Anda di halaman 1dari 48

PRESENTASI KASUS BESAR

ABLASIO RETINA REGMATOGEN OD DAN

KATARAK IMATUR SENIL ODS

Pembimbing:

dr. Eko Hadi Waluyojati, Sp.M.

Disusun oleh:

Muhammad Alif Adril

(41221396100043)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERIODE 21 AGUSTUS – 15 SEPTEMBER 2023


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya.
Sholawat serta salam dihaturkan untuk Rasululah Muhammad SAW, yang
telah membawa kita menuju zaman yang kaya akan ilmu pengetahuan sehingga
makalah presentasi kasus besar yang berjudul “Ablasio Retina Regmatogen OD dan
Katarak Imatur Senil ODS” ini dapat diselesaikan. Tujuan pembuatan makalah ini
adalah untuk menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan bagi penulis dan pembaca
mengenai penyakit mata terkait ablasio retina regmatogen dan katarak immatur senil
serta memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik ilmu penyakit mata di RSUP
Fatmawati.

Penulis juga menyampaikan banyak terima kasih kepada dr. Eko Hadi
Waluyojati, Sp.M, selaku dokter pembimbing pada kepaniteraan klinik ini yang telah
memberikan waktu dan ilmunya untuk membimbing kami selama kepaniteraan klinik
ini termasuk didalam penulisan makalah ini. Terima kasih juga disampaikan kepada
seluruh pihak yang sudah membantu terwujudnya makalah ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada makalah ini,


sehingga kritik dan saran akan membantu penulis untuk dapat menulis makalah
menjadi lebih baik lagi selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan dapat
menambah ilmu pengetahuan baik bagi penulis maupun pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 1 September 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................ 3

BAB I ....................................................................................................................... 5

PENDAHULUAN .................................................................................................... 5

BAB II ...................................................................................................................... 7

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 7

2.1 Anatomi dan Fisiologi Retina........................................................................... 7

2.2 Anatomi dan Fisiologi Lensa ......................................................................... 12

2.3 Klasifikasi dan Faktor Risiko Ablasio Retina ................................................. 14

2.4 Klasifikasi dan Faktor Risiko Katarak ............................................................ 15

2.5 Patofisiologi .................................................................................................. 18

2.6 Diagnosis....................................................................................................... 22

2.7 Diagnosa Banding ......................................................................................... 28

2.8 Penatalaksanaan............................................................................................. 30

2.9 Prognosis ....................................................................................................... 33

BAB III................................................................................................................... 35

LAPORAN KASUS ............................................................................................... 35

3.1 Identitas Pasien .............................................................................................. 35

3.2 Anamnesis ..................................................................................................... 35

3.3 Pemeriksaan Fisik .......................................................................................... 36

3.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 40

3.6 Diagnosis....................................................................................................... 41
3.7 Rencana Tatalaksana ...................................................................................... 41

3.8 Prognosis ....................................................................................................... 42

BAB IV .................................................................................................................. 43

DISKUSI KASUS .................................................................................................. 43

BAB V .................................................................................................................... 45

KESIMPULAN ...................................................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 46


BAB I

PENDAHULUAN

Ablasio Retina atau dalam bahasa inggris disebut Retinal Detachment adalah
suatu kondisi terlepas atau terpisahnya lapisan retina sensorik dari epitel pigmen retina
Retina Pigmemt Epithelium (RPE), kondisi ini adalah suatu keadaan emergency yang
dapat mengancam pengelihatan Berdasarkan proses terjadinya, ablasio retina dapat
diklasifikasikan menjadi ablasio retina regmatogen, ablasio retina traksional, ablasio
retina eksudatif, dan ablasio retina traksional-regmatogen.1,2 Katarak merupakan suatu
kelainan pada kensa berupa kekeruhan yang dapat disebabkan oleh apapun. Kondisi ini
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas fungsi pengelihatan pada penderita. 1
Berdasarkan etiologinya katarak terbagi menjadi katarak senil, katarak trauma, katarak
komplikata, katarak kongenital, katarak toksik. 3 Jika berdasarkan pada maturitasnya,
katarak terbagi menjadi Insipien, Imatur, Matur, dan Hipermatur. 4,5

Menurut American Academy of Ophtamology (AAO), ablasio retina, khususnya


tipe regmatogen merupakan kasus kegawatdaruratan mata terbanyak nomor tiga setelah
iskemik optikda neuropati dan oklusi pembuluh darah retina sentral.6 Menurut studi
yang dilakukan di Amerika Serikat tahun 2020, prevalensi ablasio retina adalah 1 kasus
dalam 10.000 populasi. Dalam sebuah studi tinjauan pustaka sistematis yang dilakukan
di Eropa pada tahun 2019, insiden terjadinya ablasio retina berkisar 13.3% per 100.000
populasi. Studi ini juga menyebutkan laki-laki memiliki risiko lebih tinggi sedikit
dibandingkan wanita.7,8 Katarak berdasarkan penilitian di Amerika Serikat ditemukan
prevalensi katarak adalah 17.1%. Katarak paling banyak mengenai ras putih (80%) dan
perempuan (61%).9 Indonesia menduduki peringkat tertinggi prevalensi kebutaan di
Asia Tenggara sebesar 1.5% dan 50% di antaranya disebabkan katarak.3

Ablasio retina terjadi akibat terpisahnya lapisan retina sensorik dan epitel
pigmen retina sehingga fokus sinar bergeser dan menyebabkan tajam pengelihatan
menurun. Kasus terbanyak adalah ablasio retina tipe regmatogen dimana proses
lepasnya retina akan didahului oleh defek ketebalan retina (hole) dan pencairan vitreus
(vitreous liquefaction).1 Penanganan melalui pembedahan adalah cara terbaik untuk
dapat menyelamatkan pengelihatan pasien, tindakan yang dilakukan adalah
vitrektomi.1,2 Katarak terjadi akibat berbagai faktor, akan tetapi faktor terbesar yang
menjadi penyebab adalah proses penuaan atau bisa disebut katarak senil. 80% kasus
katarak dapat dicegah jika dapat disadari dengan cepat, karena katarak dalam proses
nya melibatkan beberapa proses seperti perubahan komposisi protein akibat usia yang
kemudian protein tersebut akan beragregasi dan membentuk kekeruhan. 1,10 Jika katarak
sudah mulai mengganggu aktivitas sehari-hari maka penanganan dapat dilakukan
melalui jalan pembedahan yaitu melalui berbagai jenis tindakan operasi dimana
tindakan yang paling sering dilakukan untuk saat ini adalah Phacoelmusification.10

Penulisan makalah ini diharapkan dapat berkontribusi dalam


meningkatkan ilmu pengetahuan Dokter Muda mengenai ilmu penyakit mata,
terutama mengenai ablasio retina, serta dapat meningkatkan
keterampilan pemeriksaan, penegakkan diagnosis, hingga tata laksana
sesuai kompetensi karena diharapkan kelak ilmu yang didapat melalui
makalah ini dapat menjadi bekal saat menangani dan mengedukasi
masyarakat kelak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Retina

A. Anatomi Retina

Retina merupakan lapisan bola mata yang paling dalam. Retina adalah aringan saraf
yang tipis dan transparan yang melapisi dua pertiga bagian dalam posterior dinding
bola mata. Retina terletak pada bagian anterior sejauh korpus siliaris dan berakhir pada
ora serata dengan tepi yang tidak rata. Permukaan luar neural retina dan epitel pigmen
retina di nukleus besar tempat mudah terpisah, namun pada diskus optikus dan ora
serrata kedua lapisan ini melekat kuat. Retina mempunyai ketebalan 0,1 mm pada ora
serrata dan 0,56 mm pada polus posterior.11

Gambar 2.1 Anatomi Mata.12


Retina memiliki makula yang berdiameter 5-6 mm, yang terletak di
antara pembuluh darah retina temporal. Terdapat lapisan Lutein dan
Zeaxanthin pada bagian sentral makula yang menyebabkan makula berwarna
kuning. Pada bagian tengah makula terdapat fovea (fovea centralis)
dengan diameter 1,5 mm, fovea memiliki ukuran yang sebanding dengan
ukuran diskus optikus. Terdapat bagian dari fovea yang tidak memiliki pembuluh
darah yang disebut fovea avascular zone (FAZ). Diameter dari FAZ sendiri bervariasi
antara 250 – 600 mikrometer. Kemudian juga terdapat area parafovea yang berada
disekeliling fovea memiliki diameter 0,5 mm, dimana lapisan sel ganglion, nukleus inti
dalam, lapisan pleksiform luarnya paling tebal. Area perifovea adalah area di sekeliling
paravofea yang memiliki diameter 1,5 mm. Di bagian sentral dari fovea terdapat
cekungan yang disebut foveola. Foveola terletak 4 milimeter ke arah temporal dan 0,8
milimeter inferior dari bagian tengah diskus optikus. Foveola memiliki diameter 0,35
mm dengan ketebalan 0,10 mm di bagian tengahnya. Lapisan fotoreseptor pada foveola
seluruhnya tersusun atas sel kerucut yang tersusun ramping dan memadat yang
berperan dalam tajam penglihatan. Foveola memiliki cekungan yang disebut sebagai
umbo.1,3,11
Gambar 2.2 Anatomi Makula.13

Retina mendapatkan suplai darah dari dua sumber utama, yaitu arteri sentralis retina
(cabang dari arteri oftalmika) yang memperdarahi 2/3 retina bagian dalam dan arteri
koriokapilaris yang memperdarahi 1/3 bagian retina bagian luar. Fovea sentralis adalah
daerah yang rentan karena hanya diperdarahi oleh arteri koriokapilaris dan bersifat
irreversible jika terjadi ablasi pada retina.1,11,12

Gambar 2.3 Anatomi Retina.11

B. Fisiologi Retina

Retina terbentuk dari sepulun lapisan penyusun dari dalam ke luar yaitu: (1)
membran limitan interna; (2) lapisan serabut saraf yang mengandung akson-akson
sel ganglion yang berjalan menuju nervus optikus; (3) lapisan sel ganglion; (4)
lapisan pleksiform bagian dalam, yang mengandung sinap sel ganglion dengan sel
amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin
dan horizontal; (6) lapisan pleksiform bagian luar, yang mengandung sinap sel
bipolar dan horizontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor; (8)
membran limitan eksterna; lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar sel batang
dan kerucut; dan (10) epitel pigmen retina.3,13

Gambar 2.4 Lapisan Retina.13

Elemen neuron pada lapisan ini terdiri atas:

 Sel Fotoreseptor.
 Sel Bipolar.
 Sel Ganglion.
 Sel Horisontal.
 Sel Amakrin.

Elemen glial terdiri atas:

 Sel Müller.
 Sel Astrosit.
 Sel Mikroglia.

Sel Fotoreseptor terdiri dari 95% sel batang dan 5% sel kerucut. Sel batang sensitif
terhadap keadaan gelap atau sedikit cahaya, dan sel kerucut sensitif terhadap warna dan
cahaya yang terang.11,13

Sel batang dan sel kerucut bekerja sebagai ujung saraf sensoris untuk penglihatan.
Sinar yang jatuh pada retina mengakibatkan perubahan fotokimia yang akan memicu
rangkaian reaksi biokimia yang menghasilkan perubahan listrik yang disebut sebagai
fototransduksi. Reaksi biokimia yang terjadi meliputi bleaching dari rodopsin,
regenerasi rodopsin dan siklus visual

Gambar 2.4 Regenerasi Rodopsin dan Siklus Visual. 13

Secara garis besar sel fotoreseptor berperan dalam inisiasi proses melihat yakni
dalam proses fototransduksi. Fototransduksi adalah sebuah proses pada sel batang dan
kerucut untuk mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik. Depolarisasi terjadi pada
keadaan gelap dimana dikeluarkan neurotransmiter glutamat, sedangkan pada keadaan
terang sel-sel fotoreseptor akan mengalami hiperpolarisasi dan pengeluaran
neurotransmiter glutamat dihentikan11,13,14.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Lensa

A. Anatomi Lensa

Lensa adalah bagian dari bola mata yang berbentuk bikonveks, avaskular,
transparan, terletak di belakang iris dan di depan vitreus, ditopang oleh Zonula Zinii
yang melekat ke korpus siliaris. Lensa terdiri dari:

 Kapusl
 Epitel
 Korteks
 Nukleus

Lensa bersifat elastis, hal ini bertujuan agar lensa dapat menyesuaikan bentuk pada saat
proses akomodasi. Lensa bersifat jernih dengan ukuran 9-10 mm. Lensa dapat menjadi
kaku seiring bertambahnya usia.3,5,15
Gambar 2.4 Anatomi Lensa.12,15

B. Fisiologi Lensa

Lensa harus tetap terjaga kejernihannya agar dapat meneruskan cahaya yang masuk
ke dalam retina. Komposisi biokimia lensa terutama air dan protein berperan penting
untuk mempertahankan indeks refraksi dan transparansi lensa. Kekuatan refraksi lensa
adalah 20 dioptri dari total 60 dioptri kekuatan refraksi mata. Kekuatan refraksi lensa
bertambah saat lensa menjadi lebih cembung saat akomodasi Akomodasi merupakan
mekanisme saat mata merubah titik fokus dari penglihatan jauh ke penglihatan dekat.14

Upaya untuk melihat dekat menimbulkan tiga reaksi fisiologis, yaitu: akomodasi
mata, miosis dan konvergensi mata. Akomodasi terjadi ketika bentuk lensa berubah
karena aksi dari otot-otot zonular dan otot siliar. Otot siliar memiliki serat otot yang
berbentuk cincin, sehingga ketika otot-otot siliar berkontraksi diameter cincin otot
berkurang, tarikan serat zonular berkurang dan menyebabkan bentuk lensa menjadi
lebih cembung.13,14
2.3 Klasifikasi dan Faktor Risiko Ablasio Retina

A. Klasifikasi1
 Ablasio Retina Regmatogen (ARR)
Berasal dari bahasa Yunani “rhegma” yang berarti rusak, kasus ARR
adalah jenis ablasio yang paling sering terjadi. Hal ini dapat t RR terjadi
akibat adanya robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang
antara Retina Pigment Epithelium (RPE) dengan lapisan retina sensorik.
Defek pada retina dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu: degenerasi
perifer berupa penipisan retina disertai dengan atrophic hole dan
robekan retina akibat adanya tarikan jaringan vitreus (vitro-retinal
traction). Defek ini memungkinkan vitreus yang sudah mencair untuk
masuk ke ruang subretinal dan menyebabkan terjadinya pemisahan
lapisan sensorik retina dari RPE.

 Ablasio Retina Traksional


Ablasio ini adalah kelainan sekunder dan berkaitan dengan proliferasi
membran neurovaskular sebagai bentuk respon dari kondisi iskemik
pada retina. Ciri khas dari ablasio ini adalah tidak diawali dengan
robekan dan ditemukan pada pasien dengan kasus retinopati diabetik,
oklusi vena central atau cabang, uveitis posterior, dll. Ablasio dapat
terjadi saat terbentuk proliferasi neurvaskular di atas papil saraf optic
atau disebut Neurovascularization on Disk (NVD) atau pada permukaan
retina yang disebut Neurovascularization Elswhere (NVE). Mebran
tersebut dalam perkembangannya dapat membuat tarikan atau traksi di
berbagai area retina, namun umumnya pada area polus anterior (makula
dan papil saraf optik).
 Ablasio Retina Eksudatif
Ablasio yang disebakan oleh kelainan sekunder berupa terjadinya
proses inflamasi pada area uvea posterior yaitu retina dan koroid.
Inflamasi yang terjadi menyebabkan terjadinya peningkatan
permeabilitas dinding vaskular yang dapat menyebabkan terpisahnya
lapisan sensorik retina dari RPE. Ablasio ini umumnya disebabkan oleh
penyakit seperti TB Okular, Harada Disease, Vaskulitis Retina,
Choroiditis, dll.
B. Faktor Risiko
Faktor risiko ablasio retina regmatogen antara lain:4
 Jenis kelamin pria
 Usia
Pertambahan usia berpengaruh terhadap pencairan gel vitreus yang
kemudian berakumulasi dan dapat masuk ke rongga retina bila terdapat
robekan
 Riwayat keluarga dengan ablasio.
 Miopia
Risiko akan meningkat seiring dengan peningkatan miopia.
 Trauma
Kondisi ini terjadi saat pemendekan diameter anteroposterior bola mata
karena tekanan trauma yang kemudian diikuti pemanjangan kembali
melebihi ukuran semula.
 Afakia

2.4 Klasifikasi dan Faktor Risiko Katarak

A. Klasifikasi

Berdasarkan etiologinya, katarak terbagi menjadi beberapa jenis yaitu:5

Tipe Katarak Kausa Penderita


Katarak Senil Penuaan/degeneratif. Usia >60 tahun.
Katarak Trauma Trauma pada kapsul lensa. Bekerja di tempat
berbahaya seperti tempat
pembakaran.

Katarak Komplikata Penyakit sistemik menahun. Menderita DM, Asma,


Emfisema.
Katarak Kongenital Kehamilan ibu dengan Bayi baaru lahir.
tampek.
Katarak Toksik Pemakaian obat jangka Pemakaian steroid tetes
panjang atau paparan zat mata dalam jangka
kimia berbahaya. Panjang, perokok.

Tabel 2.1 Klasifikasi Katarak.5

Khusus untuk katarak senil, terbagi lagi menjadi tiga berdasarkan lokasi kekeruhan
lensanya, yaitu:4,5

 Katarak Nuklearis
Kekeruhan pada sentral lensa, disebabkan karena pertambahan usia dan
lensa secara perlahan akan berubah warna menjadi kuning atau coklat.
Secara khas katarak ini lebih mengganggu pengelihatan jarak jauh
dibanding pengelihatan jarak dekat.
 Katarak Kortikal
Kekeruhan terbentuk pada korteks lensa. Penyebab tersering adalah
pertambahan usia dan penyakit DM.
 Katarak Subkapsular
Kekeruhan dimulai dari belakang lensa, akan terlihat gambaran plak
pada korteks subkapsuler posterior. Pasien akan merasa pengelihatan
jarak dekat lebih terganggu dibanding pengelihatan jarak jauh, dan
paparan sinar matahari atau cahaya terang justru semakin menambah
kesulitan pengelihatan.

Gambar 2.5 Jenis Katarak Senil.4

Sedangkan menurut stadium perkembangannya, katarak terbagi menjadi:1

 Insipien.
 Imatur.
 Matur.
 Hipermatur.
B. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat mempengaruhi munculnya katarak, khususnya katarak
imatur adalah:1
 Proses penuaan/degenaratif.
 Gangguan metabolik (DM).
Menyebabkan peningkatan kadar sorbitol intrasel di dalam serat lensa
sehingga degenerasi lensa terjadi lebih cepat.
 Trauma.
Akibat memar yang muncul pada lensa.
 Peradangan intraokular.
Terjadi pada uveitis dan glaukoma akut.

2.5 Patofisiologi

A. Ablasio Retina Regmatogen

Ablasio retina regmatogen hanya dapat terjadi jika ditunjang oleh tiga faktor
berikut, yaitu:3,4

 Gel Vitreus yang mencair (Vitreous Liquefaction).


 Traksi yang menjaga robekan tetap terbuka.
 Robekan Full Thickness (break) dari retina.

Dari robekan akibat traksi menyebabkan cairan vitreus dapat masuk dan memisahkan
lapiasan sensorik dan lapisan RPE. 16,17

Traksi pada retina terbagi menjadi dua, yaitu statis dan dinamis. Pada kasus traksi
statis, traksi ini tidak dipengaruhi oleh gerak bola mata dan berperan pada Ablasio
Retina Traksional dan Proliferative Vitreoretinopathy (PVR).4
Vitreus melekat kuat pada dasar vitreus (vitreous base) dan disekitar
papil nervus optikus, sedangkan yang lemah terdapat pada sekitar fovea
dan sekitar pembuluh darah perifer. Perlekatan vitreus yang abnormal
dapat muncul pada beberapa keadaan berikut yaitu:4

 Posterior Lattice Degeneration.


 Kumpulan Pigment Retina Epithelium.
 Anomali Vitreous Base.
 White with Pressure.
 White without Pressure.

Pada kondisi mencairnya gel vitreus (sinkisis) terkadang akan diikuti dengan
terbentuknya lubang pada hyaloid posterior, akibatnya akan terbentuk ruang
retrohyaloid kemudian vitreus akan berkumpul di inferior sehingga ruang retrohyaloid
diisi oleh cairan vitreus.4

Pasien yang berusia >70 tahun akan berisiko untukk mengalami Posterior Vitreous
Detachment (PVD) umunya PVD tidak bergejala (asimptomatik). PVD diawali dengan
terpisahnya korteks vitreus pada bagian pseudofakia perifoveal. Lalu korteks vitreus
pada bagian makula terlepas, akan tetapi gel vitreus tetap melekat erat pada vitreous
base menimbulkan traksi sehingga dapat terjadi break, biasanya pada posterior vitreous
base atau lokasi dengan perlekatan abnormal dari vitreus. 4,16 Secara garis beesar
patofisologi dari ARR dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.6 Patofisologi ARR.18

B. Katarak Imatur Senil

Katarak senil adalah jenis katarak yang paling banyak muncul di dunia dengan
jumlah kasus mencapai 90% dari semua jenis katarak. Hal ini diakibatkan karena sering
bertambahnya usia manusia maka lensa mengalami kekeruhan, penebalan, serta
penurunan daya akomodasi.3,5 Berdasarkan lokasi kekeruhannya katarak senil terbagi
menjadi tiga, yaiut: nuklear, kortikal, dan subkapsular. Proses perjalanan penyakit dari
tiap jenis katarak tidak jauh berbeda akan tetapi tetap terdapat beberapa perbedaan
sebagai berikut:

Katarak Nuklear
Gambar 2.7 Patofisiologi Katarak Nuklear.4

Katarak Kortikal
Gambar 2.8 Patofisiologi Katarak Kortikal. 4

2.6 Diagnosis

A. Ablasio Retina Regmatogen

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis. Pada


anamnesis ditanyakan gejala-gejala dan faktor risiko dari ablasio retina. Hal yang perlu
ditanyakan antara lain adalah:1,3,4

 Floaters

Bayangan kecil gelap yang melayang-layang. Floaters dapat muncul akibat dari
pergerakan vitreus, terutama pada kasus PVD atau jika terjadi perdarahan pada
vitreus.

 Fotopsia
Kilatan cahaya terjadi karena adanya tarikan pada perlekatan vitreoretina
karena gerakan mata. Fotopsia muncul pada sisi yang sama dari robekan.

 Defek Lapang Pandang

Akan muncul gambaran seperti tirai yang menutupi pengelihatan hal ini terjadi
pada kondisi jika makula tidak terlepas. Pada kondisi makula terlepas maka
akan terjadi penurunan visus mendadak.

Tanda yang dapat ditemukan pada pemeriksaan oftamologis antara lain adalah: 4,17

 Refleks Fundus (-).


 Shafer Sign (Kumpulan epitel pigmen pada vitreus anterior).
 Penurunan TIO.
 Peradangan iris ringan.

Jika refleks fundus (+) maka penegakkan diagnosis dapat dilakukan melalui
pemeriksaan fundus, diharapkan akan terlihat:17

 Pada area ablasi terdapat elevasi lapisan neurosensoris retina yang kehilangan
detail epitel pigmen dan koroid di bawahnya sehingga terlihat lebih pucat.
 Ablasio retina yang baru berbentuk konveks, pembuluh darahnya terlihat lebih
gelap..
 Break (robekan full thickness) terlihat kontras berwarna merah.
Gambar 2.9 Gambaran ARR dengan Break ditunjukkan oleh panah putih.17

Gambar 2.10 Panduan Lincoff untuk mencari lokasi break retina (ablasio ditandai
oleh warna biru).17
Jika segmen posterior tidak dapat atau sulit dinilai maka dapat dilakukan pemeriksaan
USG Mata

Gambar 2.11 USG Mata Normal (Kiri), USG Mata dengan Ablasio (Kanan). 17

B. Katarak Imatur Senil

Penegakkan diagnosis katarak dapat diawali melalui anamnesis, umumnya pasien


katarak senil akan datang dengan keluhan sebagai berikut:10

 Penurunan visus, merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan pasien


dengan katarak senilis.
 Silau, keluhan ini termasuk seluruh spektrum dari penurunan sensitivitas
kontras terhadap cahaya terang lingkungan, silau pada cahaya matahari saat
siang hari hingga silau ketika mengemudi pada malam hari saat ada lampu
mobil lain yang mendekat.
 Perubahan miopik (myopic shift), progesifitas awal katarak sering
meningkatkan kekuatan dioptrik lensa yang menimbulkan miopia derajat
sedang hingga berat. Sebagai akibatnya, pada pasien hipermetropia terjadi
peningkatan penglihatan jauh, pada pasien presbiopia terjadi perbaikan
penglihatan dekat sehingga kurang membutuhkan kaca mata baca. Keadaan
ini disebut dengan second sight. Secara khas, perubahan miopik dan second
sight tidak terlihat pada katarak subkortikal posterior atau anterior.
 Diplopia monokular, terjadi apabila perubahan nuklear yang terkonsentrasi
pada bagian dalam lapisan lensa, menghasilkan area refraktil pada bagian
tengah dari lensa, yang sering memberikan gambaran terbaik pada reflek
merah dengan retinoskopi atau ophtalmoskopi langsung. Fenomena ini
menimbulkan diplopia monokular yang tidak dapat dikoreksi dengan
kacamata, prisma, atau lensa kontak.
 Noda berkabut pada lapangan pandang, terjadi sebagai akibat dari
kekeruhan lensa.

Diagnosis pasti pada katarak dapat ditegakkan melalui pemeriksaan kekeruhan


lensa menggunakan alat oftalmoskop direk melalui Teknik Rapid Assessment Cataract
Surgical Services (RACSS) yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO).
Pemeriksaan dilakukan dengan cara melebarkan pupil dan melihat ke arah pupil
menggunakan oftalmoskop dengan jarak 50 cm dari pasien. Lensa yang jernih akan
memberikan gambaran reflek fundus berupa warna oranye yang homogen. Lensa yang
keruh sebagian akan tampak sebagai bayangan gelap yang menutupi reflek fundus.10

Gambar 2.12 Teknik RACSS.10

Pemeriksaan menggunakan slit lamp biomikroskop pada layanan spesialis mata


dapat mengevaluasi tingkat dan letak kekeruhan lensa dengan lebih detil. Kekeruhan
lensa bisa ditemukan pada nukleus, kortikal, anterior dan posterior polar dan
subkapsularis posterior.10 Jika tidak terdapat slit lamp, maka dapat dilakukan
pemeriksaan sederhana yang disebut shadow test, dengan cara menyorotkan senter
membentuk sudut 45 derajat ke arah pupil dari arah temporal. Pada katarak imatur akan
muncul banyangan iris pada lensa yang terlihat lebih besar dan letaknya jauh terhadap
pupil. Keadaan ini disebut sebagai shadow test (+).1

Penilaian derajat kekeruhan lensa juga dapat dilakukan dengan menggunakan


kriteria Burrato, Lens Opacity Classification System (LOCS) III dan tajam penglihatan
karena jika fungsi retina masih baik, maka derajat kekeruhan lensa berkorelasi dengan
penurunan tajam pengelihatan.10

Gambar 2.13 Kriteria Penilaian Burrato.10

Derajat katarak sesuai kriteria Burrato:

 Derajat 1
Nukleus lunak, biasanya visus masih lebih baik dari 6/18, tampak sedikit keruh
dengan warna agak keputihan. Refleks fundus juga masih dengan mudah
diperoleh dan usia penderita juga biasanya kurang dari 50 tahun.
 Derajat 2
Nukleus dengan kekerasan ringan, tampak nukleus mulai sedikit berwarna
kekuningan, visus biasanya antara 6/18 sampai 6/30. Refleks fundus juga masih
mudah diperoleh dan katarak jenis ini paling sering memberikan gambaran
seperti katarak subkapsularis posterior.
 Derajat 3
Nukleus dengan kekerasan medium, dimana nukleus tampak berwarna kuning
disertai dengan kekeruhan korteks yang berwarna keabu-abuan. Visus biasanya
antara 3/60 sampai 6/30.
 Derajat 4
Nukleus keras, dimana nukleus sudah berwarna kuning kecoklatan dan visus
biasanya antara 3/60 sampai 1/60, dimana refleks fundus maupun keadaan
fundus sudah sulit dinilai.
 Derajat 5
Nukleus sangat keras, nukleus sudah berwarna kecoklatan bahkan ada yang
sampai berwarna agak kehitaman. Visus biasanya hanya 1/60 atau lebih jelek
dan usia penderita sudah di atas 65 tahun. Katarak ini sangat keras dan disebut
juga brunescent cataract atau black cataract.

2.7 Diagnosa Banding

A. Ablasio Retina Regmatogen

Gambaran klinis ablasio retina regmatogen dapat menyerupai penyakit lain seperti: 2,17

 Retinoskisis Degeneratif

Biasanya asimptomatik dan ditemukan secara tidak sengaja pada saat


pemeriksaan. Terjadi pada pasien usia 50-70 tahun. Pada pemeriksaan fundus
dapat dilihat lesi menonjol berbentuk kubah dengan permukaan dalam yang
mulus mengandung pembuluh darah retina yang terlihat sklerotik.
 Ablasio Retina Eksudatif

Tampak cairan subretina yang dapat bergerak sesuai posisi kepala, berbatas
tidak tegas dan biasanya disertai kondisi sistemik lain.

 Ablasio Koroid

Tampak gambaran yang lebih coklat, halus dan relatif tidak bergerak. Biasanya
ditemukan setelah operasi filtrasi glaukoma, katarak, dan pemasangan scleral
buckle.

B. Katarak Imatur Senil

Diagnosa banding katarak imatur senil dapat dilihat berdasarkan dugaan etiologi
kekeruhan lensa dan kondisi pasien seperti usia pasien, jenis pekerjaan, riwayat
penyakit metabolik, dll. Beberapa diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan
antara lain adalah:1,3,19

 Glaukoma
 Kelainan refraksi
 Degenerasi makula
 Retinopati diabetik
 Distrofi dan degenerasi kornea
 Atrofi optik
 Retinitis pigmentosa
2.8 Penatalaksanaan

A. Ablasio Retina Regmatogen

Terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam menangani ablasio retina
regmatogen, cara penanganan yang dapat diambil bergantung kepada tingkat keparahan
yang di derita pasien dan ketersediaan alat yang ada di fasilitas kesehatan tersebut.
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain adalah:2

 Profilaksis
Profilaksis yang dapat digunakan untuk mencegah ablasio retina adalah dengan
menutup break, menggunakan cryotherapy atau fotokoagulasi laser.
Cryotherapy pada area yang luas meningkatkan risiko lepasnya epitel pigmen
yang dapat memicu pembentukan membran epiretinal. Oleh sebab itu, laser
dipilih pada lesi yang lebih luas, namun sulit untuk lesi sangat perifer.
Cryotherapy lebih dipilih pada media yang keruh, ukuran pupil lebih kecil dan
lesi di anterior. Terapi yang digunakan juga berdasarkan pilihan, pengalaman
operator, serta ketersediaan alat.
 Pembedahan
Prinsip operasi atau pembedahan dari ablasio retina regmatogen adalah dengan
menemukan semua break, membuat iritasi korioretina (skar) di sekitar setiap
break dan melekatkan antara retina dan EPR dalam waktu yang cukup agar
ruang subretina tertutup secara permanen, dan mengurangi atau menghilangkan
traksi retina. Tindakan operatif untuk ablasio retina ini dilakukan oleh dokter
mata dengan keahlian khusus vitreoretina. Tindakan operatif yang dilakukan
dapat dilakukan baik dengan lokal anestesi maupun anestesi umum, tergantung
hasil evaluasi dokter terhadap kondisi pasien. Tindakan operasi yang dapat
dilakukan adalah:
- Vitrektomi merupakan operasi yang membebaskan traksi retina
dengan menghilangkan vitreus, terutama yang menyebabkan
tarikan pada robekan retina, sehingga terjadi perlekatan kembali
antara retina dan lapisan EPR. Kemudian robekan dapat ditutup
dengan retinopexy. Tindakan ini dapat dilakukan pada pasien
dengan indikasi primary vitrectomy pada ablasio retina (semua
stadium), ablasio retina dengan kekeruhan vitreus, ablasio retina
dengan giant retinal break, dan ablasio retina dengan PVR.
- Pneumatic Retinopexy, adalah sebuah tindakan menyuntikkan
gelembung gas ke rongga vitreus untuk mendorong tear dari
dalam sehingga retina melekat kembali. Pneumatic retinopexy
dipilih pada ablasio dengan posisi break superior (dua pertiga
bagian atas fundus), semua break telah ditemukan, pasien yang
kooperatif dan media yang jernih.
- Scleral Buckle merupakan terapi yang dilakukan dari luar
(ekstraokular). Scleral buckle dilakukan dengan menjahit
material dengan ukuran yang sesuai ke sklera, dengan tujuan
menekan dinding bola mata di bawah break retina. Sehingga
terjadi kontak antara retina dan lapisan EPR yang terpisah.
Tindakan ini dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi break
terletak di superior, media yang jernih, break tunggal maupun
break multipel yang masih terletak dalam 1 kuadran, PVR
maksimal grade B, ablasio retina pada pasien dengan usia muda,
ablasio retina di mana break tidak dapat ditemukan pada
pemeriksaan dan break yang terlihat di anterior dari ekuator
retina.
B. Katarak Imatur Senil

Penanganan utama katarak adalah melalui tindakan operasi, akan


tetapi terdapat beberapa indikasi untuk dapat menjadi dasar
dilakukannya operasi, yaitu sebagai berikut:10

 Penurunan tajam pengelihatan dengan koreksi sama atau kurang


dari 6/18.
 Ditemukannya keluhan lain seperti glaucoma, atau dislokasi
lensa.
 Visualisasi fundus pada mata masih memiliki potensi pengelihatan
yang dibutuhkan, dan katarak menyulitkan visualisasi tersebut.
 Penurunan tajam pengelihatan mengganggu aktivitas sehari-hari.

Gambar 2.14 Algortima Penanganan katarak.10

Terdapat beberapa jenis tindakan pembedahan pada katarak:1,10

 Intra Capsular Cataract Extraction (ICCE)

Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul.

 Extra Capsular Cataract Extraction (ECCE)

Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran


isi lensa dengan merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan
korteks lensa dapat keluar melalui robekan.
 Small Incision Cataract Surgery (SICS)

Teknik operasi Small Incision Cataract Surgery (SICS) yang merupakan


operasi katarak manual dengan luka insisi yang lebih kecil dibandingkan
ECCE.

 Fakoemulsifikasi

Operasi katarak dengan menggunakan mesin fakoemulsifikasi


(Phacoemulsification). Operasi fakoemulsifikasi adalah tindakan
menghancurkan lensa mata menjadi bentuk yang lebih lunak, sehingga
mudah dikeluarkan melalui luka yang lebih kecil.

2.9 Prognosis

A. Ablasio Retina Regmatogen

Prognosis dari ARR sangat bergantung terhadap kecepatan penanganan. Secara


keseluruhan, perlekatan kembali lapisan retina secara anatomi pada mata yang
mengalami ablasio adalah sekitar 80-90%, akan tetapi keberhasilan secara anatomi
tidak selalu diikuti oleh perbaikan tajam penglihatan.2,16

Prognosis perlekatan anatomis lebih baik bila ablasio disebabkan oleh dialisis atau
hole yang kecil. Prognosis lebih buruk bila ablasio disebabkan oleh giant tear, PVR,
uveitis, atau trauma hebat.2

Tajam penglihatan sentral setelah operasi penempelan retina ditentukan oleh durasi
keterlibatan makula, debgan pembagian sebagai berikut:2,7

 Bila makula tidak terlibat, pasien cenderung sama tajam penglihatannya


dengan sebelum operasi. Sebesar 87% mata dengan ablasio retina tanpa
keterlibatan makula memberi visus 20/50 atau lebih baik. Namun pada
10%-15% ablasio retina tanpa keterlibatan makula, tajam penglihatan tidak
kembali seperti semula. Hal ini dipengaruhi astigmat ireguler, katarak,
edema makula, macular pucker atau komplikasi intraoperatif.
 Bila lepasnya makula kurang dari satu minggu maka 75% pasien dapat
mencapai tajam penglihatan 20/70 atau lebih. Bila lepasnya makula antara
1-8 minggu, maka hanya 50% pasien yang mencapai tajam penglihatan
tersebut.
 Bila keterlibatan makula lebih dari 2 bulan, prognosis tajam penglihatan
menjadi semakin buruk. Makula yang terlepas lebih jauh dari lapisan EPR
memperburuk degenerasi sel fotoreseptor. Pasien dengan usia lebih dari 60
tahun akan mempunyai tajam penglihatan pascaoperasi yang lebih buruk
dibandingkan dengan yang berusia muda.

B. Katarak Imatur Senil

Prognosis katarak bergantung pada beberapa faktor seperti:10

 Tingkat gangguan penglihatan

 Jenis katarak

 Waktu intervensi

 Cara intervensi

 Kualitas hidup

 Keterlibatan mata unilateral atau bilateral

 Adanya penyakit sistemik lain

Dalam kebanyakan kasus, pembedahan mengembalikan penglihatan dengan sangat


efektif. Adanya penyakit sistemik lain, waktu intervensi, dan cara pembedahan dapat
berperan penting dalam menentukan hasil visual. Penelitian terbaru mengungkapkan
bahwa pada sebagian besar kasus, prognosis setelah operasi sangat baik hampir 70
hingga 80%.10,19

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

 Nama : Tn. AAS.


 Jenis kelamin : Laki-laki.
 Usia : 63 Tahun.
 Alamat : Petukangan, Jakarta Selatan.
 Agama : Islam.
 Status Perkawinan : Kawin.
 Pekerjaan : Pensiunan pekerja pabrik.
 Tanggal pemeriksaan : Jumat, 31 Agustus 2023.

3.2 Anamnesis

 Keluhan Utama

Mata kanan gelap seperti tertutup tirai sejak 2 bulan SMRS.

 Keluhan Tambahan

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien laki-laki usia 40 tahun datang ke poli mata RSUP Fatmawati rujukan
dari RS Umum Petukangan dengan keluhan mata kanan gelap seperti tertutup tirai 2
bulan SMRS. Pasien mengaku pengelihatan mata kanannya hanya terlihat bagian
lateral saja.
Pasien mengaku keluhan diawali 4 bulan SMRS setelah pasien mengalami
kecelakaan menabrak mobil akan tetapi pasien mengaku kepalanya tidak terbentur.
Setelah kecelakaan tersebut pasien mengaku melihat bintik hitam dan kilatan cahaya
di mata sebelah kanan serta pengelihatannya belum gelap atau seperti tertutup tirai.
Untuk menangani keluhan tersebut pasien menggunakan obat tetes rohto. Dua bulan
SMRS pasien disarankan oleh keluarga untuk mencuci mata kanannya menggunakan
air rebusan kembang telang dan daun sirih, pasien mengaku mencuci mata
menggunakan air rebusan tersebut saat malam hari dan pada pagi harinya pengelihatan
pasien berubah menjadi gelap seperti tertutup tirai.

Pasien berobat ke RS terdekat dan di diagnosa katarak sehingga dirujuk ke


RSUP Fatmawati. Nyeri pada mata disangkal, gatal pada mata disangkal, keluar
kotoran atau sekret dari mata disangkal, demam disangkal, sakit kepala disangkal. Saat
ini pasien tidak menggunakan obat mata apapun.

 Riwayat Penyakit Dahulu


- Kelainan refraksi disangkal.
- Keluhan serupa sebelumnya disangkal.
- Riwayat DM disangkal.
- Riwayat Hipertensi sejak 2 tahun yll, terkontrol.
 Riwayat Keluarga

Riwayat keluhan serupa pada keluarga disangkal.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis.

Berat Badan : 74 Kg

Tinggi Badan : 165 Cm


IMT : 27,2 (Obesitas Grade I)

Tanda vital

 Tekanan darah : 124/65 mmHg


 RR : 20x/menit
 HR : 62x/menit
 Suhu : 36,6°C
o Kepala: Normocephal.
o Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor, diameter
3mm/3mm, RCTL (+/+), RCL (+/+).
o Hidung: Tidak diperiksa.
o Telinga: Tidak diperiksa.
o Mulut: Tidak diperiksa.
o Leher: Pembesaran KGB (-).
o Jantung: Tidak diperiksa.
o Paru: Tidak diperiksa.
o Abdomen: Tidak diperiksa.
o Ekstremitas: Tidak diperiksa.

Status Oftalmologi

 Tajam Pengelihatan
AVOD : 1/300 tidak dapat dikoreksi dengan pinhole.
AVOS : 5/15 S+1.50 -> 5/5.
 TIO
OD : 4,5/5,5 -> 18,9 mmHg.
OS : 5,5/5,5 -> 15,5 mmHg.
 Kedudukan Bola Mata: Orthoforia
 Gerakan Bola Mata: OD OS Baik ke segala arah.

 Segmen Anterior

OD OS
Palpebra Bengkak (-), Ekimosis Bengkak (-), Ekimosis
(-), Silia lengkap, (-), Silia lengkap,
Entropion (-), Entropion (-),
Ektropion (-). Ektropion (-)..
Konjungtiva Hiperemis (-), Anemis Hiperemis (-), Anemis
(-), Folikel (-), Papil (-), (-), Folikel (-), Papil (-),
Injeksi siliar (-), injeksi Injeksi siliar (-), injeksi
konjungtiva (-), injeksi konjungtiva (-), injeksi
episklera(-), episklera(-)
Kornea Cembung, Arcus senilis Cembung, Arcus senilis
(+), Licin, Sikatrik (-), (+), Licin, Sikatrik (-),
Benda Asing (-). Benda Asing (-).
Bilik Mata Depan Kesan Dalam, Hifema Kesan Dalam, Hifema
(-), Hipopion (-). (-), Hipopion (-).
Iris/Pupil Warna Coklat, Bulat, Warna Coklat, Bulat,
RCL (+)/RCTL (+). RCL (+)/RCTL (+).
Lensa Keruh derajat 1, Keruh derajat 1,
Shadow Test (+). Shadow Test (+).
Mata Kanan Mata Kiri

 Segmen Posterior (Funduskopi)

OD OS
Vitreus Keruh Jernih
Fundus Refleks fundus (+), Papil Refleks fundus (+), Papil
bulat, batas tegas, CDR bulat, batas tegas, CDR
0,3. Pemb darah Retina 0.3, aa/vv 2/3, retina baik,
sulit dinilai, Retinal perdarahan retina (-),
Detachment (+) eksudat (-), Refleks
supranasal, refleks makula makula (+).
tidak dapat ditemukan.
Hasil Funduskopi

Mata Kanan Mata Kiri

3.4 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium dan Rontgen Thorax pre op vitrektomi.

3.5 Resume

Tn. AAS, 63 Tahun datang ke Poli Mata RSUP Fatmawati dengan keluhan mata kanan
gelap tertutup tirai 2 bulan SMRS. Pasien mengaku pengelihatan mata kanannya hanya
terlihat bagian lateral saja. Keluhan diawali dengan munculnya bintik hitam dan kilatan
cahaya pada mata kanan setelah pasien mengalami kecelakaan 4 bulan SMRS. Pasien
mengeluh mata kanan nya menjadi gelap satu hari setelah mencuci mata kanan nya
menggunakan air rebusan kembang telang dan daun sirih. Pada pemeriksaan
oftalmologis didapatkan AVOD: 1/300 tidak dapat dikoreksi dengan pinhole dan
AVOS: 5/15 S+1.50 -> 5/5. Pemeriksaan segmen anterior ditemuka Arcus Senilis (+)
pada kedua kornea dan Shadow Test (+) pada kedua lensa. Pada pemeriksaan
funduskopi ditemukan vitreus keruh OD, retinal detachment supranasal OD (+) OD.
3.6 Diagnosis

Diagnosis Kerja

OD :

 Ablasio Retina Regmatogen


 Katarak Imatur Senil.

OS :

 Katarak Imatur Senil.


 Hipermiopia.

Diagnosis Banding

OD : Ablasio Retina Eksudatif

OS :

 Presbiopia
 Retionopati Hipertensi.

3.7 Rencana Tatalaksana

 Edukasi untuk mencegah aktivitas berat dan memerplukan konsentrasi tinggi


seperti menyetir.
 Edukasi untuk tidak mengucek mata ataupun memberikan obat selain yang
diresepkan oleh dokter spesialis mata,
 Pro Vitrektomi OD.
 Edukasi mengenai penanganan katarak berupa operasi dan tidak harus segera
dilakukan (kecuali jika katarak sudah mengganggu aktivitas sehari-hari).
 Edukasi untuk membuat kacamata lensa (+).
3.8 Prognosis

OD :

 Ad Vitam : Bonam
 Ad Functionam : Dubia ad Malam
 Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

OS :

 Ad Vitam : Bonam
 Ad Functionam : Dubia ad Bonam
 Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
BAB IV

DISKUSI KASUS

Tn. AAS, 63 Tahun adalah pasien baru rujukan dari RS Umum Petukangan.
Pasien datang ke poli mata RSUP Fatmawati dengan keluhan mata kanan gelap tertutup
tirai dan pengelihatan hanya terlihat dari sisi lateral sejak 2 bulan SMRS. Keluhan
muncul sejak 4 bulan SMRS saat pasien mengaku melihat bintik hitam dan kilatan
cahaya dari mata kanannya pasca mengalami kecelakaan. Dua bulan SMRS
berdasarkan anjuran keluarga, pasien mencuci mata kanannya menggunakan air
rebusan kembang telang dan air sirih dan esok harinya pengelihatan pada mata kanan
pasien menjadi gelap seperti tertutup tirai.

Ablasio retina umumnya memiliki gejala berupa muncul floaters dan fotopsia
pada pengelihatan. Hal ini dapat terjadi karena adanya tarikan vitreus pada retina yang
dapat menyebabkan timbul kilatan cahaya atau fotopsia. Kemudian adanya floaters
karena terjadi perdarahan pada vitreus dan lepasnya Retinal Pigmen Epithelium, dapat
diduga hal itu terjadi karena efek dari kecelakaan yang dialami oleh pasien 4 bulan.
Pasien memiliki beberapa faktor risiko yang dapat menjadi pencetus terjadinya ablasio
retina, yaitu dugaan terdapat trauma tertutup pada daerah retina akibat kecelakaan,
kemudian jenis kelamin laki-laki, dan usia yang sudah 63 tahun yang dapat
berpengaruh terhadap pencairan gel vitreus yang kemudian berakumulasi dan masuk
ke dalam rongga retina.

Pada pemeriksaan TIO, ditemukan TIO pasien adalah 4,5/5,5 -> 18,9 mmHg
walaupun pada beberapa kasus ablasio retina ditemukan TIO yang menurun, pada
pemeriksaan segmen anterior juga dalam batas normal, RCL dan RCTL (+). Akan
tetapi pada pemeriksaan FOD walaupun refleks fundus (+) ditemukan retinal
detachment pada area supranasal. Hal ini sesuai dengan kondisi klinis pasien yang
mengalami penurunan visus pengelihatan secara mendadak, dari yang awalnya hanya
terdapat floaters dan fotopsia, berubah mendadak menjadi AVOD 1/300 dan
pengelihatan gelap seperti tertutup tirai.
Tipe ablasio yang mungkin dialami oleh pasien adalah Ablasio Retina
Regmatogen (ARR) mengingat dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, terdapat
beberapa gejala yang mengarah ke diagnosa tersebut. ARR adalah sebuah
kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata karena kecepatan penanganan menjadi
penentu keberhasilan untuk mengembalikan pengelihatan pasien.

Pasien juga pada saat pemeriksaan segmen anterior pada kedua kornea
ditemukan Arcus Senilis dan Shadow Test (+) pada lensa, hal ini adalah suatu keadaan
yang umum terjadi mengingat usia pasien yang sudah >60 tahun sehingga sudah terjadi
proses penuaan yang mengakibatkan dengan munculnya katarak, pasien juga mengaku
sejak muda tidak pernah memakai kacamata namun saat ini agak kesulitan dalam
membaca, terbukti dengan pemeriksaan refraksi ditemukan AVOS: 5/15 S+1.50 -> 5/5.
Prosesn penuaan ini dapat menyebakan peningkatan ketebalan lensa yang berujung
kepada nucleus lensa mengalami pengerasan atau yang bisa disebut sclerosis nuclear.
Proses penuaan juga dapat menyebakan denaturasi protein lensa akibat menurunnya
fungsi transpor aktif dari metabolisme lensa yang berakibat pada terjadinya opasifikasi
serat kortikal lensa.
BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis, dan pemeriksaan fisik pada pasien


dapat ditegakkan diagnosis Ablasio Retina Regmatogen OD dan katarak
imatur senil ODS. Tata laksana yang dapat dilakukan untuk ablasio retin
adalah edukasi pasien untuk mengurangi aktivitas berat khususnya yang
membutuhkan konsentrasi tinggi seperti menyetir Kemudian pasien
dipersiapkan untuk tindakan operasi vitrektomi. Untuk katarak imatur
senil lakukan edukasi kepada pasien bahwa kondisi tersebut umum terjadi
pada orang yang sudah berusia lanjut, diinformasikan cara
penanganannya hanya melalui operasi akan tetapi selagi katarak
tersebut belum mengganggu aktivitas sehari-hari maka tindakan operasi
belum perlu untuk dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Juandy A, Shidik A, Viktor AA. Buku Ajar Oftalmologi. 1st ed. Jakarta: Badan
Penerbit FK UI; 2017.

2. Perdami. Pedoman Nasional Penanganan Kedokteran Ablasio Retina


Regmatogen di Indonesia [Internet]. Kurniawan Afrisal, Djatikusumo Ari,
Sovani Iwan, editors. Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia; 2018 [cited
2023 Sep 1]. Available from: https://perdami.or.id/wp-
content/uploads/2022/03/Panduan-Nasional-Pelayanan-Kedokteran-Ablatio-
Retina-Regmatogen.pdf

3. Suharjo SU, Agni AN, Nugroho A. Buku Ilmu Kesehatan Mata. 3rd ed.
Yogyakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada; 2017.

4. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 6th ed. Edinburgh:


Butterworth Heinemann; 2007.

5. Cantor L, Rapuano J, Cioffi G. Lens and cataract. 2014-2015 Basic and clinical
Science course. American Academy of Ophthalmology. 2015;

6. Patel PS. Top 10 Eye Emergencies. American Academy of Ophtalmology


[Internet]. 2016 [cited 2023 Sep 1]; Available from: https://www.aao.org/young-
ophthalmologists/yo-info/article/top-10- eye-emergencies.

7. Himayani R, Irawan J, Rahmayani F, Sidharti L. Pendekatan Pelayanan


Kesehatan Primer pada Kegawatdaruratan Mata: Ablasio Retina. JK Unila.
2021;
8. Li JQ, Welchowski T, Schmid M, Holz FG, Finger RP. Incidence of
Rhegmatogenous Retinal Detachment in Europe - A Systematic Review and
Meta-Analysis. Ophthalmologica. 2019;242(2):81–6.

9. NIH. Cataracts Statistics and Data [Internet]. National Eye Institute of Health.
2016 [cited 2023 Sep 1]. Available from: https://nei.nih.gov/eyedata/cataract

10. Dirjen Yankes. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Katarak
pada Dewasa. Kemenkes RI; 2018.

11. Riordan P, Cunningham ET. Vaughn & Asbury’s General Opthalmology. 18th
ed. London: The Mc Graw Hill Companies Inc; 2011.

12. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed.
Bonnie R, editor. United States of America: John Wiley & Sons, Inc; 2012.

13. Chalam KV, Ambati BK, Grover S, Beaver HA, Wells T. Fundamentals and
Principles of Opthalmology. Vol. 2. Singapore: American Academy of
Opthalmology; 2011.

14. Levin L, Wu L, Kaufmann P. Adler’s Physiology of The Eye. 11th ed.


Edinburgh: Elsevier; 2011.

15. Lang G. Opthalmology - A Pocket Textbook Atlas. 2nd ed. Thieme; 2006.

16. Regillo C, Holekamp N, Johnson MW, Kaiser PK, Spaide R. Peripheral Retinal
Abnormalities. Retina and Vitreous. 12th ed. Singapore: American Academy of
Ophthalmology; 2011.

17. Bradbury M, Landers M. Pathogenetic Mechanism of Retinal Detachment. 3rd


ed. St. Louis: Mosby; 2001.

18. Calgary. Retinal Detachment: Pathogenesis [Internet]. The Calgary Guide to


Understanding Disease. 2020 [cited 2023 Sep 2]. Available from:
https://calgaryguide.ucalgary.ca/retinal-detachment-pathogenesis/
19. Grzybowski A, Kanclerz P, Muzyka-Woźniak M. Methods for Evaluating
Quality of Life and Vision in Patients Undergoing Lens Refractive Surgery.
Graefes Arch Clin Exp Ophthalmol. 2019 Jun;257(6):1091–9.

Anda mungkin juga menyukai