Anda di halaman 1dari 48

REFERAT

ANATOMI DAN PEMERIKSAAN FISIK


TELINGA, HIDUNG, TENGGOROKAN, KEPALA DAN LEHER

Disusun oleh :
Madihah Yasmine Rangkuti 160100190

PEMBIMBING:
dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU


KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan makalah berjudul ”Anatomi dan Pemeriksaan Fisik Telinga, Hidung,
Tenggorokan, Kepala, dan Leher”. Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik
Medan.
Dalam proses penyusunan makalah ini, penulis menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL (K) selaku dosen pembimbing
yang telah membimbing dan membantu penulis selama proses penyusunan makalah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan penulisan makalah di kemudian hari. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan bagi penulisan ilmiah di masa
mendatang.

Medan, Mei 2020

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Penguji

dr. Harry A. Asroel, Sp.THT-KL (K)


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...........................................................................................1

1.2 Tujuan penelitian........................................................................................1

1.3 Manfaat Penelitian…………………………………………………..........1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3


2.1 Anatomi Telinga.........................................................................................3

2.2 Anatomi Hidung………………………………………………………….14

2.3 Anatomi Faring………...………………………………………………..20

2.4 Anatomi Laring………………………………………………………….27

2.5 Pemeriksaan Fisik……………………………………………………….35

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................42


DAFTAR PUSTAKA............................................................................................43
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit telinga, hidung, dan tenggorok (THT-KL) sudah banyak terjadi di


masyarakat. Untuk dapat mengetahui tentang penyakit telinga, hidung, dan
tenggorok (THT-KL) ini seorang dokter harus lebih dahulu mengetahui anatomi dan
fisiologi dari masing-masing organ tersebut. Selain itu, juga harus diketahui
bagaimana cara pemeriksaan pada organ tersebut.
Selain telinga, hidung, dan tenggorok tentunya ada organ-organ lain yang tidak
kalah penting fungsinya. Salah satunya adalah kelenjar limfa atau yang biasa disebut
kelenjar getah bening. Sistem aliran limfa ini penting untuk dipelajari dan diketahui
oleh seorang dokter, karena hampir semua bentuk radang atau keganasan kepala dan
leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfa leher. Setelah mempelajari
makalah ini diharapkan dokter muda dapat mengetahui anatomi dan cara
pemeriksaan penyakit THT-KL sehingga diharapkan dapat membantu penegakkan
diagnosis penyakit-penyakitpada organ-organ telinga, hidung, dan tenggorok (THT-
KL).

1.2 Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan anatomi dari telinga, hidung, dan
tenggorok dan pemeriksaan fisik telinga, hidung, rongga mulut, faring, laring, dan
leher serta untuk melengkapi tugas di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan mengenai


anatomi dari telinga, hidung dan tenggorok serta melatih keterampilan untuk dapat
melakukan pemeriksaan fisik telinga, hidung, rongga mulut, faring, laring, dan leher.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


Telinga manusia merupakan organ pendengaran yang menangkap dan merubah bunyi
berupa energi mekanis menjadi energi elektris secara efisien dan diteruskan ke otak untuk
disadari serta dimengerti, sebagai sistem organ pendengaran (Irawati, 2012)

Telinga sebagai indera pendengar terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar,telinga tengah
dan telinga dalam. Struktur anatomi telinga seperti diperlihatkan pada gambar dibawah.

Gambar 2.1 Anatomi Telinga

2.1.1 Telinga Bagian Luar

Telinga luar berfungsi menangkap rangsang getaran bunyi atau bunyi dari luar. Telinga
luar terdiri dari daun telinga (pinna auricularis), saluran telinga (canalis auditorius externus)
yang mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar sebasea sampai di membran timpani
(Bellah, 2013).

a) Daun Telinga
Daun telinga terdiri atas tulang rawan elastin dan kulit. Bagian-bagian daun telinga
lobula, heliks, anti heliks, tragus, dan antitragus.Pinna adalah struktur menonjol yang
merupakan kartilago terbalut kulit. Fungsi utamanya adalah mengumpulkan dan menghubungkan
suara menuju meatus akustikus eksterna. (Bellah, 2013)
3

Gambar 2.2 Gambar telinga bagian luar

b) Saluran Telinga
Liang telinga atau saluran telinga merupakan saluran yang berbentuk seperti huruf S.
Pada 1/3 proksimal memiliki kerangka tulang rawan dan 2/3 distal memiliki kerangka tulang
sejati. Saluran telinga mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar lilin. Rambut-rambut
alus berfungsi untuk melindungi lorong telinga dari kotoran, debu dan serangga, sementara
kelenjar sebasea berfungsi menghasilkan serumen. Serumen adalah hasil produksi kelenjar
sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Kelenjar sebasea
terdapat pada kulit liang telinga. Saluran ini memiliki panjang sekitar 2,5 cm diameter lebih
kurang 0,5 cm (Richard S. Snell, 2011).

MAE dibagi menjadi dua bagian yaitu pars cartilage yang berada di sepertiga lateral dan
pars osseus yang berada di dua pertiganya. Pars cartilage berjalan ke arah posterior superior ,
merupakan perluasan dari tulang rawan daun telinga, tulang rawan ini melekat erat di tulang
temporal, dilapisi oleh kulit yang merupakan perluasan kulit dari daun telinga , kulit tersebut
mengandung folikel rambut, kelenjar serumen dan kelenjar sebasea. Kelenjar serumen
memproduksi bahan seperli lilin berwarna coklat merupakan pengelupasan lapisan epidermis,
bahan sebaseus dan pigmen disebut serumen atau kotoran telinga. Pars osseus berjalan ke arah
antero inferior dan menyempit di bagian tengah membentuk ismus. Kulit pada bagian ini
sangat tipis dan melekat erat bersama. Didapati glandula sebasea dan glandula seruminosa,
4

tidak didapatkan folikel rambut (Setyo Nugroho and Wiyadi, 2012).

Gambar 2.3 Gambar kelenjar pada liang telinga

c) Suplai darah dan Innervasi

MAE dialiri arteri temporalis superfisialis dan arteri aurikularis posterior serta arteri
aurikularis profundus. Darah vena mengalir ke vena maksilaris, jugularis eksterna dan pleksus
venosus pterygoid. Aliran limfe menuju ke lnn. aurikularis anterior, posterior dan inferior.
Inervasi oleh cabang aurikularis dari n. vagus dan cabang aurikulotemporalis dari n.
Mandibularis( Dhingra, 2018).

Gambar 2.4 Innervasi Telinga Luar

Untuk Innervasi telinga bagian luar terdiri dari:


1. Greater Auricular Nerve
Menyuplai sebagian besar bagian medial dari pinna dan bagian posterior lateral
2. Lesser Occipital Nerve
5

Menyuplai bagian atas dari medial pinna


3. Auriculotemporal
Menyuplai bagian tragus , crus of helix,serta bagian yang berdekatan dari helix.
4. Auricular branch of tragus
Biasa disebut Arnold’s Nerve mensuplai bagian concha
5. Facial Nerve
Menyuplai bagian concha dan retroauricular.

2.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah atau cavum tympani. Telinga bagian tengah berfungsi menghantarkan
bunyi atau bunyi dari telinga luar ke telinga dalam. Bagian depan ruang telinga dibatasi oleh
membran timpani, sedangkan bagian dalam dibatasi oleh foramen ovale dan foramen
rotundum. Pada ruang tengah telinga terdapat bagian-bagian sebagai berikut : (Khan and
Chang, 2013).

Gambar 2.5 Gambar Membran Timpani

Telinga tengah berbentuk kubus dengan :


- batas luar : membran timpani
- batas depan : tuba eustachius
- batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis)
- batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis
- batas atas : tegmen timpani (meningen/otak)
- batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
6

horizontal, kanalis fasialis, tinkgap lonjong (oval window), tingkap (round


window), dan promontorium.

a) Membran Timpani
Membran timpani berfungsi sebagai penerima gelombang bunyi. Setiap ada gelombang
bunyi yang memasuki lorong telinga akan mengenai membran timpani, selanjutnya membran
timpani akan menggelembung ke arah dalam menuju ke telinga tengah dan akan menyentuh
tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes. Suplai darah untuk kavum timpani
oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid, arteri petrosal superficial, arteri timpani
inferior.Tulang-tulang pendengaran akan meneruskan gelombang bunyi tersebut ke telinga
bagian dalam.(Luers and Hüttenbrink, 2016)

Membran timpani berbentuk kerucut dengan puncaknya disebut umbo , dasar Membran
timpani tampak sebagai bentukan oval. Membran timpani dibagi dua bagian yaitu pars tensa
memiliki tiga lapisan yaitu lapisan skuamosa, lapisan mukosa dan lapisan fibrosa. Lapisan ini
terdiri dari serat melingkar dan radial yang membentuk dan mempengaruhi konsistensi
membran timpani. Pars flasida hanya memiliki dua lapis saja yaitu lapisan skuamosa dan
lapisan mukosa.

Telinga tengah terdapat dua buah otot pada tulang pendengaran yaitu m. tensor timpani
dan m. stapedius. M tensor timpani berorigo di dinding semikanal tensor timpani dan
berinsersio di bagian atas tulang maleus, inervasi oleh cabang saraf trigeminus. Otot ini
menyebabkan membran timpani tertarik ke arah dalam sehingga menjadi lebih tegang dan
meningkatkan frekuensi resonansi sistem penghantar suara dan melemahkan suara dengan
frekuensi rendah. M. stapedius berorigo di dalam eminensia pyramid dan berinsersio di ujung
posterior kolumna stapes, hal ini menyebabkan stapes kaku, memperlemah transmini suara
dan meningkatkan resonansi tulang-tulang pendengaran. Kedua otot ini berfungsi
mempertahankan , memperkuat rantai osikula dan meredam bunyi yang terlalu keras sehingga
dapat mencegah kerusakan organ koklea.(Irawati, 2012)

b) Suplai Darah Membran Timpani dan Inervasi

Membran timpani bagian medial disuplai cabang arteri aurikularis posterior, lateral oleh
ramus timpanikus cabang arteri aurikularis profundus. Aliran vena menuju ke vena
maksilaris, jugularis eksterna dan pleksus venosus pterygoid. Inervasi oleh nervus aurikularis
cabang nervus vagus.(Setyo Nugroho and Wiyadi, 2012)
7

Suplai darah untuk kavum timpani oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid, arteri
petrosal superficial, arteri timpani inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran arteri dan
berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus pterygoideus.(Setyo Nugroho and
Wiyadi, 2012).

c) Tulang Pendengaran

Tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (tulang martil), incus (tulang
landasan) dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiga tulang tersebut membentuk rangkaian tulang
yang melintang pada telinga tengah dan menyatu dengan membran timpani.(Tortora and
Derrickson, 2014)

Gambar 2.6 Gambar tulang pendengaran

d) Tuba auditiva eustachius

Tuba auditiva eustachius atau saluran eustachius adalah saluran penghubung antara
ruang telinga tengah dengan rongga faring. Adanya saluran eustachius, memungkinkan
keseimbangan tekanan udara rongga telinga telinga tengah dengan udara luar.Saluran ini
memungkinkan tekanan di telinga tengah sama dengan tekanan atmosfer.Saluran ini hampir
selalu dalam keadaan tertutup.Apabila karena suatu hal tuba Eustachius tidak membuka,
perbedaan tekanan akan menyebabkan gendang telinga cekung(Tortora and Derrickson,
2014).

Gambar 2.7 Telinga Tengah

2.1.3 Telinga Bagian Dalam

Telinga bagian dalam (sering disebut labirin) merupakan organ penting untuk
pendengaran dan keseimbangan. Terdiri atas labirin tulang (labirin osseus) dan labirin
membran. Labirin membran berisikan cairan bening bernama endolimfe, sementara ruangan
antara labirin tulang dan labirin membran diisi oleh dengan perilimfe (Dhingra, 2018).
8

a) Labirin Tulang

Labirin tulang terdiri atas vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea.

Gambar 2.8 Struktur telinga bagian dalam (labirin tulang telinga kiri)

1. Vestibulum

Merupakan bagian tengah dari labirin tulang yang berbentuk ovoid dan
berukuran 5 mm. Berada di bagian medial dari telinga tengah, bagian lateral dari
meatus acusticus internus, bagian anterior dari kanalis semisirkularis dan bagian
posterior dari koklea. Memiliki struktur seperti dibawah ini:

a. Dinding lateral: memiliki tingkap oval


Tingkap oval (Fenestra vestibuli) berada di dinding bagian lateral vestibulum
dan tertutupi oleh basis dari tulang stapes (sanggurdi)
b. Dinding medial memiliki struktur seperti dibawah ini:
- Spherical recess: merupakan tempat bernaung sakulus
- Elliptical recess: merupakan tempat bernaung utrikulus
- Vestibular crest: memisahkan antara spherical recess dan elliptical recess
- Cochlear recess: merupakan tempat filamen nervus koklearis
- Opening of aqueduct of vestibule: berada di bawah elliptical recess
c. Bagian posterior: memiliki 5 bukaan untuk kanalis semisirkularis

2. Kanalis Semisirkularis

Terdiri atas 3 saluran setengah lingkaran: superior, lateral dan posterior. Setiap
saluran terlihat seperti 2/3 lingkaran dengan diameter 0.8 mm namun dengan
9

panjang yang berbeda. Bagian ujung menonjol dari setiap saluran disebut sebagai
ampulla.

Ukuran panjang dari setiap saluran terdiri atas:

a. Kanalis semisirkularis superior (15-20 mm)


b. Kanalis semisirkularis lateral (12-15 mm)
c. Kanalis semisirkularis posterior (18-22 mm)

3. Koklea

Berbentuk melingkar menyerupai rumah siput yang merupakan bagian anterior


dari labirin tulang dengan panjang 35 mm, tinggi dari basis ke apeks adalah 5 mm
dan lebar sekitar basisnya adalah 9 mm.

Gambar 2.9 Struktur koklea dalam potongan

a. Modiolus: merupakan bagian tulang pusat dimana koklea melingkar seperti


spiral. Basis dari modiolus mengarah langsung kepada meatus acusticus internus
dan merupakan tempat transmisi pembuluh darah dan saraf menuju koklea,
sedangkan apeks berada sejajar dengan otot tensor timpani.
b. Osseus spiral lamina: lapisan tulang tipis tempat melekat membrane basilar dan
membagi labirin tulang koklea menjadi 3 kompartemen, yaitu: scala vestibuli,
scala media (ductus cochlearis) dan scala tympani.
c. Rosenthal’s canal: tempat melekat spiral ganglion
d. Scala vestibuli: ruang bagian atas berisikan perilimfe yang letak nya diakhiri
oleh tingkap oval yang ditutupi oleh tulang stapes.
10

e. Scala tympani: ruang bagian bawah berisikan perilimfe yang diakhiri oleh
tingkap bundar.
f. Helicotrema: ruang berisikan perilimfe yang merupakan tempat komunikasi
antara scala vestibuli dan scala tympani.
g. Aqueduct of cochlea: tempat terhubungnya scala tympani dengan ruang
subarachnoid, yang diduga untuk meregulasi perilimfe dan tekanan pada labirin
tulang (Dhingra, 2018; Bansal, 2013).

Gambar 2.10 Hubungan antara cairan limfatik dengan cerebrospinal fluiz

b) Labirin Membran

Labirin membran berisikan endolimfe yang terdiri atas ductus cochlearis, utrikulus dan
sakulus, ductus semisircularis dan endolympatic duct and sac.

Gambar 2.11 Struktur telinga bagian dalam (labirin membran telinga kiri)
11

1. Ductus cochlearis

Disebut juga sebagai scala media atau membran koklea yang memiliki area sensori
bernama organ of Corti. Terdapat 3 bagian dari ductus cochlearis, yaitu:

a. Membran basilar: bagian tempat organ Corti (mengandung reseptor suara) berada
b. Membran Reissner’s/ membran vestibular: membran yang memisahkan scala
media dengan scala vestibuli
c. Stria vascularis: berperan dalam pembentukan endolimfe

Gambar 2.12 Potongan dari koklea (scala media)

Organ Corti terletak di atas membran basilaris yang mengandung organel penting
untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Struktur penting yang terdapat pada organ
Corti:

- Canalis corti: suatu saluran yang terletak diantara inner hair cells dan outer
hair cells
- Sel rambut: terdiri atas inner hair cells yang memiliki 1 lapisan dan outer hair
cells yang memiliki 3-4 lapisan
- Supporting cell atau Deiters’ cell: berada diantara outer hair cells
- Membran tectorial: menutupi bagian dari organ Corti

Ductus cochlearis dihubungkan dengan sakulus oleh ductus reuniens.

2. Utrikulus dan sakulus

Utrikulus berada pada bagian posterior dari labirin tulang, sementara sakulus juga
bagian dari labirin tulang yang beradai di bagian anterior dari utrikulus. Ukuran
12

utrikulus lebih besar jika dibandingkan dengan sakulus. Utrikulus dan sakulus
dihubungkan oleh ductus utriculosaccular.

3. Ductus semicircularis

Berjumlah dan berukuran sesuai dengan kanalis semisrikularis. Bagian ujung


ampulla dari setiap ductus mengandung punggung kecil yang mengalami penebalan
dari neuroepithelium yang disebut sebagai crista ampullaris.

4. Endolympatic duct and sac

Bagian yang terbentuk dari penyatuan dari sakulus dan utrikulus. Bagian ujung
dari endolympatic duct memberntuk endolympatic sac yang melebar bentuknya
(Dhingra, 2018; Tuli, 2013; Bansal, 2013; Hazarika et al, 2014).

c. Suplai Darah Labirin dan Inervasi

Seluruh bagian labirin menerima suplai arteri melalui arteri auditori internal
(labyrinthine) yang merupakan cabang dari anterior-inferior cerebellar artery yang berasal
dari arteri basilar. Arteri auditori internal terbagi menjadi 2 cabang, yaitu:

1. Anterior vestibular artery


Menyuplai bagian utrikulus serta kanalis semisirkularis bagian lateral dan superior
2. Common cochlear artery
Terbagi lagi menjadi 2 cabang, yaitu:
a. Main cochlear artery: menyuplai koklea (80%)
b. Vestibulocochlear artery
Terbagi lagi menjadi 2 cabang, yaitu:
- Posterior vestibular artery: menyuplai sakulus dan kanalis semisirkularis
bagian posterior
- Cochlear branch: menyuplai koklea (20%)
13

Gambar 2.13 Percabangan arteri labirin

Pembuluh darah vena terdiri atas internal auditory vein, vein of cochlear aqueduct dan
vein of vestibular aqueduct yang mengalir ke inferior petrosal dan sinus sigmoid.

Nervus vestibulum menyuplai bagian utrikulus, sakulus dan ampulla dari ductus
semisrcularis. Scarpa’s ganglion yang merupakan tempat serabut ini berasal, berada di meatus
acusticus internus lalu terbagi menjadi 3 cabang nervus, yaitu:

- Cabang superior menyuplai utrikulus dan ampulla dari kanalis semisirkularis bagian
anterior dan lateral
- Cabang inferior menyuplai sakulus
- Cabang posterior menyuplai ampulla dari kanalis semisirkularis bagian posterior

Sementara nervus koklearis terbagi atas banyak filament pada modiolus dan berakhir
pada inner hair cells dan outer hair cells. Cabang vestibular dari nervus koklearis menyuplai
bagian akhir vestibular dari ductus cochlearis. Nervus vestibulum dan nervus koklearis
menyatu dan membentuk nervus vestibulocochlearis (N. VIII) yang keluar bersamaan ke arah
meatus acusticus internus / internal auditory canal (Dhingra, 2018; Tuli, 2013; Bansal, 2013;
Hazarika et al, 2014).
14

2.2 ANATOMI HIDUNG

Hidung merupakan salah satu komponen dari sistem respirasi yang secara umum terdiri
dari dua bagian, yaitu hidung luar dan hidung bagian dalam (rongga hidung/kavum nasi).

2.2.1Hidung Luar
Berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah:
1. Pangkal hidung (Bridge)
2. Batang hidung (Dorsum nasi)
3. Puncak hidung (Tip)
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang Hidung (Nares anterior)

Gambar 2.14 Bagian-bagian hidung luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan
lubang hidung.

Kerangka tulang terdiri dari Os. Nasal, Prosesus frontalis os. Maxilla dan prosesus
nasalis os. Frontal. Kerangka kartilago terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang
terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alaris mayor) dan kartilago septum
nasi (Damayanti Soetjipto et.al., 2016).
15

Gambar 2.15 Kerangka tulang hidung (Lawrence E. Wineski, 2018)

2.2.2 Kavum Nasi (Rongga Hidung)


Berbentuk terowongan dan dipisahkan oleh septum nasi pada bagian tengah, sehingga
terbagi menjadi kavum nasi sebelah kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan bagian belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dan nasofaring.
Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah
lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan
orbita sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides. (Lawrence,
2018).
A) Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap
hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os
nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding
medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi
nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex
nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris
major. (Ballenger, 2009)
B) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka,
16

dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides


medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih
kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil adalah konka
suprema (Ballenger, 2009).

Gambar 2.16 Dinding lateral kavum nasi (P. L. Dhingra, 2017)

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan
superior. Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka os
spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid.
Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya terdapat celah
berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum.
Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya
bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara
sinus frontal. Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis (Lawrence, 2018).
17

C) Septum Hidung
Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os
vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid. Pada bagian depan septum
terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior,
a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s
area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.

Gambar 2.17 Anatomi septum hidung (Netter, 2016)

a. Vaskularisasi Rongga Hidung


Pada bagian anterior septum, terdapat anastomosis dari a. sphenopalatina, a.
palatina mayor, a. labialis superior dan a. etmoidalis anterior yang membentuk Pleksus
Kiesselbach atau Little’s Area. Pada bagian posterior, terdapat pleksus Woodruff yang
dibentuk oleh anastomosis dari a. sfenopalatina, a. nasalis posterior dan a. faringeal
ascendens (P. L. Dhingra, 2017).
18

Gambar 2.18 Vaskularisasi rongga hidung (P. L. Dhingra, 2017)


b. Inervasi Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum
selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Nervus olfaktorius turun
dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-
sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (P. L.
Dhingra, 2017).
19

Gambar 2.19 Inervasi hidung (P. L. Dhingra, 2017)

2.2.3 Anatomi Sinus Paranasalis

Sinus paranasalis merupakan kavum yang berisikan udara yang terletak di antara tulang-
tulang di dalam kepala. Secara klinis, sinus paranasalis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: (P.
L. Dhingra, 2017)

1. Golongan anterior
 Terdiri dari: sinus maksilaris, sinus etmoidalis anterior, dan sinus frontalis.
 Ostia dari sinus ini didapati dalam meatus medius.
 Pus dalam meatus medius mengalir ke vestibulum nasi.
2. Golongan Posterior
 Terdiri dari : sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis.
 Ostia dari sinus ini didapati dalam meatus superior.
20

 Pus dalam meatus superior mengalir ke dalam faring.

Gambar 2.20 Sinus paranasalis (Lawrence, 2018)

2.3 ANATOMI FARING

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong, dengan bagian
atas yang lebar dan sempit di bagian bawah. Kantong ini terletak mulai dari dasar tengkorak
dan bagian bawahnya menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Faring
terletak di belakang rongga hidung, rongga mulut, dan laring. Bagian depan dinding faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, rongga mulut melalui isthmus faucium,
dan laring melalui aditus laryngis. Faring juga berhubungan dengan cavitas timpani melalui
tuba auditiva (Wineski, 2018).
Panjang dinding faring posterior adalah 12-14 cm dengan lebar 3,5 cm pada bagian
dasarnya dan menyempit hingga mencapai 1,5 cm pada bagian pharyngoesophageal junction.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) membran mukosa, fascia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi menjadi nasofaring
(epifaring), orofaring (mesofaring) dan laringofaring (hipofaring) (Dhingra, 2017).
21

Gambar 2.21. Faring

Otot-otot dinding faring terdiri dari musculus constrictor pharyngis superior, medius, dan
inferior yang serabut-serabutnya berjalan melingkar (sirkular), dan musculus stylopharyngeus,
musculus salphingopharyngeus serta musculus palatopharyngeus yang serabutnya berjalan
memanjang (longitudinal) (Drake et al., 2015).

Gambar 2.22 Otot Konstriktor Faring


22

Pada bagian posterior, ketiga otot constrictor yang mengelilingi dinding faring berinsersi
pada sebuah pita fibrosa atau raphe faringeal yang terbentang dari tuberculum pharyngeus
pars basilaris os occipitale ke bawah sampai ke esofagus. Pada bagian anterior, ketiga otot ini
melekat pada tulang dan ligamen dari bagian lateral rongga hidung, mulut, dan laring. Ketiga
otot ini saling tumpang tindih sehingga berbentuk seperti kipas dengan tiap bagian bawahnya
menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang (Drake et al., 2015).
Kontraksi ketiga otot konstriktor akan mempersempit dinding faring. Ketika ketiga otot
berkonstriksi secara berurutan dari atas ke bawah, bolus makanan akan berpindah melalui
faring dan menuju ke esofagus. Semua otot konstriktor diinnervasi oleh ramus faringeal
nervus vagus (X) (Drake et al., 2015).
Bagian bawah musculus constrictor pharyngis inferior yang berasal dari kartilago krikoid
disebut musculus cricopharygeus. Serabut-serabut musculus crycopharyngeus berjalan
horizontal di sekeliling bagian paling bawah dan paling sempit faring, dan berfungsi sebagai
sphincter. Area pada dinding posterior faring diantara bagian atas musculus constrictor
pharyngis inferior yang tertekan dan bagian sphincter di sebelah bawah dinamakan Killian’s
dehiscence (Wineski, 2018).

Gambar 2.23 Otot Longitudinal Faring

Ketiga otot longitudinal dinding laring dinamakan berdasarkan tempat perlekatan


origonya. M. stylopharyngeus berasal dari processus styloideus os. temporal, M.
23

salpingopharyngeus berasal dari tulang rawan kartilago tuba fariongotimpani (salping adalah
istilah untuk "tuba"), and M. palatopharyngeus berasal dari palatum molle.
Ketiga otot longitudinal berfungsi untuk menarik dinding faring ke atas saat proses
menelan agar bolus makanan berpindah dari faring ke esofagus. M. stylopharyngeus
diinnervasi oleh nervus glossofaringeal (IX), M. salphingopharyngeus dan M.
palatopharyngeus diinervasi oleh nervus vagus (X) (Drake et al., 2015).

A. Nasofaring
Nasofaring terletak di atas palatum molle dan di belakang rongga hidung. Di dalam
submukosa atap terdapat kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsil faringeal.
Isthmus pharyngeus adalah lubang di dasar nasofaring di antara pinggir bebas palatum
molle dan dinding posterior faring. Pada dinding lateral terdapat muara tuba auditiva
berbentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. Recessus pharyngeus adalah lekukan kecil
pada dinding faring di belakang elevasi tuba. Plica salpingopharyngeal adalah lipatan
vertikal membran mukosa yang menutupi M. Salpingopharyngeus (Wineski, 2018).

B. Orofaring
Orofaring terletak dibelakang rongga mulut. Dasar dibentuk oleh sepertiga posterior
lidah dan celah antara lidah dan epiglotis. Pada garis tengah terdapat plica
glossoepiglotica mediana dan plica glossoepiglotica lateralis pada masing-masing sisi.
Lekukan kanan dan kiri dari plica glossoepiglotica mediana disebut vallecula (Wineski,
2018).
Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palatoglossus dan palatofaringeus
dengan tonsil palatina diantaranya. Arcus palatoglossus adalah lipatan membran mukosa
yang menutupi musculus palatoglossus. Celah di antara kedua arcus palatoglossus disebut
isthmus faucium dan merupakan batas antara rongga mulut dan faring. Arcus
palatopharyngeus adalah lipatan membran mukosa yang menutupi musculus
palatopharyngeus. Recessus di antara arcus palatoglossus dan palatopharyngeus diisi oleh
tonsil palatina (Wineski, 2018).

C. Laringofaring
Laringofaring terletak di belakang aditus laryngis. Dinding lateral dibentuk oleh
cartilago thyroidea dan membrana thyroidea. Recessus piriformis, merupakan cekungan
pada membrana mucosa yang terletak di kanan dan kiri aditus laryngis (Wineski, 2018).
24

Gambar 2.24. Mukosa Faring


Tonsil
Kumpulan jaringan limfoid di mukosa faring yang mengelilingi rongga hidung dan
mulut adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh. Kumpulan jaringan limfoid ini
membentuk massa yang berbeda-beda yang disebut tonsil. Tonsil terdapat di 3 area
utama, yaitu :
25

1. Tonsil faringeal, dikenal juga sebagai adenoid jika membesar, terletak di garis tegah
dari atap nasofaring.
2. Tonsil palatina, terdapat di setiap sisi orofaring antara arcus palatoglossus dan arcus
palatopharyngeal yang terletak pada bagian posterior isthmus oropharyngeal (tonsil
palatina dapat terlihat jika mulut pasien terbuka dengan lidah yang ditekan).
3. Tonsil lingualis, merujuk kepada kumpulan nodul limfoid pada 1/3 bagian posterior
lidah.

Nodul limfoid kecil juga terdapat di tuba pharyngotimpani dekat rongga nasofaring
dan bagian atas palatum molle (Drake et al., 2015).
Jaringan limfoid yang terdapat disekitar pintu masuk sistem respirasi dan pencernaan
membentuk sebuah cincin yang dinamakan cincin waldeyer. Bagian lateral cincin
dibentuk oleh tonsil palatina dan tonsil tubaria (jaringan limfoid di sekitar muara tuba
auditiva di dinding lateral nasofaring). Bagian atasnya dibentuk oleh tonsil faringeal yang
terdapat di atap nasofaring, dan bagian bawahnya dibentuk oleh tonsil lingualis yang
terdapat pada sepertiga bagian posterior lidah (Wineski, 2018).

Inervasi Faring
 Nasofaring : nervus maxillaris (V2)
 Orofaring : nervus glossopharyngeus (IX)
 Laringofaring : ramus laryngeus internus dari nervus vagus (X)

Vaskularisasi Faring
Bagian atas faring mendapat darah dari arteri faringeal ascendens, arteri palatina
ascendens, cabang-cabang tonsilar arteri facialis, cabang-cabang arteri maxillaris, dan
arteri lingualis. Semua pembuluh darah arteri ini berasal dari arteri karotid eksterna.
Bagian bawah faring mendapat darah dari cabang-cabang faringeal arteri thyroid
inferior, yang berasal dari trunkus thyrocervical arteri subclavia.
Vena faring membentuk pleksus, yang mengalir ke pleksus pterygoideus di dalam
fossa infratemporal secara superior dan ke vena facialis dan vena jugularis interna secara
inferior (Drake et al., 2015).
26

Gambar 2.25 Vaskularisasi Faring

Pembuluh Limfe Faring

Gambar 2.26 Vena dan Pembuluh Limfe Faring


27

Pembuluh limfe faring dialirkan langsung menuju ke nodus cervicalis profundi atau
tidak langsung melalui nodus retropharyngeal (antara nasofaring dan kolum vertebra),
paratracheal, dan nodus infrahyoid (Drake et al., 2015).

2.4 ANATOMI LARING

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan suatu
rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV –
VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Lokasi laring dapat
ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria
dewasa lebih menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s
apple atau jakun. Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang
berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago
krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra
cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior
ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-
otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid (Ballenger, 2009).

Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea di


sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid dihubungkan dengan
laring oleh membrana tiroidea. Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago,
ligamentum dan otot-otot (Ballenger, 2009).

Gambar 2.27 Kartilago Laring (Netter F, 2019)


28

2.4.1 Kartilago
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
 Kartilago Tiroidea, 1 buah
 Kartilago Krikoidea, 1 buah
 Kartilago Aritenoidea, 2 buah
2. Kartilago minor, terdiri dari :
 Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
 Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
 Kartilago Epiglotis, 1 buah

A. Kartilago Tiroidea
Merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding anterior dan lateral laring,
dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 sayap berbentuk seperti perisai
yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut
sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira
90 derajat dan pada wanita 120 derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid
notch atau incisura tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang
dihubungkan dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea lateralis, sedangkan di bagian
bawah membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan posterolateral
dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea. Dengan adanya
artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah
dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita suara,
ventrikel, otot-otot dan ligamenta, kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata
(Maqbool M, 2007).

B. Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan kartilago
hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alsanya terdapat di
belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit darpada bagian posterior.
Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu inferior
melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio krikoaritenoidea.
Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum krikotiroidea.
Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi emergensi atau krikotomi
29

atau koniotomi pada konus elastikus (Ballenger, 2009).

C. Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang kartilago
berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea,
sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi.

D. Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior aditus
laringeus. Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum
tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas
menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis
lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang
mendorong makanan ke sebelah menyebelah laring. (Maqbool M, 2007).

E. Kartilago Kornikulata
Merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan merupakan
kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika.

F. Kartilago Kuneiforme
Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil yang
terletak di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 2009).

2.4.2 Ligamentum

1. Ligamentum ekstrinsik , terdiri dari membran tirohioid, ligamentum tirohioid, ligamentum


tiroepiglotis, ligamentum hioepiglotis, ligamentum krikotrakeal

Gambar 2.28 Ligamentum Ekstrinsik Laring (Tucker, 1987)


30

2. Ligamentum intrinsik, terdiri dari membran quadrangularis, ligamentum vestibular, konus


elastikus, ligamentum krikotiroid media, dan ligamentum vokalis (Ballenger, 2009).

Gambar 2.29 Ligamentum Instrinsik Laring (Tucker, 1987)

2.4.3 Otot Laring

Otot-otot laring juga terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu otot-otot ekstrinsik dan
otot-otot instrinsik. Otot-otot ekstrinsik dibagi lagi menjadi otot-otot suprahioid (otot-otot
elevator laring) yang terdiri dari M. Stilohioideus, M. Milohioideus, M. Geniohioideus, M.
Digastrikus, M. Genioglosus, M. Hioglosus. Kemudian otot-otot infrahioid (otot-otot
depresor laring) yang terdiri dari M. Omohioideus, M. Sternokleidomastoideus, dan M.
Tirohioideus. Kelompok suprahioid berfungsi untuk menarik laring ke bawah, sedangkan
yang infrahioid menarik laring ke atas (Ballenger, 2009).

Gambar 2.30 Otot-otot laring (Netter F, 2019)

Bagian dari otot-otot instrinsik dikelompokkan lagi menjadi otot-otot aduktor (Mm.
Interaritenoideus transversal dan oblik, M. Krikotiroideus, M. Krikotiroideus lateral) yang
berfungsi menutup pita suara, otot-otot abduktor (M. Krikoaritenoideus posterior) yang
31

berfungsi untuk membuka pita suara, dan otot-otot tensor (M. Tiroaritenoideus, M. Vokalis,
dan M. Krikotiroideus) yang berfungsi menegangkan pita suara (Maqbool M, 2007).

2.4.4 Persendian Laring


1. Artikulasio Krikotiroidea
Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian posterior
kartilago krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamenta, yaitu : ligamentum
krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior. Sendi ini berfungsi untuk pergerakan rotasi
pada bidang tiroidea, oleh karena itu kerusakan atau fiksasi sendi ini akan mengurangi
efek m. krikotiroidea yaitu untuk menegangkan pita suara.
2. Artikulasio Krikoaritenoidea.
Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi posterior
cincin krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio krikotiroidea dan
mempunyai fasies artikulasio yang mirip dengan kulit silinder, yang sumbunya mengarah
dari mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta menyebabkan gerakan menggeser
yang sama arahnya dengan sumbu tersebut. Pergerakan sendi tersebut penting dalam
perubahan suara dari nada rendah menjadi nada tinggi.
3. Artikulasio Krikoaritenoidea.
Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi posterior
cincin krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio krikotiroidea dan
mempunyai fasies artikulasio yang mirip dengan kulit silinder, yang sumbunya mengarah
dari mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta menyebabkan gerakan menggeser yang
sama arahnya dengan sumbu tersebut. Pergerakan sendi tersebut penting dalam perubahan
suara dari nada rendah menjadi nada tinggi (Ballenger, 2009).

2.4.5 Rongga Laring


a. Aditus Laringeus
Pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk di anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika
ariepiglotika, posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m. aritenoideus.

b. Rima glottis
Di depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara prosesus vokalis
dan basis kartilago aritenoidea.
32

c. Vallecula
Terdapat diantara permukaan anterior epiglotis dengan basis lidah, dibentuk oleh plika
glossoepiglotika medial dan lateral.

d. Plika Ariepiglotika
Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago
epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata

e. Sinus Pyriformis (Hipofaring)


Terletak antara plika ariepiglotika dan permukaan dalam kartilago tiroidea

f. Incisura Interaritenoidea
Suatu lekukan atau takik diantara tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri

g. Vestibulum Laring
Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis, membrana kuadringularis, kartilago aritenoid,
permukaan atas proc. vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea

h. Plika Ventrikularis (pita suara palsu)


Yaitu pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea
untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal dari
selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya

i. Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus)


Yaitu ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel
terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita suara palsu dan
permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia dengan
beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara sejati,
disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring

j. Plika Vokalis (pita suara sejati)


Terdapat di bagian bawah laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum
vokalis dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per lima belakang
dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut
intercartilagenous portion. (P.L. Dhingra, 2017)
33

Gambar 2.31 Rongga Laring

2.4.6 Vaskularisasi Laring


Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior sebagai A.
Laringeus Superior dan Inferior.

Gambar 2.32 Vaskularisasi Laring (Netter F, 2019)


a) Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus membrana tirohioid
menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus pyriformis.
b) Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui area
Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor Faringeus
Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus Superior dan
memperdarahi otot- otot dan mukosa laring.
34

Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V. Tiroidea


Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.

2.4.7 Inervasi Laring

Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan Nn.
Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan. Cabang dari Nn. Laringeus
superior yaitu cabang interna yang bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus
piriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati. Cabang eksterna yang
bersifat motoris, mempersarafi M. Krikotiroid dan M. Konstriktor inferior (Maqbool M,
2007).

Gambar 2.33 Persarafan Laring (Netter F, 2019)

2.4.8 Sistem Limfatik


Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu :
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran
yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical superior profunda.
Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea, middle
jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem limfe
esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase karsinoma laring dan
menentukan terapinya (Ballenger, 2009 ; P.L. Dhingra, 2017).
35

2.5 PEMERIKSAAN FISIK


2.5.1. Pemeriksaan Fisik Telinga
Alat Alat Pemeriksaan Telinga
- Lampu kepala
- Suction, dengan tip suction segala ukuran
- Corong telinga
- Otoskop
- Aplikator (alat pelilit) kapas
- Pengait serumen
- Pinset telinga
- Nierbekken
- Spuit irigasi telinga
- Garpu tala 1 set(128Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz)
Melakukan Pemeriksaan Telinga untuk inspeksi liang telinga dan membrana timpani,
pergunakan spekulum telinga atau otoskop.Visualisasi terbaik pilih spekulum telinga ukuran
terbesar yang masih pas dengandiameter liang telinga pasien. Diameter liang telinga orang
dewasa adalah 7 mm,sehingga untuk otoskopi pasien dewasa, pergunakan spekulum dengan
diameter 5 mm,untuk anak 4 mm dan untuk bayi 2.5 – 3 mm. Lakukan pemeriksaan terhadap
kedua telinga. Bila telinga yang sakit hanya unilateral,lakukan pemeriksaan terhadap telinga
yang sehat terlebih dahulu (Adam et al.,2013).
Menggunakan otoskop : Otoskop dipegang menggunakan tangan yang sesuai dengan
sisi telinga yang akandiperiksa, misalnya : akan memeriksa telinga kanan, otoskop dipegang
menggunakantangan kanan. Otoskop dapat dipegang dengan 2 cara : seperti memegang pensil
atau seperti memegang pistol . Kedua teknik ini memastikan otoskop dan pasien bergerak
sebagai 1 unit (Adam et al.,2013).
a. Inspeksi telinga :untuk melihat kelainan pada telinga luar,meliputi :
1. Kulit daun telinga : Normal atau abnormal
2. Muara/lubang telinga : Ada atau tidak
3. Keberadaan telinga :
Besarnya : kecil, sedang, besar atau normal.
Adakah kelainan seperti hematoma pada daun telinga (cauliflower ear).
4. Liang telinga : Mengenal pars ossea, isthmus dan pars cartilaginea dari liang
telinga.Tanda-tanda radang keluar cairan atau tidak kelainan di belakang dan depan
36

b. Palpasi telinga :
Sekitar telinga : Belakang daun telinga
-Depan daun telinga
- Adakah rasa sakit atau tidak
c. Auskultasi :
Menilai adakah bising di sekitar liang telinga.
d. Tes Pendengaran
Meliputi :
Tes Bisik (whispered voice test)
Tes bisik dipergunakan untuk skrining adanya gangguan pendengaran
danmembedakan tuli hantaran dengan tuli sensorineural. Prosedurnya pasien duduk di kursi
pemeriksaan lalu Pemeriksa berdiri kurang lebih 60 cm di belakang pasien. Pemeriksa
membisikkan serangkaian angka dan huruf (dan meminta pasien untuk mengulangi urutan
kata dan huruf yang dibisikkan.Sebelum berbisik, sebaiknya pemeriksa mengeluarkan nafas
(ekspirasi maksilmal) secara perlahan supaya nafas pemeriksa tidak mengganggu suara
bisikan.Jika pasien dapat mengulang bisikan dengan benar, berarti tidak ada gangguan
pendengaran. Jika pasien tidak dapat mengulang rangkaian kata dan huruf yang dibisikkan,
ulangi pemeriksaan menggunakan kombinasi angka dan huruf yang lain. Dilakukan
pemeriksaan terhadap telinga kanan dan kiri, diawali dari telinga yang normal (tidak ada
gangguan pendengaran/ pendengaran lebih baik). Selama pemeriksaan, lubang telinga
kontralateral ditutupi dengan kapas. Telinga yang lain diperiksa dengan cara yang sama, tetapi
dengan kombinasi angka dan huruf yang berbeda.Pasien tidak mengalami gangguan
pendengaran jika pasien dapat mengulang dengan benar paling sedikit 3 dari 6 kombinasi
angka dan huruf yang dibisikkan(Adam et al.,2013).

Pemeriksaan Garpu Tala


Cara Menggetarkan Garpu Tala
a) Arah getaran kedua kaki garpu tala searah dengan kedua kaki garpu tala
b) Getarkan kedua kaki garpu tala dengan jari telunjuk dan ibu jari( kuku)
Tes Rinne
Prinsip : Membandingkan hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu
telinga
Garpu tala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid. Setelah tidak
terdengar, garpu tala dipindahkan dan dipegang kira-kira 2,5 cm di depan liang
37

telinga yang di periksa


Masih terdengar : Rinne (+), tidak terdengar : Rinne (-)

Tes Webber
Prinsip tes Weber : Membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan
penderita
Garpu tala digetarkan di linea mediana, dahi atau di gigi insisivus atas kemudian
tentukan bunyi .
- sama keras di kedua telinga
- terdengar lebih keras di salah satu telinga
Penilaiannya ada atau tidak ada lateralisasi
Interpretasi
- Lateralisasi ke telinga sakit ( tuli konduktif yang sakit)atau tidak ada lateralisasi
- Lateralisasi ke telinga sakit ( tuli konduktif yang sakit)

Tes Schwabach’s
Prinsip : Membandingkan hantaran tulang yang diperiksa dengan pemeriksa,
dimana pemeriksa harus normal
Garputala digetarkan, di letakkan di prosesus mastoid yang diperiksa, setelah
tidak terdengar bunyi garputala dipindahkan ke prosesus mastoid pemeriksa dan
sebaliknya.
Interprestasi :
- Schwabach memanjang artinya gangguan konduksi
- Schwabach memendek artinya gangguan sensorineural
- Schwabach sama artinya Normal (Adam et al.,2013).

2.5.2 Pemeriksaan Fisik Hidung


Pemeriksaan hidung diawali dengan melakukan inspeksi dan palpasi hidung bagian luar
dan daerah sekitarnya. Inspeksi dilakukan dengan mengamati ada tidaknya kelainan bentuk
hidung, tanda-tanda infeksi dan sekret yang keluar dari rongga hidung. Palpasi dilakukan
dengan penekanan jari-jari telunjuk mulai dari pangkal hidung sampai apeks untuk
mengetahui ada tidaknya nyeri, massa tumor atau tanda-tanda krepitasi.
Pemeriksaan rongga hidung terbagi menjadi 2, yaitu:
1. Rhinoskopi Anterior
38

Dilakukan melalui lubang hidung dengan menggunakan speculum hidung yang


disesuaikan dengan besarnya lubang hidung. Spekulum hidung dipegang dengan
tangan yang dominant. Spekulum digenggam sedemikian rupa sehingga tangkai bawah
dapat digerakkan bebas dengan menggunakan jari tengah, jari manis dan jari
kelingking. Jari telunjuk digunakan sebagai fiksasi disekitar hidung. Lidah speculum
dimasukkan dengan hati-hati dan dalam keadaan tertutup ke dalam rongga hidung. Di
dalam rongga hidung lidah speculum dibuka. Jangan memasukkan lidah speculum
terlalu dalam atau membuka lidah speculum terlalu lebar.
Pada saat mengeluarkan lidah speculum dari rongga hidung, lidah speculum
dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat untuk menghindari terjepitnya bulu-bulu hidung.
Yang diamati adalah struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari dasar
rongga hidung, konka-konka, meatus dan septum nasi, warna dan permukaan mukosa
rongga hidung, ada tidaknya massa, benda asing dan sekret.
Struktur yang terlihat pertama kali adalah konka inferior. Bila ingin melihat
konka medius dan superior, maka pasien diminta untuk tengadahkan kepala. Pada
pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum Molle, yaitu pergerakan
palatum molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf “ i “. Pada waktu
melakukan penilaian fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata
sejajar dengan dasar rongga hidung bagian belakang. Pandangan mata tertuju pada
daerah nasofaring sambil mengamati turun naiknya palatum molle pada saat pasien
mengucapkan huruf “ i ”. Fenomena Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di
dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat
kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini. Bila rongga hidung sulit diamati
oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon kapas efedrin yang dicampur
dengan lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk mengurangi edema
mukosa (Buku Panduan Kerja FK Unhas, 2017).

2. Rhinoskopi Posterior
Dilakukan melalui rongga mulut dengan menggunakan cermin nasofaring. Pasien
diminta untuk membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, 1/3 dorsal lidah ditekan
dengan menggunakan spatel lidah. Penekan yang dilakukan tidak terlalu keras pada
lidah dan tidak memasukkan spatel terlalu jauh hingga mengenai dinding faring oleh
karena hal ini dapat merangsang refleks muntah. Cermin nasofaring yang sebelumnya
telah dilidah apikan, dimasukkan ke belakang rongga mulut dengan permukaan cermin
39

menghadap ke atas. Diusahakan agar cermin tidak menyentung dinding dorsal faring.
Yang diperhatikan adalah struktur rongga nasofaring yang terlihat pada cermin mulai
dari septum nasi bagian belakang, ujung belakang konka inferior, medius dan superior,
adenoid (pada anak), ada tidak sekret yang mengalir melalui meatus, struktur lateral
rongga nasofaring : ostium tuba, torus tubarius, fossa Rossenmulleri. Selama
melakukan pemeriksaan, pasien diminta tenang dan tetap bernapas melalui hidung.
Pada penderita yang sangat sensitif, dapat disemprotkan anestesi lokal ke daerah faring
sebelum dilakukan pemeriksaan (Buku Panduan Kerja FK Unhas, 2017).

2.5.3 Pemeriksaan Sinus Paranasalis


Inspeksi dilakukan dengan melihat ada tidaknya pembengkakan pada wajah.
Pembengkakan dan kemerahan pada pipi, kelopak mata bawah menunjukkan
kemungkinan adanya sinusitis maksilaris akut. Pembengkakan pada kelopak mata atas
kemungkinan sinusitis frontalis akut. Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk pada gigi
bagian atas menunjukkan adanya Sinusitis maksilaris. Nyeri tekan pada medial atap
orbita menunjukkan adanya Sinusitis frontalis. Nyeri tekan di daerah kantus medius
menunjukkan adanya kemungkinan sinusitis etmoidalis (Buku Panduan Kerja FK Unhas,
2017).

2.5.4 Pemeriksaan Faring dan Rongga Mulut


 Pasang lampu kepala dan diarahkan ke rongga mulut
 Nilai keadaan bibir, mukosa rongga mulut, lidah dan gerakan lidah.
 Pegang spatula lidah dengan tangan kiri
 Tekan bagian tengah lidah dengan memakai spatula lidah
 Nilai ronggga mulut, dinding belakang faring, uvula, arkus faring, tonsil, mukosa pipi,
gusi dan gigi
 Keluarkan spatula lidah dari rongga mulut
 Palpasi daerah rongga mulut untuk menilai apakah ada massa, tumor, kista, dan lain-
lain (Adams et al., 2013)

Pemeriksaan Hipofaring dan Laring


 Pasang lampu kepala dan arahkan ke rongga mulut
 Pasien duduk lurus agak condong ke depan dengan leher agak fleksi
40

 Pegang kaca laring dengan tangan kanan lalu hangatkan dengan api lampu spiritus
 Sebelum kaca dimasukkan, suhu kaca di tes terlebih dahulu dengan menempelkan
pada kulit belakang tangan kiri pemeriksa
 Pasien diminta membuka mulut dan menjulurkan lidahnya sejauh mungkin
 Lidah dipegang dengan tangan kiri dengan memakai kain kasa dan ditarik keluar
dengan hati-hati
 Kaca laring dimasukkan ke dalam mulut mengggunakan tangan kanan dengan arah
kaca ke bawah, bersandar pada uvula dan palatum molle
 Pasien disuruh menyuarakan ”i....”
 Nilai gerakan pita suara abduksi dan daerah subglotis dengan menyuruh pasien untuk
inspirasi dalam (Adams et al., 2013)

2.5.5 Pemeriksaan Leher


Pemeriksaan leher terdiri dari inspeksi, palpasi, dan auskultasi.
Inspeksi
Kelenjar getah bening leher terletak di sepanjang bagian anterior dan posterior dari leher tepat
di bagian bawah dagu. Jika kelenjar getah bening cukup besar, dapat terlihat adanya
pembengkakan di bawah kulit dan lebih mudah lagi jika pembesarannya asimetris (akan lebih
mudah untuk melihat adanya pembesaran kelenjar getah bening jika hanya satu bagian saja
yang membesar).
Hal-hal yang harus diperhatikan pada inspeksi:
 Pembesaran kelenjar getah bening
 Skar bekas operasi (cancer exision)
 Massa yang jelas
Palpasi
Palpasi kelenjar getah bening harus menggunakan empat ujung-ujung jari karena ujung jari
adalah bagian yang paling sensitif. Palpasi dilakukan dengan membandingkan antara bagian
kiri dan kanan secara simultan, dari atas ke bawah dan dengan sedikit tekanan.
Pada palpasi thyroid yang normal didapatkan satu massa yang licin, keras dan bergerak
bila penderita menelan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksa berdiri dibelakang
penderita. Ujung-ujung jari kedua tangan diletakkan pada jaringan thyroid sedangkan trakea
memisahkan tangan pemeriksa. Kemudian penderita disuruh menelan dan thyroid
41

menggelincir diantara jari-jari tangan pemeriksa memberi kesan tentang besarnya, batasnya
dan keras lunaknya thyroid (Goldberg,2008)
Pembesaran thyroid dapat disebabkan oleh Graves disease, colloid goiter, cyste thyroid, dll.
Auskultasi
Auskultasi thyroid pada Graves disease didapat sistolik bruit. Bruit ini juga didapati pada
penyakit jantung dengan cardiac murmur yang dirambatkan melalui a.carotis. sistolik thrill
yang synchronous dengan bruit dapat diraba pada beberapa penderita.
Thyroid bruit dan thrill hampir pathognomonis Graves disease dan jarang didapati pada
colloid goiter dan penyakit thyroid yang lain (Bickley,L.S. 2008 ; Raylene, 2009).
42

BAB III
KESIMPULAN

Untuk dapat menegakkan diagnosis suatu penyakit atau kelainan di telinga, hidung
dan tenggorok diperlukan kemampuan melakukan anamnesis dan keterampilan
melakukan pemeriksaan organ-organ tersebut. Kemampuan ini merupakan bagian dari
pemeriksaan fisik bila terdapat keluhan atau gejala yang berhubungan dengan kepala
dan leher. Banyak penyakit sistemis yang bermanifestasi di daerah telinga, hidung atau
tenggorok demikian juga sebaliknya.

Daftar Pustaka
43

Adams, G.L., Boies,L.R., dan Hilger, P.A.,2013,’Boies:Buku Ajar Penyakit THT edisi ke
-6.Jakara:EGC

Ballenger, 2009, ‘Hidung dan Sinus Paranasal. In: Penyakit Telinga, Hidung,Tenggorokan,
Kepala, dan Leher’ Jilid I. Tangerang: Bina Rupa Aksara.

Bansal, M. 2013. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery. 1 st edition.
New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers.

Bellah, J. R. 2013. ‘Anatomy of the Ear’. doi: 10.1002/9781118997505.ch8.

Bickley,L.S. 2008. Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates Edisi 5. Jakarta: EGC

Dhingra, P.L., dan Dhingra, S. 2018. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck
Surgery. 7th edition. India : Reed Elsevier India.

Dhingra, P. L., 2017, ‘Anatomy of Nose. In: Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and
Neck Surgery’ 7th edition. India: Elsevier.

Dhingra, P. L., 2017, ‘Anatomy and Physiology of Pharynx. In: Diseases of Ear, Nose and
Throat & Head and Neck Surgery’ 7th edition. India: Elsevier. pp. 238

Dhingra, P. L., 2017, ‘Anatomy and Pphysiology of Pparanasal Sinuses. In: Diseases of
Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery’ 7th edition. India: Elsevier.

Drake, Richard L., Vogl, A. Wayne, Mitchell, Adam W. M., 2015, ‘Gray’s Anatomy for
Students’ 3th edition. Philadelphia : Elsevier Chruchill Livingstone. pp. 1042-51
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin 2017, ‘Buku Panduan Kerja Pemeriksaan Fisis
Telinga, Hidung dan Tenggorok’.

Goldberg, Charlie. 2008. Head and Neck Exam. University of California, San Diego.

Hazarika, P., Nayak, D.R., dan Balakrishnan, R. 2014. Textbook of Ear, Nose and Throat &
Head and Neck Surgery. 3rd edition. India : CBS Publishers & Distributors.

Irawati, L. 2012. ‘FISIKA MEDIK PROSES PENDENGARAN’, Majalah Kedokteran


Andalas. doi: 10.22338/mka.v36.i2.p155-162.2012.

Khan, S. and Chang, R. 2013. ‘Anatomy of the vestibular system: A review’,


NeuroRehabilitation. Edited by B. D. Greenwald and J. M. Gurley, 32(3), pp. 437–443.
doi: 10.3233/NRE-130866.

Luers, J. C. and Hüttenbrink, K. B. 2016. ‘Surgical anatomy and pathology of the middle ear’,
Journal of Anatomy. doi: 10.1111/joa.12389.

Maqbool, M., Maqbool S. 2007. Textbook of Ear, Nose, and Throat Disease. Eleventh ed.
New Delhi: EMCA House

Netter, F. H. 2019. Atlas of Human Anatomy. Seventh ed. Philladelphia: Elsevier


44

Raylene,M.R.; terj. D.Lyrawati. 2009. Prinsip dan Metode Pemeriksaan Fisik Dasar.

Richard S. Snell . 2011.‘Telinga’, Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem.

Setyo Nugroho, P. and Wiyadi, H. 2012. ‘Anatomi Dan Fisiologi Pendengaran Perifer’,
Jurnal THT-KL, 2(2), pp. 76–85.

Tuli, BS. 2013. Textbook of Ear, Nose and Throat. 2 nd edition. New Delhi : Jaypee Brothers
Medical Publishers.

Tortora, G. J. and Derrickson, B. 2014. Dasar Anatomi dan Fisiologi (Edisi 14), Wiley.

Wineski, Lawrence, 2018, ‘Nose. In: Snell’s Clinical Anatomy by Regions’. 10th edition.
Philadelphia : Wolters Kluwer.

Wineski, Lawrence, 2018, ‘Paranasal Sinuses. In: Snell’s Clinical Anatomy by Regions’.
10th edition. Philadelphia : Wolters Kluwer.

Wineski, Lawrence E., 2018, ‘Pharynx. In: Snell’s Clinical Anatomy by Regions’ 10th edition.
Philadelphia : Wolters Kluwer. pp. 1750-56

Anda mungkin juga menyukai