Anda di halaman 1dari 35

PORTOFOLIO DOKTER INTERNSIP

KASUS MEDIK ILMU PENYAKIT MATA


KATARAK SENILIS

OLEH:
dr. ERIANSA NUGROHO

PEMBIMBING:
Dr. ENDAH WORO UTAMI, MMRS

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RSUD NGUDI WALUYO WLINGI

2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutaan adalah salah satu topik yang menjadi fokus WHO demi mewujudkan
Vision 2020. Sebagai titik awal perencanaan program penanggulangan kebutaan dan
gangguan penglihatan yang direkomendasikan oleh WHO melalui Vision 2020 adalah
ketersediaan data mengenai keadaan kebutaan dan gangguan penglihatan di suatu
wilayah atau negara melalui metoda survei yang dapat diandalkan (Kemenkes, 2014).
Orang-orang yang berusia 50 tahun dan lebih merupakan kelompok usia di mana
gangguan penglihatan dan kebutaan banyak terjadi. Sekitar 65% dari penderita
gangguan penglihatan, dan 82% kebutaan terjadi pada orang-orang usia 50 tahun dan
lebih, walaupun jumlah kelompok usia ini hanya 20% dari populasi dunia (Kemenkes,
2014).
Penyebab kebutaan terbanyak di seluruh dunia adalah katarak, diikuti oleh
glaukoma dan age related macular degeneration (AMD). Sebesar 21% tidak dapat
ditentukan penyebabnya dan 4% adalah gangguan penglihatan sejak masa kanak-kanak
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka kejadian katarak yang
cukup tinggi. Perkiraan insiden katarak adalah 0,1% per tahun atau setiap tahun diantara
1.000 orang terdapat seorang penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki
kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di
daerah subtropis, sekitar 16-22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55
tahun (Kemenkes, 2014).
Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa. Penuaan merupakan penyebab
katarak yang terbanyak, tetapi banyak juga faktor lain yang mungkin terlibat, antara lain:
trauma, toksin, penyakit sistemik (seperti diabetes), merokok, dan herediter. Katarak
akibat penuaan merupakan penyebab umum gangguan penglihatan. Berbagai studi
cross-sectional melaporkan prevalensi katarak pada individu berusia 65-74 tahun adalah
sebanyak 50%. Prevalensi ini meningkat hingga 70% pada individu di atas 75 tahun.
Ada berbagai jenis katarak yang dapat terjadi. Katarak matur adalah bentuk
katarak yang seluruh proteinnya telah mengalami kekeruhan, sedangkan katarak imatur
hanya memiliki sebagian protein yang transparan. Katarak yang lensanya dapat
menyerap air adalah katarak intumesen. Dan katarak hipermatur adalah katarak yang
proteinnya sudah mencair sehingga dapat keluar dari lensa dan menyebabkan lensa
mengkerut. Katarak hipermatur yang nukleusnya mengambang bebas di dalam kantung
kapsul disebut katarak morgagni (Salmon, 2010).
Karena berbagai alasan yang mendasari katarak sebagai penyebab kebutaan
terbesar itulah penulis melaporkan pasien Ny. M usia 72 tahun dengan diagnosis ODS
katarak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah definisi katarak?
2. Bagaimana kriteria diagnosis katarak?
3. Bagaimana penatalaksanaan katarak?
4. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi katarak?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi katarak
2. Mengetahui kriteria diagnosis katarak
3. Mengetahui penatalaksanaan katarak
4. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada katarak

1.4 Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman dokter internsip mengenai definisi, kriteria diagnosis,
penatalaksanaan, serta komplikasi katarak serta memahami kasus yang
diangkat pada tulisan ini.
2. Dokter internsip dapat menerapkan ilmu yang di pelajari pada saat pelayanan di
masyarakat sehingga status kesehatan masyarakat dapat menjadi lebih baik
pada masa yang akan datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies dan Bahasa Latin Cataracta yang berarti
air terjun. Dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai bular, penglihatan seperti tertutup
air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa
yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa,
atau terjadi akibat kedua-duanya. Kekeruhan ini dapat terjadi pada salah satu mata atau
kedua mata yang berjalan progresif ataupun dapat tidak mengalami perubahan dalam
waktu yang lama (Ilyas, 2015).
Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan
lensa yang keruh, cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang
kabur pada retina. Katarak sering digambarkan sebagai mirip dengan melihat melalui air
terjun atau kertas lilin (Gupta et al, 2014).
Katarak dapat terjadi sebagai akibat dari proses penuaan atau proses sekunder
akibat faktor kelainan metabolik, nutrisi, trauma, inflamasi, keturunan, dan radiasi.
Kekeruhan lensa karena faktor umur adalah katarak yang paling sering terjadi (Ilyas,
2015).

2.2 Epidemiologi
Katarak merupakan penyebab paling umum gangguan mata di dunia terutama di
negara berkembang yang dapat berujung pada kebutan. Pada suatu studi di India
menunjukkan bahwa prevalensi kejadian katarak adalah tiga kali lipat jika dibandingkan
dengan Amerika Serikat, dengan pasien katarak berumur 75 hingga 83 tahun sebanyak
82% sedangkan di Amerika Serikat hanya sebesar 46% pada kelompok umur yang sama
(Murrill et al, 2004). Menurut data World Health Organization (WHO), katarak akibat
penuaan menyebabkan 48% kebutaan di seluruh dunia, yang mengenai sekitar 18 juta
orang (WHO, 2013).
Di Indonesia, prevalensi kebutaan pada tahun 2013 adalah sebesar 0,4% dengan
prevalensi katarak nasional sebesar 1,8%. Prevalensi katarak tertinggi berada di
Sulawesi Utara (3,7%) diikuti oleh Jambi (2,8%) dan Bali (2,7%). Perkiraan insiden
katarak adalah 0,1% per tahun atau setiap tahun di antara 1.000 orang terdapat seorang
penderita baru katarak. Penduduk Indonesia juga memiliki kecenderungan menderita
katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penduduk di daerah subtropis, sekitar 16-
22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah 55 tahun (Kemenkes, 2014).

2.3 Anatomi dan Fisiologi Lensa


Lensa merupakan bagian segmen anterior mata yang berfungsi sebagai media
refraksi bersama kornea. Bagian anterior lensa adalah iris yang berfungsi dalam
mengatur jumlah cahaya yang masuk ke mata (LifeMap, 2015). Sedangkan bagian
posterior lensa adalah badan vitreous. Lensa bersama dengan iris membentuk
diafragma optikal yang memisahkan bilik anterior dan posterior bola mata. Lensa tidak
memiliki serabut saraf, pembuluh darah, dan jaringan ikat. Lensa disangga oleh serat-
serta zonula yang berasal dari badan siliar. Serat-serat tersebut menyisip ke bagian
ekuator kapsul lensa. Lensa memiliki bentuk ellipsoid, biconveks seperti cakram. Pada
orang dewasa berat lensa sekitar 220 mg dengan diameter 10 mm dan memiliki panjang
aksial 4 mm. Lensa mempunyai daya akomodasi yang berfungi mengubah jarak fokus
mata dengan bentuknya yang berubah sehingga memungkinkan cahaya dibiaskan jatuh
tepat dan fokus di retina. Total kekuatan refraktif sekitar 10-20 Dioptri bergantung pada
akomodasi tiap individu (Duker, 2008).
Secara histologi lensa mempunya tiga bagian utama, yaitu kapsul lensa, epitelium
lensa dan serat-serat lensa, Kapsul lensa adalah suatu membran basalis yang
mengelilingi substansi lensa yang terutama terdiri atas kolagen tipe IV dan glikoprotein.
Kapsul lensa ini bersifat semipermeabel, homogen, refraktil, dan kaya akan kabohidrat
yang meliputi permukaan luar sel-sel epitel. Epitel subkapsular terdiri atas sel epitel
kuboid yang hanya terdapat pada permukaan anterior lensa. Epitel ini berbentuk kuboid
dan akan berubah menjadi kolumnar di bagian ekuator dan terus memanjang
membentuk serat lensa. Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur
tipis dan gepeng. Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasa
dari sel-sel subkapsular. Sel-sel epitel dekat ekuator lensa membelah sepanjang hidup
sehingga serat-serat lensa yang lebih tua dimampatkan ke nukleus sentral. Serat-serat
muda yang kurang padat, di sekeliling nukleus menyusun korteks lensa (LifeMap, 2015).
Gambar 2.1 Anatomi lensa histologi (LifeMap, 2015)

Tegangan zonula dikendalikan oleh aktivitas muskulus siliaris, yang bila


berkontraksi akan mengendurkan tegangan zonula. Lensa menjadi lebih bulat dan
dihasilkan daya dioptri yang lebih kuat untuk memfokuskan objek- objek yang lebih
dekat. Relaksasi muskulus siliaris akan menghasilkan kebalikan dari peristiwa tersebut,
membuat lensa mendatar dan memungkinkan objek- objek jauh terfokus. Dengan
bertambahnya usia, daya akomodasi lensa akan berkurang secara perlahan- lahan
seiring dengan penurunan elastisitasnya (Vaughan, 2012).

2.4 Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya katarak sangat luas tergantung dari proses patogenesis
serta faktor intrinsik maupun faktor ekstrinsi. Faktor intrinsik yang berpengaruh antara
lain adalah umur, jenis kelamin dan faktor genetik sedangkan faktor ekstrinsik yang
berpengaruh antara lain adalah pekerjaan, rokok, radiasi ultraviolet, diabetes mellitus,
dan faktor lingkungan (Zorab et al, 2005).

1. Pekerjaan
Pekerjaan dalam hal ini erat kaitannya dengan paparan sinar matahari. Suatu
penelitian yang menilai secara individual, menunjukkan nelayan mempunyai jumlah
paparan terhadap sinar ultraviolet yang tinggi sehingga meningkatkan risiko
terjadinya katarak kortikal dan katarak posterior kapsular.
2. Perokok
Merokok dan mengunyah tembakau dapat menginduksi stress oksidatif dan
dihubungkan dengan penurunan antioksidan, askorbat dan karetenoid. Merokok
menyebabkan penumpukan molekul berpigmen -3 hydroxykhynurine dan
chromophores, yang menyebabkan terjadinya penguningan lensa. Sianat dalam
rokok juga menyebabkan terjadinya karbamilasi dan denaturasi protein.
3. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi dan
amplitude akomodatif. Dengan meningkatnya kadar gula darah, maka meningkat
pula kadar glukosa dalam humor akuos. Keadaan hiperglikemia akan menyebabkan
glukosa ekstraseluler masuk secara difusi ke lensa yang dapat menyebabkan
modifikasi transisional. Sebagian glukosa tersebut dirubah oleh enzim aldose
reduktase menjadi sorbitol, yang tidak dimetabolisme tapi tetap berada dalam lensa.
4. Alkohol
Peminum alkohol kronis mempunyai risiko tinggi terkena berbagai penyakit mata,
termasuk katarak. Pada peminum alkohol berat akan mengalami penurunan intake
nutrisi. Hal ini disebabkan oleh alkohol yang dapat menekan nafsu makan dan
mengganggu proses metabolisme serta absorpsi nutrisi. Pecandu alkohol juga
mengalami kekurangan vitamin. Normalnya vitamin A dan E sebagai antioksidan
berada di hati, namun kadar vitamin tersebut dapat berkurang dengan konsumsi
alkohol berat. Status nutrisi yang buruk telah diketahui sebagai faktor risiki katarak.
5. Kortikosteroid
Pada penelitian tahun 1960 menyatakn bahwa terdapat hubungan antara
penggunaan steroid ssistemik dengan perkembangan katarak subkapsular posterior.
Penggunaan kortikosteroid sebagai terapi inflamasi, kelainan sistem imun seperti
asma, rheumatoid arthritis, dan lupus menunjukkan peningkatan angka prevalensi
katarak subkapsular posterior, khususnya pada anak-anak.
6. Hipertensi
Studi Framingham menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tekanan darah
tinggi dengan katarak senil. Hal ini masih belum jelas bagaimana tekanan darah
tinggi dapat menyebabkan katarak senil.
7. Diare dan defek genetik
Pada pasien diare terjadi malnutrisi sekunder karena malabsorpsi nutrisi; alkalasi
relatif karena proses rehidrasi cairan bikarbonat; dan dehidrasi yang memicu
gangguan tekanan osmotik dan mengganggu metabolisme kolesterol. Defek genetik
contohnya Smith Lemli Opitz Syndrome dan Mevalonic aciduria menyebabkan
gangguan biosintesis kolesterol pada fase awal dan akhir. Sedangkan pada
Cerebrotendeous xanthomatosis terjadi akumulasi sterol di semua jaringan termasuk
pada lensa (Sujitha et al, 2013).

2.5 Patogenesis
Terdapat berbagai proses patogenesis katarak, antara lain:
2.5.1 Usia
Lensa yang normal adalah suatu struktur yang jernih dan transparan. Dengan
bertambahnya usia, nukleus mengalami perubahan warna dan menjadi coklat
kekuningan. Lensa akan mengalami pertumbuhan terus-menerus dan membentuk serat
lensa dengan arah pertumbuhan yang konsentris. Tidak ada sel yang mati ataupun
terbuang karena lensa tertutupi oleh serat lensa. Sehingga serat lensa paling tua berada
di pusat lensa (nukleus) dan serat lensa yang paling muda berada tepat di bawah kapsul
lensa (korteks). Dengan bertambahnya usia, lensa juga bertambah berat, tebal dan
keras terutama pada bagian nukleus yang sering disebut dengan nuklear sklerosis.
Selain itu fraksi protein lensa yang dahulunya larut air menjadi tidak larut air dan
beragregasi membentuk protein dengan berat molekul yang besar. Hal ini menyebabkan
transparansi lensa berkurang. Kelainan refraksi miopia juga menyebabkan progresivitas
proses nuklear sklerosis pada katarak (Sujitha et al, 2013).

2.5.2 Radikal bebas


Pada suatu model ekperimental, stres oksidatif berkontribusi dalam pembentukan
katarak lensa dengan cara menurunkan kadar adenosine triphosphate dan glutathione
disulfide yang berfungsi sebagai bahan antioksidan di lensa (BMJ, 2016). Salah satu
sumber radikal bebas penyebab katarak adalah sinar ultraviolet yang terdapat dalam
jumlah besar di dalam sinar matahari. Memang sudah diketahui bahwa radiasi ultraviolet
menghasilkan radikal bebas di dalam jaringan. Jaringan di permukaan mata yang
transparan sangat peka terhadap sinar ultraviolet. Pada mereka yang mempunyai
riwayat terpajan sinar matahari untuk waktu lama dapat mempercepat terjadinya katarak.
Di Australia, daerah radiasi UV yang lebih tinggi menunjukkan dengan prevalensi lebih
tinggi dan onset awal katarak. Prevalensi katarak dilaporkan 3,8 kali lebih tinggi di daerah
dengan rata-rata 12 jam paparan sinar matahari sehari-hari dibandingkan dengan
daerah-daerah dengan hanya 7 jam paparan di Nepal (Hollows, 1981).
2.5.3 Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menginduksi terjadinya PSCs
(Posterior Subcapsular Cataract). Pada satu studi dilaporkan, pasien dengan
menggunakan oral prednisolon dan diobservasi selama 1-4 tahun, 11% menggunakan
10 mg/hari menjadi katarak, sekitar 30% dari mereka mendapat 10-15 mg/hari dan 80%
dari mereka mendapatkan lebih dari 15 mg/hari. Pada studi lain, beberapa pasien
mendapat steroid topikal berlanjut menjadi keratopati yang berlanjut menjadi katarak
setelah mendapatkan sekitar 2-4 tetes per hari 0,1% dexamethasone selama periode
10,5 bulan. Beberapa steroid dapat menginduksi PSCs pada anak dan bisa reversibel
setelah penghentian penggunaan steroid.
2.5.4 Trauma
Selain itu kerusakan lensa akibat trauma dapat disebabkan oleh peradangan
mekanik, kekuatan fisikal berupa radiasi, kimia, ataupun elektrik. Katarak akibat trauma
tumpul dapat melibatkan sebagian atau seluruh dari bagian lensa. Sering, manifestasi
awal dari kontusio katarak adalah stellate atau rosette-shaped opacification. Katarak
yang terjadi biasanya disebut katarak traumatik. Sedangkan pada trauma yang bersifat
perforans dan penetrasi pada lensa sering menghasilkan kekeruhan pada bagian
korteks yang mengalami ruptur, biasanya progresifitas sangat cepat untuk menjadi
kekeruhan total. Syok elektrik dapat menyebabkan koagulasi protein dan menyebabkan
katarak. Awalnya, vakuola lensa muncul pada perifer anterior lensa, diikuti kekeruhan
linier di korteks subkapsul anterior. Katarak menyebabkan cedera elektrik mungkin
membaik, tetap diam, atau matur untuk menjadi katarak komplit selama beberapa bulan
atau tahun (Setiohadji, 2006; Ilyas, 2015).
2.5.5 Penyakit Sistemik
Peningkatan kadar glukosa darah pada penderita diabetes melitus akan
meningkatkan komposisi glukosa dalam humor aqueous yang akan berdifusi masuk ke
dalam lensa, sehingga komposisi glukosa dalam lensa juga akan meningkat. Beberapa
dari glukosa akan di konversi oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol. Sorbitol
tidak akan dimetabolisme tetapi tetap di dalam lensa. Kemudian perubahan tekanan
osmotik menyebabkan influks cairan ke dalam lensa yang menyebabkan perubahan
kekuatan refraksi lensa. Terdapat 2 tipe klasifikasi katarak pada pasien diabetes. True
diabetic cataract atau snowflake cataract, dapat bilateral, onset terjadi secara tiba-tiba
dan menyebar sampai subkapsular lensa, tipe ini biasa terjadi pada diabetes mellitus
yang tidak terkontrol. Kekeruhan menyeluruh subkapsular seperti tampilan kepingan
salju terlihat awalnya di superfisial anterior dan korteks posterior lensa. Vakuola muncul
dalam kapsul lensa. Pembengkakan dan kematangan katarak kortikal terjadi segera
sesudahnya. Peneliti percaya bahwa perubahan metabolik yang mendasari terjadinya
true diabetic cataract pada manusia sangat erat kaitannya dengan katarak sorbitol yang
dipelajari pada hewan percobaan.
Galaktosemia adalah inherediter autosomal resesif ketidakmampuan untuk
mengkonversi galaktosa menjadi glukosa. Sebagai konsekuensi ketidakmampuan hal
tersebut, terjadi akumulasi galaktosa pada seluruh jaringan tubuh, lebih lanjut lagi
galaktosa dikonversi menjadi galaktitol (dulcitol), sejenis gula alcohol dari galaktosa.
Galaktosemia dapat terjadi akibat defek pada 1 dari 3 enzim yang terlibat dalam proses
metabolisme galaktosa : galactosa 1-phosphate uridyl transferase, galactokinase, atau
UDP-galactose-4-epimerase. Pada pasien dengan galaktosemia, 75% akan berlanjut
menjadi katarak. Akumulasi dari galaktosa dan galaktitol dalam sel lensa akan
meningkatkan tekanan osmotik dan influks cairan kedalam lensa.

2.6 Klasifikasi Katarak


Klasifikasi katarak dapat dibagi berdasarkan morfologis dan waktu munculnya
katarak.
2.6.1 Berdasarkan Morfologis
1. Katarak kapsular, katarak yang melibatkan kapsul lensa baik anterior atau
posterior. Katarak kapsular dapat disebabkan oleh usia, uveitis yang
berhubungan dengan sinekia posterior, obat-obatan, radiasi, dan trauma.

2. Katarak subkapsular, katarak yang melibatkan bagian superfisial korteks atau


tepat di bawah kapsul lensa baik anterior atau posterior.

3. Katarak kortikal, katarak yang melibatkan korteks lensa dan merupakan katarak
yang paling sering terjadi. Karatak kortikal sering disebabkan oleh usia dan
diabetes melituss.

4. Katarak nuklear, katarak yang melibatkan bagian nukleus lensa dan sering kali
disebabkan faktor usia. Katarak nuklear adalah sklerosis normal yang berlebihan
atau pengerasan dan penguningan nukleus pada usia lanjut.
5. Katarak supranuklear, katarak yang melibatkan bagian korteks lensa yang
paling dalam, tepat di atas nucleus.
6. Katarak polar, katarak yang melibatkan kapsul lensa dan superfisial korteks
lensa hanya di regio polar, dapat berupa katarak polar anterior dan katarak polar
posterior. Katarak polar sering kali terjadi pada katarak kongenital atau karena
trauma sekunder.
7. Katarak campuran, ketarak yang muncul lebih dari satu tipe katarak secara
bersamaan (Khurana, 2007).
2.6.2 Berdasarkan Waktu Munculnya
1. Katarak kongenital, katarak yang terjadi pada bayi baru lahir hingga anak usia
kurang dari 1 tahun. Katarak kongenital merupakan salah satu penyebab
kebutaan pada bayi yang cukup berarti. Sekitar 50% katarak kongenital bersifat
sporadik dengan etiologi yang belum jelas. Pada kasus katarak kongenital perlu
digali riwayat prenatal infeksi ibu seperti rubela pada kehamilan trimester
pertama dan pemakaian obat selama kehamilan. Pada beberapa kasus
ditemukan ibu hamil dengan riwayat kejang, tetani, ikterus atau
hepatosplenomegali. Katarak kongenital sering ditemukan pada bayi yang
dilhairkan oleh ibu yang menderita penyakit rubela, galaktosemia,
homosisteinuri, diabetes melitus, hipoparatiroidism, homosisteinuri,
toksoplasmosis, inklusi sitomegalik, dan histoplasmosis. Katarak kongenital juga
sering ditemukan pada bayi prematur dan gangguan sistem saraf seperti
retardasi mental.
2. Katarak juvenil, Katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda, yang
mulai terbentuknya pada usia kurang dari 9 tahun dan lebih dari 3 bulan. Katarak
juvenil biasanya merupakan kelanjutan katarak kongenital.
3. Katarak senilis, semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu
usia di atas 50 tahun (Ilyas, 2015).

2.7 Katarak Senilis


2.7.1 Stadium dan Klasifikasi
Stadium katarak senilis dibagi menjadi 4 stadium, yaitu :
1. Katarak Insipien
Kekeruhan dimulai dari tepi ekuator berbentuk jeruji menuju korteks
anterior dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat di dalam korteks.
Katarak subkapsular posterior, kekeruhan mulai terlihat anterior subkapsular
posterior, celah terbentuk antara serat lensa dan dan korteks berisi jaringan
degeneratif (benda Morgagni) pada katarak insipien. Kekeruhan ini dapat
menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua
bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama. Visus
pada katarak insipien masih dalam batas normal.
2. Katarak Imatur
Hanya sebagian lensa saja yang mengalami kekeruhan (katarak belum
mengenai seluruh lapisan lensa). Pada katarak imatur akan dapat bertambah
volume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa yang
degeneratif. Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan
hambatan pupil, sehingga terjadi glaukoma sekunder. Visus pada stadium ini
biasanya berkisar antara 5/6 hingga 1/60.
3. Katarak Matur
Adalah bentuk katarak yang seluruh proteinnya telah mengalami
kekeruhan. Pada keadaan matur kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa.
Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila katarak
imatur atau intumesen tidak dikeluarkan maka cairan lensa akan keluar,
sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan
seluruh lensa yang bila mana akan mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bilik mata
depan akan berukuran kedalaman normal kembali, tidak terdapat bayangan iris
pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris negatif. Visus pada stadium
ini berkisar antara 1/60 hingga Light Perception (LP) (+).
4. Katarak Hipermatur
Katarak hipermatur adalah katarak yang mengalami proses degenerasi
lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang
berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa menjadi mengecil,
berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan
lipatan kapsul lensa. Kadang-kadang pengkerutan berjalan terus sehingga
hubungan dengan zonula zinn menjadi kendor. Bila proses katarak berjalan lanjut
disertai dengan kapsul yang tebal maka korteks yang berdegenerasi dan cair
tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai
sekantong susu disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa
karena lebih berat. Keadaan ini disebut katarak Morgagni.
5. Katarak Nigra
Katarak yang berwarna coklat sampai hitam (katarak nigra) terutama pada
lensa, juga dapat terjadi pada katarak pasien diabetes mellitus dan miopia tinggi.
Sering tajam penglihatan lebih baik dari dugaan sebelumnya dan biasanya ini
terdapat pada orang berusia lebih dari 65 tahun yang belum memperlihatkan
adanya katarak kortikal posterior posterior (Ilyas, 2015).
Tabel 2.1 Perbedaan Stadium Katarak Senilis
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik Mata Normal Dangkal Normal Dalam
depan
Sudut bilik Normal Sempit Normal Terbuka
mata
Shadow test Negatif Positif Negatif Pseudopositif
Penyulit - Glaukoma - Uveitis+glaukoma

Katarak senilis nuklear merupakan hasil proses penuaan lensa yang berlebihan,
yang melibatkan nukleus lensa yang berwarna kecoklatan. Korteks anterior dan posterior
cenderung jernih dan masih tipis. Bentuk kekeruhan nuklear ini dapat menyebabkan
terjadinya miopia berat yang memungkinkan penderita membaca jarak dekat tanpa
memakai kacamata koreksi seperti seharusnya (second sight of the aged) (Vaughan,
2012).
Pada katarak senilis kortikal kekeruhan lensa melibatkan korteks anterior,
posterior, serta ekuatorial. Pada awalnya katarak bermula dengan adanya vakuol air
pada korteks yang kemudian menyusup diantara lamelar korteks. Kekeruhan dimulai
pada daerah perifer dan menjalar menuju sentral dan sering digambarkan sebagai radial
spoke-like, atau shield-like configuration. Pada katarak kortikal terjadi peningkatan
cairan yang masuk pada lensa mengakibatkan separasi lamelar dan akhirnya terjadi
kekeruhan seluruh korteks berwarna abu-abu putih yang tidak merata. Kekeruhan ini
bisa terjadi cepat tetapi juga bisa tahunan. Derajat gangguan fungsi penglihatan
bervariasi, tergantung seberapa dekat kekeruhan lensa dengan sumbu penglihatan
(Vaughan, 2012).
Pada katarak senilis subkapsular anterior kekeruhan terjadi tepat dibawah kapsula
lensa dan dihubungkan dengan metaplasi fibrosa dari epitel anterior lensa. Sedangkan
tipe subkapsular posterior kekeruhan terjadi didepan kapsula posterior, dan
dihubungkan dengan migrasi sel epitel posterior dari lensa. Pasien katarak tipe ini
terutama berusia lebih muda dan mengalami kesulitan jika menghadapi cahaya lampu
mobil dari arah yang berlawanan dan juga oleh sinar matahari terik. Penglihatan jarak
dekat mereka lebih terganggu dibandingkan penglihatan jarak jauh. Tipe subkapsular
posterior sering dihubungkan dengan katarak akibat paparan sinar ultraviolet,
penggunaan kortikosteroid jangka panjang, trauma, peradangan, dan retinitis
pigmentosa (Mariannete, 1999).

Gambar 2.2 Morfologi lensa pada katarak senilis

2.8 Diagnosis
Banyak pasien dengan katarak yang terdiagnosis karena mereka datang untuk
melakukan pemeriksaan saat mengalami gejala penurunan kualitas penglihatan yang
berefek pada aktivitas sehari-hari.
2.8.1 Anamnesis
Dalam melakukan anamnesis perlu diketahui data demografi pasien sebelum
menggali riwayat penyakit sekarang (contohnya: umur, jenis kelamin, ras, dsb). Perlu
ditanyakan bagaimana pasien mengalami penurunan kualitas penglihatan apakah
secara tiba-tiba atau bertahap. Jarang dijumpai kasus penurunan tajam penglihat yang
terjadi mendadak pada pasien katarak. Pada beberapa kasus katarak telah terjadi
bertahun-tahun namun baru diketahui ketika pasien merasa penglihatannya terganggu
(Murril et al, 2004).
Keluhan yang membawa pasien datang berobat antara lain :
1. Penglihatan kabur atau berkabut
Kekeruhan lensa menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang
perlahan-lahan karena cahaya tidak dapat masuk ke retina. Bila diberikan pin-
hole, tidak mengalami kemajuan.
2. Penglihatan buruk di malam hari
Penderita mengaku penglihatan lebih menurun pada saat malam hari
dibandingkan dengan siang hari.
3. Penglihatan warna berkurang atau berubah
Lensa yang berubah menjadi berwarna karena umur, dapat menyebabkan
objek menjadi terlihat menjadi lebih kuning.
4. Penglihatan silau dan halo
Penderita katarak sering mengeluh silau ketika melihat cahaya terutama
pada malam hari. Penderita juga bisa melihat pelangi di sekitar cahaya lampu.
5. Diplopia atau poliplopia
Bayangan yang terlihat lebih dari satu akibat kekeruhan lensa yang ireguler
pada katarak kortikal menyebabkan poliplopia atau diplopia. Sedangkan pada
katarak nuklear biasanya pasien mengeluh diplopia.

Penggalian riwayat pasien harus mencakup riwayat refraksi, penyakit mata


sebelumnya, ada atau tidaknya ambliopia, operasi mata sebelumnya dan riwayat
trauma. Perlu juga ditanyakan mengenai kesulitan melihat dalam beberapa kondisi
seperti: saat berjalan, berkendara, membaca dalam suasana sangat terang, membaca
label obat, atau saat beraktivitas sehari-hari serta bekerja (Murrill et al, 2004).

2.8.2 Pemeriksaan Fisik


Setelah melakukan penggalian riwayat terhadap pasien kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik yang teliti serta sistematis pada seluruh tubuh untuk
mengetahui adanya penyakit sistemik yang mempengaruhi terbentuknya katarak.
Sedangkan pemeriksaan lokal mata yang dapat dilakukan adalah :
1. Ketajaman penglihatan
Katarak sering kali berkaitan dengan terjadinya penurunan ketajaman
penglihatan, baik untuk melihat jauh maupun dekat. Walaupun telah diberikan
pinhole tetapi tajam penglihatan tetap tidak membaik (Vaughan, 2012).
2. Tes Relative Afferent Pupillary Defect (RAPD)
Penting dilakukan test RAPD atau Marcus Gunn pupil yang
mengindikasikan adanya lesi pada saraf optik atau keterlibatan retina secara
difus. Pasien katarak dengan RAPD yang positif diharapkan menjaga dan
memperhatikan prognosis visual bahkan setelah suatu ekstraksi katarak yang
tidak rumit (Medscape, 2017).
3. Pemeriksaan menggunakan Slit-lamp
Pemeriksaan menggunakan slit-lamp memungkinkan untuk memeriksa
bagian yang lebih kecil sehingga dapat mendeteksi keabnormalitasan secara dini
(Mayo, 2016). Pemeriksaan menggunakan lampu slit tidak hanya fokus untuk
mengevaluasi kekeruhan lensa namun juga struktur okular lainnya seperti
konjungtiva, kornea, iris, dan ruang okuli anterior. Ketebalan kornea dan adanya
kekeruhan kornea seperti korneal gutata harus diperiksa dengan hati-hati.
Penampakan lensa juga diperiksa secara teliti baik sebelum dan sesudah dilatasi
pupil (Medscape, 2017).
4. Iris shadow test
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui derajat kekeruhan lensa.
Pada pemeriksaan ini, sentolop disinarkan pada pupil dengan membuat sudut
45˚ dengan dataran iris. Semakin sedikit lensa keruh pada bagian posterior maka
semakin besar bayangan iris pada lensa tersebut (American Academy of
Opthalmology, 2007).
Penilaian :
 Bila bayangan iris pada lensa terlihat besar dan letaknya jauh terhadap pupil
berarti lensa belum keruh seluruhnya, ini terjadi pada katarak imatur,
keadaan ini disebut iris shadow test (+).
 Bila bayangan iris pada lensa kecil dan dekat terhadap pupil berarti lensa
sudah keruh seluruhnya. Keadaan ini terjadi pada katarak matur dengan iris
shadow test (-).
 Pada katarak hipermatur, lensa sudah keruh seluruhnya mengecil serta
terletak jauh di belakang pupil, sehingga bayangan iris pada lensa besar
dengan iris shadow test pseudopositif.
5. Miopisasi
Pada tahap awal akan terjadi peningkatan indeks refraksi lensa (myopic
shift), sehingga pada beberapa penderita presbiopi akan merasa dapat
membaca kembali dari jarak dekat tanpa bantuan kacamata baca.
Hal ini merupakan akibat meningkatnya kekuatan fokus lensa bagian
sentral. Gejala lain dapat berupa diskriminasi warna yang buruk atau diplopia
monookuler. Sebagian besar katarak nuklear adalah bilateral tetapi bisa
asimetris (Whitehead, 2004).

2.8.3 Pemeriksaan Tambahan


1. Funduskopi
Menilai segmen posterior baik diskus, retina dan makula.
2. USG
Menilai segmen posterior bila tidak dapat dinilai dengan funduskopi (Ilyas,
2015).

2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Indikasi Operasi Katarak
Bedah katarak telah mengalami perubahan dramatis selama 30 tahun terakhir
dengan adanya mikroskop operasi dan peralatan bedah mikro, perkembangan lensa
intraokular dan perubahan-perubahan teknik anestesi lokal (Vaughan, 2012).
Operasi katarak dapat dipertimbangkan bagi penderita yang tajam penglihatannya
menurun pada satu atau kedua mata. Tidak ada angka yang mutlak untuk indikasi
dilakukannya operasi. Katarak matur adalah indikasi dilakukannya operasi. Katarak
matur yang tidak dioperasi dapat menimbulkan komplikasi seperti uveitis dan glaukoma
(Jackson, 2008).
2.9.2 Teknik Pembedahan Katarak
Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak dibagi menjadi 4 teknik :
1. Ekstraksi Katarak Intra Kapsular (ICCE)
Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama dengan
kapsul. Dapat dilakukan pada zonula zinn yang telah rapuh atau berdegenerasi
dan mudah diputus. Pada katarak ini tidak akan terjadi katarak sekunder dan
merupakan tindakan pembedahan yang lama populer. Pembedahan ini dilakukan
dengan mempergunakan mikroskop dan pemakaian alat khusus. Kontraindikasi
operasi ini adalah pasien yang usianya kurang dari 40 tahun karena masih
memiliki ligamen hialoidea kapsular. Penyulit pada operasi ini adalah astigmat,
glaukoma, uveitis, endoftalmus, dan pendarahan (Sidarta, 2015).

Gambar 2.3 Ekstraksi Katarak Intra Kapsular


2. Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular
Metode operasi yang umum dipilih untuk katarak dewasa atau anak- anak
adalah meninggalkan bagian posterior kapsul lensa. Penanaman lensa
intraokular merupakan bagian dari prosedur ini. Insisi dibuat pada limbus atau
kornea perifer, bagian superior atau temporal. Dibuat sebuah saluran pada
kapsul anterior lalu nukleus serta korteks lensa akan diangkat. Kemudian lensa
intraokular ditempatkan pada ’’kantung kapsular’’ yang sudah kosong, disangga
oleh kapsul posterior yang masih utuh (Vaughan, 2012).
Jahitan pada mata dilakukan dengan nilon monofilamen halus. Jahitan ini
dapat diangkat pada periode selanjutnya jika menyebabkan distorsi pada mata
dan astigmatisme, dapat juga diserap dengan sendirinya dalam 2-3 tahun
(Jackson, 2008).
Gambar 2.4 Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular
3. Fakoemulsifikasi
Saat ini teknik fakoemulsifikasi adalah teknik ekstraksi katarak
ekstrakapsular yang paling sering digunakan. Teknik ini menggunakan vibrator
ultrasonik genggam untuk menghancurkan nukleus yang keras sehingga
substansi nukleus dan korteks dapat diaspirasi melalui suatu insisi berukuran
sekitar 3 mm. Ukuran insisi tersebut cukup untuk memasukkan lensa intraokular
yang dapat dilipat (foldable intraocular lens). Jika digunakan lensa intaokular
yang kaku, insisi perlu dilebarkan sampai sekitar 5 mm. Keuntungan yang
didapat dari tindakan bedah insisi kecil adalah kondisi intraoperasi lebih
terkendali, menghindari penjahitan, perbaikan luka yang lebih cepat dengan
derajat distorsi kornea yang lebih rendah, dan mengurangi peradangan
intraokular pasca operasi dimana semuanya berakibat pada rehabilitasi
penglihatan yang lebih singkat (Vaughan, 2012).
Walaupun demikian, teknik fakoemulsifikasi ini menimbulkan risiko yang
lebih tinggi terhadap terjadinya pergeseran materi nukleus ke posterior melalui
robekan kapsul posterior. Kejadian ini membutuhkan tindakan bedah vitreoretina
yang kompleks. Setelah tindakan bedah katarak ekstrakapsular apapun,
mungkin terjadi kekeruhan sekunder pada kapsul posterior yang memerlukan
disisi dengan menggunakan laser YAG-neodymium. Metode ini termasuk non-
invasif dengan memberikan pulsasi energi laser yang menimbulkan “ledakan-
ledakan” kecil di jaringan sasaran, membentuk sebuah lubang kecil pada kapsul
posterior di sumbu pupil (Vaughan, 2012).
4. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Teknik ini merupakan modifikasi dari teknik ECCE, yang mengeluarkan
nukleus dengan tetap mempertahankan kapsul posterior berada di tempatnya.
Dengan metode ini, insisi dilakukan sepanjang 5-7 mm pada superior limbus.
Setelah lensa intraokular dimasukkan, insisi akan dijahit (Vaughan, 2012).

2.9.3 Perawatan Pascaoperasi


Jika digunakan teknik insisi kecil, masa penyembuhan pascaoperasi biasanya
lebih pendek. Pasien umumnya diperbolehkan pulang pada hari operasi atau hari
setelahnya, tetapi dianjurkan untuk bergerak dengan hati-hati dan menghindari
peregangan atau mengangkat benda berat selama sekitar satu bulan. Mata penderita
dapat dibalut pada hari operasi. Kacamata sementara dapat digunakan beberapa hari
setelah operasi, tetapi kebanyakan pasien dapat melihat cukup baik melalui lensa
intraokular sambil menunggu kacamata permanen. Biasanya, penyembuhan akan
selesai dalam waktu 8 minggu (Vaughan, 2012).
Saat perawatan pascaoperasi dapat dilakukan penanganan farmakologis dengan
pemberian kombinasi antibiotik sprektum luas dan steroid topikal, pemberian antibiotik
oral dan pemberian analgesik oral. Penangan non farmakologis antara lain adalah
menjaga higienitas tangan saat sebelum dan sesudah meneteskan obat ke mata, tidak
mengucek mata, menjaga kebersihan mata dengan membersihkan darah atau kotoran
yang ada pada mata, dianjurkan untuk bergerak hati-hati dan menghindari mengangkat
benda berat selama kurang lebih satu bulan (Jackson, 2008).

2.9.4 Rencana Monitoring


1. Keluhan pasien
2. Visus
3. Evaluasi terhadap konjungtiva, kornea, COA, IOL, kapsul dan luka bekas operasi
4. Tekanan intra okuli
5. Funduskopi dilakukan bila ada indikasi kelainan pada retina

2.10 Komplikasi
Komplikasi pascaoperasi dapat terjadi secara dini, beberapa minggu setelahnya,
dan komplikasi yang muncul lambat. Komplikasi tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Komplikasi dini pascaoperasi
Hipertensi okular, glaukoma maligna, COA dangkal, endophthalmitis, iris atau
vitreous prolaps, dislokasi lensa intra okular, retina robek dan lepas.
2. Komplikasi awal pascaoperasi
Ptosis, diplopia, luka yang bocor dengan COA normal, edema kornea akut,
hifema, uveitis anterior, lepasnya koroidal, iskemik neuropati optik anterior.
3. Komplikasi lambat pascaoperasi
Ptosis, diplopia, hipertensi okular atau glaukoma, edema kornea kronis, hifema
lambat, uveitis anterior kronis, kekeruhan kapsul posterior, pseudophakic cystoid
macular edema.
Komplikasi katarak yang tersering adalah glaukoma yang dapat terjadi karena
proses fakolitik, fakotopik, fakotoksik.
a. Fakolitik
 Pada lensa yang keruh terdapat kerusakan maka substansi lensa akan
keluar yang akan menumpuk di sudut kamera okuli anterior terutama
bagian kapsul lensa.
 Dengan keluarnya substansi lensa maka pada kamera okuli anterior akan
bertumpuk pula serbukan fagosit atau makrofag yang berfungsi
merabsorbsi substansi lensa tersebut.
 Tumpukan akan menutup sudut kamera okuli anterior sehingga timbul
glaukoma.
b. Fakotopik
 Berdasarkan posisi lensa
 Oleh karena proses intumesensi, iris, terdorong ke depan sudut kamera
okuli anterior menjadi sempit sehingga aliran humor aqueous tidak
lancar sedangkan produksi berjalan terus, akibatnya tekanan intraokuler
akan meningkat dan timbul glaukoma
c. Fakotoksik
 Substansi lensa di kamera okuli anterior merupakan zat toksik bagi mata
sendiri (auto toksik)

 Terjadi reaksi antigen-antibodi sehingga timbul uveitis, yang kemudian


akan menjadi glaukoma.
2.11 Prognosis
Pembedahan katarak yang bertujuan untuk ekstraksi katarak yang diikuti dengan
penanaman lensa intraokuler dapat meningkatkan tajam penglihatan pada mayoritas
penderita. Sebanyak lebih dari 95% pasien mengalami perbaikan visual setelah
dilakukan operasi. Hal ini juga membuat perbaikan pada aktivitas sehari-hari dan
merubah kualitas hidup serta status mental. Sedangkan prognosis visual pada pasien
anak yang mengalami katarak dan menjalani operasi tidak sebaik pada pasien dengan
katarak yang berhubungan dengan umur (AOA, 2004).
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas
 Nama : Ny. M
 Jenis kelamin : Perempuan
 Usia : 72 tahun
 Alamat : Beru, Wlingi, Kabupaten Blitar
 Pekerjaan : Tidak bekerja
 Agama/ Suku : Islam/ Jawa
 No. Register : 091xxx

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan utama
Mata kiri kabur
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan mata kiri kabur sejak 1 tahun yang lalu. Kabur
yang dirasakan perlahan-lahan dan semakin bertambah kabur. Awalnya seperti
melihat kabut berwarna putih. Kabur dirasakan saat melihat jauh maupun dekat
dan di seluruh lapang pandang. Keluhan mata merah (-), mata silau (+) saat
melihat cahaya, mata nyeri (-), mata cekot-cekot (-),sulit buka mata (-), nyerocoh
(-), nyeri kepala (-).
3.2.3 Riwayat Penyakit Terdahulu
 Riwayat penyakit mata : Pasien pernah mengalami katarak sebelumnya pada
mata kanan. Sudah di operasi di RSUD Ngudi Waluyo ± 3 bulan yang lalu.
 Riwayat penyakit sistemik : DM (-), Hipertensi (-), PJK (-)
3.2.4 Riwayat Terapi
Tidak terdapat riwayat berobat untuk keluhan saat ini, tidak meminum obat atau
memakai obat tetes mata.
3.2.5 Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga dengan keluhan serupa
3.2.6 Riwayat Alergi
Disangkal
3.2.7 Riwayat Trauma
Disangkal
3.2.8 Riwayat Sosial
Pasien seorang petani ladang, suami pasien juga bekerja sebagai petani ladang.
Pasien mempunyai 1 orang anak laki-laki.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Oftalmologi
Tanggal Pemeriksaan : 21 Desember 2017

LP (+) semua arah , ulang


5/6,6 cor(-), ph (-) VISUS
1/300

orthoporia Posisi Bola Mata orthoporia

Dalam batas normal GBM Dalam batas normal

spasme(-), edema(-) PALPEBRA spasme(-), edema(-)

CI(-), PCI (-) KONJUNCTIVA CI (-), PCI (-)

Jernih KORNEA jernih

Dalam, jernih COA Dalam, jernih

Radline IRIS radline

Round, 3mm, RP (+) PUPIL Round, midriasis e.c midriatyl


IOL on place LENSA Keruh rata

12mmHg TIO 10mmHg

(1)
(2) (3)

Gambar 3.1 Foto mata pasien


Keterangan :
(1) Kedua mata pasien
(2) Mata kanan: Pupil bulat, diameter 3 mm, refleks pupil (+)
(3) Mata kiri: Pupil bulat midriasis e.c mydriatyl, lensa keruh rata

3.4 Assessment Pre Op


 OD pseudofakia
 OS katarak senilis matur

3.5 Rencana
3.5.1 Rencana Diagnosis Pre Op
Keratometri, biometri, USG
3.5.2 Rencana Terapi:
Pro OS ECCE + IOL implantation/LA (21 Desember 2017)
3.5.3 Rencana Monitoring Post Op
 Keluhan subyektif
 Pemeriksaan visus
 COA: - Kedalaman
- Kebocoran aquous humour
- Tanda - tanda inflamasi
- Lensa : letak IOL
 Tekanan intra okuli
3.5.4 Rencana KIE Pre Op
 Memberitahukan kepada pasien bahwa keluhan penglihatan kabur pre operasi
karena kekeruhan pada lensa matanya (katarak matur kiri)
 Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah dengan operasi untuk
mengangkat lensa mata yang keruh dan diganti dengan lensa mata buatan
untuk mencegah penurunan tajam penglihatan
 Tujuan operasi adalah untuk merehabilitasi tajam penglihatan.
 Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan dan infeksi.

3.6 Prognosis Pre Op


Visam : bonam
Vitam : bonam
Functionam : bonam
Sanationam : bonam
Kosmetik : bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang wanita usia 72 tahun, dengan pekerjaan sebagai petani datang dengan
keluhan utama pandangannya kabur pada mata kiri sejak 1 tahun yang lalu. Kabur yang
dirasakan perlahan-lahan dan semakin bertambah kabur. Awalnya seperti melihat kabut
berwarna putih. Kabur dirasakan saat melihat jauh maupun dekat dan di seluruh lapang
pandang. Pasien juga merasa mata silau saat melihat cahaya.
Menurut teori katarak sendiri adalah adanya kekeruhan lensa yang mengarah
pada penurunan ketajaman visual dan/ atau cacat fungsional yang dirasakan pasien.
Pada pasien ini keluhan utama yang membawa pasien adalah kabur pada penglihatan,
sehingga katarak dapat dijadikan salah satu differential diagnosis pada pasien ini. Usia
pasien 72 tahun juga dapat mengarahkan diagnosis katarak hal ini dikarenakan menurut
peneitian prevalensi ini meningkat sampai 50% pada mereka yang berusia 65-75 tahun
dan meningkat lagi sekitar 70% pada usia 75 tahun. Sebenarnya, patogenesis katarak
terkait usia belum sepenuhnya dimengerti dan diduga multifaktorial. Lensa mata
mempunyai bagian yang disebut pembungkus lensa atau kapsul lensa, korteks lensa
yang terletak antara nukleus lensa atau inti lensa dengan kapsul lensa. Semakin
meningkatnya usia, berat dan ketebalan lensa semakin meningkat tetapi kemampuan
akomodasinya menurun. Pada anak dan remaja nukleus bersifat lembek sedang pada
orang tua nukleus ini menjadi keras. Dengan menjadi tuanya seseorang, maka lensa
mata akan kekurangan air dan menjadi lebih padat. Lensa akan menjadi keras pada
bagian tengahnya, sehingga kemampuannya memfokuskan benda dekat berkurang.
Dengan bertambahnya usia, lensa mulai berkurang kebeningannya, keadaan ini akan
berkembang dengan bertambah beratnya katarak.
Pekerjaan pasien yang merupakan petani dapat menjadi salah satu faktor
predisposisi terjadinya katarak, dalam hal ini dikarenakan pekerjaan pasien yang lebih
banyak diluar rumah dan terpapar sinar matahari. Banyak ilmuan yang sekarang ini
mencurigai bahwa salah satu sumber radikal bebas penyebab katarak adalah sinar
ultraviolet yang terdapat dalam jumlah besar di dalam sinar matahari. Memang sudah
diketahui bahwa radiasi ultraviolet menghasilkan radikal bebas di dalam jaringan.
Jaringan di permukaan mata yang transparan sangat peka terhadap sinar ultraviolet.
Pada mereka yang mempunyai riwayat terpajan sinar matahari untuk waktu lama dapat
mempercepat terjadinya katarak
Gejala lain yang dirasakan pasien, menurut anamnesa pasien merasakan
penglihatnnya menurun perlahan lahan sejak 1 tahun terakhir dan penglihatannya silau
jika terkena cahaya matahari. Gejala yang bisa dirasakan pada pasien katarak sendiri
antara lain pandangan kabur, penglihatan silau, sensitifitas terhadap kontras, miopisasi,
variasi diurnal penglihatan, Distorsi, Halo, diplopia monokuler, perubahan persepsi
warna, bintik hitam.
Pada peneriksaan fisik pasien didapatkan untuk visus OD 5/6,6 cor(-), ph (-) dan
visus OS LP (+) semua arah , ulang 1/300. Pada lensa OD didapatkan IOL on place
dan pada lensa OS didapatkan keruh rata. Katarak senilis secara klinik dikenal dalam 4
stadium yaitu insipien, imatur, matur, dan hipermatur.
Katarak Insipien merupakan stadium dengan kekeruhan lensa tidak teratur,
tampak seperti bercak-bercak yang membentuk gerigi dangan dasar di perifer dan
daerah jernih di antaranya. Kekeruhan biasanya terletak di korteks anterior dan
posterior. Pada katarak imatur terjadi kekeruhan yang lebih tebal, tetapi belum mengenai
seluruh lapisan lensa sehingga masih terdapat bagian-bagian yang jernih pada lensa.
Terjadi penambahan volume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan lensa
yang degeneratif. Pada keadaan lensa yang mencembung akan dapat menimbulkan
hambatan pupil, mendorong iris ke depan, mengakibatkan bilik mata dangkal sehingga
terjadi glaukoma sekunder. Pada pemeriksaan uji bayangan iris atau sahadaw test,
maka akan terlihat bayangn iris pada lensa, sehingga hasil uji shadow test (+). Pada
stadium intumesen kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa yang
degeneratif menyerap air. Masuknya air ke dalam lensa menyebabkan lensa menjadi
bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi dangkal
dibandingkan dalam keadaan normal. Katarak intumesen biasanya terjadi pada katarak
yang berjalan cepat dan menyebabkan myopia lentikular. Pada katarak matur kekeruhan
telah mengenai seluruh lensa. Proses degenerasi yang berjalan terus maka akan terjadi
pengeluaran air bersama hasil disintegrasi melalui kapsul, sehingga lensa kembali ke
ukuran normal.
Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh lensa. Proses degenerasi
yang berjalan terus maka akan terjadi pengeluaran air bersama hasil disintegrasi melalui
kapsul, sehingga lensa kembali ke ukuran normal. Bilik mata depan akan berukuran
kedalaman normal kembali. Tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh,
sehingga uji bayangan iris negative. Tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh,
sehingga uji bayangan iris negatif. Katarak hipermatur merupakan proses degenerasi
lanjut lensa, sehingga masa lensa yang mengalami degenerasi akan mencair dan keluar
melalui kapsul lensa. Lensa menjadi mengecil dan berwarna kuning. Bila proses katarak
berjalan lanjut disertai kapsul yang tebal, maka korteks yang berdegenerasi dan cair
tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan sekantong susu dengan nukleus
yang terbenam di korteks lensa. Keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni. Uji
bayangan iris memberikan gambaran pseudopositif. Pada pasien dapat didiagnosis
dengan OS katrak senilis Matur dikarenakan pada pemeriksaan fisik ditemukan
penurunan visus OS LP (+) semua arah , ulang 1/300. pada lensa OS didapatkan keruh
rata.
Penatalaksanaan terapi pada katarak adalah dengan dilakukan pembedahan,
Indikasi dari pembedahan sendiri ada 3 yaitu indikasi optik, Indikasi medis dan Indikasi
kosmetik. Pada pasien ini indikasi boleh dilakukannya operasi adalah indikasi optik. Hal
ini dikarenakan penglihatan pasien sudah menurun dan dapat mengganggu penglihatan
sehari-hari.
Metode pembedahan pada pasien katarak sendiri bermacam – macam, yang
umum digunakan, yaitu ICCE, ECCE, SICS dan phacoemulsifikasi. Operasi katarak
intrakapsular/ Ekstraksi katarak intrakapsular dengan metode yang mengangkat seluruh
lensa bersama kapsulnya melalui insisi limbus superior 140-160 derajat. Metode ini
sekarang sudah jarang digunakan. Masih dapat dilakukan pada zonula Zinn yang telah
rapuh atau berdegenerasi atau mudah putus. Keuntungannya adalah tidak akan terjadi
katarak sekunder. Meskipun demikian, terdapat beberapa kerugian dan komplikasi post
operasi yang mengancam dengan teknik ICCE. Insisi limbus superior yang lebih besar
160-180º dihubungkan dengan penyembuhan yang lebih lambat, rehabilitasi tajam
penglihatan yang lebih lambat, angka kejadian astigmatisma yang lebih tinggi,
inkarserata iris, dan lepasnya luka operasi. Edema kornea juga dapat terjadi sebagai
komplikasi intraoperatif dan komplikasi dini. Operasi katarak ekstrakapsular yaitu
dengan mengangkat isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior,
sehingga masa lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan tersebut.
Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel,
bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa okuler posterior. Keuntungan dari metode
ini adalah karena kapsul posterior untuh maka dapat dimasukan lensa intraokuler ke
dalam kamera posterior serta insiden komplikasi paska operasi (ablasi retina dan edema
makula sistoid) lebih kecil jika dibandingkan metode intrakapsular. Penyulit yang dapat
terjadi yaitu dapat timbul katarak sekunder. Fakoemulsifikasi merupakan modifikasi dari
metode ekstrakapsular karena sama-sama menyisakan kapsul bagian posterior. Insisi
yang diperlukan sangat kecil yaitu 5 mm yang berguna untuk mempercepat kesembuhan
paska operasi. Kemudian kapsul anterior lensa dibuka. Dari lubang insisi yang kecil
tersebut dimasukan alat yang mampu mengeluarkan getaran ultrasonik yang mampu
memecah lensa menjadi kepingan-kepingan kecil, kemudian dilakukan aspirasi. Metode
pembedahan lain yang saat ini sering digunakan adalah SICS (Small Incision Cataract
Surgery) yaitu insisi dilakukan pada sklera dengan ukuran insisi bervariasi dari 5-8 mm.
Namun tetap dikatakan SICS sejak design arsiteknya tanpa jahitan, Penutupan luka
insisi terjadi dengan sendirinya (self-sealing). Teknik operasi ini dapat dilakukan pada
stadium katarak immature, mature, dan hypermature. Pada pasien ini dilakukan
pembedahan ECCE.
Untuk prognosis pasien pada saat ini Visam : bonam, sanam : bonam , vitam :
bonam, kosmetik: bonam, fungtionam : bonam
BAB V
KESIMPULAN

1. Katarak adalah kekeruhan lensa yang mengarah pada penurunan ketajaman


visual dan/ atau cacat fungsional yang dirasakan pasien. Asal kata katarak dari
kata Yunani cataracta yang berarti air terjun. Katarak umumnya terjadi karena
proses degeneratif.
2. Teori terjadinya katarak antara lain adanya proses Penuaan (Aging Process),
Teori Radikal Bebas, Sinar Ultraviolet, Penggunaan obat yang menginduksi
perubahan lensa
3. Pasien pada kasus ini merupakan wanita usia 72 tahun, dengan pekerjaan
sebagai petani datang dengan keluhan utama pandangannya kabur yang
dirasakan perlahan-lahan.
4. Katarak senilis secara klinik dikenal dalam 4 stadium yaitu insipien, imatur, matur,
dan hipermatur.
5. Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh lensa. Proses degenerasi
yang berjalan terus maka akan terjadi pengeluaran air bersama hasil disintegrasi
melalui kapsul, sehingga lensa kembali ke ukuran normal
6. Pada pasien dapat didiagnosis dengan OS katrak senilis Matur dikarenakan pada
pemeriksaan fisik ditemukan penurunan visus OS LP (+) semua arah, ulang
1/300. pada lensa OS didapatkan keruh rata
7. Penatalaksanaan terapi pada katarak adalah dengan dilakukan pembedahan,
Indikasi dari pembedahan sendiri ada 3 yaitu indikasi optik, Indikasi medis dan
Indikasi kosmetik
8. Metode pembedahan pada pasien katarak sendiri bermacam – macam, yang
umum digunakan, yaitu ICCE, ECCE, SICS dan phacoemulsifikasi
9. Didapatkan peningkatan visus dari sebelum dilakukan pembedah dan sesudah
dilakukan pembedahan, dan belum ditemukan adanya tanda tanda komplikasi
pada pasien
10. Untuk prognosis pasien Visam : bonam, sanam : bonam , vitam : bonam,
kosmetik: bonam, fungtionam : bonam
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. 2007. Lens and Cataract Section 11. San
Fransisco.

American Optometric Association. 2004. Care of The Adult Patient with Cataract.
Practice Guideline.

Duker, Myron Yanoff, Jay S. 2008. Ophthalmology (3rd ed.). Edinburgh: Mosby. p. 382.
ISBN 978-0323057516.

Gupta, V. B., Rajagopala, M., & Ravishankar, B. 2014. Etiopathogenesis of cataract: An


appraisal. Indian Journal of Ophthalmology, 62(2), 103–110.
http://doi.org/10.4103/0301-4738.121141. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2017.

Hollows F, Moran D, 1981. Cataract-the ultraviolet risk factor. Lancet. 1981;11:1249–50.


[PubMed].

Ilyas H, Sidarta., Yulianti, SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jackson, C.R.S., Finlay, R.D. 2008. The Eye In General Practice. Textbook. Hal.74-8.

Kemenkes RI. 2014. Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan.


http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin
-penglihatan.pdf. Diakses pada tanggal 29 Agustus 2017.

Khurana, A.K. 2007. Comprehensive Ophtamology. 4th ed. New Delhi: New Age
International (P) Limited.

LifeMap. 2015. The Anatomy and Structure of the Adult Human Lens.
https://discovery.lifemapsc.com/library/images/the-anatomy-and-structure-of-the-
adult-human-lens. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2017.

Mariannete, J. 1999. Cataract and Lens Disorder, Clinical Guide to Comprehensive


Opthalmology. New York: Thieme Medical Publishers. Hal: 303-331.

Medscape. 2017. Senile Cataract (Age-Related Cataract) Clinical Presentation.


http://emedicine.medscape.com/article/1210914-clinical#b4. Diakses pada
tanggal 28 Agustus 2017.

Murrill, Cynthia A et al. 2004. Optometric Clinical Practice Guideline Care of The Adult
Patient with Cataract. U.S.A: American Optometric Association.

Salmon, J F. 2010. Glaukoma. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta:
EGC. Hal. 212 – 229.
Setiohadji, B. 2006. Community Opthalmology. Cicendo Eye Hospital/Dept of
Ophthalmology Medical Faculty of,Padjadjaran University.

Sujitha et al. 2013. Risk Factors Associated with The Development of Cataract: A
Prospective Study. Palakkad: World Journal of Pharmacy and Pharmaceutical
Science. Vol 2, Issue 1, 544-553.

Vaughan, Daniel G. 2012. Oftamologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.

Whitehead,N.Alfred. 2004. Anatomi dan Fisiologi lensa. Dalam transisi menuju


fakoemulsifikasi oleh Istiantoro Soekardi dan johan A Hutauruk. Granit kelompok
yayasan Obor Indonesia. Jakarta;8-12.

WHO. 2013. Priority eye disease.


http://www.who.int/blindness/causes/priority/en/index1.html. Diakses pada tanggal
28 Agustus 2017.

Zorab, A et al. 2005. Lens and cataract. Chapter 5 Pathology. Hal: 45-46.

Anda mungkin juga menyukai