dan tablet coklat 1x1). Kemudian pasien disarankan untuk berobat ke
RSUP dr. M. Djamil Padang
 Riwayat menderita cacar air sebelumnya tidak ada
 Pasien telah didiagnosa menderita SIDA sejak 4 bulan yang lalu dan
mendapat terapi ARV sejak 4 bulan yang lalu.
 Pada pemeriksaan status dermatologikus didapatkan lesi dengan lokasi di
punggungkanan dan paha kanan, distribusi unilateral terlokalisir, bentuk
bulat-tidak khas, susunan herpetiformis, batas tidak tegas, ukuran miliar
sampai lentikular dengan efloresensi berupa Vesikel-vesikel berkelompok
dan bula diatas plak eritem, disertai erosi, ekskoriasi, krusta merah
kehitaman

DIAGNOSIS KERJA

 Herpes Zoster Thorakolumbal setinggi T12, L1-L3 Dextra

 SIDA dalam pengobatan


DIAGNOSIS BANDING

Dermatitis kontak

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

Pemeriksaaan Tzank Test : sel datia berinti banyak

PEMERIKSAAN LABORATORIUM ANJURAN

Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction), jika tidak tersedia dapat


dilakukan Pemeriksaan direct immunofluorecent antigen-staining

DIAGNOSIS

 Herpes Zooster Thorakolumbal setinggi T12, L1-L3 Dextra Diseminata

 SIDA dalam pengobatan

PENATALAKSANAAN

UMUM

 Menjelaskan kepada pasien untuk beristirahat selama lesi masih aktif


hingga kering atau menjadi krusta
 Luka dijaga agar tetap bersih dan kering jangan sampai pecah karena
ditakutkan dapat menyebar ke daerah lain
 Memakai pakaian yang longgar atau menghindari gesekan pada lesi
 Pasien tetap disarankan untuk tetap menjaga kebersihan badan
 Konsumsi obat ARV teratur

KHUSUS

 Topikal :
Bedak kocok 2x sehari pada gelembung-gelembung berkelompok
 Sistemik :
Acyclovir 5 x 800 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Ranitidin 2 x 150 mg
PROGNOSIS

Quo Ad Sanam : dubia ad bonam.

Quo Ad Vitam : bonam.

Quo Ad Kosmetikum : bonam

Quo Ad Functionam : bonam

FOTO KLINIS
RESEP

dr.Kelsy Qoridisa
Praktik Umum
SIP: 10061407
Hari:Senin-Jumat
Jam 19.00-21.00
Alamat: Jalan Jati V no. 2
No Telp 082384854911

Padang, 10 Desember

2018

R/ Acid Salicyl 2%
Menthol 0,5%
Talcum Venetum ad 100 gr
mf la powder da in Sacch I
Sue
R/ Acyclovir tab 800 mg No. XXXV
S5dd tab I
R/ Paracetamol tab 500 mg No. XXI
S3dd tab I

Pro : Tn. IA
Usia : 37 tahun
Alamat : Batang Anai, Padang Pariaman
BAB IV

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki usia 37 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan


Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 10 Desember 2018 dengan
keluhan mucul gelembung-gelembung berisi cairan jernih yang berkelompok
diatas bercak merah yang terasa nyeri pada punggung bawah sebelah kanan dan
makin meluas ke paha kanan sejak 4 hari yang lalu. Awalnya sejak 1 minggu
yang lalu muncul kemerahan pada punggung kanan pasien yang terasa nyeri
kemudian kulit kemerahan tersebut berubah menjadi gelembung-gelembung kecil
berkelompok berisi cairan, lalu gelembung-gelembung tersebut bertambah
banyak dan makin menyebar. Badan terasa lemah sejak 1 minggu yang lalu.
Demam dirasakan 1 minggu yang lalu. Riwayat menderita cacar air sebelumnya
tidak ada. Pasien telah didiagnosa menderita SIDA sejak 4 bulan yang lalu dan
mendapat terapi ARV sejak 4 bulan yang lalu.

Pada pemeriksaaan fisik, didapatkan kondisi pasien tampak sakit sedang,


kesadaran komposmentis kooperatif dan tanda vital yang lain dalam batas
normal. Pada pemeriksaan status dermatologikus didapatkan lesi dengan lokasi di
punggung bawah kanan dan paha, distribusi unilateral terlokalisir, bentuk bulat-
tidak khas, susunan herpetiformis, batas tidak tegas, ukuran miliar sampai
lentikular dengan efloresensi berupa vesikel-vesikel berkelompok diatas plak
eritem.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dicurigai menderita


herpes zoster yang merupakan penyakit neurokutan dengan menifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom akibat reaktivasi infeksi laten
virus varisela zoster.1,2

Nyeri yang sudah dirasakan pasien selama 1 minggu yang hanya terbatas
ditempat lesi merupakan suatu keluhan tersering apada kasus herpes zoster. Onset
penyakit ini dapat berupa nyeri pada dermatom yang terkena dalam 48-72 jam.
Nyeri ini terjadi karena neuritis akut yang berhubungan dengan replikasi virus,
proses inflamasi dan produksi sitokin-sitokin sebagai respon terhadap kerusakan
saraf dan terjadinya peningkatan sensitivitas reseptor nyeri.3

Pada pasien didapatkan keluhan badan terasa letih yang dapat merupakan
tanda prodromal yang mengawali penyakit ini. Gejala prodromal dapat juga
berupa sensasi abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia
sepanjang dermatom, gatal, rasa menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark, atau
gejala konstitusi seperti demam, malaise dan nyeri kepala. Gejala prodromal
dapat berlangsung beberapa hari (1-10 hari, rata-rata 2 hari).1

Pada kasus ini, pasien telah didiagnosa menderita SIDA sejak 4 bulan yang
lalu dan mendapat terapi ARV sejak 4 bulan yang lalu. Hal ini dapat menjadi
salah satu faktor predisposisi terjadinya herpes zoster pada usia dewasa karena
kondisi pasien imunokompromais (infeksi HIV). Juga kondisi lain yang dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya herpes zoster seperti pada transplantasi
organ, keganasan, pasien yang mendapatkan radioterapi maupun kemoterapi dan
penggunaan kortikosteroid jangka panjang.5 Individu yang mengalami
imunokompromais memiliki risiko 20 hingga 100 kali lebih tinggi untuk
menderita herpes zoster dibandingkan individu normal.4 Pasien yang mendapat
terapi dengan obat yang imunosupresif memiliki resiko lebih tinggi menderita
hespes zoster. 5

Berdasarkan bentuk lesi awal herpes zoster dapat didiagnosis dengan


dermatitis kontak atau dermatitis venenata (akibat bulu serangga), yang gejala
awalnya juga berupa eritema kemudian menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
Perjalanan penyakit pada dermatitis kontak dapat berlangsung akut maupun
kronik. Pada dermatitis kontak dengan iritan yang kuat dapat juga menimbulkan
keluhan nyeri.1 Dari anamnesis pada pasien, tidak ditemukan adanya riwayat
alergi maupun riwayat kontak dengan bahan iritan sebelumnya, riwayat atopi
yang dapat mempermudah terjadinya dermatitis kontak juga disangkal, gejala
prodromal juga jarang pada dermatitis kontak, sehingga diagnosis cenderung
lebih berat ke herpes zoster dengan gambaran lesi yang khas berupa veseikel
berkelompok terbatas di satu dermatom, unilateral dan terasa nyeri. Ditambah
berdasarkan data, pasien merupakan penderita SIDA.
Diagnosis herepes zoster sebagian besar dapat dilihat dari klinis, namun
untuk kasus yang meragukan dapat dilakukan Tzanck Test dari kerokan dasar
vesikel yang memberikan hasil adanya giant cell yang berinti banyak dengan
mikroskop, pemeriksaan titer antibodi maupun kultur.2 Pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan Tzanck Test dari kerokan dasar vesikel yang diberi pewarnaan
Giemsa lalu diperiksa di bawah mikroskop, didapatkan hasil berupa
ditemukannya sel datia berinti banyak yang sesuai dengan temuan laboratorium
untuk herpes zoster.

Penegakan diagnosis herpes zoster dibuat sesuai dengan dengan dermatom


yang terkena. Pada pasien ini lesi yang terdapat pada punggung bawah kanan
berada pada dermatom torakal 12 hingga lumbal 1 dan lumbal 3 sehingga
diagnosis adalah Herpes Zoster setinggi torakal 12, lumbal 1- lumbal 3 dekstra
diseminata.

Pengobatan pada pasien berupa terapi umum dan khusus. Terapi umum
meliputi edukasi kepada pasien untuk beristirahat selama lesi masih aktif hingga
kering atau menjadi krusta. Selain itu, luka dijaga agar tetap bersih dan kering
jangan sampai pecah karena ditakutkan dapat menyebar ke daerah lain. Pasien
dianjurkan untuk memakai pakaian yang longgar atau menghindari gesekan pada
lesi. Pasien tetap disarankan untuk tetap menjaga kebersihan badan. Pasien juga
diingatkan untuk mengkonsumsi ARV secara teratur. Sedangkan untuk terapi
khusus yaitu pengobatan topikal berupa bedak kocok 2x sehari pada gelembung-
gelembung berkelompok dan sistemik dengan acyclovir 5 x 800 mg serta
paracetamol 3 x 500 mg, ranitidine 150 mg, karena pengobatan herpes zoster
adalah menghilangkan nyeri secepat mungkin dengan cara membatasi replikasi
virus, sehingga mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut.5

Prognosis pada pasien ini dubia ad bonam karena pasien yang


imunokompromais lebih sering mengalami rekurensi penyakit.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W. Editor. Ilmu Penyakit Kulit


dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta : Badang Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2016.
2. Harpaz R, Leung JW.The Epidemiology of Herpes Zoster in the United
States During the Era of Varicella and Herpes Zoster Vaccines. Clin
Infect Dis.2018.3-5.
3. Vora RV, Kota RKS, Jivani NB. A Clinicomorphological study of
childhood herpes zoster at a rural based tertiary center, Gujarat, India.
Indian Journal of Pediatric Dermatology. 2016; 17(4) :273-276.
4. Sinta S. Prevalensi dan profil herpes zoster di rumah sakit umum pusat
Sanglah Denpasar periode April 2015 sampai Maret 2016 (tesis).
Universitas Udayana.2017
5. Burns, Tony, Breathnach, Cox, et al, Rook’s textbook of Dermatology.
8nd ed. Wiley Blackwell. 2010. 332-33,.

Anda mungkin juga menyukai