“EROSI KORNEA”
Oleh :
Widya Ika Zulisna
2111901051
Pembimbing :
dr. Kaherma Sari, Sp.M
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang berjudul “Erosi
Kornea” yang diajukan sebagai persyaratan untuk mengikuti kepaniteraan klinik senior bagian
Ilmu Penyakit Mata RSUD Tengku Rafi’an Siak Program Studi Profesi Dokter Universitas
Abdurrab Pekanbaru.
Penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing dr. Kaherma
Sari, Sp.M, atas bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Mata
RSUD Tengku Rafi’an Siak sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih terdapat banyak
kekurangan serta jauh dari kesempurnaan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan
penulis. Oleh karenanya, penulis memohon maaf atas segala kekurangan serta diharapkan kritik
dan saran yang membangun dalam rangka perbaikan penulisan laporan kasus. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak demi perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan.
Demikian yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................................2
2.1 Anatomi dan fisiologi kornea.......................................................................................................2
2.2 Definisi Erosi Kornea..................................................................................................................4
2.3 Epidemiologi...............................................................................................................................4
2.4 Etiologi........................................................................................................................................4
2.5 Patofisologi..................................................................................................................................5
2.6 Manifestasi Klinis........................................................................................................................6
2.7 Diagnosis.....................................................................................................................................6
2.8 Diagnosis Banding.......................................................................................................................7
2.9 Penatalaksanaan...........................................................................................................................7
2.10 Prognosis.....................................................................................................................................8
BAB III STATUS PASIEN......................................................................................................................9
3.1 Identitas Pasien............................................................................................................................9
3.2 Anamnesis...................................................................................................................................9
3.3 Pemeriksaan Fisik......................................................................................................................10
3.4 Diagnosis kerja..........................................................................................................................11
3.5 Diagnosis banding.....................................................................................................................11
3.6 Pemeriksaan penunjang.............................................................................................................11
3.7 Penatalaksanaan.........................................................................................................................11
BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................................................................12
BAB V KESIMPULAN..........................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................13
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma tumpul biasanya terjadi karena aktivitas sehari-hari ataupun karena olah raga.
Biasanya benda-benda yang sering menyebabkan trauma tumpul berupa bola tenis, bola
sepak, bola tenis meja, shuttlecock dan lain sebagiannya. Trauma tumpul dapat bersifat
counter coupe, yaitu terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan pada arah horizontal di sisi
yang bersebrangan sehingga jika tekanan benda mengenai bola mata akan diteruskan sampai
dengan makula. Trauma mata merupakan kerusakan yang mengenai jaringan mata. Jaringan
mata yang dapat mengalami trauma adalah jaringan palpebra, konjungtiva, kornea, uvea,
lensa, retina, papil saraf optik, dan orbita. Penyebab trauma mata dari satu negara dengan
negara lain berbeda dan bahkan didalam wilayah dinegara yang sama pun bisa bervariasi.
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan
oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi kornea dapat terjadi tanpa cedera pada membran
basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan
menutupi defek epitel tersebut. Pada erosi kornea pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi
merusak kornea yang mempunyai serat sensible yang banyak, mata berair, dengan
blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang
keruh. Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewamaan
fluoresein akan berwama hijau. Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi
yang timbul kemudian.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
a) Epitel
Tebalnya 50μm, terdiri dari sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang
tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng,
sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal
didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, eltrolit, dan glukosa yang merupakan barier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
b) Membran bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis
ini tidak memiliki daya regenerasi
c) Stroma
Menyusun 90% ketebalan kornea.
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan yang lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
2
sedangkan dibagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya
kembali serat kolagen hingga 15 bulan. Keratosit merupakan sel stuma
kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen
stroma.diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.
d) Membran descement
Merupakan membran aseluler dan merupakan Batas belakang strorna kornea,
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalanya. Bersifat sangat elastic
dan berkembang tems seumur hidup, mempunyai tebal 40μm.
e) Endotelium
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, besar 20-40μm.
Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf silier longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus berjalansupra koroid, masuk kedalam
stroma kornea, menembus membrana bawman melepaskan selubung schwannya. Bulbus
krause untuk sensasi dingin ditemukan diantaranya. Daya regenerasi saraf sesudah
3
dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. Sumber nutrisi kornea adalah
pembuluh-pembuluh darah limbus, humour aquos dan air mata. Kornea superfisial juga
mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh
strukturnya seragam, avaskularitanya dan degenerasinya.
2.3 Epidemiologi
Erosi kornea adalah cedera mata yang paling umum dan sangat umum di kalangan
orang-orang yang memakai lensa kontak. Meskipun erosi kornea mencapai sekitar 10 %
dari keadaan darurat mata, kejadian diperkirakan bervariasi menurut populasi dan
tergantung pada bagaimana mereka didefinisikan dan kegiatan yang terlibat dalam
mekanisme cedera. Insiden cedera tanpa penetrasi pada mata yang meliputi erosi kornea
sekitar 1.57 % per tahun. Insiden erosi kornea lebih tinggi di antara orang usia kerja
karena orang-orang muda lebih aktif daripada orang tua; Namun, orang-orang dari segala
usia dapat memiliki resiko terkena erosi kornea. Pekerja otomotif antara usia 20 dan 29
tahun memiliki insiden tertinggi cedera mata.
2.4 Etiologi
Potensi penyebab erosi kornea meliputi:
1. Cedera akibat benda tumpul
2. Hembusan debu, pasir
3. Lensa kontak dengan penggunaan lama
4. Benda asing pada kelopak mata bawah
5. Pasien tidak sadar, luka karena kecelakaan oleh pekerja perawatan kesehatan
6. Benda asing kornea
7. Keratitis
8. Cedera margo kelopak mata dan avulsi
9. Laserasi pada kanalikuli dan pungtal
4
2.5 Patofisologi
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengarah lingkungan, oleh
sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air
mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta
kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.
Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke
dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan
Bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi
termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Streptococcus pneumoniae adalah merupakan
patogen kornea bakterial; patogenpatogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat
atau pada host yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di
kornea.
Ketika patogen telah menginvasi jaringan melalui lesi kornea superficial, beberapa
rantai kejadian tipikal akan terjadi:
- Lesi pada kornea
- Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi stroma kornea
- Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen
- Hasilnya, akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi patogen
akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrat kornea
- Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)
- Patogen akan menginvestasi seluruh kornea
- Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membrana Descement
yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele, yang di mana hanya
membrana Descement yang intak.
- Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membarana Descement terjadi
dan humor aquous akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan
merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan
gejala penurunan Virus progresif dan bola mata akan menjadi lunak.
5
2.6 Manifestasi Klinis
Pada erosi kornea, yang didapatkan adanya riwayat trauma tumpul dengan gejala-
gejala seperti rasa nyeri pada mata, fotopobia, rasa mengganjal, blefarospasme,
pengeluaran air mata berlebihan dan visus yang menurun. Pada pemeriksaan slit lamp
adanya defek yang terjadi pada lapisan epitel bersamaan dengan adanya edema kornea.
Pada kasus berat, dengan edema yang berat harus diperhatikan pada lapisan membran
descemen juga. Dengan tes Fluoresensi,daerah defek/erosi dapat dilihat pada daerah yang
berwarna hijau. Riwayat pasien biasanya meliputi trauma pada mata baik karena benda
asing atau lensa kontak. Gejala biasanya dimulai segera setelah trauma terjadi dan dapat
berlangsung menit ke hari, tergantung pada ukuran dari erosinya. Gambaran klinis
biasanya unilateral ketika erosi kornea berhubungan dengan trauma. Mungkin bilateral
jika dikaitkan dengan penyakit diwariskan atau distrofi Ketajaman visual harus dinilai.
Jika erosi mempengaruhi sumbu visual, mungkin ada defisit dalam ketajaman yang harus
jelas bila dibandingkan dengan mata terluka. Jika pemeriksaan dibatasi oleh rasa sakit,
anestesi topikal seperti tetrakain atau proparacaine dapatdigunakan. Jumlah anastesi yang
digunakan harus minimal, karena agen ini biasanya akan memperlambat penyembuhan
luka.
2.7 Diagnosis
Pada erosi kornea, diagnosa dapat ditegakkan dengan melakukan ananmesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan dengan tes fluoresensi. Erosi kornea sering kali
diawali dengan trauma pada mata. Segera sesudah trauma atau masuknya benda asing,
penderita akan merasa sakit sekali, akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat
sensibel yang banyak, mata berair, fotofobia dan penglihatan akan terganggu oleh media
yang keruh. Dapat pula disertai dengan blefarospasme, yaitu kelopak mata menjadi kaku
dan sulit dibuka. Pada penderita ini didapatkan riwayat trauma mata disertai dengan
keluhan sakit, mata merah, dan pandangan kabur.
1. Pada anamnesis yang didapatkan adanya riwayat trauma tumpul dengan gejala-
gejala
- rasa nyeri pada mata
- fotopobia dan visus yang menurun
- rasa mengganjal
6
- blefarospasme
- pengeluaran air mata berlebihan
2. Pemeriksaan Fisik
- Pada pemeriksaan slitlamp ditemukan adanya defek yang terjadi pada lapisan
epitel disertai dengan edem kornea
- Pada kasus berat yang disertai edem harus diperhatikan kerusakan pada
membran descement
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu dengan uji fluoresens. Hasil uji
menunjukan terlihatnya defek atau erosi pada daerah yang berwarna hijau.
2.9 Penatalaksanaan
Pasien dengan erosi kornea perlu mendapatkan antibiotik untuk mencegah adanya
infeksi, seperti antibiotik spektrum luas yaitu neosporin, kloramfenikol, sulfastamid dan
7
floxa tetes mata. Untuk mengurangi rasa sakit dan mengistirahatkan mata dapat diberikan
sikloplegik aksi pendek seperti tropikamida. Dilakukan bebat tekan selama 24 jam. Erosi
yang kecil biasanya akan kembali setelah 48 jam.
2.10 Prognosis
Prognosis biasanya baik jika tidak terjadi jaringan parut atau vaskularisasi pada kornea.
Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan meninggalkan gejala sisa.
Pada pengobatan topikal umumnya dengan prognosis yang baik. Penyembuhan pada
lapisan kornea ini dapat terjadi dalam beberapa hari.
8
BAB III
STATUS PASIEN
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Mata kiri merah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien laki-laki berusia 30 tahun datang ke poli mata RSUD Tengku Rafi’an
Siak dengan keluhan mata sebelah kiri merah sejak 3 minggu yang lalu. Pasien
mengatakan bahwa mata sebelah kiri terkena sampah saat bekerja. Mata menjadi
merah, berair, belekan, terasa silau dan terjadi penurunan penglihatan. Sebelumnya
pasien mengobati dengan obat tetes rohto dan chloramfenicol dan keluhan sedikit
berkurang.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Belum pernah mengalami trauma mata sebelumnya
- HT : (-), DM : (-), Kolesterol : (-)
Riwayat Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa
- HT : (ayah), DM : (-), Kolesterol : (-)
Riwayat Pengobatan :
Pasien memberikan obat tetes mata rohto dan diberikan cloramfenikol,
keluhan yang dirasakan pasien berkurang
9
Riwayat Trauma :
Pasien mengaku mata terkena sampah saat bekerja
Sosial Dan Kebiasaan :
Petani sawit, kadang merokok dan sering konsumsi teh
BULBUS Gerakan bola mata normal (+) Gerakan bola mata normal(+)
OKULI
PEMERIKSAAN SLIPLAMP
10
- Entropion (-) - Entropion (-)
- Ektropion (-) - Ektropion (-)
- Pseudoptosis (-) - Pseudoptosis (-)
KONJUNGTIVA
TARSALIS
Tidak Hiperemis Tidak Hiperemis
SUPERIOR
KONJUNGTIVA
TARSALIS
Tidak Hiperemis Tidak Hiperemis
INFERIOR
11
- Warna : coklat - Warna : coklat
PEMERIKSAAN
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
FUNDUSKOPI
PEMERIKSAAN
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
TONOMETRI
12
- Uji fluoresensi (tidak dilakukan)
3.7 Penatalaksanaan :
- Levofloxacin 1 gtt/2 jam OS
- Cendolyteers 1 gtt/2 jam OS
- Balut tekan 24 jam
13
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki berusia 30 tahun datang ke poli mata RSUD Tengku Rafi’an Siak
dengan keluhan mata sebelah kiri merah sejak 3 minggu yang lalu. Pasien mengatakan bahwa
mata sebelah kiri terkena sampah saat bekerja. Mata menjadi merah, berair, belekan, terasa
silau dan terjadi penurunan penglihatan. Sebelumnya pasien mengobati dengan obat tetes
rohto dan chloramfenicol dan keluhan sedikit berkurang.
Pada hasil anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi, ditemukan pada mata kiri bahwa
pasien memiliki riwayat trauma terkena sampah sejak 3 minggu yang lalu dan diikuti mata
merah, berair, belekan, silau dan penurunan visus. Selanjutnya pada pemeriksaan oftalmologi
terdapat jaringan fibrovaskular pada konjungtiva bulbi dextra sedangkan pada konjungtiva
sinistra ditemukan adanya hiperemis, injeksi konjungtiva dan jaringan fibrovaskular. Pada
pemeriksaan slitlamp tampak defek pada kornea. Pada pasien dilakukan pemeriksaan visus
dengan mata kanan 6/6 dan mata kiri 6/60.
Dari riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan didapatkan
diagnosis banding yaitu keratitis dan ulkus kornea. Pada keratitis terdapat radang pada kornea
yang biasanya sesuai dengan lapisan kornea yang terinfeksi. Pada kerartisis ditemukan marah
merah yang juga ditemukan pada erosi kornea, sakit pada mata, penglihatan kabur yang
hampir mirip erosi kornea. Pada uveitis keluhan yang timbul yaitu mata sakit, fotofobia, mata
merah, visus turun dengan hiperlakrimasi.
Terapi yang diberikan kepada pasien adalah diberikan antibiotik spektrum luas, yang
mana riwayat pengobatan sebelumnya sudah diberikan kloramfenikol dan diberikan
antibiotik lanjutan yaitu Levofloxacin 1 gtt/2jam OS. Pemberian antibiotik berguna untuk
mencegah terjadi infeksi sekunder. Selanjutnya pasien diberikan artificial tear yaitu
Cendolyteers 1 gtt/2jam OS, obat tetes ini sebagai pelembab dan dapat menyebabkan epitel
sekitarnya bermigrasi dengan cepat untuk menutupi defek epitel tersebut. Pemberian
artificial tear memberikan nutrisi yang merekatkan hubungan antar sel melalui desmosom
14
yang dapat mempercepat penyembuhan dari erosi kornea dan diberikan balut tekan untuk
imobilisasi palpebra dan mengurangi risiko pergesakan yang dapat memperparah erosi.
Prognosis pada erosi kornea biasanya baik jika tidak terjadi jaringan parut atau
vaskularisasi pada kornea. Bila tidak diobati, penyakit ini berlangsung 1-3 tahun dengan
meninggalkan gejala sisa. Pada pengobatan topikal umumnya dengan prognosis yang baik.
Penyembuhan pada lapisan kornea ini dapat terjadi dalam beberapa hari.
BAB V
KESIMPULAN
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan
oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi kornea dapat terjadi tanpa cedera pada membran
basal. Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi dengan cepat dan
menutupi defek epitel tersebut. Pada erosi kornea pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi
merusak kornea yang mempunyai serat sensible yang banyak, mata berair, dengan
blefarospasme, lakrimasi, fotofobia, dan penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang
keruh. Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewamaan
fluoresein akan berwama hijau. Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanya infeksi
yang timbul kemudian.
Penegakan diagnosis erosi kornea perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Erosi kornea dapat diagnosis banding dengan keratitis dan uveitis.
Tatalaksana erosi kornea dengan memberikan antibiotik untuk mencegah adanya infeksi,
seperti antibiotik spektrum luas yaitu neosporin, kloramfenikol, sulfastamid dan floxa tetes
mata. Untuk mengurangi rasa sakit dan mengistirahatkan mata dapat diberikan sikloplegik
aksi pendek seperti tropikamida. Dilakukan bebat tekan selama 24 jam. Erosi yang kecil
biasanya akan kembali setelah 48 jam.
15
DAFTAR PUSTAKA
16