Anda di halaman 1dari 21

REFERAT
ABLASIO RETINA

Disusun Oleh:

Sana Ghita Fauziah

G4A019033

Pembimbing:

Dr. dr. Muhamad Rifqy Setyanto Sp.M (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2021

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
ABLASIO RETINA

Oleh:
Sana Ghita Fauziah
G4A019033

Disusun dan diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan


untuk mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Jurusan Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto

Telah diterima dan disahkan pada


Purwokerto, .... Agustus 2021

Pembimbing

Dr. dr. Muhamad Rifqy Setyanto Sp.M (K)


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 5

1. Anatomi .................................................................................................................. 5
2. Definisi ................................................................................................................... 6
3. Etiologi ................................................................................................................... 6
4. Patogensis .............................................................................................................. 7
5. Klasifikasi .............................................................................................................. 8
6. Diagnosis ................................................................................................................ 12
7. Diagnosis Banding ................................................................................................. 15
8. Tatalaksana ............................................................................................................. 15
9. Prognosis ................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 21

   
 

BAB I
PENDAHULUAN
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor untuk
menerima rangsangan cahaya. Retina merupakan bagian jaringan yang sangat tipis,
tebalnya hampir setengah millimeter, melapisi bagian dalam bola mata. Retina berbatas
dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina. Antara retina dan epitel pigmen retina
terdapat rongga potensial yang bisa mengakibatkan retina terlepas dari epitel pigmen
retina. Hal ini yang disebut sebagai ablasio retina (Ilyas, 2012).
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina
dengan dari sel pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch. Lepasnya retina
mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang jika berlangsung
lama akan mengakibatkan gangguan fungsi menetap. Ablasio retina mempunyai 3 jenis
yaitu Ablasi retina regmatogenosa, Ablasi retina eksudatif, dan ablasi retina traksi. Jenis
ablasio yang paling sering terjadi dari ketiga tipe tersebut adalah ablasio regmatogenosa.
Juga merupakan salah satu kasus emergensi oftalmologi karena dapat menyebabkan
kebutaan jika tidak ditangani dengan segera (Ilyas, 2012).
Pada dasarnya ablasio retina adalah suatu kelainan mata bilateral, sehingga harus
diperiksa dan ditangani kedua mata. Biasanya ablasio retina ini adalah suatu kelainan yang
berhubungan dengan meningkatnya usia dan miopia tinggi, di mana akan terjadi
perubahan degeneratif pada retina dan vitreus. Diperkirakan prevalasi retina adalah 1
kasus dalam 10.000 populasi. Prevalansi meningkat pada beberapa keadaan seperti Miopi
tinggi, afakia/pseudofakia dan trauma. Pada penderita-penderita ablasio retina ditemukan
adanya miopia sebesar 55%, degenerasi Lattice 20-30%, trauma 10-20% dan
afakia/pseudofakia 30-40% (Kwon,2010).
Pada janin 1 bulan akan terbentuk optik vesikel secara bilateral, yang kemudian
akan melipat ke dalam membentuk optic cup, rongga vesikel ini berhubungan dengan
ventrikel otak. Optic cup ini akan mengalami invaginasi lebih lanjut dan meninggalkan
rongga potensial di antara lapisan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina yang
merupakan tempat terjadinya ablasio retina pada dewasa (Kwon,2010).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Retina
Retina merupakan lapisan dalam bola mata yang terletak antara koroid dan vitreus,
yang memiliki ketebalan yang bervariasi mulai dari 0.1 mm di ora serata sampai 0.56
mm di daerah yang berdekatan dengan diskus optikus. Retina meluas mulai dari tepi
diskus optikus sampai ke ora serata, ke posterior diteruskan menjadinervus optikus dan
diteruskan menjadi epitel badan siliaris dan iris ke anterior. Lapisan terluar retina
berhubungan dengan membran Bruch dari koroid dan bagian dalam berhubungan
dengan badan vitreus (Ovalle,2013).
Retina terdiri dari dua struktur laminar yaitu pada bagian luar terdapat EPR danpada
bagian dalam terdapat lapisan neurosensoris. Lapisan retina dari luar ke dalam yaitu EPR,
lapisan fotoreseptor segmen luar dan dalam (sel batang dan sel kerucut),membran limitan
eksterna, lapisan nukleus luar, lapisan pleksiform luar, lapisan nukleus dalam, lapisan
pleksiform dalam, lapisan sel ganglion, lapisan serabut saraf, dan membran limitan
interna (AAO,2016).
Lapisan bagian luar retina yang memperoleh suplai darah dari pembuluh darah
koriokapilaris yaitu lapisan pleksiform luar, lapisan nuklear luar, lapisan fotoreseptor
dan EPR. Dua pertiga bagian dalam retina memperoleh suplai darahdari cabang –
cabang arteri retina sentralis (Remington,2012).

Gambar 2.1 Lapisan retina


(Remington,2012)
2. Definisi
Ablasio retina adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan batang retina
dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat
dengan membrane Bruch. Sesungguhnya anatara sel kerucut dan sel batang retina tidak
terdapat suatu perlekatan struktur dengan koroid atau pigmen epitel. Ablasio retina
(retinal detachment) adalah pemisahan retina sensorik, yakni lapisan fotoreseptor (sel
kerucut dan batang) dan jaringan bagian dalam, epitel pigmen retina dibawahnya
(Ilyas,2015).
3. Etiologi
Ablasio retina dapat terjadi secara spontan atau sekunder setelah trauma, akibat
adanya robekan pada retina, cairan masuk kebelakang dan mendorong retina
(rhematogen) atau tejadi penimbunan eksekudat dibawah retina sehinggan retina
terangkat (non rhematogen), atau tarikan jaringan parut pada badan kaca (traksi).
Penimbunan eksekudat terjadi akibat penyakit koroid, misalnya skleritis, koroditis,
tumor retrobulbar, uveitis dan toksemia gravidarum. Jaringan parut pada badan kaca
dapat disebabkan DM, proliferatife, trauma, infeksi atau pasca bedah. (John, 2015)

4. Patogenesis
Ruangan potensial antara neuroretina dan epitel pigmennya sesuai dengan rongga
vesikel optik embriogenik. Kedua jaringan ini melekat longgar, pada mata yang matur
dapat berpisah (Ilyas,2015, James 2010):
a) Jika terjadi robekan pada retina, sehingga vitreus yang mengalami likuifikasi dapat
memasuki ruangan subretina dan menyebabkan ablasio progresif (ablasio
regmatogenosa).

Gambar 2.2 Ablasi Retina Regmatogenosa dengan horshoe tear


b) Terjadi akibat akumulasi cairan subretinal dengan tanpa adanya robekan retina
ataupun traksi pada retina. Pada penyakit vaskular, radang, atau neoplasma retina,
epitel pigmen, dan koroid, maka dapat terjadi kebocoran pembuluh darah sehingga
berkumpul di bawah retina. Walaupun jarang terjadi, bila cairan berakumulasi
dalam ruangan subretina akibat proses eksudasi, yang dapat terjadi selama
toksemia pada kehamilan (ablasio retina eksudatif).

Gambar 2.3 : Ilustrasi Ablasi Retina Eksudatif


c) Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel epitel pigmen
retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi lapisan epitel di
sepanjang daerah vaskular yang kemudian dapat menyebar ke bagian retina
midperifer dan makula. Pada ablasio tipe ini permukaan retina akan lebih konkaf
dan sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke ora serata. Jika retina tertarik
oleh serabut jaringan kontraktil pada permukaan retina, misalnya seperti pada
retinopati proliferatif pada diabetes mellitus (ablasio retina traksional).

5. Klasfikasi
Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi:
a) Ablasio Retina Regmatogenosa

Ablasio regmatogenosa berasal dari kata Yunani rhegma, yang berarti


diskontuinitas atau istirahat. Pada ablasi retina regmatogenosa dimana ablasi
terjadi adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara sel
pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid
vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina
sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.
Ablasio regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan
korpus vitreum posterior (Riordan,2019).

Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmantosa antara lain (Pandya,2013):

1) Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun, usia
tidak menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang mempengaruhi
2) Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan
perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2.
3) Miopia. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa adalah
seseorang yang menderita rabun jauh.
4) Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada yang
fakia.
5) Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi

6) Senile posterior vitreous detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio
retina dalam banyak kasus.
7) Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice
degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-
without or occult pressure, acquired retinoschisis
Berbagai faktor resiko akan menyebabkan terjadinya robekan pada retina, yang
menyebabkan cairan vitreous dapat masuk ke ruang subretina melalui robekan tersebut
dan akan memisahkan retina dari epitel pigmen retina.
Ablasi retina akan memberikan gejala prodromal berupa gangguan penglihatan
yang kadang–kadang terlihat sebagai adanya tabir yang menutupi di depan mata
(floaters) akibat dari degenerasi vitreous secara cepat dan terdapat riwayat fotopsia
(seperti melihat kilasan cahaya) pada lapangan penglihatan karena iritasi retina oleh
pergerakan vitreous (Chang,2012).
Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya
karena dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara akut bila lepasnya
retina mengenai makula lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang
terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan
retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi)
bergoyang. Kadang – kadang terdapat pigmen didalam badan kaca. Pada pupil terdapat
adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun. Tekanan bola mata rendah dan
dapat meninggi bila telah terjadi neovaskuler glaucoma pada ablasi yang telah lama
(Chang,2012).

Gambar 2.4. Ablasio retina tipe regmatogenosa,


arah panah menunjukkan horseshoe tear (James,2010)
10

b) Ablasio Retina Non Regmatogenosa

1) Ablasio Retina Eksudatif

Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di


bawah retina (subretina) dan mengangkat retina hingga terlepas. Penimbunan cairan
subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid.
Penyebab ablasio retina eksudatif yaitu penyakit sistemik yang meliputi Toksemia
gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis nodos dan karena penyakit mata yang
meliputi inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita), penyakit vaskular (central
serous retinophaty, and exudative retinophaty of coats), neoplasma (melanoma
maligna pada koroid dan retinoblastoma), perforasi bola mata pada operasi
intraokuler (Pandya,2013, Chang,2012):

Ablasio retina eksudatif dapat dibedakan dengan ablasio retina regmatogenosa


dengan (Chang,2012):

i. Tidak adanya photopsia, lubang/sobekan, lipatan dan undulasi


ii. Ablasio retina eksudatif halus dan konveks. Bagian atasnya biasa bulat dan
bisa menunjukkan gangguan pigmentari
iii. Kadang-kadang, pola pembuluh darah retina mungkin terganggu akibat
adanya neovaskularisasi.
iv. Pergeseran cairan ditandai dengan perubahan posisi daerah terpisah karena
pengaruh gravitasi merupakan ciri khas yang dari ablasio retina eksudatif.
v. Pada tes transilluminasi, ablasio retina regmatogenosa nampak transparan
sedangkan ablasio retina eksudatif lebih opak.
11

Gambar 2.5. Ablasio retina eksudatif (James,2010)

2) Ablasio Retina Traksi

Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut.
Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan diabetes mellitus
proliferative, trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi. Ablasio
retina traksi dihubungkan dengan kondisi-kondisi seperti, retraksi jaringan parut post
trauma terutama akibat trauma penetrasi, retinopati diabetik proliferatif, retinitis
proliferans post hemoragik, retinopati prematuritas, retinopati sel sabit (James,2010).

Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina
regmatogensa. Ablasio retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan
membuat retina semakin halus dan tipis sehingga dapat menyebabkan terbentuknya
proliferatif vitreotinopathy (PVR). Pada PVR juga dapat terjadi kegagalan dalam
penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel pigmen retina, sel
glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar retina pada badan vitreus
akan membentuk membran. Kontraksi dari membran tersebut akan menyebabkan
retina tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya
robekan baru atau berkembang menjadi ablasio retina traksi (Pandya,2013).
12

Gambar 2.6. Ablasio retina traksi (James,2010)

6. Diagnosis

Ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan


penunjang.
a) Anamnesis
Pertimbangkan pasien yang khas mengalami ablasio retina, seperti pasien dengan
miopia tinggi dengan usia berkisar 50 tahun, baik laki-laki ataupun perempuan, yang tiba- tiba
mengalami gejala “flashes dan floaters”, yang biasanya terjadi secara spontan atau sesaat
setelah menggerakkan kepala. Lakukan penggalian secara lebih detail terhadap
gejala yang dialami. 8
1) Flashes (photopsia) : Ketika ditanya, pasien biasanya menjawab gejala ini bisa terjadi
sepanjang waktu, tetapi paling jelas saat suasana gelap. Gejala ini cenderung terjadi
terutama sebelum tidur malam. Kilatan cahaya (flashes) biasanya terlihat pada
lapangan pandang perifer. Gejala ini harus dibedakan dengan yang biasanya muncul
pada migrain, yang biasanya muncul sebelum nyeri kepala. Kilatan cahaya pada
migrain biasanya berupa garis zig-zag, pada tengah lapangan pandang dan menghilang
dalam waktu 10 menit. Pada pasien usia lanjut dengan defek pada sirkulasi
vertebrobasilar dapat mendeskripsikan tipe lain fotopsia, yakni kilatan cahaya
cenderung muncul hanya saat leher digerakkan setelah membungkuk
(Gallowey,2006).
 
13

2) Floaters : Titik hitam yang melayang di depan lapangan pandang adalah gejala yang
sering terjadi, tetapi gejala ini bisa menjadi kurang jelas pada pasien gangguan cemas.
Tetapi jika titik hitamnya bertambah besar dan muncul tiba-tiba, maka ini menjadi
tanda signifikan suatu keadaan patologis. Untuk beberapa alasan, pasien sering
menggambarkan gejala ini seperti berudu atau bahkan sarang laba-laba. Ini mungkin
karena adanya kombinasi gejala ini dan kilatan cahaya. Kilatan cahaya dan floaters
muncul karena vitreus telah menarik retina, menghasilkan sensasikilatan cahaya, dan
sering ketika robekan terjadi akan terjadi perdarahan ringan ke dalam vitreus yang
menyebabkan munculnya bayangan bintik hitam. Ketika kedua gejala ini muncul,
maka mata harus diperiksa secara detail dan lengkap hingga ditemukan dimana lokasi
robekan retina. Terkadang, robekan kecil dapat menyebabkan perdarahan vitreus yang
luas yang menyebabkan kebutaan mendadak (Gallowey,2006).
3) Shadows : Saat robekan retina terjadi, pasien seharusnya segera mencari pengobatan
medis dan pengobatan efektif. Namun beberapa pasien tidak segera mencari
pengobatan medis atau bahkan malah mengabaikan gejala yang dialami. Memang
dalam beberapa saat gejala akan berkurang, tetapi dalam kurun waktu beberapa hari
hingga tahunan akan muncul bayangan hitam pada lapangan pandang perifer. Jika
retina yang terlepas berada pada bagian atas, maka bayangan akan terlihat pada
lapangan pandang bagian bawah dan dapat membaik secara spontan dengan tirah
baring, terutama setelah tirah baring pagi hari. Kehilangan penglihatan sentral atau
pandangan kabur dapat muncul jika fovea ikut terlibat (Gallowey,2006).

Saat anamnesis, penting juga untuk menanyakan riwayat trauma, apakah terjadi bebrapa
bulan sebelum gejala muncul atau bertepatan dengan timbulnya gejala. Perhatikan juga
riwayat operasi, termasuk ekstraksi katarak, pengangkatan benda asing intraokuler atau
prosedur lain yang melibatkan retina. Tanyakan juga mengenai kondisi pasien sebelumnya,
seperti pernah atau tidak menderita uveitis, perdarahan vitreus, ambliopia, glaukoma, dan
retinopati diabetik. Riwayat penyakit mata dalam keluarga juga penting untuk diketahui
(Pandhya,2013).
14

b) Pemeriksaan Oftalmologi dan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan menyeluruh diindikasikan pada kedua mata. Pemeriksaan pada mata yang
tidak bergejala dapat memberikan petunjuk mengenai penyebab dari ablasio retina pada mata
yang lainnya (Khurana,2007).

1) Lakukan pemeriksaan segmen luar untuk menilai tanda-tanda trauma


2) Periksa pupil dan tentukan ada atau tidaknya defek pupil aferen
3) Periksa ketajaman penglihatan
4) Periksa konfrontasi lapangan pandang
5) Periksa metamorfopsia dengan tes Amsler grid
6) Pemeriksaan slit lamp untuk melihat ada atau tidaknya pigmen pada vitreus (Shafer’s
sign)
7) Periksa tekanan bola mata
8) Lakukan pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi (pupil harus dalam keadaan dilatasi)

Pada oftalmoskopi, retina yang terlepas akan terlihat putih dan edema dan kehilangan
sifat transparansinya. Pada ablasio regmatogen, robekan retina berwarna merah terang dapat
terlihat. Biasanya muncul pada setengah bagian atas retina pada regio degenerasi ekuator.
Pada ablasio tipe traksi, ablasio bullosa akan terlihat bersamaan dengan untaian retina
berwarna abu-abu. Pada tipe eksudatif akan terlihat adanya deposit lemak massif dan biasanya
disertai dengan perdarahan intraretina (Khurana,2007).
Pada pemeriksaan Ultrasound mata, jika retina tidak dapat tervisualisasi karena
katarak atau perdarahan, maka ultrasound A dan B-scan dapat membantu mendiagnosis
ablasio retina dan membedakannya dengan ablasio vitreus posterior. USG dapat membantu
membedakan regmatogen dari non regmatogen. Pemeriksaan ini sensitif dan spesifik untuk
ablasio retina tetapi tidak dapat membantu untuk menentukan lokasi
robekan retina yang tersembunyi (Khurana,2007).
15

7. Diagnosis Banding
a) Retinoskisis degeneratif
Retinoskisis degeneratif adalah kelainan retina perifer didapat yang sering ditemukan
dan diyakini terbentuk dari gabungan degenerasi kistoid perifer yang sudah ada. Elavasi
kistik terebut paling sering ditemukan di kuadran inferotemporal, diiukuti kuadran
superotemporal. Degenerasi kistoid berkembang menjadi salah satu dari dua bentuk
retinoskisis, tipikal atau reticular, walaupun secara klinis keduanya sulit dibedakan
(Riordan,2019).
Retinoskisis menyebababkan suatu skotoma absolut dalam lapangan pandang,
sedangkan ablasio retina menimbulkan suatu skotoma relative. Elevasi kistik pada
retinoskisis biasanya halus tanpa disertai sel-sel pigmen vitreus. Permukaan ablasio retina
biasa berombak-ombak dengan sel-sel pigmen di dalam vitreus (Riordan,2019).
b) Korioretinopati Serosa Sentralis
Korioretinopati serosa sentralis (CSR) ditandai oleh pelepasan serosa retina sensorik
akibat adanya daerah-daerah dengan pembuluh-pembuluh koroid yang hipermeabel dan
gangguan fungsi pompa epitel pigmen retina. Penyakit ini biasanya mengenai pria usia
muda dan pertengahan dan mungkin berkaitan dengan kepribadiantipe A, penggunaan
steroid kronik, mikropsia, metamorfopsia dan skotoma sentralis yang semuanya timbul
mendadak. Ketajaman penglihatan sering hanya berkurang secara moderat dan dapat
diperbaiki mendekati normal dengan koreksi hiperopia kecil. Banyak pasien mengalami
defek penglihatan ringan yang menetap seperti penurunan sensitivitas warna, mikropsia
atau skotoma relatif (Riordan,2019).
8. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah mengembalikan kontak antara
neurosensorik retina yang terlepas dengan RPE dan eliminasi kekuatan traksi. Berbagai
metode operasi yang akan dilakukan bergantung dari lokasi robekan, usia pasien, gambaran
fundus, dan pengalaman ahli bedah (Ilyas,2015).
Pembedahan dibagi ke dalam dua kategori, yakni (Sehu,2005):
a) Konvensional : melibatkan eksplan material ke rongga bola mata
b) Vitrektomi : pembuangan vitreus, menurunkan gaya traksi. Vitreus kemudian
digantikan dengan minyak silikon atau gas sebagai tamponade robekan.
16

a) Scleral Buckling
Pembedahan Scleral buckling adalah metode pendekatan ekstraokuler dengan membuat
lekukan pada dinding mata untuk mengembalikan kontak dengan retina yang terlepas. Sebuah
silikon dengan konfigurasi yang sesuai diposisikan dengan jahitan pada sklera bagian luar di
atas lekukan buckle dinding bola mata. Proses perlengketan kembali ini dapat diperkuat oleh
drainase cairan subretina, meskipun manuver ini tidak dibutuhkan pada semua kasus. Robekan
tunggal ditangani dengan cryotherapy atau terapi laser untuk menjamin penutupan permanen.
Angka keberhasilan scleral buckling untuk melekatkan kembali retina dan memulihkan
penglihatan terbilang tinggi. Penelitian terbaru yang melibatkan 190 mata, angka keberhasilan
metode ini mencapai 89% untuk operasi tunggal (Amico,2008).
Komplikasi cryotherapy adalah vitreoretinopathy proliferative (PVR) uveitis, cystoid
edema makula, perdarahan intraokular, dan nekrosis chorioretinal. Komplikasi operasi scleral
buckling adalah iskemia (segmen anterior dan posterior), infeksi, perforasi, strabismus, erosi
atau ekstrusi eksplan, mengerutnya makula, katarak, glaukoma, vitreoretinopathy proliferative
(4%), dan kegagalan (5-10%). Scleral buckling memiliki tingkat keberhasilan yang cukup
tinggi. Prognosis visual akhir tergantung pada keterlibatan makula. Prognosis lebih buruk jika
makula terlepas (Amico,2008).

Gambar 2.6: Scleral Buckling (Amico,2008).


17

Gambar a) menunjukkan tamponade di jahit pada permukaan luar sklera. Gambar b)


menunjukkan lubang retina yang kelihatan. Gambar c) menunjukkan tamponade pada
tempatnya.

Pita silikon menekan spons silikon dibawahnya sehingga dapat memposisikan lapisan
sensorik dan RPE kembali menyatu (Amico,2008).

Gambar 2.7 : Prosedur Scleral Buckling (Amico,2008).

b) Pneumatic Retinopexy
Pada metode ini, gas inert atau udara diinjeksi ke dalam vitreus. Dengan cara ini, retina
akan terlekat kembali. Cryosurgery dilakukan sebelum atau sesudah injeksi gas atau koagulasi
laser dilakukan di sekitar defek retina setelah perlekatan retina. Metode ini sangat cocok
digunakan pada kondisi ablasio dengan satu robekan retina pada bagian atas perifer fundus
(arah jam 10 hingga jam 2) (Schlote,2006).

Gambar 2.8 : Pneumatic Retinopexy (Amico,2008).


18

c) Pars Plana Vitrektomi (PPV)


Dengan operasi menggunakan mikroskop, korpus vitreus dan semua traksi epiretina dan
subretina dapat disingkirkan. Retina kemudian dilekatkan kembali dengan menggunakan
cairan perfluorocarbon dan kemudain digantikan dengan minyak silikon atau gas sebagai
tamponade retina. Operasi kedua dibutuhkan untuk membuang minyak silikon. Kelebihan dari
teknik ini adalah mampu melokalisasi lubang retina secara tepat, eliminasi kekeruhan media,
dan terbukti dapat dikombinasikan dengan ekstraksi katarak, penyembuhan langsung traksi
vitreus, dan membuang serat-serat pada epiretina dan subretina. Namun, teknik ini
membutuhkan peralatan mahal dan tim yang berpengalaman, membuat kekeruhan lensa
secara perlahan, kemungkinan dilakukannya operasi yang kedua untuk membuang minyak
silikon, dan pemantauan segera setelah operasi (Schlote,2006).

Gambar 2.9 : Tiga port Pars Plana Vitrektomi (PPV) a) Dua port superior membenarkan laluan
untuk suction-cutter (vitrector), suatu fiberoptic endoilluminator, dan instrumen lain dengan
infusi cairan secara melewati port yang ketiga. b) Vitrektomi yang mengeluarkan traksi vitreus
anterior pada horshoe tear. c) Pandangan panoramic pada penanganan endolaser. d)
intraokuler tamponade dilihat pada daerah superior (Amico,2008)
19

Penanganan ablasio retina regmatogen dilakukan dengan tindakan pembedahan


dengan teknik scleral buckling atau pneumatic retinopexy. Pada kedua teknik ini dilakukan
cryotherapy atau laser terlebih dahulu untuk membentuk adhesi antara epitel pigmen dan
sensorik retina. Sedangkan penanganan utama untuk ablasio traksi adalah operasi vitreoretina
dan bisa melibatkan vitrektomi, pengangkatan membran, scleral buckling dan injeksi gas atau
minyak silikon intraokuler (Frenc,2013).
9. Prognosis
Retina dapat berhasil direkatkan kembali dengan satu kali operasi pada 85% kasus.
Salah satu kasus yang berhasil ditangani, dimana regio makula ikut mengalami ablasio, tidak
dapat sepenuhnya dikembalikan fungsi penglihatan sentralnya, meskipun biasanya lapangan
pandang perifer dapat kembali normal. Derajat pemulihan penglihatan sentral sebagian besar
bergantung pada durasi terlepasnya makula sebelum operasi dilakukan. Bahkan bila retina
telah terlepas selama dua tahun, masih ada kemungkinan untuk mengembalikan penglihatan
navigasi yang berguna. Penyebab utama kegagalan dari operasi perlekatan retina modern
adalah vitreoretinopati proliferatif, yang ditandai dengan terbentuknya skar yang berlebihan
setelah operasi perlekatan retina dilakukan, dengan adanya formasi membran traksi fibrosa
dalam mata yang menyebabkan ablasio retina (Riordan,2019).
Ketika operasi retina gagal, operasi selanjutnya dibutuhkan dan pada sebagian pasien
dibutuhkan tindakan serial operasi. Jika ada kemungkinan dilakukan lebih dari satu kali
operasi, maka sebaiknya sudah diinformasikan kepada pasien sebelum pengobatan mulai
dilakukan (Riordan,2019).
Prekursor untuk ablasio retina adalah posterior vitreous detachment (PVD), retinal
breaks simptomatik, retinal breaks asimptomatik, degenerasi lattice, serta fibrosis dan traksi
zonula jumbai retina. Karena re-attachment spontan sangat jarang maka hampir semua pasien
dengan ablasio retina regmatogen akan semakin mengalami kehilangan visus kecuali
detasemen tersebut diperbaiki. Saat ini, lebih dari 95% dari ablasio retina regmatogen dapat
berhasil diperbaiki, meskipun lebih dari satu prosedur mungkin diperlukan. Pengobatan retinal
breaks sebelum retinal detachment yang signifikan telah terjadi biasanya mencegah
perkembangan, tidak rumit dan menghasilkan visual yang sangat baik. Diagnosis awal dari
20

ablasio retina juga penting karena tingkat keberhasilan re-attachment lebih tinggi dan hasil
visual yang lebih baik jika makula tidak terlepas. Keberhasilan pengobatan memungkinkan
pasien untuk mempertahankan kemampuan mereka untuk membaca, bekerja, menyetir,
merawat diri, dan menikmati kualitas hidup yang lebih baik. American Academy of
Ophthalmology (Riordan,2019).
21

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology. 2016.Section 2: Fundamentals and principles of


ophtalmology. Dalam: Basic and clinical science course. San Fransisco: American
Academy of Ophtalmology.
Amico DJ,et al . 2008. In : Primary Retinal Detachment. New England Journal Medicine.
Chang Huan J. In : Retinal Detachment. 2012.The Journal Of The American Medical
Association.
Ferenc Kuhn, Bill Aylward. 2013. Rhegmatogenous Retinal Detachment: A Reappraisal of
Its Pathophysiology and Treatment Journal.
Galloway NR, Amoaku WMK, Galloway PH, et al. 2006. In : Common Eye Disease And
Their Management. 3rd ed. London : Springer-Verlag.
James B.,dkk. 2010. Ablasi retina. In: Oftalmologi. 9th ed. Erlangga:Ciracas Jakarta;: 117-
121.
Khurana AK. 2007. Diseases of The Retina. In: Comprehensive Ophthalmology. 4th edition.
New Age International Limited Publisher: India.. p. 250-2, 275-9.
Kwon O. W., Roh M. I., Song J. H. 2010. Retinal Detachment and Proliferative
Victreoretinopathy. In. Retinal Pharmacotheraphy. Britain : Saunders-Elsevier. Page
148-51.
Ovalle WK, Nahirney PC. 2013. Netter’s essential histology. Edisi ke-2. Philadelphia:
Elsevier Health Sciences;. hlm. 445-49.
Pandya HK. In : Retinal Detachment. 2013. (Cited on 2021). MedScepe
Remington LA. 2012. Clinical anatomy and physiology of the visual system. Edisi ke-3. St
Louis: Butterworth-Heinemann; hlm. 61-89.
Riordan Eva P, Whitcher JP. 2019.In : Vaughan and Asbury’s General Opthalmology. 19th
ed. New York : McGraw-Hill.
Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, et al. 2006. In : Pocket Atlas Of Opthalmology. New
York : Thieme Stuttgart.
Sehu KW, Lee WR. 2005. In : Opthalmology Pathology An Ilustrated Guide For
Clinician. New York : Blackwell Publishing.

Anda mungkin juga menyukai