Anda di halaman 1dari 55

KASUS PANJANG

Katarak Senilis dan Dry Eye Syndrome

Elvira Irene T 150070200011040


Nadiya Elfira Bilqis 150070200011068
Nuriesta Novianti 150070200011106

Pembimbing:
dr. Aulia Abdul H, Sp.M

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM SAIFUL ANWAR
MALANG
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... 1


DAFTAR ISI ................................................................................................. 2
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... 3
DAFTAR TABEL .......................................................................................... 4
BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................................. 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 8
2.1. Katarak .................................................................................... 8
2.2. Dry Eye Syndrome .................................................................. 29
BAB 3. LAPORAN KASUS .......................................................................... 42
BAB 4. PEMBAHASAN ................................................................................ 48
BAB 5. KESIMPULAN .................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 54

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Lensa ...................................................................... 8

Gambar 2. Anatomi Lensa Histologi ........................................................ 9

Gambar 3. Morfologi Lensa pada Katarak Senilis ................................... 20

Gambar 4. Anatomi Sistem Lakrilamalis ................................................. 30

Gambar 5. Lapisan Air Mata ................................................................... 31

Gambar 6. Mekanisme terjadinya sindrom mata kering .......................... 34

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Katarak .............................................................. 17


Tabel 2. Stadium Katarak Senilis .................................................... 19

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Katarak merupakan salah satu penyebab kebutaan terbanyak di Indonesia
maupun di dunia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh WHO tentang
estimasi gangguan penglihatan dan kebutaan global pada tahun 2010,
sebanyak 0,58% populasi atau 39 juta orang menderita kebutaan,
dimanasebanyak 51% dari kasus disebabkan oleh katarak (WHO, 2010). Di
Indonesia, prevalensi kebutaan pada tahun 2013 adalah sebesar 0,4%
dengan prevalensi katarak nasional sebesar 1,8%. Perkiraan insiden katarak
adalah 0,1% per tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat
seorang penderita baru katarak. Di Indonesia, kemunculan kasus baru katarak
dapat mencapai 210.000 orang setiap tahunnya (Kemenkes, 2014).
Katarak merupakan kekeruhan pada lensa mata .Kekeruhan yang terjadi
pada lensa mata mengakibatkan jumlah cahaya yang masuk ke mata akan
berkurang dan menimbulkan gangguan pengelihatan (Harper, 2008).
Kekeruhan terjadi akibat hidrasi atau penambahan cairan di lensa, denaturasi
protein lensa, maupun keduanya. Sebagian besar katarak berhubungan
dengan bertambahnya usia, namun anak juga dapat lahir dengan katarak,
atau katarak dapat terjadi setelah terdapat riwayat trauma, peradangan,
maupun karena suatu penyakit seperti glaukoma, ablasi, uveitis dan retinitis
pigmentosa. Faktor resiko untuk katarak yang berhubungan dengan usia
antara lain diabetes, paparan sinar matahari yang terlalu lama pada mata,
penggunaan tembakau dan konsumsi alkohol (WHO, 2012).
Pengobatan pada katarak adalah tindakan pembedahan terhadap lensa
yang keruh. Setelah pembedahan, lensa diganti dengan kacamata afakia,
lensa kontak atau lensa tanam intraokuler. Dengan peningkatan pengetahuan
mengenai katarak, penatalaksanaan sebelum, selama, dan sesudah operasi,
diharapkan penganganan katarak dapat lebih diperluas sehingga prevalensi
kebutaan di Indonesia dapat diturunkan (Ocampo, 2016; Kemenkes, 2013). Di
Indonesia sendiri, selama tahun 2010 telah dilaksanakan 7.862 operasi buta
katarak. Total operasi katarak setahun di Indonesia diperkirakan mencapai
100.000 tindakan. Namun, jumlah operasi itu masih belum mampu mengejar

5
kasus baru yang muncul setiap tahun maupun memulihkan penderita yang
sudah telanjur buta (Perdami. 2011).
Sindrom mata kering, atau keratoconjunctivitis sicca (KCS) didefinisikan
sebagai penyakit mata yang mana jumlah atau kualitas produksi air mata
berkurang atau penguapan air mata film meningkat. Mata kering merupakan
salah satu gangguan yang sering pada mata, persentase insidenisanya sekitar
10-30% dari populasi, terutama pada orang yang usianya lebih dari 40 tahun
dan 90% terjadi pada wanita. Pasien dengan mata kering paling sering
mengeluh tentang sensasi gatal atau berpasir (Ilyas, 2011).
Oleh karena angka kejadian katarak dan sindroma mata kering yang cukup
tinggi, maka sangat perlu bagi seorang dokter untuk mempelajari lebih lanjut
mengenai katarak dan sindroma mata kering. Pada makalah ini, penulis akan
membahas mengenai contoh kasus hingga pembahasan mengenai katarak
dan sindroma mata kering.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi, etiologi, patogenesis, dan faktor resiko katarak?
2. Bagaimana klasifikasi katarak?
3. Bagaimana cara mendiagnosis katarak?
4. Bagaimana penatalaksanaan katarak?
5. Apakah definisi, etiologi, patogenesis, dan faktor resiko Dry Eye
Syndrome?
6. Bagaimana kriteria diagnosis Dry Eye Syndrome?
7. Apakah komplikasi yang dapat terjadi pada katarak dan DES?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, dan faktor resiko katarak.
2. Untuk mengetahui klasifikasi katarak.
3. Untuk mengetahui kriteria diagnosis katarak.
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan katarak.
5. Untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, dan faktor resiko Dry Eye
Syndrome.
6. Untuk mengetahui kriteria diagnosis Dry Eye Syndrome.
7. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada katarak dan Dry Eye
Syndrome.

6
1.4 Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman dokter muda mengenai definisi, kriteria
diagnosis, penatalaksaan, serta komplikasi dari katarak dan Dry Eye
Syndrome serta memahami kasus yang diangkat pada tulisan ini.
2. Dokter muda dapat menerapkan ilmu yang di pelajari pada saat pelayanan
di masyarakat sehingga status kesehatan masyarakat dapat menjadi lebih
baik pada masa yang akan datang.

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Katarak
2.2.1 Definisi
Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies dan Bahasa Latin
Cataracta yang berarti air terjun. Dalam Bahasa Indonesia disebut
sebagai bular, penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang
keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang
dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi
protein lensa terjadi akibat kedua-duanya. Kekeruhan ini dapat terjadi
pada salah satu mata atau kedua mata yang berjalan progresif
ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama
(Ilyas, 2011).
Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas
karena dengan lensa yang keruh, cahaya sulit mencapai retina dan
akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Katarak sering
digambarkan sebagai mirip dengan melihat melalui air terjun atau
kertas lilin.
Katarak dapat terjadi sebagai akibat dari proses penuaan atau
proses sekunder akibat faktor kelainan metabolik, nutrisi, trauma,
inflamasi, keturunan, dan radiasi. Kekeruhan lensa karena faktor umur
adalah katarak yang paling sering terjadi.

2.2.2 Anatomi dan Fisiologi Lensa


Lensa merupakan bagian segmen anterior mata yang berfungsi
sebagai media refraksi bersama kornea. Bagian anterior lensa adalah
iris yang berfungsi dalam mengatur jumlah cahaya yang masuk ke
mata (LifeMap, 2015). Sedangkan bagian posterior lensa adalah
badan vitreous. Lensa bersama dengan iris membentuk diafragma
optikal yang memisahkan bilik anterior dan posterior bola mata (Lang,
2000). Lensa tidak memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan
jaringan ikat. Lensa disangga oleh serat-serta zonula yang berasal dari
badan siliar. Serat-serat tersebut menyisip ke bagian ekuator kapsul
lensa. Lensa memiliki bentuk ellipsoid, biconveks seperti cakram. Pada

8
orang dewasa berat lensa sekitar 220 mg dengan diameter 10 mm dan
memiliki panjang aksial 4 mm. Lensa mempunyai daya akomodasi
yang berfungi mengubah jarak fokus mata dengan bentuknya yang
berubah sehingga memungkinkan cahaya dibiaskan jatuh tepat dan
fokus di retina. Total kekuatan refraktif sekitar 10-20 Dioptri bergantung
pada akomodasi tiap individu (Duker, 2008).

Gambar 1. Anatomi Lensa (Lang, 2000)

Secara histologi lensa mempunya tiga bagian utama, yaitu


kapsul lensa, epitelium lensa dan serat-serat lensa, Kapsul lensa
adalah suatu mebran basalis yang mengelilingi substansi lensa yang
terutama terdiri atas kolagen tipe IV dan glikoprotein8. Kapsul lensa ini
bersifat semipermeabel, homogen, refraktil, dan kaya akan kabohidrat
yang meliputi permukaan luar sel-sel epitel. Epitel subkapsular terdiri
atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada permukaan anterior
lensa. Epitel ini berbentuk kuboid dan akan berubah menjadi kolumnar
di bagian ekuator dan terus memanjang membentuk serat lensa. Serat
lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan
gepeng. Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan
berasa dari sel-sel subkapsular. Sel-sel epitel dekat ekuator lensa
membelah sepanjang hidup sehingga serat-serat lensa yang lebih tua
dipampatkan ke nucleus sentral. Serat-serat muda yang kurang padat,
di sekeliling nucleus menyusun korteks lensa (LifeMap, 2015).

9
Gambar 1 Anatomi Lensa Histologi (LifeMap, 2015)

Tegangan zonula dikendalikan oleh aktivitas muskulus siliaris,


yang bila berkontraksi akan mengendurkan tegangan zonula. Lensa
menjadi lebih bulat dan dihasilkan daya dioptri yang lebih kuat untuk
memfokuskan objek- objek yang lebih dekat. Relaksasi muskulus
siliaris akan menghasilkan kebalikan dari peristiwa tersebut, membuat
lensa mendatar dan memungkinkan objek- objek jauh terfokus.
Dengan bertambahnya usia, daya akomodasi lensa akan berkurang
secara perlahan- lahan seiring dengan penurunan elastisitasnya.

2.2.3 Epidemiologi
Katarak merupakan penyebab paling umum gangguan mata di
dunia terutama di negara berkembang yang dapat berujung pada
kebutan. Pada suatu studi di India menunjukkan bahwa pervalensi
kejadian katarak adalah tiga kali lipat jika dibandingkan dengan
Amerika Serikat, dengan pasien katarak berumur 75 hingga 83 tahun
sebanyak 82% sedangkan di Amerika Serikat hanya sebesar 46%
pada kelompok umur yang sama (Robertson, 2015). Menurut data
World Health Organization (WHO), katarak akibat penuaan
menyebabkan 48% kebutaan di seluruh dunia, yang mengenai sekitar
18 juta orang.

10
Di Indonesia, prevalensi kebutaan pada tahun 2013 adalah
sebesar 0,4% dengan prevalensi katarak nasional sebesar 1,8%.
Prevalensi katarak tertinggi berada di Sulawesi Utara (3,7%) diikuti
oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%).4Perkiraan insiden katarak adalah
0,1%/tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang
penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki
kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan
penduduk di daerah subtropis, sekitar 16-22% penderita katarak yang
dioperasi berusia di bawah 55 tahun.

2.2.4 Etiologi dan Patofisiologi


Terdapat berbagai proses patogenesis katarak, antara lain adalah:
2.2.4.1 Usia
Lensa yang normal adalah suatu struktur yang jernih dan
transparan. Dengan bertambahnya usia, nukleus
mengalami perubahan warna dan menjadi coklat
kekuningan. Lensa akan mengalami pertumbuhan terus-
menerus dan membentuk serat lensa dengan arah
pertumbuhan yang konsentris. Tidak ada sel yang mati
ataupun terbuang karena lensa tertutupi oleh serat lensa.
Sehingga serat lensa paling tua berada di pusat lensa
(nukleus) dan serat lensa yang paling muda berada tepat di
bawah kapsul lensa (korteks). Dengan bertambahnya usia,
lensa juga bertambah berat, tebal dan kerasa terutaba pada
bagian nukleus yang sering disebut dengan nuklear
sklerosis. Selain itu fraksi protein lensa yang dahulunya larut
air menjadi tidak larut air dan beragregasi membentuk
protein dengan berat molekul yang besar. Hal ini
menyebabkan tranparansi lensa berkurang. Kelainan
refraksi miopia juga menyebabkan progresivitas proses
nuklear sklerosis pada katarak.
2.2.4.2 Radikal Bebas
Pada suatu model ekperimental, stres oksidatif berkontribusi
dalam pembentukan katarak lensa dengan cara
menurunkan kadar adenosine triphosphate dan glutathione

11
disulfide yang berfungsi sebagai bahan antioksidan di lensa
(BMJ). Salah satu sumber radikal bebas penyebab katarak
adalah sinar ultraviolet yang terdapat dalam jumlah besar di
dalam sinar matahari. Memang sudah diketahui bahwa
radiasi ultraviolet menghasilkan radikal bebas di dalam
jaringan. Jaringan di permukaan mata yang transparan
sangat peka terhadap sinar ultraviolet. Pada mereka yang
mempunyai riwayat terpajan sinar matahari untuk waktu
lama dapat mempercepat terjadinya katarak. Di Australia,
daerah radiasi UV yang lebih tinggi menunjukkan dengan
prevalensi lebih tinggi dan onset awal katarak .18 Prevalensi
katarak dilaporkan 3,8 kali lebih tinggi di daerah dengan
rata-rata 12 jam paparan sinar matahari sehari-hari
dibandingkan dengan daerah-daerah dengan hanya 7 jam
paparan di Nepal.
2.2.4.3 Penggunaan Obat-Obatan
Penggunaan kostikosteroid jangka panjang dapat
meginduksi terjadinya PSCs (Posterior Subscapular
Catharact). Pada satu studi dilaporkan, pasien dengan
menggunakan oral prednisolon dan diobservasi selama 1-4
tahun, 11% menggunakan 10 mg/hari menjadi katarak,
sekitar 30% dari mereka mendapat 10-15 mg/hari dan 80%
dari mereka mendapatkan lebih dari 15 mg/hari. Pada studi
lain, beberapa pasien mendapat steroid topical berlanjut
menjadi keratoplasty yang berlanjut menjadi katarak setelah
mendapatkan sekitar 2.4 drops per hari 0,1%
ddexamethasone selama periode 10,5 bulan. Beberapa
steroid dapat menginduksi PSCs pada anak dan bisa
reversibel setelah penghentian penggunaan steroid.
2.2.4.4 Trauma
Selain itu kerusakan lensa akibat trauma dapat disebabkan
oleh peradangan mekanik, kekuatan fisikal berupa radiasi,
kimia, ataupun elektrik. Katarak akibat trauma tumpul dapat
melibatkan sebagian atau seluruh dari bagian lensa. Sering,
manifestasi awal dari kontusio katarak adalah stellate atau

12
rosette-shaped opacification. Katarak yang terjadi biasanya
disebut katarak traumatik. Sedangkan pada trauma yang
bersifat perforans dan penetrasi pada lensa sering
menghasilkan kekeruhan pada kortex bagian yang
mengalami rupture, biasanya progresifitas sangat cepat
untuk menjadi kekeruhan total. Elektrikal syok dapat
menyebabkan koagulasi protein dan menyebabkan katarak.
Awalnya, vakuola lensa muncul pada perifer anterior lensa,
diikuti kekeruhan linier di korteks subcapsule anterior.
katarak menyebabkan cedera electrycal mungkin membaik,
tetap diam, atau matur untuk menjadi katarak komplit
selama beberapa bulan atau tahun.
2.2.4.5 Penyakit Sistemik
Peningkatan kadar glukosa darah pada penderita diabetes
melitus akan meningkatkan komposisi glukosa dalam humor
aqueous yang akan berdifusi masuk ke dalam lensa,
sehingga komposisi glukosa dalam lensa juga akan
meningkat. Beberapa dari glukosa akan di konfersi oleh
enzim aldose reduktase menjadi sorbitol. Sorbitol tidak akan
dimetabolisme tetapi tetap di dalam lensa. Kemudian
perubahan tekanan osmotik menyebabkan influks cairan ke
dalam lensa yang menyebabkan perubahan kekuatan
refraksi lensa. Terdapat 2 tipe klasifikasi katarak pada
pasien diabetus . True diabetic cataract, atau snowflake
cataract, dapat bilateral, onset terjadi secara tiba tiba dan
menyebar sampai subkapsular lensa, tipe ini biasa terjadi
pada usia dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol.
kekeruhan menyeluruh supcapsular seperti tampilan
kepingan salju terlihat awalnya di superfisial anterior dan
korteks posterior lensa. Vacuola muncul dalam kapsul lensa.
Pembengkakan dan kematangan katarak kortikal terjadi
segera sesudahnya. Peneliti percaya bahwa perubahan
metabolik yang mendasari terjadinya true diabetic cataract
pada manusia sangat erat kaitannya dengan katarak sorbitol
yang dipelajari pada hewan percobaan.

13
Galaktosemia adalah inherediter autosomal resesif
ketidakmampuan untuk menkonversi galactosa menjadi
glukosa. Sebagai konsekuensi ketidakmampuan hal
tersebut, terjadi akumulasi galaktosa pada seluruh jaringan
tubuh, lebih lanjut lagi galactosa dikonversi menjadi
galaktitol (dulcitol), sejenis gula alcohol dari galactosa.
Galaktosemia dapat terjadi akibat defek pada 1 dari 3
enzimes yang terlibat dalam proses metabolism galaktosa :
galactosa 1-phosphate uridyl transferase, galactokinase,
atau UDP-galactose-4-epimerase. Pada pasien dengan
galaktosemia, 75% akan berlanjut menjadi katarak.
Akumulasi dari galaktosa dan galakttitol dalam sel lensa
akan meningkatkan tekanan osmotic dan influk cairan
kedalam lensa.

2.2.5 Faktor Resiko


Faktor risiko terjadinya katarak sangat luas tergantung dari proses
patogenesis serta faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsi. Faktor
intrinsik yang berpengaruh antara lain adalah umur, jenis kelamin dan
faktor genetik sedangkan faktor ekstrinsik yang berpengaruh antara
lain adalah pekerjaan, rokok, radiasi ultraviolet, diabetes melitus, dan
faktor lingkungan.
2.2.5.1. Pekerjaan
Pekerjaan dalam hal ini erat kaitannya dengan paparan sinar
matahari. Suatu penelitian yang menilai secara individual,
menunjukkan nelayan mempunyai jumlah paparan terhadap sinar
ultraviolet yang tinggi sehingga meningkatkan risiko terjadinya
katarak kortikal dan katarak posterior kapsular.
2.2.5.2. Perokok
Merokok dan mengunyah tembakau dapat menginduksi stress
oksidatif dan dihubungkan dengan penurunan antioksidan, askorbat
dan karetenoid. Merokok menyebabkan penumpukan molekul
berpigmen -3 hydroxykhynurine dan chromophores, yang
menyebabkan terjadinya penguningan lensa. Sianat dalam rokok
juga menyebabkan terjadinya karbamilasi dan denaturasi protein.

14
2.2.5.3. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks
refraksi dan amplitude akomodatif. Dengan meningkatnya kadar gula
darah, maka meningkat pula kadar glukosa dalam humor akuos.
Keadaan hiperglikemia akan menyebabkan glukosa ekstraseluler
masuk secara difusi ke lensa yang dapat menyebabkan modifikasi
transisional. Sebagian glukosa tersebut dirubah oleh enzim aldose
reduktase menjadi sorbitol, yang tidak dimetabolisme tapi tetap
berada dalam lensa.
2.2.5.4. Alkohol
Peminum alkohol kronis mempunyai risiko tinggi terkena berbagai
penyakit mata, termasuk katarak. Pada peminum alkohol berat akan
mengalami penurunan intake nutrisi. Hal ini disebabkan oleh alkohol
yang dapat menekan nafsu makan dan mengganggu proses
metabolisme serta absorpsi nutrisi. Pecandu alkohol juga mengalami
kekurangan vitamin. Normalnya vitamin A dan E sebagai antioksidan
berada di hati, namun kadar vitamin tersebut dapat berkurang
dengan konsumsi alkohol berat. Status nutrisi yang buruk telah
diketahui sebagai faktor risiki katarak.
2.2.5.5. Kortikosteroid
Pada penelitian tahun 1960 menyatakn bahwa terdapat hubungan
antara penggunaan steroid ssistemik dengan perkembangan katarak
subkapsular posterior. Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi
inflamasi, kelainan sistem imun seperti asma, rheumatoid arthritis,
dan lupus menunjukkan peningkatan angka prevalensi katarak
subkapsular posterior, khususnya pada anak-anak.
2.2.5.6. Hipertensi
Studi Framingham menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
tekanan darah tinggi dengan katarak senil. Hal ini masih belum jelas
bagaimana tekanan darah tinggi dapat menyebabkan katarak senil.
2.2.5.7. Diare dan defek genetik
Pada pasien diare terjadi malnutrisi sekunder karena malabsorpsi
nutrisi; alkalasi relatif karena proses rehidrasi cairan bikarbonat; dan
dehidrasi yang memicu gangguan tekanan osmotik dan mengganggu
metabolisme kolesterol. Defek genetik contohnya Smith Lemli Opitz

15
Syndrome dan Mevalonic aciduria menyebabkan gangguan
biosintesis kolesterol pada fase awal dan akhir. Sedangkan pada
Cerebrotendeous xanthomatosis terjadi akumulasi sterol di semua
jaringan termasuk pada lensa.
2.2.5.8. Nutrisi
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa multivitamin, vitamin A,
vitamin C, vitamin E, niasin, tiamin, riboflavin, beta karoten, dan
peningkatan protein mempunyai efek protektif terhadap
perkembangan katarak. Lutein dan zeaxantin adalah satu-satunya
karotenoid yang dijumpai dalam lensa manusia, dan penelitian
terakhir menunjukkan adanya penurunan risiko katarak dengan
peningkatan asupan makanan tinggi lutein (bayam, brokoli).

2.2.6 Klasifikasi Katarak


Klasifikasi katarak dapat dibagi berdasarkan morfologis dan waktu
timbulnya katarak.
2.2.6.1 Berdasarkan Morfologis
1. Katarak kapsular, katarak yang melibatkan kapsul
lensa baik anterior atau posterior. Katarak kapsular
dapat disebabkan oleh usia, uveitis yang berhubungan
dengan sinekia posterior, obat-obatan, radiasi, dan
trauma.
2. Katarak subkapsular, katarak yang melibatkan
bagian superfisial korteks atau tepat di bawah kapsul
lensa baik anterior atau posterior.
3. Katarak kortikela, katarak yang melibatkan korteks
lensa dan merupakan katarak yang paling sering
terjadi. Karatak kortikal sering disebabkan oleh usia
dan diabetes melituss.
4. Katarak nuklear, katarak yang melibatkan bagian
nukleus lensa dan sering kali disebabkan faktor usia.
Katarak nuklear adalah sklerosis normal yang
berlebihan atau pengerasan dan penguningan
nukleus pada usia lanjut.

16
5. Katarak supranuklear, katarak yang melibatkan
bagian kortekss lensa yang paling dalam, tepat di atas
nukleus
6. Katarak polar, katarak yang melibatkan kapsul lensa
dan superfisial korteks lensa hanya di regio polar,
dapat berupa katarak polar anterior dan katarak polar
posterior. Katarak polar sering kali terjadi pada katarak
kongenital atau karena trauma sekunder.
7. Katarak campuran, ketarak yang muncul lebih dari
satu tipe katarak secara bersamaan (Khurana, 2007).

2.2.6.2 Berdasarkan Waktu Timbulnya


1. Katarak kongenital, katarak yang terjadi pada bayi
baru lahir hingga anak usia kurang dari 1 tahun.
Katarak kongenital merupakan salah satu penyebab
kebutaan pada bayi yang cukup berarti. Sekitar 50%
katarak kongenital bersifat sporadik dengan etiologi
yang belum jelas. Pada kasus katarak kongenital perlu
digali riwayat prenatal infeksi ibu seperti rubela pada
kehamilan trimester pertama dan pemakaian obat
selama kehamilan. Pada beberapa kasus ditemukan
ibu hamil dengan riwayat kejang, tetani, ikterus atau
hepatosplenomegali. Katarak kongenital sering
ditemukan pada bayi yang dilhairkan oleh ibu yang
menderita penyakit rubela, galaktosemia,
homosisteinuri, diabetes melitus, hipoparatiroidism,
homosisteinuri, toksoplasmosis, inklusi sitomegalik,
dan histoplasmosis. Katarak kongenital juga sering
ditemukan pada bayi prematur dan gangguan sistem
saraf seperti retardasi mental.
2. Katarak juvenil, Katarak yang lembek dan terdapat
pada orang muda, yang mulai terbentuknya pada usia
kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak
juvenil biasanya merupakan kelanjutan katarak
kongenital.

17
3. Katarak senilis, semua kekeruhan lensa yang
terdapat pada usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun.

Tabel 1 Klasifikasi katarak

Parameter Klasifikasi Klasifikasi Klasifikasi Etiologoi Klasifikasi


Perkemba Morfologi Tipe Penyebab Sekunder
ngan
Tipe Imatur Kapsular Senil Penuaan Veritis
Katarak a) Kongenital Anterior
b) Dapatan
Matur Subkapsular Trauma Radiasi Kelainan
infrared Turunan
a) Anterior Radiasi
ionisasi
b) Posterior
Hipermatur Nuklear Metabolik Diabetes
Melitus
a) Kongenital Galaktosemia
b) Senil Fabry’s
disease
Morgagnian Kortikal Toksik Kortikosteroid
a) Kongenital Klorpromazin
b) Senil
Lamellar

Katarak Senilis
Stadium dan Klasifikasi
Stadium katarak senilis dibagi menjadi 4 stadium yaitu:
1. Katarak Insipien
Kekeruhan dimulai dari tepi ekuator berbentuk jeruji menuju korteks
anterior dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat di dalam
korteks. Katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior
subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan dan korteks
berisi jaringan degeneratif (benda Morgagni) pada katarak insipien.
Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi
yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang
menetap untuk waktu yang lama. Visus pada katarak insipien masih dalam
batas normal.
2. Katarak Imatur
Hanya sebagian lensa saja yang mengalami kekeruhan (katarak
belum mengenai seluruh lapisan lensa). Pada katarak imatur akan dapat

18
bertambah volume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan
lensa yang degenerative. Pada keadaan lensa mencembung akan dapat
menimbulkan hambatan pupil, sehingga terjadi glaucoma sekunder. Visus
pada stadium ini biasanya berkisar antara 5/6 hingga 1/60
3. Katarak Matur
Adalah bentuk katarak yang seluruh proteinnya telah mengalami
kekeruhan. Pada keadaan matur kekeruhan telah mengenai seluruh masa
lensa. Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh.
Bila katarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa
akan keluar, sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan
terjadi kekeruhan seluruh lensa yang bila mana akan mengakibatkan
kalsifikasi lensa. Bilik mata depan akan berukuran kedalaman normal
kembali, tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji
bayangan iris negatif. Visus pada stadium ini berkisar antara 1/60 hingga
Light Perception (LP) (+).
4. Katarak Hipermatur
Katarak hipermatur adalah katarak yang mengalami proses
degenerasi lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa
lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi
mengecil, berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik
mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan
berjalan terus sehingga hubungan dengan zonula zinn menjadi kendor. Bila
proses katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka
korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka korteks akan
memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu disertai dengan nukleus
yang terbenam di dalam korteks lensa karena lebih berat. Keadaan ini
disebut katarak Morgagni.
5. Katarak Nigra
Katarak yang berwarna coklat sampai hitam (katarak nigra) terutama
pada lensa, juga dapat terjadi pada katarak pasien diabetes mellitus dan
miopia tinggi. Sering tajam penglihatan lebih baik dari dugaan sebelumnya
dan biasanya ini terdapat pada orang berusia lebih dari 65 tahun yang
belum memperlihatkan adanya katarak kortikal posterior.

19
Tabel 2 Perbedaan Stadium Katarak Senilis

Insipien Imatur Matur Hipermatur


Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan Lensa Normal Bertambah (air Normal Berkurang (air+masa
masuk) lensa keluar)
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Mata Normal Dangkal Normal Dalam
Depan
Sudut Bilik Normal Sempit Normal Terbuka
Mata
Shadow Test Negatif Positif Negatif Pseudopos
Penyulit - Glaukoma - Uveitis+glaukoma

Katarak Senilis Nuklear merupakan hasil proses penuaan lensa yang


berlebihan, yang melibatkan nukleus lensa yang berwarna kecoklatan.
Korteks anterior dan posterior cenderung jernih dan masih tipis. Bentuk
kekeruhan nuklear ini dapat menyebabkan terjadinya miopia berat yang
memungkinkan penderita membaca jarak dekat tanpa memakai kacamata
koreksi seperti seharusnya (second sight of the aged).
Pada Katarak Senilis Kortikal kekeruhan lensa melibatkan korteks
anterior, posterior, serta ekuatorial. Pada awalnya katarak bermula dengan
adanya vakuol air pada korteks yang kemudian menyusup diantara lamelar
korteks. Kekeruhan dimulai pada daerah perifer dan menjalar menuju
sentral dan sering digambarkan sebagai radial spoke-like, atau shield-like
configuration. Pada katarak kortikal terjadi peningkatan cairan yang masuk
pada lensa mengakibatkan separasi lamelar dan akhirnya terjadi
kekeruhan seluruh korteks berwarna abu-abu putih yang tidak merata.
Kekeruhan ini bisa terjadi cepat tetapi juga bisa tahunan. Derajat gangguan
fungsi penglihatan bervariasi, tergantung seberapa dekat kekeruhan lensa
dengan sumbu penglihatan.
Pada katarak senilis subkapsular anterior kekeruhan terjadi tepat
dibawah kapsula lensa dan dihubungkan dengan metaplasi fibrosa dari
epitel anterior lensa. Sedangkan tipe subkapsular posterior kekeruhan
terjadi didepan kapsula posterior, dan dihubungkan dengan migrasi sel

20
epitel posterior dari lensa. Pasien katarak tipe ini terutama berusia lebih
muda dan mengalami kesulitan jika menghadapi cahaya lampu mobil dari
arah yang berlawanan dan juga oleh sinar matahari terik. Penglihatan jarak
dekat mereka lebih terganggu dibandingkan penglihatan jarak jauh. Tipe
subkapsular posterior sering dihubungkan dengan katarak akibat paparan
sinar ultraviolet, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, trauma,
peradangan, dan retinitis pigmentosa.

Gambar 2 Morfologi lensa pada katarak senilis

2.2.7 Diagnosis
Banyak pasien dengan katarak yang terdiagnosis karena mereka
datang untuk melakukan pemeriksaan saat mengalami gejala
penurunan kualitas penglihatan yang berefek pada aktivitas sehari-
hari.

21
2.2.7.1 Anamnesa
Dalam melakukan anamnesis perlu diketahui data demografi
pasien sebelum menggali riwayat penyakit sekarang (contohnya:
umur, jenis kelamin, ras, dsb). Perlu ditanyakan bagaimana pasien
mengalami penurunan kualitas penglihatan apakah secara tiba-
tiba atau bertahap. Jarang dijumpai kasus penurunan tajam
penglihat yang terjadi mendadak pada pasien katarak. Pada
beberapa kasus katarak telah terjadi bertahun-tahun namun baru
diketahui ketika pasien merasa penglihatannya terganggu. (Murril
et al, 2004).
Keluhan yang membawa pasien datang berobat antara lain:
1. Penglihatan kabur atau berkabut
Kekeruhan lensa menyebabkan penurunan tajam penglihatan
yang perlahan-lahan karena cahaya tidak dapat masuk ke
retina. Bila diberikan pin-hole, tidak mengalami kemajuan.
2. Penglihatan buruk di malam hari
Penderita mengaku penglihatan lebih menurun pada saat
malam hari dibandingkan dengan siang hari.
3. Penglihatan warna berkurang atau berubah
Lensa yang berubah menjadi berwarna karena umur, dapat
menyebabkan objek menjadi terlihat menjadi lebih kuning
4. Penglihatan silau dan halo
Penderita katarak sering mengeluh silau ketika melihat cahaya
terutama pada malam hari. Penderita juga bisa melihat pelangi
di sekitar cahaya lampu.
5. Diplopia atau poliplopia
Bayangan yang terlihat lebih dari satu akibat kekeruhan lensa
yang irregular pada katarak kortikal menyebabkan poliplopia
atau diplopia. Sedangkan pada katarak nuklear biasanya
pasien mengeluh diplopia.

Penggalian riwayat pasien harus mencakup riwayat refraksi,


penyakit mata sebelumnya, ada atau tidaknya ambliopia, operasi
mata sebelumnya dan riwayat trauma. Perlu juga ditanyakan
mengenai kesulitan melihat dalam beberapa kondisi seperti: saat

22
berjalan, berkendara, membaca dalam suasana sangat terang,
membaca label obat, atau saat beraktivitas sehari-hari serta
bekerja (Murrill et al, 2004).

2.2.7.2 Pemeriksaan Fisik


Setelah melakukan penggalian riwayat terhadap pasien kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik yang teliti serta sistematis
pada seluruh tubuh untuk mengetahui adanya penyakit sistemik
yang mempengaruhi terbentuknya katarak. Sedangkan
pemeriksaan lokal mata yang dapat dilakukan adalah (Medscape,
2017):
1. Ketajaman penglihatan.
Katarak sering kali berkaitan dengan terjadinya penurunan
ketajaman penglihatan, baik untuk melihat jauh maupun
dekat. Walaupun telah diberikan pinhole tetapi tajam
penglihatan tetap tidak membaik.
2. Tes Relative Afferent Pupillary Defect (RAPD)
Penting dilakukan test RAPD atau Marcus Gunn pupil yang
mengindikasikan adanya lesi pada saraf optik atau
keterlibatan retina secara difus. Pasien katarak dengan RAPD
yang positif diharapkan menjaga dan memperhatikan
prognosis visual bahkan setelah suatu ekstraksi katarak yang
tidak rumit (Medscape, 2017).
3. Pemeriksaan menggunakan Slit-lamp
Pemeriksaan menggunakan slit-lamp memungkinkan untuk
memeriksa bagian yang lebih kecil sehingga dapat
mendeteksi keabnormalitasan secara dini (Mayo, 2016).
Pemeriksaan menggunakan lampu slit tidak hanya fokus
untuk mengevaluasi kekeruhan lensa namun juga struktur
okular lainnya seperti konjungtiva, kornea, iris, an ruang okuli
anterior. Ketebalan kornea dan adanya kekeruhan kornea
sperti korneal gutata harus diperiksa dengan hati-hati.
Penampakan lensa juga diperiksa secara teliti baik sebelum
dan sesudah dilatasi pupil (Medscape, 2017).
4. Iris shadow test

23
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui derajat
kekeruhan lensa. Pada pemeriksaan ini, sentolop disinarkan
pada pupil dengan membuat sudut 45˚ dengan dataran iris.
Semakin sedikit lensa keruh pada bagian posterior maka
semakin besar bayangan iris pada lensa tersebut.
Penilaian:
 Bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya
jauh terhadap pupil berarti lensa belum keruh selurunya,
ini terjadi pada katarak imatur, keadaan ini disbut iris
shadow test (+).
 Bila bayangan iris pada lensa kecil dan dekat terhadap
pupil berarti lensa sudah keruh seluruhnya. Keadaan ini
terjadi pada katarak matur dengan iris shadow test (-).
 Pada katarak hipermatur, lensa sudah keruh seluruhnya
mengecil serta terletak jauh di belakang pupil, sehingga
bayangan iris pada lensa besar dengan iris shadow test
(-).
5. Miopisasi
Pada tahap awal akan terjadi peningkatan indeks refraksi
lensa (myopic shift), sehingga pada beberapa pe nderita
presbiopi akan merasa dapat membaca kembali dari jarak
dekat tanpa bantuan kacamata baca.
Hal ini merupakan akibat meningkatnya kekuatan fokus
lensa bagian sentral. Gejala lain dapat berupa diskriminasi
warna yang buruk atau diplopia monookuler. Sebagian besar
katarak nuklear adalah bilateral tetapi bisa asimetris.

2.2.7.3 Pemeriksaan Tambahan


1. Funduskopi
Menilai segmen posterior baik diskus, retina dan
makula.
2. USG
Menilai segmen posterior bila tidak dapat dinilai
dengan funduskopi

24
2.2.8 Penatalaksanaan
2.2.8.1 Indikasi Operasi Katarak
Bedah katarak telah mengelami perubahan dramatis selama 30
tahun terakhir dengan adanya mikroskop operasi dan peralatan
bedah mikro, perkembangan lensa intraokular dan perubahan-
perubahan teknik anestesi lokal (buku). Operasi katarak dapat
dipertimbangkan bagi penderita yang tajam penglihatannya menurun
pada satu atau kedua mata. Tidak ada angka yang mutlak untuk
indikasi dilakukannya operasi. Katarak matur adalah indikasi
dilakukannya operasi. Katarak matur yang tidak dioperasi dapat
menimbulkan komplikasi seperti uveitis dan galukoma
2.2.8.2 Teknik Pembedahan Katarak
Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak dibagi menjadi 3
teknik:
1. Ekstraksi katarak Intra Kapsular (ICCE)
Suatu tindakan pengangkatan lensa beserta kapsulnya
melalui insisi limbus superior. Metode ini sudah jarang
dilakukan pada saat ini. Insiden terjadinya ablasio retina pasca
operasi jauh lebih tinggi dengan tindakan ini dibandingkan
denan pasca bedah ekstrakapsular. Namun bedah
intrakapsular tetap merupakan suau prosedur yang berguna,
khususnya bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan bedah
ekstrakapsular.
Setelah dilakukan ekstraksi intrakapsular, dapat
dilakukan penanaman lensa intraokular yang dijahitkan ke
sudut sklera atau iris. Keuntungan operasi intrakapsular adalah
tidak ada kapsul posterior yang tersisa yang dapat menjadi
keruh sehingga menyebabkan gangguan visual kembali.
2. Ekstraksi katarak Ekstra kapsular (ECCE)
Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak
dewasa atau anak- anak adalah meninggalkan bagian posterior
kapsul lensa. Penanaman lensa intraokular merupakan bagian
dari prosedur ini. Insisi dibuat pada limbus atau kornea perifer,
bagian superior atau temporal. Dibuat sebuah saluran pada

25
kapsul anterior lalu nukleus serta korteks lensa akan diangkat.
Kemudian lensa intraokular ditempatkan pada ’’kantung
kapsular’’ yang sudah kosong, disangga oleh kapsul posterior
yang masih utuh.
Jahitan pada mata dilakukan dengan nilon monofilamen
halus. Jahitan ini dapat diangkat pada periode selanjutnya jika
menyebabkan distorsi pada mata dan astigmatisme, dapat juga
diserap dengan sendirinya dalam 2-3 tahun
3. Fakoemulsifikasi
Saat ini teknik fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi
katarak ekstrakapsular yang paling sering digunakan. Teknik ini
menggunakan vibrator ultrasonik genggam untuk
menghancurkan nukleus yang keras sehingga substansi
nukleus dan korteks dapat diaspirasi melalui suatu insisi
berukuran sekitar 3 mm. Ukuran insisi tersebut cukup untuk
memasukkan lensa intraokular yang dapat dilipat (foldable
intraocular lens). Jika digunakan lensa intaokular yang kaku,
insisi perlu dilebarkan sampai sekitar 5 mm. Keuntungan yang
didapat dari tindakan bedah insisi kecil adalah kondisi
intraoperasi lebih terkendali, menghindari penjahitan,
perbaikan luka yang lebih cepat dengan derajat distorsi kornea
yang lebih rendah, dan mengurangi peradangan intraokular
pasca operasi dimana semuanya berakibat pada rehabilitasi
penglihatan yang lebih singkat.
Walaupun demikian, teknik fakoemulsifikasi ini
menimbulkan risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya
pergeseran materi nukleus ke posterior melalui robekan kapsul
posterior. Kejadian ini membutuhkan tindakan bedah
vitreoretina yang kompleks. Setelah tindakan bedah katarak
ekstrakapsular apapun, mungkin terjadi kekeruhan sekunder
pada kapsul posterior yang memerlukan disisi dengan
menggunakan laser YAG-neodymium. Metode ini termasuk
non-invasif dengan memberikan pulsasi energi laser yang
menimbulkan “ledakan-ledakan” kecil di jaringan sasaran,

26
membentuk sebuah lubang kecil pada kapsul posterior di
sumbu pupil.
4. SICS (Small Incision Cataract Surgery)
Teknik ini merupakan modifikasi dari teknik ECCE, yang
mengeluarkan nukleus dengan tetap mempertahankan kapsul
posterior berada di tempatnya. Dengan metode ini, insisi
dilakukan sepanjang 5-7 mm pada superior limbus. Setelah
lensa intraokular dimasukkan, insisi akan dijahit.
2.2.8.3 Perawatan Pasca Operasi
Jika digunakan teknik insisi kecil, masa penyembuhan
pascaoperasi biasanya lebih pendek. Pasien umumnya
diperbolehkan pulang pada hari operasi atau hari setelahnya,
tetapi dianjurkan untuk bergerak dengan hati-hati dan
menghindari peregangan atau mengangkat benda berat
selama sekitar satu bulan. Mata penderita dapat dibalut pada
hari operasi. Kacamata sementara dapat digunakan beberapa
hari setelah operasi, tetapi kebanyakan pasien dapat melihat
cukup baik melalui lensa intraokular sambil menunggu
kacamata permanen. Biasanya, penyembuhan akan selesai
dalam waktu 8 minggu.
Saat perawatan pascaoperasi dapat dilakukan
penanganan farmakologis dengan pemberian kombinasi
antibiotik sprektum luas dan steroid; pemberian antibiotik oral;
dan pemberian analgesik oral. Penangan non farmakologis
antara lain adalah menjaga higienitas tangan saat sebelum dan
sesudah meneteskan obat ke mata, tidak mengucek mata,
menjaga kebersihan mata dengan membersihkan darah atau
kotoran yang ada pada mata, dianjurkan untuk bergerak hati-
hati dan menghindari mengangkat benda berat selama kurang
lebih satu bulan.
2.2.8.4 Rencana Monitoring
1. Keluhan pasien
2. Visus
3. Evaluasi terhadap konjungtiva, kornea, COA, IOL,
kapsul, dan luka bekas operasi.

27
4. Tekanan intra okuli
5. Funduskopi dilakukan bila ada indikasi kelainan pada
retina

2.2.9 Komplikasi
Komplikasi pascaoperasi dapat terjadi secara dini, beberapa
minggu setelahnya, dan komplikasi yang muncul lambat. Komplikasi
tersebut dijabarkan sebagai berikut :
1. Komplikasi dini pascaoperasi
Hipertensi okular, glaukoma maligna, COA dangkal,
endophthalmitis, iris atau vitreous prolaps, dislokasi lensa intra okular,
retina robek dan lepas.
2. Komplikasi awal pascaoperasi
Ptosis, diplopia, luka yang bocor dengan COA normal, edema
kornea akut, hifema, uveitis anterior, lepasnya koroidal, iskemik
neuropati optik anterior.
3. Komplikasi lambat pascaoperasi
Ptosis, diplopia, hipertensi okular atau glaukoma, edema kornea
kronis, hifema lambat, uveitis anterior kronis, kekeruhan kapsull
posterior, pseudophakic cystoid macular edema.
Komplikasi katarak yang tersering adalah glaukoma yang dapat
terjadi karena proses fakolitik, fakotopik, fakotoksik.
a. Fakolitik
 Pada lensa yang keruh terdapat kerusakan maka substansi
lensa akan keluar yang akan menumpuk di sudut kamera okuli
anterior terutama bagian kapsul lensa.
 Dengan keluarnya substansi lensa maka pada kamera okuli
anterior akan bertumpuk pula serbukan fagosit atau makrofag
yang berfungsi merabsorbsi substansi lensa tersebut.
 Tumpukan akan menutup sudut kamera okuli anterior sehingga
timbul glaukoma.
b. Fakotopik
 Berdasarkan posisi lensa
 Oleh karena proses intumesensi, iris, terdorong ke depan sudut
kamera okuli anterior menjadi sempit sehingga aliran humor

28
aqueaous tidak lancar sedangkan produksi berjalan terus,
akibatnya tekanan intraokuler akan meningkat dan timbul
glaukoma
c. Fakotoksik
 Substansi lensa di kamera okuli anterior merupakan zat toksik
bagi mata sendiri (auto toksik)
 Terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga timbul uveitis, yang
kemudian akan menjadi glaukoma

2.2.10 Prognosis
Pembedahan katarak yang bertujuan untuk ekstraski kataran yang
diikuti dengan penanaman lensa intraokuler dapat meningkatkan tajam
penglihatan pada mayoritas penderita. Sebanyak lebih dari 95%
pasien mengalami perbaikan visual setelah dilakukan operasi. Hal ini
juga membuat perbaikan pada aktivitas sehari-hari dan merubah
kualitas hidup serta status mental. Sedangkan prognosis visual pada
pasien anak yang mengalami katarak dan menjalani operasi tidak
sebaik pada pasien dengan katarak yang berhubungan dengan umur.

2.2 Dry Eye Syndrome


2.2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Lakrimalis
2.2.1.1 Anatomi Sistem Lakrimalis
Kompleks lakrimalis terdiri atas glandula lakrimalis, glandulae lakrimalis
aksesori, kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus nasolakrimalis.1
Glandula lakrimalis terdiri atas struktur dibawah ini:
1. Bagian orbita
Berbentuk kenari yang teretak didalam foss lakrimalis di segmen
temporal atas anterior dari orbita, dipisahkan dari bagian palpebra oleh
kornu lateralis dari muskulus levator palpebrae. Untuk mencapai bagian
ini dari kelenjar secara bedah, harus diiris kulit, muskulus orbikuaris
okuli, dan septum orbitale.
2. Bagian Palpebrae
Bagian palpebrae yang lebih kecil terletak tepat di atas segmen
temporal dari forniks konjungtivae superior. Duktus sekretorius
lakrimalis, yang bermuara kira-kira sepuluh lubang kecil,

29
menghubungkan bagian orbital dan palpebrae glandula lakrimalis
dengan forniks konjungtivae superior. Pembuangan bagian palpebrae
dari kelenjar memutuskan semua saluran penghubung dan dengan
demikian mencegah kelenjar itu bersekresi.
Glandula lakrimalis aksesori (glandula Krause dan Wolfring) terletk
di dalam substansia propia di konjungtiva palpebrae.
Air mata mengalir dari lakuna lakrimalis melalui punktum superior
dan inferior dan kanalikuli ke sakus lakrimalis, yang terletak di dalam
fossa lakrimalis. Duktus nasolakrimalis berlanjut kebawah dari sakus
dan bermuara ke dalam meatus inferior dari rongga nasal, lateral
terhadap turbinatum inferior. Air mata diarahkan kedalam punktum oleh
isapan kapiler dan gaya berat dan berkedip. Kekuatan gabungan dari
isapan kapiler dan gaya berat berkedip. Kekuatan gabungan dari
isapan kapiler dalam kanalikuli, gaya berat dan dan kerja memompa
dari otot Horner, yang merupan perluasan muskulus orbikularis okuli ke
titik di belakang sakus lakrimalis, semua cenderung meneruskan aliran
air mata ke bawah melalui duktus nasolakrimalis ke dalam hidung.
3. Pembuluh Darah dan Limfe
Pasokan darah dari glandula lakrimalis bersal dari arteria
lakrimalis. Vena yang mengalir pergi dari kelenjar bergabung dengan vena
oftalmika. Drenase lime menyatu dengan pembuluh limfe konjungtiva untuk
mengalir ke dalam limfonodus pra-aurikula.
4. Persarafan
Pasokan saraf ke glandula lakrimalis adalah melalui:
a) Nervus lakrimalis (sensoris), sebuah cabang dari divisi trigeminus.
b) Nervus petrosus superfisialis magna (sekretoris), yang datang dari
nukleus salivarius superior.
c)
Nervus simpatis yang menyertai arteria lakrimalis dan nervus
lakrimalis.

30
Gambar 4. Anatomi Sistem Lakrimalis

2.2.1.2 Fisiologi
1. Sistem lakrimalis
Air mata diproduksi oleh kelenjar lakrimalis yang melubrikasi bola mata.
Lalu mengalir menuju punctum lakrimalis, diteruskan ke kanalikuli
lakrimalis lalu masuk ke saccus lakrimalis menuju ke duktus
nasolakrimalis yang bermuara di meatus nasi inferior.
2. Fungsi air mata (2)
 Membuat kornea menjadi permukaan licin
 Membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan
konjungtiva
 Menghambat pertumbuhan mikroorganisme
 Memberi kornea substansi nutrien
3. Lapisan Air Mata
Lapisan air mata sendiri terdiri dari tiga lapisan, yaitu:
 Lapisan lipid (lemak), yang dihasilkan oleh kelenjar Meibom.
Lapisan ini berfungsi melicinkan permukaan mata dan
mengurangi kemungkinan penguapan pada permukaan mata.

31
 Lapisan Aqueos (air), yang dihasilkan oleh kelenjar – kelenjar kecil
yang tersebar diseluruh selaput mata (konjungtiva) dan juga
dihasilkan oleh kelenjar air mata (kelenjar lakrimal).Fungsi dari
lapisan ini ialah untuk membersihkan mata dan mengeluarkan
benda asing.
 Lapisan Mucin (lendir), yang dihasilkan oleh sel goblet di
konjungtiva. Fungsi dari lapisan ini adalah menyebarkan air mata
secara merata pada mata. Lapisan air mata ini adalah pelumas
bagi mata, dengan adanya lapisan air mata, permukaan mata
menjadi licin dan menghasilkan penglihatan yang tajam.

Gambar 5. Lapisan Air Mata

2.2.2 Definisi
Sindrom mata kering, atau keratoconjunctivitis sicca (KCS)
didefinisikan sebagai penyakit mata yang mana jumlah atau kualitas
produksi air mata berkurang atau penguapan air mata film meningkat.
Terjemahan dari "keratoconjunctivitis sicca" dari bahasa Latin adalah
"kekeringan kornea dan konjungtiva" (Ilyas, 2011).

2.2.3 Etiologi
Banyak diantara penyebab sindrom mata kering mempengaruhi
lebih dari satu komponen film air mata atau berakibat perubahan
permukaan mata yang secara sekunder menyebabkan film air mata

32
menjadi tidak stabil. Ciri histopatologik termasuk timbulnya bintik-bintik
kering pada kornea dan epitel konjungtiva, pembentukan filamen,
hilangnya sel goblet konjungtiva, pembesaran abnormal sel epitel non-
goblet, peningkatan stratifikasi sel, dan penambahan keratinasi.
A. Kondisi ditandai hipofungsi kelenjar lakrimal
1. Kongenital
a. Dysautonomia familier (sindrom Riley-Day)
b. Aplasia kelenjar lakrimal (alakrima kongenital)
c. Aplasia nervus trigeminus
d. Dysplasia ektodermal
2. Didapat
a. Penyakit sistemik
1) Sindrom sjorgen
2) Sklerosis sistemik progresif
3) Sarkoidosis
4) Leukimia, limfoma
5) Amiloidosis
6) Hemokromatosis
b. Infeksi
1) Trachoma
2) Parotitis epidemica
c. Cedera
1) Pengangkatan kelenjar lakrimal
2) Iradiasi
3) Luka bakar kimiawi
d. Medikasi
1) Antihistamin
2) Antimuskarinik: atropin, skopolamin
3) Anestetika umum: halothane, nitrous oxide
4) Beta-adregenik blocker: timolol, practolol
e. Neurogenik-neuroparalitik (fasial nerve palsy)

B. Kondisi ditandai defisiensi musin


1. Avitaminosis A
2. Sindrom steven-johnson

33
3. Pemfigoid okuler
4. Konjungtivitis menahun
5. Luka bakar kimiawi
6. Medikasi-antihistamin, agen muskarin, agen Beta-adregenic blocker
C. Kondisi ditandai defisiensi lipid:
1. Parut tepian palpebra
2. Blepharitis
D. Penyebaran defektif film air mata disebabkan:
1. Kelainan palpebra
a. Defek, coloboma
b. Ektropion atau entropion
c. Keratinasi tepian palpebra
d. Berkedip berkurang atau tidak ada
1) Gangguan neurologik
2) Hipertiroid
3) Lensa kontak
4) Obat
5) Keratitis herpes simpleks
6) Lepra
e. Lagophthalmus
1) Lagophthalmus nocturna
2) Hipertiroidi
3) Lepra
2. Kelainan konjungtiva
a. Pterygium
b. Symblepharon
3. Proptosis

2.2.4 Epidemiologi
Mata kering merupakan salah satu gangguan yang sering pada
mata, persentase insidenisanya sekitar 10-30% dari populasi, terutama
pada orang yang usianya lebih dari 40 tahun dan 90% terjadi pada wanita.
Frekuensi insidensia sindrom mata kering lebih banyak terjadi pada ras
Hispanic dan Asia dibandingkan dengan ras kaukasius.
2.2.5 Patofisiologi

34
Mekanisme inti mata kering diyakini dikarenakan hiperosmolaritas
air mata dan ketidakstabilan film air mata. Hiperosmolaritas air mata
menyebabkan kerusakan pada epitel permukaan dengan
mengaktifkan kaskade kejadian inflamasi pada permukaan mata
dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan
epitel melibatkan kematian sel oleh apoptosis, hilangnya sel goblet,
dan gangguan musin yang mngakibatkan ketidakstabilan film.
Ketidakstabilan ini memperparah hiperosmolaritas permukaan
mata dan dapat juga diprakarsai oleh beberapa etiologi, termasuk
obat-obatan xerosis, xeroftalmia, alergi mata, penggunaan
pengawet topikal, dan memakai lensa kontak. Cedera epitel yang
disebabkan oleh mata kering merangsang ujung saraf kornea,
menyebabkan gejala ketidaknyamanan dan peningkatan berkedip
(American Academy of Ophthalmology, 2012).

Gambar 6. Mekanisme terjadinya mata kering

35
2.2.6 Klasifikasi
Klasifikasi sindrom mata kering menurut American Academy of
Ophthalmology dibedakan menurut penyebabnya yakni defisiensi
komponen akuos dan penguapan yang berlebihan.
Dry eye dengan defisiensi komponen akuos adalah bentuk yang
paling sering ditemukan. Defisiensi komponen akuos dapat dibedakan
menjadi dua yaitu Sindrom Sjogren dan Sindrom Non-Sjogren. Non-
Sjogren Syndrome dapat disebabkan oleh kelainan kongenital atau
didapat. Kelainan kongenital yang menyebabkan defisiensi komponen
akuos antara lain Sindrom Riley-Day, alakrimia, tidak adanya glandula
lakrimalis, displasia ektodermal anhidrotik, Sindrom Adie dan Sindrom Shy-
Drager. Penyebab defisiensi komponen akuos yang didapat antara lain
penggunaan lensa kontak, inflamasi kelenjar lakrimal, trauma, pemakaian
obat-obatan dan hiposekresi neuroparalitik.
Sedangkan penguapan atau evaporasi yang berlebihan dibedakan
menjadi dua golongan yaitu karena pengaruh intrinsik dan ekstrinsik.
Pengaruh intrinsik diantaranya karena defisiensi kelenjar Meibom, jumlah
kedip mata yang kurang, gangguan menutup mata dan penggunaan obat.
Faktor ekstrinsik yang dapat berpengaruh antara lain defisiensi vitamin A,
penggunaan obat topikal, penggunaan lensa kontak dan penyakit pada
permukaan okuler. Penggunaan lensa kontak masuk dalam kedua
penyebab mata kering, baik dari defisiensi komponen akuos maupun
evaporasi yang berlebih.
Sindrom mata kering juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
tingkat keparahan. Sindrom mata kering ringan dapat didefinisikan adanya
Uji Schirmer kurang dari 10 mm dalam lima menit dan kurang dari satu
kuadran pewarnaan kornea. Sindrom mata kering sedang dapat
didiagnosis pada pasien dengan hasil Uji Schirmer antara 5-10 mm dalam
lima menit dengan atau tanpa pewarnaan belang-belang lebih dari satu
kuadran dari epitel kornea. Sedangkan sindrom mata kering parah dapat
ditegakkan bila terdapat hasil Uji Schirmer kurang dari 5 mm dalam lima
menit dan adanya pewarnaan belang-belang dan konfluen difus pada epitel
kornea (Jain, 2009).

36
2.2.7 Diagnosis
Pasien dengan mata kering paling sering mengeluh tentang
sensasi gatal atau berpasir (benda asing). Gejala umum lainnya adalah
gatal, sekresi mukus berlebihan, tidak mampu menghasilkan air mata,
sensasi terbakar, fotosensitivitas, merah, sakit, dan sulit menggerakkan
palpebra.2 Pada kebanyakan pasien, ciri paling luar biasa pada
pemeriksaan mata adaah tampilan yang nyata-nyata normal. Ciri yang
paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau tiadanya
meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang mukuskental
kekuning-kuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix conjungtivae
inferior. Pada konjungtiva bulbi tidak tampak kilauan yang normal dan
mungkin menebal, beredema dan hiperemik.
Epitel kornea terlihat bertitik halus pada fissura interpalpebra. Sel-
sel epitel konjungtiva dan kornea yang rusak terpulas dengan bengal rose
1% dan defek pada epitel kornea terpulas dengan fluorescein. Pada tahap
lnjut keratokonjungtivitis sicca tampak filamen-filamen dimana satu ujung
setiap filamen melekat pada epitel kornea dan ujung lain bergerak bebas.
Pada pasien dengan sindrom sjorgen, kerokan dari konjungtiva
menunjukkan peningkatan jumlah sel goblet. Pembesaran kelenjar lakrimal
kadang-kadang terjadi pada sindrom sjorgen. Diagnosis dan penderajatan
keadaan mata kering dapat diperoleh dengan teliti memakai cara
diagnostik berikut:
A. Tes Schirmer
Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan
memasukkan strip Schirmer (kertas saring Whatman No. 41) kedalam
cul de sac konjungtiva inferior pada batas sepertiga tengah dan
temporal dari palpebra inferior. Bagian basah yang terpapar diukur 5
menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10 mm
tanpa anestesi dianggap abnormal.
Bila dilakukan tanpa anestesi, tes ini mengukur fungsi kelenjar
lakrimal utama, yang aktivitas sekresinya dirangsang oleh iritasi kertas
saring itu. Tes Schirmer yang dilakukan setelah anestesi topikal
(tetracaine 0.5%) mengukur fungsi kelenjar lakrimal tambahan
(pensekresi basa). Kurang dari 5 mm dalam 5 menit adalah abnormal.

37
Tes Schirmer adalah tes saringan bagi penilaian produksi air mata.
Dijumpai hasil false positive dan false negative. Hasil rendah kadang-
kadang dijumpai pada orang normal, dan tes normal dijumpai pada
mata kering terutama yang sekunder terhadap defisiensi musin.

Gambar 7. Tes Schimer (Diambil dari http://webeye.ophth.uiowa.edu )

B. Tear film break-up time


pengukuran tear film break-up time kadang-kadang berguna untuk
memperkirakan kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan
musin mungkin tidak mempengaruhi tes Schirmer namun dapat
berakibat tidak stabilnya film air mata. Ini yang menyebabkan lapisan
itu mudah pecah. Bintik-bitik kering terbentuk dalam film air mata,
sehingga memaparkan epitel kornea atau konjungtiva. Proses ini pada
akhirnya merusak sel-sel epitel, yang dapat dipulas dengan bengal
rose. Sel-sel epitel yang rusak dilepaskan kornea, meninggalkan
daerah-daerah kecil yang dapat dipulas, bila permukaan kornea
dibasahi flourescein.
Tear film break-up time dapat diukur dengan meletakkan secarik
keras berflourescein pada konjungtiva bulbi dan meminta pasien
berkedip. Film air mata kemudian diperiksa dengan bantuan saringan
cobalt pada slitlamp, sementara pasien diminta agartidak berkedip.
Waktu sampai munculnya titik-titik kering yang pertama dalam lapisan
flourescein kornea adalah tear film break-up time. Biasanya waktu ini
lebih dari 15 detik, namun akan berkurang nyata oleh anestetika lokal,
memanipulasi mata, atau dengan menahan palpebra agar tetap
terbuka. Waktu ini lebih pendek pada mata dengan defisiensi air pada

38
air mata dan selalu lebih pendek dari normalnya pada mata dengan
defisiensi musin.
C. Tes Ferning Mata
Sebuah tes sederhana dan murah untuk meneliti mukus konjungtiva
dilakukan dengan mengeringkan kerokan konjungtiva di atas kaca
obyek bersih. Arborisasi (ferning) mikroskopik terlihat pada mata
normal. Pada pasien konjungtivitis yang meninggakan parut
(pemphigoid mata, sindrom stevens johnson, parut konjungtiva difus),
arborisasi berkurang atau hilang.
D. Sitologi Impresi
Sitologi impresi adalah cara menghitung densitas sel goblet pada
permukaan konjungtiva. Pada orang normal, populasi sel goblet paling
tinggi di kuadran infra-nasal. Hilangnya sel goblet ditemukan pada ksus
keratokonjungtivitis sicc, trachoma, pemphigoid mata cicatrix, sindrom
stevens johnson, dan avitaminosis A.
E. Pemulasan Flourescein
Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering
berflourescein adalah indikator baik untuk derajat basahnya mata, dan
meniskus air mata mudah terlihat. Flourescein akan memulas daerah-
daerah tererosi dan terluka selain defek mikroskopik pada epitel
kornea.
F. Pemulasan Bengal Rose
Bengal rose lebih sensitif dari flourescein. Pewarna ini akan
memulas semua sel epitel non-vital yang mengering dari kornea
konjungtiva.
G. Penguji Kadar Lisozim Air Mata
Penurunan konsentrasi lisozim air mata umumnya terjadi pad awal
perjalanan sindrom Sjorgen dan berguna untuk mendiagnosis penyakit
ini. Air mata ditampung pada kertas Schirmer dan diuji kadarnya. Cara
paling umum adalah pengujian secara spektrofotometri.
H. Osmolalitas Air Mata
Hiperosmollitas air mata telah dilaporkan pada keratokonjungtivitis
sicca dan pemakaian kontak lens dan diduga sebagai akibat
berkurangnya sensitivitas kornea. Laporan-laporan menyebutkan
bahwa hiperosmolalitas adalah tes paling spesifik bagi

39
keratokonjungtivitis sicca. Keadaan ini bahkan dapat ditemukan pada
pasien dengan Schirmer normal dan pemulasan bengal rose normal.
I. Lactoferrin
Lactoferrin dalam cairan air mata akan rendah pada pasien dengan
hiposekresi kelenjar lakrimal. Kotak penguji dapat dibeli dipasaran.

2.2.8 Terapi
Pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah keadaan
menahun dan pemulihan pemulihan total sukar terjadi, kecuali pada
kasus ringan, saat perubahan epitel pada kornea dan konjungtiva
masih reversibel. Air mata buatan adalah terapi yang kini dianut.
Salep berguna sebagai pelumas jangka panjang, terutama saat
tidur. Bantuan tambahan diperoleh dengan memakai pelembab,
kacamata pelembab bilik, atau kacamata berenang.
Fungsi utama pengobatan ini adalah penggantian cairan.
Pemulian musin adalah tugas yang lebih berat. Tahun-tahun
belakangan ini, ditambahkan polimer larut air dengan berat molekul
tinggi pada air mata buatan, sebagai usaha memperbaiki dan
memperpanjang lama pelembaban permukaan.agen mukomimetik
lain termasuk Na-hialuronat dan larutan dari serum pasien sendiri
sebagai tetesan mata. Jika mukus itu kental, seperti pada sindrom
Sjorgen, agen mukolitik (mis, acetylcystein 10%) dapat menolong.
 Topikal cyclosporine A
 Topikal corticosteroids
 Topikal/sistemik omega-3 fatty acids: Omega-3 fatty acids
menghambat sintesis dari mediator lemak dan memblok
produksi dari IL-1 and TNF-alpha. Pasien dengan kelebihan
lipid dalam air mata memerlukan instruksi spesifik untuk
menghilangkan lipid dari tepian palpebrae. Mungkin
diperlukan antibiotika topikal atau sistemik. Vitamin A topikal
mungkin berguna untuk memulihkan metaplasia permukaan
mata.
Semua pengawet kimiawi dalam air mata buatan akan
menginduksi sejumlah toksisitas kornea. Benzalkonium chlorida
adalah peparat umum yang paling merusak. Pasien yang

40
memerlukan beberapa kali penetesan sebaiknya memakai larutan
tanpa bahan pengawet. Bahan pengawet dapat pula menimbulkan
reaksi idiosinkrasi. Ini paling serius dengan timerosal.
Pasien dengan mata kering oleh sembarang penyebab lebih
besar kemungkinan terkena infeksi. Blepharitis menahun sering
terdapat dan harus diobati dengan memperhatikan higiene dan
memakai antibiotika topikal. Acne rosacea sering terdapat
bersamaan dengan keratokonjungtivitis sicca, dan pemgobatan
dengan tetrasklin sistemik ada manfaatnya.
Tindakan bedah pada mata kering adalah pemasangan
sumbatan pada punktum yang bersifat temporer (kolagen) atau
untuk waktu lebih lama (silikon), untuk menahan sekret air mata.
Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen dapat dilakukan
dengn terapi themal (panas), kauter listrik atau dengan laser.

2.2.9 Prognosis
Secara umum, prognosis untuk ketajaman visual pada pasien
dengan sindrom mata kering baik.

2.2.10 Komplikasi
Pada awal perjalanan keratokonjungtivitis sicca, penglihata
sedikit terganggu. Dengan memburuknya keadaan,
ketidaknyamanan sangat menggangu. Pada kasus lanjut, dapat
timbul ulkus kornea, penipisan kornea, dan perforasi. Kadang-
kadang terjadi infeksi bakteri sekunder, dan berakibat parut dan
vaskularisasi pada kornea, yang sangat menurunkan penglihatan.
Terapi dini dapat mencegah komplikasi-komplikasi ini.

41
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
Nama : Ny. R
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 60 tahun
Alamat : Tegal Arum RT 14/7 Pasuruan
Pekerjaan : Buruh tani
Agama/Suku : Islam / Jawa
No. Register : 11360xxx
Tanggal Pemeriksaan : 20 November 2017

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan utama : Penglihatan buram
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang mengeluhkan mata kanan dan kiri kabur perlahan-lahan
sejak 2 tahun yang lalu, pasien merasa kedua mata seperti melihat asap. Keluhan
dirasa memberat dalam 4 bulan terakhir seperti melihat kabut. Awalnya tampak
kabut samar-samar, semakin lama kabut semakin menebal dan mengganggu
penglihatan. Pasien merasa saat melihat lampu terdapat cahaya melingkar
disekitarnya. Silau pada malam hari (+), pasien juga kadang merasa kedua
matanya terasa gatal dan berpasir. nrocoh (+), mata merah (-), nyeri (-), belekan
(-),trauma (-).
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit mata sebelumnya.
3.2.4 Riwayat Terapi
Pasien belum berobat untuk keluhannya
3.2.5 Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama
3.2.6 Riwayat Operasi
Tidak ada riwayat operasi sebelumnya
3.2.7 Riwayat Penggunaan Kacamata
Pasien tidak pernah memakai kacamata sebelumnya

42
3.2.8 Riwayat Penyakit Sistemik
Pasien didiagnosa DM sejak 2 tahun lalu dengan gula darah saat itu 553,
dan sejak itu rutin berobat ke puskesmas dan minum obat glibenclamide.
3.2.9 Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Riwayat merokok(-),
terpapar asap rokok (-).
1.3 Pemeriksaan Fisik (20 November 2017)
3.3.1 Status Generalis

GCS 456, compos mentis


Tekanan Darah : 114/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Respirasi : 16x/menit
Suhu aksial : 37ºC
3.3.2 Pemeriksaan Ophthalmologi

OD OS
1/60 ph (-) cor (-) Visus 1/60 ph (-) cor (-)
Spasme (-) edema (-) Palpebra Spasme (-) edema (-)
Sekret (-), CI (-), PCI (-) Conjunctiva Sekret (-), CI (-), PCI (-)
Erosi punctate (+) minimal, Cornea Erosi punctate (+) minimal,
flourescent tes (+) minimal flourescent tes (+) minimal
Dalam C.O.A Dalam
Radline Iris Radline
RP (+), round, diameter 3 mm Pupil RP (+), round, diameter 3 mm
Keruh posterior subcapsular, Lensa Keruh posterior subcapsular,
tidak rata tidak rata
12,2 mmHg TIO 12,2 mmHg
<1mm Tear Meniscus <1mm
III Mebomean III
Glands
Disfunction
FR (-), detail sde Funduscopy FR (-), detail sde
0,63 Retinometri 0,63

43
.3.3 Status Lokalis Mata

(1)

(2a) (2b)

(3)

Gambar 3 Foto klinis pasien secara makros (1), (2a) mata kanan dan (2b)
mata kiri midriasis, (3) gambaran granular deposit

3.4 Assessment
ODS Katarak Buratto Grade III + PSC + DES

3.5 Rencana
3.5.1 Rencana Diagnosis (-)
3.5.2 Rencana Terapi
 Pro OD ECCE + IOL/LA (21/11/2017)
 Raber IPD
 Premedikasi:
Diazepam 5mg 0-0-1
Asam mefenamat 3x500mg
 Terapi post-operasi

44
Ciprofloxacin tab 2x500mg
Asam mefenamat tab 3x500mg
Metilprednisolone tab 3x8mg
Levocin ed 8x1 OD
Fluorometholone ed 8x1 OD
3.5.3 Rencana Monitoring
 Visus
 Segmen Anterior
 TIO
3.5.4 Rencana KIE
 Penjelasan tentang penyakit
 Tindakan operasi
 Komplikasi penyakit dan operasi
 Prognosis visus
3.5.5 Prognosis
 Visam : dubia
 Vitam : bonam
 Functionam : dubia
 Sanationam : dubia
 Kosmetik : bonam

3.6 Catatan Perkembangan Medis


22 November 2017 (post operatif)
 Subjektif : Mata kanan terasa nyeri
 Objektif :

45
1. Pemeriksaan ophthalmologi
OD OS
20/50 ph 20/40 Visus 1/60 ph (-) cor (-)
Spasme (-) edema (-) Palpebra Spasme (-) edema (-)
CI (-), PCI (-), SCH (+) Conjunctiva CI (-), PCI (-)
Jahitan berjumlah 6, striae Cornea Clear, flourescent tes (+)
(+), edema (+) minimal
Dalam, Flare cell grade IV, C.O.A Dalam
vistreous (+), sisa korteks (+)
Radline, coagulum (+) Iris Radline
RP (+), not round Pupil RP (+), round, diameter 3 mm
IOL on place Lensa Keruh posterior subcapsular,
tidak rata
20,6 mmHg TIO 17,3 mmHg

<1mm Tear Meniscus <1mm


III Mebomean III
Glands
Disfunction

Status Lokalis Mata

(1) (2)
Gambar 4 (1) mata kanan post operasi, (2) flare cell

46
 Assessment:
OD Pseudofakia post ECCE + IOL/LA day-1 dt katarak Br Grade III
+ PSC
OS Katarak Br Grade III + PSC
ODS DES

 Planning:
o PO Ciprofloxacine tab 2 x 500 mg
o PO Asam mefenamat tab 3 x 500 mg k/p
o PO Metilprednisolone tab 3 x 8 mg
o ED Levocin 8 x 1 OD
o ED Fluorometholone 8 x 1 OD

47
BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien Ny.R usia 60 tahun datang ke Poli Mata RSSA dengan


keluhan utama pandangan terasa kabur sejak kurang lebih 1,5 tahun yang
lalu. Pasien merasakan pandangan kabur di kedua mata seperti melihat
asap dan rasa silau jika terkena cahaya dan terlihat ada lingkaran di sekitar
sumber cahaya. Pada pemeriksaan fisik ditemukan visus ODS 1/60 pinhole
(-), lensa keruh tidak merata pada kapsula posterior serta iris shadow test
(+).

Pasien datang mengeluhkan mata kanan dan kiri kabur perlahan-


lahan sejak 2 tahun yang lalu, pasien merasa kedua mata seperti melihat
asap. Keluhan dirasa memberat dalam 4 bulan terakhir seperti melihat
kabut. Awalnya tampak kabut samar-samar, semakin lama kabut semakin
menebal dan mengganggu penglihatan. Pasien merasa saat melihat lampu
terdapat cahaya melingkar disekitarnya. Silau pada malam hari (+), pasien
juga kadang merasa kedua matanya terasa gatal dan berpasir, nrocoh (+).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan visus ODS 1/60 pinhole (-), lensa keruh
tidak merata pada kapsula posterior, iris shadow test (+), tear meniscus
<1mm, dan mebomean gland dysfunction III.

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat


terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa
terjadi akibat kedua-duanya. Kekeruhan ini dapat terjadi pada salah satu
mata atau kedua mata yang berjalan progresif ataupun dapat tidak
mengalami perubahan dalam waktu yang lama (Sidarta, 2013). Katarak
sering digambarkan sebagai mirip dengan melihat melalui air terjun atau
kertas lilin. Sementara pada pasien didapatkan keluhan pandangan kabur
seperti tertutup asap. Dari pemeriksaan fisik juga didapatkan kekeruhan
pada lensa kedua mata.

Faktor risiko katarak dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor


ekstrinsik. Faktor intrinsik yang berpengaruh antara lain adalah umur, jenis
kelamin dan faktor genetik. Pada pasien, didapatkan faktor risiko usia tua,
yaitu 60 tahun. Perubahan degenerasi mata dimulai setelah usia 40 tahun,
dan pada usia 60 tahun beberapa orang mulai mengalami pengaburan

48
(clouding) di lensa mata, meskipun tidak semuanya menimbulkan masalah
penglihatan (Boyd, 2016).

Sementara faktor ekstrinsik yang menjadi faktor risiko katarak


adalah pekerjaan, rokok, radiasi ultraviolet, diabetes melitus, dan faktor
lingkungan. Pada pasien didapatkan faktor risiko berupa pekerjaan, radiasi
UV, diabetes melitus, dan faktor lingkungan. Pasien bekerja sebagai buruh
tani di mana paparan terhadap sinar ultravioletnya cenderung tinggi
sehingga meningkatkan risiko terjadinya katarak kortikal dan katarak
posterior kapsular. Pasien juga memiliki riwayat diabetes melitus, yang
dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi, dan amplitudo
akomodatif. Keadaan hiperglikemia menyebabkan glukosa ekstraseluler
masuk secara difusi ke humor akuos dan lensa dan menyebabkan
modifikasi transisional. Selain itu, faktor lingkungan yang mempengaruhi
terjadinya katarak pada pasien adalah tempat tinggal pasien yang berupa
lingkungan tropis, di mana secara epidemiologi penduduk di daerah tropis
seperti Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun
lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis.

Diagnosis katarak ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan


fisik. Menurut AAO, pasien katarak dapat datang dengan keluhan
penglihatan kabur atau berkabut, penglihatan buruk di malam hari,
penglihatan warna berkurang/berubah, penglihatan silau, adanya halo, dan
diplopia atau poliplopia. Dari anamnesis didapatkan keluhan penglihatan
kabur di kedua mata sejak 1,5 tahun seperti tertutup asap. Pasien juga
mengeluhkan silau saat terkena cahaya, dan saat melihat cahaya terlihat
seperti lingkaran di sekitar cahaya.

Hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada pasien katarak adalah


penurunan ketajaman penglihatan yang tidak membaik dengan pemberian
pinhole, tes RAPD bisa positif, kekeruhan pada lensa, iris shadow test (+)
pada katarak matur dan hipermatur, dan myopisasi. Pada pasien
didapatkan visus ODS 1/60 yang tidak membaik dengan pemberian
pinhole. Saat dilakukan pemeriksaan segmen anterior, ditemukan lensa
keruh tidak merata pada kapsula posterior dan iris shadow test (+). Hal ini
menunjukkan bahwa lensa belum keruh seluruhnya, yang terjadi pada
katarak imatur.

49
Berdasarkan morfologis, katarak dibagi menjadi katarak kapsular,
subkapsular, kortikela, nuklear, supranuklear, polar, dan campuran. Pada
pasien didapatkan kekeruhan lensa yang melibatkan bagian superfisial
korteks di bawah kapsul lensa posterior, sehingga pasien secara
morfologis dapat diklasifikasikan menjadi katarak subkapsular posterior.
Sementara berdasarkan waktu timbulnya, katarak dibagi menjadi katarak
kongenital, juvenil, dan senilis. Pada pasien tidak didapatkan riwayat
kekeruhan lensa sebelumnya, dan baru muncul ketika pasien berusia 58
tahun. Karena itu pasien dikategorikan mengalami katarak senilis.
Berdasarkan tahap perkembangannya, katarak dibagi menjadi katarak
insipien, imatur, matur, dan hipermatur. Pada pasien didapatkan kekeruhan
lensa sebagian, bilik mata depan normal, dan iris shadow test positif. Hal
ini menunjukkan adanya katarak imatur pada kedua mata pasien.

Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak dibagi menjadi 3


teknik, yaitu ICCE, ECCE, dan SICS. Teknik ECCE terbagi lagi menjadi
teknik ECCE konvensional dan fakoemulsifikasi. Pada pasien dilakukan
operasi ECCE konvensional karena dengan teknik ECCE dapat dilakukan
insersi IOL sehingga diharapkan dapat memperbaiki visus pasien. Selain
itu pada ECCE juga jarang didapatkan komplikasi vitreous di COA dan
angka terjadinya ablasio retina lebih jarang dibandingkan dengan ICCE.

Pembedahan katarak yang disertai dengan penanaman lensa


intraokuler dapat meningkatkan tajam penglihatan pada mayoritas
penderita. Maka prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam, jika
disertai kontrol dan follow up yang baik.

Sementara dry eye syndrome adalah adalah penyakit multifaktorial


pada film air mata dan permukaan okular yang mengakibatkan gejala rasa
tidak nyaman di mata, gangguan penglihatan, dan instabilitas film air mata
dengan potensi kerusakan permukaan okular. Dry eye syndrome terjadi
pada keadaan di mana mata tidak memproduksi air mata dalam jumlah
yang cukup, atau ketika air mata tidak memiliki konsistensi tetap dan
berevaporasi terlalu cepat. Hal tersebut diikuti dengan peningkatan
osmolaritas film air mata dan inflamasi permukaan mata. Sementara pada
pasien didapatkan kedua mata terasa gatal dan berpasir, nrocoh (+). Pada

50
pemeriksaan fisik ditemukan tear meniscus <1mm dan meibomean gland
dysfunction III.

Menurut Bloomenstein et al, faktor risiko terjadinya dry eye


syndrome meliputi penyakit sistemik (diabetes, alergi, penyakit autoimun),
pemakaian lensa kontak, riwayat pengobatan tertentu (antihistamin,
dekongestan, antidepresan, kortikosteroid), usia tua, penggunaan alat
digital, dan riwayat operasi mata. Pada pasien didapatkan faktor risiko
berupa penyakit diabetes melitus serta usia tua.

Menurut klasifikasi derajat keparahan dry eye syndrome DEWS, dry


eye syndrome dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan gejala
ketidaknyamanan pada mata, gejala penglihatan, injeksi konjungtiva,
perubahan warna konjungtiva, corneal tear sign, fungsi kelenjar meibom,
TBUT, dan skor Schirmer. Pada pasien didapatkan gejala ringan episodik,
tanpa gejala gangguan penglihatan, tanpa injeksi, perubahan warna,
maupun corneal tear sign. Maka dapat disimpulkan bahwa pasien
mengalami dry eye tingkat mild (derajat 1). Maka sebagai terapinya dapat
diberikan edukasi mengenai modifikasi lingkungan dan menjauhi faktor-
faktor yang mempresipitasi dry eye serta memberikan artificial tears
sebagai tambahannya.

51
BAB 5
KESIMPULAN

Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat


terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa
terjadi akibat kedua-duanya. Kekeruhan ini dapat terjadi pada salah satu
mata atau kedua mata yang berjalan progresif ataupun dapat tidak
mengalami perubahan dalam waktu yang lama (Sidarta, 2013). Katarak
menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan
lensa yang keruh, cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan
bayangan yang kabur pada retina. Katarak sering digambarkan sebagai
mirip dengan melihat melalui air terjun atau kertas lilin. Katarak dapat
terjadi sebagai akibat dari proses penuaan atau proses sekunder akibat
faktor kelainan metabolik, nutrisi, trauma, inflamasi, keturunan, dan radiasi.

Sementara dry eye syndrome adalah penyakit multifaktorial pada


film air mata dan permukaan okular yang mengakibatkan gejala rasa tidak
nyaman di mata, gangguan penglihatan, dan instabilitas film air mata
dengan potensi kerusakan permukaan okular. Dry eye syndrome terjadi
pada keadaan di mana mata tidak memproduksi air mata dalam jumlah
yang cukup, atau ketika air mata tidak memiliki konsistensi tetap dan
berevaporasi terlalu cepat. Hal tersebut diikuti dengan peningkatan
osmolaritas film air mata dan inflamasi permukaan mata.

Pada kasus ini, pasien datang mengeluhkan mata kanan dan kiri
kabur perlahan-lahan sejak 2 tahun yang lalu, pasien merasa kedua mata
seperti melihat asap. Keluhan dirasa memberat dalam 4 bulan terakhir
seperti melihat kabut. Awalnya tampak kabut samar-samar, semakin lama
kabut semakin menebal dan mengganggu penglihatan. Pasien merasa
saat melihat lampu terdapat cahaya melingkar disekitarnya. Silau pada
malam hari (+), pasien juga kadang merasa kedua matanya terasa gatal
dan berpasir, nrocoh (+). Dari permeriksaan fisik didapatkan visus ODS
1/60 pinhole (-), kekeruhan tidak merata pada subcapsular posterior lensa,
tear meniscus <1mm, dan mebomean gland dysfunction III. Pasien
didiagnosis dengan ODS katarak imatur + posterior subcapsular cataract +
dry eye syndrome.

52
Sebagai tatalaksana, dilakukan ECCE oculi dextra dengan
pemasangan IOL secara LA. Setelah operasi, pasien diberikan terapi
Ciprofloxacin 2x500 mg, Asam mefenamat 3 xx 500mg, Metilprednisolon
3x8 mg, Levocin eye drop 8x1 OD, dan Fluorometholone eye drop 8x1 OD.
Kemudian dilakukan monitoring post operasi dengan mengevaluasi
keluhan subjektif, visus, TIO, dan segmen anterior.

53
DAFTAR PUSTAKA

Achtsidis, V., Kozanidou, E., Bournas, P., Tentolouris, N., Theodossiadis, P.G.
2014. Dry Eye and Clinical Disease of Tear Film, Diagnosis, and
Management. Touch Medical Media, pp.109-115.

Bloomenstein, M., Cunningham, D., Gaddie, B., Karpecki, P., Morris, S., Nichols,
K. 2014. Improving the screening, diagnosis, and treatment of dry eye
disease. Review of Optometry: Expert Recommendations From The 2014
Dry Eye Summit, pp.1-12

Boyd, 2016. What Causes Cataracts? American Association of Opthalmology


[Online]. Pada https://www.aao.org/eye-health/diseases/cataracts-causes
[diakses pada 21 November 2017].

Bradford C. 2004 Basic Ophtalmology. 8th Edition. San Fransisco-American


Academy of opthalmology.
Dahl, Andrew A. 2015. Uveitis, Anterior, Nongranulomatous Medication.
http://emedicine.medscape.com/article/1209595-
medication#showall.Diakses pada tanggal 21 November 2017.
Dhawan, Shanjay. Lens and Cataract. Diakses dari internet
http://sdhawan.com/ophthalmology/lens.html. Diakses pada tanggal 21
November 2017.

Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : W.B. Saunders
Company ; 2006.

Harper, R.A. and J.P. Shock. 2008. Lens in P. Riordan-Eva and J.P. Whitcher
(Eds). Vaughan and Ashbury General Ophtalmology. Mc Graw Hill Co, New
York, p.169-177.
Ilyas, S. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Indonesian Society of Cataract and Refractive Surgery. 2011. Panduan
Penatalaksanaan Medis Katarak Pada Penderita Dewasa. Jakarta:
INASCRS.

54
Istiantoro S, Johan AH.2004. Transisi menuju fakoemulsifikasi. Granit. Kelompok
yayasan obor Indonesia. Jakarta, hal: 49-68.
Javiadi, Mohamad Ali dan Zarei, Ghanavati, Siamak. 2008. Cataracts in Diaetic
Patients : Areview Article. J Ophthalmic Vis Res. 2008 Jan; 3(1): 52–65.
Kanski, J. J. 2016. Clinical Ophtalmology, A Systematic Approach. Eighth
Edition. Butterworth Heinemann. Edinburg, p: 270 - 300.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Netter, F., 2003. Atlas of Human Anatomy 4th Edition. Pennsylvania: Saunders
Elsevier.
Ocampo, Vicente V. D. 2016. Senile Cataract. http://emedicine.medscape.co
m/article/1210914-overview.Diakses pada tanggal 24 Januari 2017.
Pollreisz, Andreas dan Ursula Schmidt-Erfurth, Ursula. 2010. Diabetic Cataract—
Pathogenesis, Epidemiology and Treatment.
https://www.hindawi.com/journals/joph/2010/608751/. Diakses pada
tanggal 20 November 2017.

Setiohadji, B., Community Opthalmology.,Cicendo Eye Hospital/Dept of


Ophthalmology Medical Faculty of,Padjadjaran University. 2006.

Sulistiyowati, A. 2001. Stabilitas Visus Koreksi Pasca Operasi Katarak Senilis


secara Masal. Semarang: FKUNDIP.
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Whitcher Paul,.2007General
Ophtalmilogy. 17th edition. Mc Graw-Hill Medical.
WebMD. 2017. A Visual Guide to Cataracts. http://www.webmd.com/eye-
health/cataracts/ss/slideshow-cataracts. Diakses pada tanggal 20
November 2017.
World Health Organization. 2012. Global Data on Visual Impairments 2010.
Geneva: WHO.
World Health Organization. 2012. Priority Eye Diseases: Cataract.
http://www.who.int/blindness/causes/priority/en/index1.html. Diakses pada
tanggal 20 November 2017.

55

Anda mungkin juga menyukai