Anda di halaman 1dari 30

Case Report Session

Herpes Zoster

Oleh :
Sulastri (1840312268)
Ikmah Fauzan (1840312269)

Preseptor :
dr. Sandra Yelli

FAMILY ORIENTED MEDICAL EDUCATION III


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ANDALAS PUSKESMAS SEBERANG PADANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Herpes Zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan


manifestasi erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri
radikular unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom akibat reaktivasi
infeksi laten virus varisela zoster. Herpes zoster muncul dengan tampilan erupsi
pada kulit yang biasanya gatal, nyeri (pada satu dermatom), makula kemerahan
hingga vesikel yang jika pecah menjadi krusta.1

Prevalensi kasus herpes zoster diperkirakan mencapai 2-3 kasus per-1000


penduduk. Pada sebuah studi deskriptif yang dilakukan pada tahun 2018 di US,
terdapat peningkatan kasus herpes zoster pertahunnya dari tahun 1998 hingga
2012. 2 Herpes zoster sering rekuren dan cenderung kronik pada pasien
immunokompromise, selain itu herpes zoster biasanya meninggalkan gejala nyeri
pasca herpes (NPH) yang mengganggu kualitas hidup pasien meskipun sudah
sembuh, 1

Peningkatan kejadian Herpes Zoster seperti yang telah diuraikan diatas


menunjukkan bahwa penatalaksanaan terhadap herpes zoster perlu dilakukan
dengan baik dan optimal agar tidak terjadi peningkatan kasus, untuk itu penulis
tertarik untuk membahasa mengenai Herpes Zoster dan kaitannya dengan pasien
yang ada di Puskesmas Seberang Padang.

1.2. Rumusan Masalah

Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, dan


tatalaksana herpes zoster dan kaitannya dengan salah satu pasien herpes zoster
di Puskesmas Seberang Padang.
1.3. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan


pemahaman tentang herpes zoster.

1.4. Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka


yang merujuk dari berbagai literatur.
BAB II

TINJAUAN

PUSTAKA

2.1. Definisi

Herpes Zoster atau shingles adalah penyakit neurokutan dengan


manifestasi erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri
radikular unilateral yang umumnya terbatas di satu dermatom akibat reaktivasi
infeksi laten virus varisela zoster.1,2 Herpes zoster merupakan manifestasi
reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron ganglion
sensoris radiks dorsais, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik
yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama.1,3

2.2. Epidemiologi

Penyebaran herpes zoster sama seperti varisela. Penyakit ini, seperti yang
diterangkan dalam definisi, merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah
penderita mendapat varisela.1 Penyakit herpes zoster terjadi sporadis sepanjang
tahun tanpa mengenal musim. Insidensnya mencapai 2-3 kasus per-1000
orang/tahun. Pada sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2018 di US yang
meneliti perkembangan penyakit herpes zoster dari tahun 1998-2016 ditemukan data
bahwa terjadi peningkatan kejadian pada periode 1998-2002 yakni 679.432
kasus menjadi
3.840.458 pada periode 2012-2016. Insiden dan keparahan penyakit
meningkat seiring pertambahan usia.2

Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan


umur dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster
berdasarkan usia yaitu sejak lahir - 9 tahun : 0,74 / 1000 ; usia 10 – 19 tahun :1,38 /
1000 ; usia 20 – 29 tahun : 2,58 / 1000. Di Amerika, herpes zoster jarang terjadi
pada anak-anak, dimana lebih dari 66 % mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang
dari 10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan 5% mengenai usia kurang dari 15
tahun. Walaupun herpes
zoster merupakan penyakit yang sering dijumpai pada orang dewasa, namun
herpes zoster dapat juga terjadi pada bayi yang baru lahir apabila ibunya menderita
herpes zoster pada masa kehamilan. Dari hasil penelitian, ditemukan sekitar 3%
herpes zoster pada anak, biasanya ditemukan pada anak - anak yang
imunokompromis dan menderita penyakit keganasan.2,3

Sementara itu pada penelitian yang dilakukan pada RSUP Sanglah


Denpasar periode April 2015 hingga Maret 2016, ditemukan 28 pasien Herpes
Zoster dengan laki-laki 60,7% dan perempuan 39,3% dengan usia terbanyak 45-64
tahun.4

2.3. Etiopatogenesi
s

Varicella zoster virus (VZV) adalah penyebab diantara varicella (cacar air)
dan zoster (shingles). Tiga genotipe dari α-herpes virus telah diidentifikasi dan
terbukti memiliki variasi geografis.5

Selama perjalanan dari varicella, VZV lewat melalui lesi di kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik dan diangkut secara sentripetal
sampai serabut saraf sensorik ke ganglia sensoris. Di ganglia, virus membentuk
infeksi laten yang bertahan untuk hidup. Walaupun virus laten di ganglia
mempertahankan potensi untuk infektivitas penuh, reaktivasi bias sewaktu-waktu,
infeksi virus tidak tampak saat fase laten. Mekanisme yang terlibat dalam
reaktivasi VZV laten tidak jelas, namun reaktivasi telah dikaitkan dengan
immunosupresi, stres emosional, iradiasi dari sumsum tulang belakang,
keterlibatan tumor, serabut ganglion dorsalis, atau struktur yang berdekatan,
trauma lokal, manipulasi bedah tulang belakang , dan sinusitis frontalis (sebagai
endapan zoster oftalmica). Yang paling penting adalah penurunan kekebalan
seluler VZV spesifik yang terjadi dengan bertambahnya usia. VZV yang
mengalami reaktivasi akan menimbulkan ruam kulit yang terlokalisata di dalam satu
dermatom.2,3
VZV juga dapat mengaktifkan kembali tanpa menghasilkan penyakit yang
jelas. Jumlah kecil yang dilepaskan antigen virus selama reaktivasi tersebut,
diharapkan dapat merangsang dan mempertahankan system kekebalan tubuh VZV. 1,2

Ketika kekebalan seluler VZV spesifik berada pada beberapa tingkat


kritis, reakticasi virus tidak bisa ditahan lagi. Virus berkembang biak dan
menyebar di dalam ganglion, menyebabkan nekrosis neuronal dan peradangan
parah, sebuah proses yang sering disertai dengan neuralgia parah. Infeksi VZV
kemudian menyebar secara antidromikal menuruni saraf sensorik, menyebabkan
neuritis parah, dan dilepaskan dari saraf sensorik yang berakhir di kulit, di mana
ia menghasilkan karakteristik dari vesikel zoster. Penyebaran infeksi ganglionic
proksimal sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan hasil serabut di
leptomeningitis lokal, pleocyosis cairan serebrospinal, dan myelitis segmental.
Infeksi motor neuron di kornu anterior dan radang akun akar saraf anterior untuk
palsi lokal yang mungkin menyertai erosi kulit, dan infeksi berkelanjutan dalam
sistem saraf pusat (SSP) dapat mengakibatkan komplikasi herpes zoster
(meningoenchepalitis, myelitis melintang). 2

2.4. Gejala Klinis


Terbagi menjadi tiga stadium antara lain :
1,2

1) Stadium prodromal :
Biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena
disertai dengan panas, malaise dan nyeri kepala.
2) Stadium erupsi :
Mula-mula timbul papul atau plakat berbentuk urtika yang setelah 1-2 hari
akan timbul gerombolan vesikel diatas kulit yang eritematus, sedangkan
kulit diantara gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan lain
adalah sama sedangkan usia lesi dengan gerombolan lain adalah tidak sama.
Lokasi lesi sesuai dermatom, unilateral dan biasanya tidak melewati garis
tengah dari tubuh.
3) Stadium krustasi :
Vesikel menjadi purulen, mengalami krustasi dan lepas dalam waktu 1-2
minggu. Sering terjadi neuralgi pasca herpetica terutama pada orang tua
yang dapat berlangsung berbulan-bulan parestesi yang bersifat sementara.7,8
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi – lesi baru
yang tetap timbul brlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi
berlangsung kira-kira 1-2 minggu. Disamping gejala kulit dapat juga
dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lokalisasi penyakit ini
adalah unilateral dan bersifat dermatomal sesuai dengan tempat persarafan.
Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan
saraf pusat kelainan ini lebih sering karena struktur ganglion kranialis
memungkinkan hal tersebut. Hiperestesi pada daerah yang terkena member
gejala yang khas. Kelainan pada muka sering disebabkan oleh karena
gangguan pada nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri) atau nervus fasialis
dan otikus (dari ganglion genikulatum).

Gambar 2.1. Stadium penyakit Varicella dan Herpes Zoster

A) Selama infeksi (varicella dan cacar air) primer varicella-zoster virus (VZV) virus
menginfeksi ganglia sensoris. B.) VZV tetap dalam fase laten dalam ganglia untuk kehidupan
C.) Indiviual dengan fungsi kekebalan tubuh berkurang, VZV aktif kembali dalam
ganglia sensoris, turun melalui saraf sensorik, dan direplikasi di kulit. 3
Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus
trigeminus, sehingga menimbulkan kelainan pada mata, disamping itu juga
cabang kedua dan ketiga menyebabkan kelainan kulit pada daerah persarafannya. 1
Sindrom Ramsay Hunt diakibatkan oleh gangguan nervus fasialis dan
otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan
kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinnitus, vertigo, gangguan
pendengaran, nistagmus dan nausea, juga terdapat gangguan pengecapan.2
Herpes zoster abortif artinya penyakit ini berlangsung dalam waktu yang
singkat dan kelainan kulitnya hanya berupa beberapa vesikel dan eritem. 1
Herpes zoster generalisata kelainan kulitnya unilateral dan segmental ditambah
kelainan kulit yang menyebar secara generalisata berupa vesikel yang soliter dan
ada umbilikasi. Kasus ini terutama terjadi pada orang tua atau pada orang yang
kondisi fisikny sangat lemah, misalnya pada penderita limfoma malignum. 1,2,3

Neuralgia pascahepatik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan lebih dari sebulan setelah penyakitnya sembuh. Nyeri ini dapat
berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi nyeri
yang bervariasi dalam kehidupan sehari –hari. Kecenderungan ini dijumpai pada
orang yang mendapat herpes zoster diatas usia 40 tahun.1,2

Herpes zoster pada anak-anak jarang didahului gejala prodormal. Gejala


prodormal yang dapat dijumpai yaitu nyeri radikuler, parestesia, malese, nyeri
kepala dan demam, biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam dikulit. 4,5

Lesi kulit yang khas dari herpes zoster yaitu lokalisasinya biasanya unilateral
dan jarang melewatii garis tengah tubuh. Lokasi yang sering dijumpai yaitu
pada dermatom T3 hingga L2 dan nervus ke V dan VII. Lesi awal berupa
makula dan papula yang eritematous, kemudian dalam waktu 12 - 24 jam akan
berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi pustula pada hari ke 3 - 4
dan akhirnya pada hari ke 7 - 10 akan terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa
parut, kecuali terjadi infeksi sekunder bakterial.2,3,4
2.5. Patogenesis Nyeri pada Herpes Zoster dan Neuralgia Paska Herpetik

Nyeri merupakan keluhan yang dirasakan penderita herpes zoster.


Khususnya pada pasien tua, nyeri yang terdistribusi pada saraf sensorik bisa
menetap sampai beberapa minggu, bulan, bahkan tahun setelah lesi kulit sembuh.
Nyeri kronis yang menetap ini disebut neuralgia paska herpetik, didefinisikan
dengan nyeri yang menetap setelah lesi kulit sembuh atau yang menetap lebih
dari 4 minggu, tanpa melihat derajat perbaikan. Tidak seperti nyeri yang menyertai
kerusakan jaringan akut dimana pada NPH tidak ditemukan kelainan biologik. Nyeri
pada herpes merupakan hasil dari aktifitas jaras spinotalamikus dan pontin
hipotalamik. Nyeri ini adalah suatu bentuk nyeri neuropati yang disebabkan oleh
kerusakan pada sistim saraf. Sensasi nyeri tersebut merupakan hasil dari proses
komplek sensorik pada level tertinggi di susunan saraf pusat.1,3

Dari pemeriksaan neuropatologi ditemukan adanya inflamasi akut oleh


herpes zoster yang maksimal pada serabut ganglion posterior. Inflamasi akut ini
menyebabkan nyeri pada suatu dermatom kemudian meluas ke perifer
sepanjang saraf sensorik dan kadang-kadang ke bagian proksimal saraf sensorik
dan motorik dari dermatom yang terkena. Replikasi VZV di sel neuron ganglion
posterior menimbulkan inflamasi dan kerusakan pada sel tersebut, sehingga terjadi
peningkatan sensitifitas dan respon yang berlebihan pada nosireseptor / reseptor
taktil yang dikenal dengan sensitisasi perifer. Pada proses inflamasi ini terjadi
pelepasan sitokin- sitokin yang ikut memperberat kerusakan neuron. Nyeri pada
herpes tidak disebabkan oleh kuatnya rangsangan pada reseptor sensorik, tetapi
disebabkan oleh gangguan fungsi transmisi pada serat saraf sensorik setelah
rangsangan taktil pada nosireseptor di kulit.4

Meskipun sensitisasi perifer penting pada mekanisme terjadinya nyeri pada


herpes zoster, masih tidak bisa dijelaskan kenapa area kulit yang mengalami
hipersensitifitas hanya terjadi di dermatom yang terkena, seperti allodynia atau
hiperalgesia yang merupakan hasil dari sensitisasi sentral, yaitu perubahan
yang
terjadi pada kornu posterior medula spinalis sebagai konsekuensi rangsangan
pada nosireseptor. Kerusakan akson sensorik karena herpes zoster menimbulkan
gangguan impuls yang menyebabkan depolarisasi terus-menerus pada medula
spinalis menimbulkan respon yang berlebihan pada kornu posterior medula spinalis
terhadap semua rangsangan (wind up mechanism).3

Gangguan fungsi saraf yang berkepanjangan pada kornu posterior medula


spinalis juga disebabkan karena pada saat depolarisasi, kalsium masuk ke sel neuron.
Masuknya kalsium diinduksi rangsangan glutamat atau aspartat terhadap reseptor
N- metil-d-asam glutamat / aspartat yang terjadi ketika sel neuron yang rusak di
kornu posterior menghantarkan impuls. Glutamat atau aspartat merupakan
neurotransmiter yang dikeluarkan oleh sel neuron yang rusak akibat proses
peradangan. Akibat gangguan fungsi pada kornu posterior medula spinalis terjadi
sensitisasi sentral temporer bahkan permanen meskipun tidak ada rangsangan taktil
pada nosireseptor. 2

Berbagai perubahan patologik bisa menyebabkan nyeri berkepanjangan


yang susah dikontrol setelah herpes zoster. Tahapan respon yang menyebabkan
nyeri sesudah terjadinya kerusakan saraf terjadi sangat cepat. Pelepasan
neurotransmiter timbul dalam beberapa detik setelah kerusakan saraf.
Hipersensitifitas dan sensitisasi sel neuron terjadi dalam beberapa menit,
remodeling sel-sel neuron terjadi dalam beberapa jam, responstruktural terjadi
dalam beberapa hari atau dalam beberapa bulan. Hal ini berarti setiap usaha
pengobatan bisa mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut selama dilakukan pada fase
akut.1

2.6. Diagnosis
Banding

Herpes zoster awal dapat didiagnosis banding dengan dermatitis venenata


atau dermatitis kontak. Herpes zoster yang timbul di daerah genitalia mirip dengan
herpes simpleks, sedangkan herpes zoster diseminata dapat mirip dengan variscela.1
2.7. Diagnosis

Teknik yang sama digunakan untuk mendiagnosis varicella dan digunakan


untuk mendiagnosa herpes zoster juga. Tampilan klinis seringkali cukup untuk
menegakkan diagnosis, dan pada hapusan Tzanck dapat mengkonfirmasi
kecurigaan klinis.1,2 Namun, lokasi atau penampilan dari lesi kulit mungkin atipikal
(terutama di immunocompromised pasien) sehingga membutuhkan konfirmasi
laboratorium. 5

Kultur virus adalah dimungkin, tetapi virus varicella-zoster itu labil dan
relatif sulit untuk pulih dari penyeka lesi kulit. Sebuah uji direct
imunofluorescence lebih sensitif dibandingkan kultur virus dan memiliki
tambahan keuntungan dari biaya yang lebih murah dan waktu yang lebih cepat.
Seperti kultur virus, direct imunofluorescence assay dapat membedakan infeksi
virus herpes simplex dengan infeksi virus varisela-zoster. Polymerase-chain-
reaction techniques yang berguna untuk mendeteksi DNA virus varicella-zoster di
cairan dan jaringan.3,4

Herpes simplex zosteriform bisa dengan hasil positif untuk Tzanck smear,
namun jumlah lesi biasanya lebih terbatas dan derajat nyeri substansialnya
kurang. Persiapan selain Tzanck, uji DFA lebih disukai untuk kultur virus,
karena cepat, identifikasi jenis virus, dan memiliki hasil yang lebih akurat. Bila
dibandingkan pada VZV, Tzanck smear adalah 75% positif (sampai dengan 10%
false-positif dan variabilitas yang tinggi, tergantung pada keterampilan edema
interseluler dan intraseluler.5

Bagian atas dari dermis, dilatasi pembuluh darah, edema, dan infiltrasi
perivaskular limfosit dan leukosit polimorfonuklear, Limfosit atipikal mungkin juga
ditemukan. Sebuah vaskulitis leukocytoclastic mendasari kesan infeksi VZV
selama HSV. Inflamasi dan perubahan degeneratif juga dicatat dalam serabut
ganglia posterior dan serabut saraf dorsalis yang terkena. Lesi sesuai dengan
sistem persarafan dari ganglon saraf yang terkena, dengan nekrosis sel-sel saraf.5
2.8. Komplikasi Herpes Zoster
a) Neuralgia paska herpetik

Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah
bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan
sampai beberapa tahun. Kerusakan saraf perifer dan neurons di ganglion
memicu signal nyeri afferent. Peradangan pada kulit memicu signal nociceptive
yang menjelaskan nyeri kutaneus. Pelepasan berlebihan dari asam amino dan
neuropeptida yang diinduksi oleh impuls yang terus-menerus dari impuls
afferen selama fase prodormal dan akut dari herpes zoster bisa menyebabkan
kerusakan eksitotosik dan kehilangan penghambat interneurons pada kornu dorsal
spinal. Kerusakan neurons di corda spinal dan ganglion, dan juga pada saraf
perifer adalah penting sebagai pathogenesis dari NPH.4

Kerusakan saraf afferent primer bisa menjadi aktif spontan dan


hipersensitif ke stimuli perifer juga ke stimulasi simpatis. Pada gilirannya,
kelebihan aktifitas nociceptor dan impuls generasi ektopik bisa membuat peka
neurons system saraf pusat, menghasilkan memperpanjang dan menambah respon
sentral menjadi tidak merusak sebagaimana stimuli yang beracun. Secara klinis,
hasil mekanisme ini ada pada allodynia (nyeri dan/atau sensasi yang tidak
nyaman ditimbulkan oleh stimulus yang secara normal tidak sakit, contoh :
sentuhan halus) dengan sedikit atau tidak ada kehilangan sensoris, dan
menjelaskan bentukan nyeri dengan infiltrasi local lidokain.5

Neuralgia pasca-herpetik adanya nyeri di daerah kulit yang dipersarafi


oleh saraf yang terkena. Nyeri ini bisa menetap selama beberapa bulan atau
beberapa tahun setelah terjadinya suatu episode herpes zoster. Nyeri bisa
dirasakan terus menerus atau hilang-timbul dan bisa semakin memburuk pada
malam hari atau jika terkena panas maupun dingin. Nyeri paling sering
dirasakan pada penderita usia lanjut; 25-50% penderita yang berusia diatas
50% mengalami neuralgia pasca- herpetik. Tetapi hanya 10% dari seluruh
penderita yang mengalami neuralgia
pasca-herpetik. Pada sebagian besar kasus, nyeri akan menghilang dalam waktu
1- 3 bulan; tetapi pada 10-20% kasus, nyeri menetap selama lebih dari 1 tahun
dan jarang berlangsung sampai lebih dari 10 tahun.5

Pada sebagian besar kasus, nyeri bersifat ringan dan tidak memerlukan
pengobatan khusus.Perubahan Anatomis dan fungsional bertanggung jawab
pada kemunculan NPH yang akan dibentuk awal pada herpes zoster. Konsisten
dengan ini adalah korelasi untuk inisiasi nyeri hebat dan kehadiran nyeri
prodormal dengan pembentukan NPH dikemudiannya dan kegagalan terapi
antiviral untuk mencegah penuh NPH.5

b) Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa


komplikasi. Sebaliknyapada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV,
keganasan, atau berusia lanjutdapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi
ulkus dengan jaringan nekrotik.3,4

c) Kelainan pada mata

Keterlibatan mata dapat mengancam penglihatan jika tidak terdeteksi


dan diterapidengan tepat. Adanya edem orbita adalah emergensi ophtalmologi
dan pasien harusdirujuk ke spesialis mata. Iritis, iridocyclitis, glaucoma, dan
ulkus kornea dapat terjadipada kasus ini. Keterlibatan hanya di daerah dibawah
fisura palpebra inferior tanpadisertai keterlibatan dari kelopak atas dan nasal
menunjukkan tidak adanya komplikasipada mata karena daerah kelopak
bawah diinervasi oleh nervus maksillaris superior.3,4

d) Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis


dan otikus gangliongenikulatum), sehingga memberikan gejala paralisis otot
muka
(paralisis Bell), kelainankulit yang sesuai dengan tingkat persarafan,
tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,nistagmus, nausea, dan gangguan
pengecapan.5

e) Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virussecara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf
yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapatterjadi seperti: di wajah, diafragma,
batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus.Umumnya akan sembuh
spontan. 3,4

2.9. Penatalaksanaan Herpes Zoster

Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk: 1

- Mengatasi infeksi virus akut

- Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster

- Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.

2.9.1. Tatalaksana Non Farmakologis

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat
menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan
orang dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya
jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder
jaga kebersihan badan. Pasien juga disarankan untuk memangkas kuku secara
teratur untuk mencegah kerusakan kulit karena garukan.1,2

Pasien harus menjaga diri agar terhindar dari cedera termal akibat
penggunaan kompres hangat dengan suhu terlalu tinggi & akibat cedera panas
yg tidak terasa (bantalan pemanas, radiator), serta hindari pemajanan berulang
terhadap deterjen, pembersih, dan pelarut. Jika kulit pasien sangat
kering
dianjurkan menggunakan sabun yang tidak menggandung antiseptik seperti
sabun bayi. Pasien juga disarankan untuk menggunakan preparat tabir surya.
Dalam mempertahankan kelembaban kulit agar tidak terjadi penguapan air
dipermukaan kulit maka pasien dianjurkan menggunakan pelembab setiap setalah
mandi ataupun setiap kulit terasa kering. Pasien harus menggunakan obat-obatan
yang diberikan secara teratur, tanpa membeli sendiri jika obat sudah habis.
Maka dari itu pasien harus rajin control.2,3

Oleh karena itu, edukasi yang dapat diberikan pada penderita herpes
zoster adalah sebagai berikut :

- Memulai pengobatan sesegera mungkin


- Istirahat hingga stadium krustasi
- Tidak menggaruk lesi
- Tidak ada pantangan makanan
- Tetap mandi
- Mengurangi kecemasan dan ketidakpahaman pasien
2.9.2. Tatalaksana
Farmakologis
1) Obat Antivirus

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya,


misalnya valasiklovir danfamsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun intravena.
Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertamasejak lesi muncul. Dosis asiklovir
peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui
intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau
penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapatdigunakan sebagai
terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 3×1000 mg/hari
selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itufamsiklovir
juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNApolimerase.
Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari.2,3
Dosis anti virus (oral) untuk pengobatan varicella dan herpes zoster
pada neonatus yaitu, Asiklovir 500 mg / m2 IV setiap 8 jam selama 10 hari.
Sedangkan pada Anak ( 2 -12 tahun) diberikan dosis Asiklovir 4 x 20 mg / kg BB
/ hari / oral selama 5 hari. Untuk anak pubertas dan dewasa dapat diberikan
Asiklovir 5 x 800 mg / hari / oral selama 7 hari atau Valasiklovir 3 x 1 gr / hari /
oral selama 7 hari, atau Famasiklovir 3 x 500 mg / hari / oral selama 7 hari.

2) Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan


oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat.
Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau
dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul. Pada anak dapat diberikan
analgetik- antipiretik seperti golongan acetaminophen 10-15mg/kgBB/kali.5

3) Kortikosteroid

Pemberian kortikostreroid ialah untuk mencegah Sindrom Ramsay


Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis.
Yang biasa diberikan ialah Prednison dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah
seminggu dosis diturunkan secarabertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu
imunitas akan tertekan sehingga lebihbaik digabung dengan obat antivirus.4,5

2.9.3. Pencegahan

Pada anak imunokompeten yang telah menderita varicella tidak diperlukan


tindakan pencegahan, tetapi tindakan pencegahan ditujukan pada kelompok yang
beresiko tinggi untuk menderita varicella yang fatal seperti neonatus, pubertas
ataupun orang dewasa, dengan tujuan mencegah ataupun mengurangi gejala
varicella.3,4
Tindakan pencegahan yang dapat diberikan yaitu :

a) Imunisasi pasif

- Menggunakan VZIG (Varicella zoster immunoglobulin).

Pemberiannya dalam waktu 3 hari (kurang dari 96 jam) setelah


terpajan VZV, pada anak-anak imunokompeten terbukti mencegah
varicellla sedangkan pada anak imunokompromais pemberian VZIG
dapat meringankan gejala varicella.

VZIG dapat diberikan pada yaitu :

1) Anak - anak yang berusia < 15 tahun yang belum pernah


menderita varicella atau herpes zoster.

2) Usia pubertas > 15 tahun yang belum pernah menderita varicella


atau herpes zoster dan tidak mempunyai antibodi terhadap VZV.

3) Bayi yang baru lahir, dimana ibunya menderita varicella dalam


kurun waktu 5 hari sebelum atau 48 jam setelah melahirkan.

4) Bayi premature dan bayi usia ≤ 14 hari yang ibunya belum


pernah menderita varicella atau herpes zoster.

5) Anak - anak yang menderita leukaemia atau lymphoma yang


belum pernah menderita varicella.

Dosis VZIG yang diberikan adalah 125 U / 10 kg BB. Dosis minimum :


125 U dan dosis maximal : 625 U. Pemberian secara IM tidak
diberikan
IV. Perlindungan yang didapat bersifat sementara. 1,3,5

b) Imunisasi aktif

- Vaksinasinya menggunakan vaksin varicella virus dan kekebalan


yang didapat dapat bertahan hingga 10 tahun. Digunakan di
Amerika sejak tahun 1995. Daya proteksi melawan varicella berkisar
antara 71
- 100%. Vaksin efektif jika diberikan pada umur ≥ 1 tahun dan
direkomendasikan diberikan pada usia 12 – 18 bulan. Anak
yang berusia ≤ 13 tahun yang tidak menderita varicella
direkomendasikan diberikan dosis tunggal dan anak lebih tua
diberikan dalam 2 dosis dengan jarak 4 - 8 minggu.Pemberian
secara subcutan.

Efek samping : Kadang - kadang dapat timbul demam ataupun


reaksi lokal seperti ruam makulopapular atau vesikel, terjadi pada
3- 5% anak - anak dan timbul 10 - 21 hari setelah pemberian
pada lokasi penyuntikan.

Tidak boleh diberikan pada wanita hamil oleh karena dapat


Menyebabkan terjadinya kongenital varicella. 6,7
2.10. Prognosis

Lesi kulit biasanya menyembuh dalam 2-4minggu tetapi penyembuhan


sempurna membutuhkan waktu >4 minggu. Pasien usia lanjut dan imunokompromais
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk resolusi. Dalamstudi kohort
retrospektif, pasien herpes zoster yang dirawat di rumah sakit memiliki
mortalitas 3% dengan berbagai penyebab.9Tingkat rekurensi herpeszoster dalam 8
tahun sebesar 6,2%.10

Prognosis tergantung usia.


a) Usia <50 tahun:
Ad vitam
bonam
Ad functionam bonam
Ad sanactionam bonam
b) Usia >50 tahun dan
imunokompromais: Ad vitam bonam
Ad functionam dubia ad bonam
Ad sanactionam dubia ad bonam
BAB III

ILUSTRASI

KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. NS

Umur : 13 tahun 7 bulan

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Seberang Padang Utara RT 004 RW 002 Kel. Seberang Padang

Pekerjaan : Pelajar SMP

Agama : Islam

ANAMNESIS

Pasien anak Perempuan usia 13 tahun 7 bulan berobat ke poliklinik anak


puskesmas Seberang Padang pada tanggal 9 Maret 2020 dengan :

KELUHAN UTAMA

Muncul gelembung-gelembung kemerahan yang disertai gatal di perut


dan punggung sebelah kanan sejak 2 hari yang lalu.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

• Muncul gelembung-gelembung kemerahan yang berkelompok disertai gatal


di perut dan punggung sebelah kanan sejak 2 hari yang lalu.
• Gelembung – gelembung berkelompok tersebut berukuran kecil dan
terdapat cairan di dalamnya. Selain itu pasien juga mengeluhkan rasa nyeri
dan panas pada bagian tersebut sebelum timbul gelembung. Awalnya
gelembung
berkelompok tersebut muncul di perut kemudian satu hari setelahnya muncul
di punggung sebelah kanan.
• Pada 1 minggu yang lalu, pasien mengeluhkan demam, hilang timbul,
tidak tinggi, tidak menggigil dan tidak berkeringat. Selain itu pasien juga
mengeluhkan badan terasa lelah, lemas, nyeri-nyeri sendi 1 minggu yang lalu.
• Keluhan yang dirasakan mengganggu sekolah dan aktivitas pasien
• Teman di sekolah dan di rumah pasien tidak ada yang mengalami
keluhan serupa.
• Riwayat pasien menggaruk gelembung hingga pecah tidak ada.
• BAK dan BAB tidak ada keluhan

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

• Tidak ada keluhan dan penyakit seperti ini sebelumnya pada pasien.
• Tidak ada riwayat penyakit kulit lainnya pada pasien

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

• Tidak ada riwayat keluhan dan penyakit seperti ini pada keluarga pasien.
• Tidak ada riwayat cacar dan penyakit kulit lainnya pada keluarga pasien.

RIWAYAT SOSIAL, EKONOMI, PEKERJAAN DAN KEBIASAAN

Pasien seorang siswa SMP dengan aktifitas harian ringan.


PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
Keadaan umum : Sakit Ringan Suhu : 37,1°C
Kesadaran : CMC Tinggi Badan : 152 cm
Tekanan darah : 100/60 Berat Badan : 33 kg
mmHg Frekuensi nadi : 80
x/menit Frekuensi nafas : 30 x /
menit
Status Internus
• Kepala : tidak ditemukan
kelainan

• Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,


• Telinga : tidak ada kelainan
• Hidung : tidak ada kelainan
• Mulut : tidak ada kelainan
• Leher : Kelenjar getah bening tidak membesar
• Toraks
Paru
Inspeksi : simetris kiri=kanan
Palpasi : fremitus kiri=kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC
V Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada
• Abdomen
Inspeksi : status dermatologikus
Palpasi : hepar dan lien tidak
teraba. Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Genitalia : tidak diperiksa
• Extremitas : akral hangat, CRT <2 detik.
Status Dermatologikus
• Lokasi : perut di atas umbulikus dan punggung kanan.
(Setinggi Dermatom T9)
• Distribusi : unilateral herpetiformis
• Bentuk : bulat, tidak khas
• Susunan : berkelompok (herpetiformis), tidak khas
• Batas : tegas
• Ukuran : milier hingga lentikular
• Efloresensi : vesikel berkelompok diatas plak eritem
Resume

Seorang anak perempuan berusia 13 tahun 7 bulan datang ke poli anak


puskesmas Seberang Padang dengan keluhan muncul gelembung-gelembung
kemerahan yang disertai gatal di perut dan punggung sebelah kanan sejak 2 hari yang
lalu. Gelembung – gelembung berkelompok tersebut berukuran kecil dan terdapat
cairan di dalamnya. Selain itu pasien juga mengeluhkan rasa nyeri dan panas pada
bagian tersebut sebelum timbul gelembung. Awalnya gelembung berkelompok
tersebut muncul di perut kemudian satu hari setelahnya muncul di punggung
sebelah kanan. Pada satu minggu yang lalu, pasien mengeluhkan demam, hilang
timbul, tidak tinggi, tidak menggigil dan tidak berkeringat. Tidak ada riwayat
keluhan dan penyakit ini sebelumnya pada pasien dan keluarga pasien.

Status dermatologikus ditemukan gelembung-gelembung berkelompok di


perut di atas umbulikus dan punggung kanan atau setinggi dermatom T9,
berbentuk bulat tidak khas, distribusi unilateral herpetiformis, susunan
herpetiformis, ukuran milier hingga lentikuler dengan efloresensi vesikel
berkelompok diatas plak eritem.

Diagnosis Keja

Herpes Zoster Thorakalis setinggi T9 Dextra

Diagnosis Banding

Tidak ada diagnosis banding

Pemeriksaan Anjuran

Tidak diperlukan pemeriksaan penunjang

Penatalaksanaan

1. Umum
– Edukasi terkait perjalanan penyakit dan penularan penyakit herpes zoster

– Terapi suportif berupa menghindari gesekan kulit yang


menghindari pecahnya vesikel

– Pemberian nutrisi, istirahat yang cukup dan mencegah kontak dengan


orang lain

2. Khusus

– Paracetamol 3 x 10-15 mg/kgBB/kali per oral → 3 x 250mg

– Asiklovir 5 x 400 mg selama 7 hari per oral

– Asiklovir Cream 5% 5-6 x sehari, selama 5 hari

– Vitamin B Complex 2 x 1 hari

Prognosis

Quo ad vitam : bonam

Quo ad sanam : bonam

Quo ad functionam : bonam


Resep

PRAKTIK UMUM
dr. Ani
SIP : 001/02/20234
Praktik : Senin-Jumat
Pukul 14.00-20.00
WIB
Jalan Jati No.1
Telp. 0751-123456

Padang, 8 Februari 2020

R/ Paracetamol tab 500mg


No.X S 3 d d tab ½
R/ Acyclovir tab 400mg No. XXXV
S 5 d d tab 1
R/ Acyclovir cream 5% tube 5g No.I
Sue
R/ Vit B Complex
No.X S 2 d d caps 1

Pro : An. NS
Umur : 13 tahun
BAB IV

DISKUS

Seorang pasien anak laki-laki usia 13 tahun 7 bulan datang ke poliklinik


anak Puskesmas Seberang Padang tanggal 9 Maret 2020 dengan keluhan muncul
gelembung- gelembung kemerahan yang disertai gatal di perut dan punggung
sebelah kanan sejak 2 hari yang lalu.

Dari anamnesis diketahui bahwa keluhan tersebut terjadi sejak 2 hari yang
lalu, dimulai dari perut di atas umbilkus kemudian satu hari setelahnya muncul di
punggung sebelah kanan. Gelembung-gelembung tersebut berukuran kecil hingga
sedang dan tampak cairan di dalamnya. Selain itu pasien juga mengeluhkan rasa
nyeri dan panas pada bagian tersebut sebelum timbul gelembung.

Awalnya satu minggu yang lalu, pasien juga mengeluhkan demam, hilang
timnbul, tidak tinggi, tidak menggigil dan tidak berkeringat. Selain itu pasien juga
mengeluhkan badan terasa lelah, lemas, nyeri-nyeri sendi sejak satu minggu
yang lalu. Keluhan yang dirasakan mengganggu aktivitas pasien.

Pada pemeriksaaan fisik, didapatkan kondisi pasien tampak sakit ringan,


kesadaran komposmentis kooperatif dan tanda vital yang lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan status dermatologikus didapatkan lesi dengan lokasi di perut di
atas umbilicus dan punggung kanan setinggi dermatome thorakal T9, distribusi
unilateral herpetiformis, bentuk bulat-tidak khas, susunan berkelompok, batas
tegas, ukuran miliar sampai lentikular dengan efloresensi berupa vesikel-vesikel
berkelompok diatas plak eritem.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dicurigai menderita


herpes zoster yang merupakan penyakit neurokutan dengan menifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radikular
unilateral
yang umumnya terbatas di satu dermatom akibat reaktivasi infeksi laten virus
varisela zoster.1,2

Nyeri yang sudah dirasakan pasien hanya terbatas ditempat lesi merupakan
suatu keluhan tersering apada kasus herpes zoster. Onset penyakit ini dapat
berupa nyeri pada dermatom yang terkena dalam 48-72 jam. Nyeri ini terjadi karena
neuritis akut yang berhubungan dengan replikasi virus, proses inflamasi dan produksi
sitokin- sitokin sebagai respon terhadap kerusakan saraf dan terjadinya peningkatan
sensitivitas reseptor nyeri.3

Pada pasien didapatkan keluhan demam, badan terasa lelah, lemas, nyeri-
nyeri sendi dan nyeri kepala yang dapat merupakan tanda prodromal yang
mengawali penyakit ini. Gejala prodromal dapat berupa sensasi abnormal atau nyeri
otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal, rasa
menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark, atau gejala konstitusi seperti demam,
malaise dan nyeri kepala. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa hari (1-10
hari, rata-rata 2 hari).1

Herpes zoster pada anak-anak jarang didahului gejala prodormal. Gejala


prodormal yang dapat dijumpai yaitu nyeri radikuler, parestesia, malese, nyeri
kepala dan demam, biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam dikulit.3,4

Pada kasus ini, pasien seorang pelajar SMP dengan aktivitas ringan. Hal ini
diduga dapat menjadi salah satu faktor predisposisi terjadinya herpes zoster karena
kondisi menurunnya sistim imun tubuh (imunokompromais). Juga kondisi lain yang
dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya herpes zoster seperti pada HIV,
transplantasi organ, keganasan, pasien yang mendapatkan radioterapi maupun
kemoterapi dan penggunaan kortikosteroid jangka panjang.5 Individu yang
mengalami imunokompromais memiliki risiko 20 hingga 100 kali lebih tinggi
untuk menderita herpes zoster dibandingkan individu normal.4 Pasien yang
mendapat terapi dengan obat yang imunosupresif memiliki resiko lebih tinggi
menderita hespes zoster. 5
Diagnosis herepes zoster sebagian besar dapat dilihat dari klinis, namun
untuk kasus yang meragukan dapat dilakukan Tzanck Test dari kerokan dasar
vesikel yang memberikan hasil adanya giant cell yang berinti banyak dengan
mikroskop, pemeriksaan titer antibodi maupun kultur.2 Pada pasien ini diagnosis
ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Penegakan diagnosis herpes zoster dibuat sesuai dengan dengan dermatom


yang terkena. Pada pasien ini lesi yang terdapat pada perut di atas umbulikus dan
punggung kanan berada pada dermatom thorakal 9 sehingga diagnosis adalah
Herpes Zoster setinggi thorakal 9 dekstra.

Pengobatan pada pasien berupa terapi umum dan khusus. Terapi umum
meliputi edukasi terkait perjalanan penyakit dan penularan penyakit herpes zoster
dan pemberian nutrisi, istirahat yang cukup dan mencegah kontak dengan orang lain.

Selain itu, dianjurkan agar menghindari gesekan kulit untuk mencegah


pecahnya vesikel dan luka dijaga agar tetap bersih dan kering jangan sampai
pecah karena ditakutkan dapat menyebar ke daerah lain. Sedangkan untuk terapi
khusus yaitu pengobatan dengan acyclovir sesuai dosis dewasa selama 7 hari 5 x
400 mg, acyclovir cream 5-6x sehari, paracetamol dengan dosis 10-
15mg/KgBB/Kali, sehingga pasien diberikan paracetamol 3 x 250 mg, disertai
Vit B kompleks 2 x sehari, karena pengobatan herpes zoster adalah
menghilangkan nyeri secepat mungkin dengan cara membatasi replikasi virus,
sehingga mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut.5

Prognosis pada pasien ini bonam karena penyebab imunokompromais pada


pasien ini dapat ditatalaksana dengan istirahat dan nutrisi yang adekuat. 1
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W. Editor. Ilmu Penyakit Kulit


dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta : Badang Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2016.
2. Harpaz R, Leung JW.The Epidemiology of Herpes Zoster in the United
States During the Era of Varicella and Herpes Zoster Vaccines. Clin
Infect Dis.2018.3-5.
3. Vora RV, Kota RKS, Jivani NB. A Clinicomorphological study of
childhood herpes zoster at a rural based tertiary center, Gujarat, India. Indian
Journal of Pediatric Dermatology. 2016; 17(4) :273-276.
4. Sinta S. Prevalensi dan profil herpes zoster di rumah sakit umum pusat
Sanglah Denpasar periode April 2015 sampai Maret 2016 (tesis). Universitas
Udayana.2017
5. Burns, Tony, Breathnach, Cox, et al, Rook’s textbook of Dermatology. 8nd ed.
Wiley Blackwell. 2010. 332-33,.
6. Schmidt SA, Kahlert J, Vestergaard M, Schonheyder HC, Sorensen HT.
Hospital-basedherpes zosterdiagnoses in Denmark: rate, patient
characteristics, and all-cause mortality.BMC Infect Dis. Mar 2016;16(99):1-9
7. Yawn BP, Wollan PC, Kurland MJ, St Sauver JL, Saddier P. Herpes
zoster reccurrences more frequent than previously reported. Mayo Clin
Proc. Dec 2011;86(2):88-93.

Anda mungkin juga menyukai