Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rinosinusitis
2.1.1 Pengertian
Rinosinusitis merupakan inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai
dengan dua gejala atau lebih, salah satunya termasuk hidung tersumbat atau obstruksi
atau kongesti disertai dengan nyeri wajah dan atau penurunan sensitivitas pembau
(European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps, 2012). Berdasarkan
waktu perjalanan penyakit rinosinusitis dibagi menjadi bentuk akut (< 4 minggu),
bentuk subakut (4-12 minggu), dan kronik (> 12 minggu) (Soepardi EA, 2012).
Rinosinusitis akut diawali dengan adanya infeksi virus dan biasanya sembuh
dalam waktu 7-10 hari tanpa terapi spesifik. Infeksi bakteri dengan gejala lebih dari
10 hari dan kondisi yang semakin memburuk setelah hari ke 5-7 dengan
perkembangan sekret yang semakin parah akan menjadi rinosinusitis akut (Elvia,
Irwan Kristyono, 2012).
Rinosinusitis kronis merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan adanya
peradangan pada seluruh mukosa dari hidung dan sinus paranasales dengan durasi
minimal 12 minggu (I Nyoman Gede Wardana, 2017).

Gambar 1. Rinosinusitis

1
2.1.2 Faktor Risiko
Seiring bertambahnya kasus rinitis alergi, maka kejadian rinosinusitis juga
akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh pembengkakan mukosa hidung pada rinitis
alergi di ostium sinus yang dapat mengganggu ventilasi bahkan menyumbat ostium
sinus yang mengakibatkan retensi sekret mukus dan infeksi (Susan Megawati Sibuea,
2013).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan rinosinusitis kronik meliputi faktor
host baik sistemik maupun lokal dan faktor lingkungan. Yang termasuk dalam faktor
host sistemik adalah imunodefisiensi, alergi, kelainan kongenital dan disfungsi
mukosiliar. Faktor yang termasuk host lokal yaitu kelainan anatomi. Sedangkan yang
termasuk dalam faktor lingkungan adalah infeksi virus dan bakteri, paparan bahan
iritan dan sebagainya. Rinosinusitis dapat menjadi bahaya karena dapat menyebabkan
komplikasi kelainan orbita dan intracranial, osteomyelitis dan kelainan paru. (Nurul
Lintang Amelia, Puspa Zuleika, Denny Satria Utama, 2017).
Sekresi dari anjing dan kucing merupakan allergen yang berpotensi besar
menjadi penyebab alergi. Disebabkan oleh protein yang terdapat pada saliva dan urin
pada hewan peliharaan akan menjadi sumber utama allergen. (Susan Megawati
Sibuea, 2013).

2.1.3 Alur Diagnosa


2.1.3.1 Anamnesis
Sangat diperlukan anamnesis yang teliti dalam menilai diagnosis rinosinusitis.
Hal ini sangat penting terutama pada rinosinusitis kronis seperti adanya penyebab
infeksi baik kuman maupun virus, riwayat alergi atau kelainan anatomis di dalam
rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Pada
rinosinusitis akut, gejala yang ada mungkin cukup jelas dikarenakan berlangsung
mendadak dan sering didahului infeksi akut saluran nafas atas. Penderita dengan latar
belakang alergi terutama dengan gejala klinis pilek sebelumnya, riwayat alergi dalam

2
keluarga serta adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi (Teuku Husni T.R.,
2016).

Gambar 2. Alur Terapi Rinosinusitis Akut

3
Gambar 3. Alur Terapi Rinosinusitis Kronis
2.1.3.2 Pemeriksaan Fisik
Pada rinosinusitis akut, yang dapat terlihat adalah adanya hiperemi dan daerah
sembab sekitar hidung dan orbita. Gejala ini lebih terlihat jelas pada anak, terutama
pada rinosinusitis akut berat atau dengan komplikasi. Kadang gejala nyeri tekan di
daerah sinus dapat ditemukan, akan tetapi nyeri tekan di sinus tidak selalu identic
dengan sinusitis (Teuku Husni T.R., 2016).
Salah satu pemeriksaan penting yang dilakukan adalah rinoskopi agar dapat
dijumpai adanya kelainan-kelainan di rongga hidung yang berkaitan dengan
rinosinusitis pada pemeriksaan rinoskopi anterior, seperti hiperemi, sekret, udem,
krusta, septum deviasi, polip atau tumor. Sedangkan pada pemeriksaan rinoskopi
posterior, melalui pemeriksaan ini dapat diketahui kelainan yang terdapat di belakang

4
rongga hidung dan nasofaring seperti post nasal drib dan lain-lain Teuku Husni T.R.,
2016).

2.1.3.3 Pemeriksaan Penunjang


Adapun beberapa pemeriksaan penunjang rinosinusitis yang dapat dilakukan,
yaitu: (Teuku Husni T.R., 2016).
1. Pemeriksaan Radiologis
Beberapa pemeriksaannya yaitu foto sinus paranasal (Water’s, Caldwel, dan
lateral), CT scan dan MRI. Foto sinus paranasal cukup informative pada RSA, akan
tetapi CT scan adalah pemeriksaan radiologis yang mempunyai nilai objektif yang
tinggi. Indikasi pemeriksaan menggunakan CT scan adalah untuk mengevaluasi
penyakit lebih lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi respon
seperti yang diharapkan.

Gambar 4. Pemeriksaan Radiologis

5
2. Transiluminasi
Pemeriksaan yang sederhana untuk menilai adanya kelainan pada sinus
maksila dan dapat memperkuat diagnosis rinosinusitis apabila terdapat perbedaan
hasil transiluminasi antara sinus maksila kiri dan kanan.

Gambar 5. Transiluminasi

3.Endoskopi Nasal
Merupakan pemeriksaan tambahan dalam memberi informasi tentang
penyebab rinosinusitis kronis. Dengan pemeriksaan endoskopi nasal ini, dapat
diketahui lebih jelas kelainan dalam rongga hidung, termasuk memeriksa ostium
sinus dan kelainan pada kompleks ostiomeatal.

6
Gambar 6. Endoskopi Nasal

Adapun gold standard untuk mendiagnosis rinosinusitis adalah dengan


melakukan aspirasi sinus dan pemeriksaan kultur sekret sinus, terutama diindikasikan
pada rinosinusitis yang tidak sembuh dengan pengobatan antibiotic multipel,
rinosinusitis dengan imunodefisiensi atau diabetes mellitus yang tidak terkontrol
(Beninger dan Gottschall, 2006).

2.1.4 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding rinosinusitis, yaitu:
1. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah suatu kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang
diperantai oleh IgE. Rinitis alergi dapat terjadi pada semua golongan umur, terutama
anak dan dewasa, namun berkurang dengan bertambahnya usia. Faktor herediter
mempengaruhi terjadinya rinitis alergi, sedangkan jenis kelamin, golongan etnis dan
ras tidak berpengaruh terhadap kejadian rinitis alergi (Rizqun Nisa, 2017).

7
2. Tumor Sinonasal
Merupakan tumor yang jarang ditemukan. Gejalanya hampir sama dengan
proses inflamasi daerah hidung dan sinus. Keganasan ini juga merupakan tumor yang
sulit untuk diobati sehingga prognosisnya sering buruk. Keadaan ini disebabkan oleh
lokasi anatomi hidung dan sinus paranasal yang berdekatan dengan struktur-struktur
vital seperti dasar tengkorak, otak, mata dan arteri karotis. Kontak dengan debu kayu
diketahui merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan keganasan ini.
Peningkatan risiko keganasan ini juga didapatkan pada pekerja pemumian nikel dan
pabrik pigmen kromat (Sukri Rahman, M. Abduh Firdaus, 2012).

3. Migrain
Migrain merupakan perasaan denyutan yang berat dan berkala pada suatu area
dari kepala. Ada dua tipe migrain yang umumnya terjadi , yaitu migrain tanpa aura
dan migrain dengan aura atau yang lebih dikenal dengan migrain yang umum terjadi.
Penyebab migrain umumnya disebabkan oleh beberapa faktor seperti hormon, nutrisi,
cuaca, stress, tekanan, emosional, masalah sensori (asap rokok, parfum), kurang tidur,
tidur berlebihan, kelelahan, dan aktivitas fisik (Teuku Samsul Bahri, Zulfazli, 2015).

2.1.5 Tatalaksana
Penatalaksanaan rinosinusitis tergantung dari jenis,derajat serta lama penyakit
masing-masing penderita. Pada RSA terapi medikamentosa merupakan terapi
utama,sedang pada RSK terapi bedah mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dari
pada medikamentosa (Teuku Husni T.R., 2016).
Beberapa terapi yang dapat diberikan pada penderita rinosinusitis, yaitu:
(Teuku Husni T.R., 2016).
A. Terapi Medikamentosa.
Terapi medikamentosa memegang peranan penting dalam penanganan
rinosinusitis. Tujuan terapi medikamentosa yang utama adalah untuk mengembalikan

8
fungsi drainase sinus. Pada dasarnya yang ingin dicapai oleh terapi medikamentosa
adalah kembalinya kondisi normal di dalam rongga hidung. Hal ini dapat dilakukan
dengan melakukan pelembaban (moisturizing,humidification) untuk
mengurangi/menghilangkan udem mukosa serta mengembalikan fungsi transpor
mukosiliar. Beberapa upaya diantaranya adalah : saline nasal spray, humidification
dan pemberian mukolitik.
1. Dekongestan
Obat dekongestan yang digunakan dalam pengobatan rinosinusitis pada
umumnya adalah perangsang reseptor α-adrenergik,yang dapat menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh kapiler mukosa rongga hidung sehingga mengurangi udem
dan menghilangkan sumbatan hidung serta mengembalikan patensi ostia sinus.
Dekongestan dapat diberikan dalam bentuk topikal maupun sistemik (oral).
Dekongestan topikal dapat diberikan dalam bentuk tetes maupun semprot hidung.
Penggunaan dibatasi tidak lebih dari 5 hari karena pemakaian jangka panjang dapat
menyebabkan timbulnya rinitis medikamentosa. Pemberian dekongestan sistemik
harus hati-hati dan sebaiknya tidak digunakan pada Penderita dengan kelainan
kardiovaskular, hipertiroid atau hipertropi prostat.

2. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal (semprot hidung) dilaporkan bermanfaat pada
pengobatan rinosinusitis akut maupun rinosinusitis kronis baik dengan atau tanpa
latar belakang alergi. Kortikosteroid topikal dapat mengurangi inflamasi dan
mengurangi sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung sehingga
mengurangi sekresi. Beberapa kortikosteroid yang tersedia dalam bentuk semprot
hidung diantaranya adalah : beklometason,flutikason,mometason. Kortikosteroid
sistemik banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronis dengan pembentukan polip atau
pada allergic fungal rhinosinusitis. Pada rinosinusitis akut mungkin bermanfaat untuk
menghilangkan udem dan mencegah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus.

9
Pengobatan jangka pendek cukup efektif dan aman,namun untuk jangka panjang
penghentian pengobatan harus dilakukan secara bertahap (tappering off).

3. Antihistamin
Pemberian antihistamin pada rinosinusitis akut masih kontroversial.
Antihistamin memang merupakan obat yang sangat efektif untuk mencegah serangan
alergi sehingga penggunaannya pada rinosinusitis hanya bermanfaat pada
rinosinusitis kronis dengan latar belakang alergi. Antihistamin klasik mempunyai
efek anti kolinergik yang mengurangi sekresi kelenjar. Dampak efek ini
menyebabkan mengentalnya mukus sehingga mengganggu drainase. Untuk
menghindari efek kolinergik dapat digunakan antihistamin generasi II (loratadin,
setirizin, terfenadin) atau turunannya seperti desloratadin, levosetirizin maupun
feksofenadin.

4. Antibiotik
Antibiotik merupakan terapi penting pada rinosinusitis akut berulang
disamping terapi medikamentosa lainnya. Untuk memilih antibiotik yang tepat perlu
pengetahuan tentang kuman penyebab serta kepekaannya terhadap antibiotik yang
tersedia. Berdasarkan kuman penyebab maka pilihan pertama antibiotik pada
rinosinusitis akut adalah amoksisilin (first line drugs),karena obat ini efektif terhadap
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae yang merupakan dua kuman
terbanyak ditemukan sebagai penyebab rinosinusitis akut berulang. Antibiotik harus
diberikan 10-14 hari agar dapat dicapai hasil pengobatan yang maksimal. Pilihan
antibiotik lainnya bisa digunakan seperti golongan kuinolon, sefiksim, sefdinir,
sefprozil dan sefuroksim dengan efektifitas klinik yang tidak jauh berbeda satu
dengan yang lainnya. Pilihan lain adalah golongan makrolid baru yang mempunyai
potensi antibakterial yang tinggi seperti klaritromisin, roksitromisin serta azitromisin
terutama untum penderita yang sensitif terhadap golongan betalaktam.

10
Antibiotik Anak (mg/kg/BB) Dewasa
Lini pertama
Amoksisilin 20 – 45 500
Kotrimoksazol 8 - 12 160 mg/800
Lini Kedua
Beta-laktam
Sefrozil 7,5 – 15 200 – 500 mg
Sefuroksimasetil 10 – 15 200 – 500 mg
Sefpodoksim proksetil 5 200 – 400 mg
Amoksisilin-klavulanat 40/10 500 mg
Tabel 1. Antibiotik untuk Rinosinusitis

B. Terapi Bedah.
Pada umumnya, rinosinusitis akut tidak memerlukan tindakan bedah, kecuali
beberapa kasus yang mengalami komplikasi atau tidak memberikan respon dengan
terapi medis yang tepat. Tindakan bedah bisa berupa irigasi sinus (antral lavage),
nasal antrostomy, operasi Caldwell-Luc dan Functional Endoscopic Sinus Surgery
(FESS).
1. Irigasi Sinus (Antral lavage).
Kegagalan sinus maksilaris untuk membersihkan sekret atau produk infeksi
dengan terapi medis yang adekuat mengakibatkan rusaknya mucociliary blanketatau
obstruksi pada ostium sinus. Hal ini mengakibatkan retensi mukopus dan produk
infeksi lain di dalam antrum. Pada kondisi ini irigasi sinus maksilaris akan
membuang produk-produk infeksi seperti jaringan nekrotik,kuman-kuman penyakit
dan debris yang terjadi. Juga dapat dilakukan pemeriksaan kultur dan sitologi.
Tindakan irigasi ini akan membantu ventilasi dn oksigenasi sinus. Tindakan irigasi
sinus dapat dilakukan melalui meatus inferior dengan menggunakan trokar bengkok
atau lurus.

11
Gambar 7. Irigasi Sinus
2. Nasal Antrostomy.
Indikasi tindakan ini adalah infeksi kronis, infeksi yang rekuren dan adanya
oklusi ostium sinus. Adanya lubang yang cukup lapang pada antrostomy
memungkinkan drainase secara gravitasi sehingga akan mengurangi infeksi, adanya
akses untuk antral lavage, serta dapat melakukan visualisasi ke dalam sinus yang
memungkinkan mengeluarkan jaringan nekrotik atau benda asing. Tindakan ini
biasanya dilakukan melalui meatus inferior, prosedur ini juga dikenal dengan naso
antral window dan dapat dilakukan secara lokal maupun general anestesi.

3. Operasi Caldwell-Luc.
Prinsip dari operasi ini yaitu membuka dinding depan sinus maksila pada
daerah fosa kanina (transbuccal antrostomy),dan membuat nasoantral window
melalui meatus inferior. Dengan cara ini memungkinkan visualisasi yang lebih baik
ke dalam sinus maksila,sehingga penilaian penyakit di antrum dapat lebih baik.
Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS). Konsep endoskopi untuk diagnosis dan

12
terapi operatif dari sinusitis rekuren didasarkan atas penemuan Messerklinger, bahwa
hampir semua infeksi pada sinus maksila dan frontal adalah rinogen dan merupakan
infeksi sekunder dari fokus yang terdapat pada selulae etmoidalis anterior,khusus di
daerah infundibulum etmoidalis dan resesus frontalis yang dikenal sebagai
ostiomeatal unit yang kemudian menyebar ke dalam sinus-sinus besar tersebut.
Indikasi tindakan FESS ini meliputi :
 Sinusitis akut rekuren atau kronis pada semua sinus paranasalis
 Poliposis nasi
 Mukokel pada sinus paranasalis
 Mikosis pada semua sinus paranasalis
 Benda asing
 Osteoma yang kecil
 Fistula liquorserebrospinalis dan meningoensefalokel

Gambar 8. Operasi Caldwell-Luc

13
2.1.6 Prognosis
Prognosis sinusitis akut akibat infeksi virus biasanya baik dengan 98% kasus
dapat sembuh sendiri. Sinusitis akibat jamur memiliki prognosis yang buruk bila
sudah ada keterlibatan intracranial dan orbita atau menimbulkan erosi tulang. Kasus
sinusitis akut yang tidak diberikan terapi yang adekuat dapat berubah menjadi
sinusitis kronis. Rinosinusitis dengan infeksi jamur atau disebut juga rinosinusitis
jamur adalah kondisi patologis pada sinus paranasal disertai inflamasi sinus yang
disebabkan oleh infeksi jamur. (Siska Indriany, Delfitri Munir, Andriana Yunita
Murni Rambe, Adlin Adnan, Rina Yunita, 2016).

2.1.7 Komplikasi
Ada beberapa klasifikasi komplikasi orbita menurut Chandler terdiri dari:
(Effy Huriyati, Bestari Jaka Budiman, Heru Kurniawan Anwar, 2015).
1. Selulitis periorbita
Peradangan pada kelopak mata yang ditandai dengan edema pada kelopak
mata.

2. Selulitis orbita
Peradangan dan edema sudah meluas ke orbita, ditandai dengan adanya
proptosis, kemosis dan gangguan pergerakan bola mata. Biasanya bisa meluas
menjadi abses orbita dan kebutaan.

3. Abses periorbita (abses subperiosteal)


Pembentukan dan pengumpulan pus antara periorbita dan dinding tulang
orbita, yang ditandai dengan proptosis dengan perubahan letak bola mata, gangguan
pergerakan bola mata dan penurunan visus.

14
4. Abses orbita
Terdapat pembentukan dan pengumpulan pus di orbita ditandai dengan
optalmoplegi, proptosis dan kehilangan penglihatan

5. Trombosis sinus kavernosus


Terjadi perluasan infeksi ke sinus kavernosus yang ditandai dengan proptosis,
optalmoplegi, kehilangan penglihatan disertai perluasan tanda infeksi ke mata yang
sehat dan tanda-tanda meningitis.

15
Daftar Pustaka

Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Baroody F, Thomas M, Kowalski M, et


al. 2012. European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps.
Rhinology 50(23):1-298

Soepardi EA. 2012. Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher.
Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (eds). Buku ajar
ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Ed 6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 1-6

Teuku Husni T.R. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Conference paper. 2016.
Divisi Rinologi, Bagian Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher. 1-7.

Elvia, Irwan Kristyono. 2012. Rinosinusitis Akut Dengan Komplikasi Abses


Periorbita. Jurnal THT-KL, Vol. 5, No. 3, hlm. 148 – 158.

I Nyoman Gede Wardana . 2017. Rhinosinusitis Kroni. Universitas Udayana


Denpasar.

Susan Megawati Sibuea. 2013. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian


Rinosinusitis Pada Penderita Rinitis Alergi. Jurnal Media Medika.

Nurul Lintang Amelia, Puspa Zuleika, Denny Satria Utama. 2017. Prevalensi
Rinosinusitis Kronik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Majalah
Kedokteran Sriwijaya, Nomor 2.

16
Siska Indriany, Delfitri Munir, Andrina Yunita Murni Rambe, Adlin Adnan, Rina
Yunita, Sorimuda Sarumpaet. 2016. Proporsi Karakteristik Penderita
Rinosinusitis Kronis dengan Kultur Jamur. Vol. 46 No. 1.

Rizqun Nisa. 2017. Kejadian Rinitis Alergi dengan Komplikasi Otitis Media Akut
Pada Anak Usia 5 Tahun. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung J
Medula Unila. Volume 7. Nomor 1. 54.

Sukri Rahman, M. Abduh Firdaus. 2012. Tumor Sinus Paranasal Dengan Perluasan
Intrakranial dan Metastasis ke Paru. Jurnal Kesehatan Andalas; 1(3).

Teuku Samsul Bahri, Zulfazli. Faktor-faktor Penyebab dan Jenis Migrain Pada
Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Tahun 2014. Vol.
VI. No. 1.

Effy Huriyati, Bestari Jaka Budiman, Heru Kurniawan Anwar. 2015. Rinosinusitis
Kronis dengan Komplikasi Abses Periorbita; 4(1).

17

Anda mungkin juga menyukai