Anda di halaman 1dari 39

Cover

DETEKSI DINI PENYEBARAN HIV-AIDS DENGAN


SKRINING VCT DI WILAYAH PUSKESMAS GROGOL
SUKOHARJO
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat

Pembimbing
dr. Agus Kristiyanto

Disusun oleh :
Nia Amalia Ulfah J510170023
Nissa Abiyya Ihwanah J510170085
M. Iqbal Elfandiary J5101700..
M. Irwanto J510170048

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS GROGOL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
Halaman Pengesahan
LAPORAN KEPANITERAAN IKM
DETEKSI DINI PENYEBARAN HIV-AIDS DENGAN
SKRINING VCT DI WILAYAH PUSKESMAS GROGOL
SUKOHARJO

Diajukan Oleh :

Nia Amalia Ulfah J510170023


Nissa Abiyya Ihwanah J510170085
M. Iqbal Elfandiary J5101700
M. Irwanto J510170048

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Kesehatan Masyarakat
Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Pada hari, .......................................................................................

Pembimbing
Nama : dr. Agus Kristiyanto (.................................)

Penguji
Nama : dr. M. Shoim Dasuki, M.Kes (.................................)

Penguji
Nama : Bejo Raharjo, SKM, M.Kes (.................................)

ii
Daftar Isi

Daftar isi
Halaman Judul.......................................................................................................... i
Halaman Pengesahan .............................................................................................. ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
BAB I ...................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................. 2
A. Latar Belakang ............................................................................................. 2
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3
BAB II ..................................................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 5
A. Human Immunodeficiency Virus (HIV) ....................................................... 5
B. Definisi Konseling dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT) ....... 13
BAB III ................................................................................................................. 22
METODE PENERAPAN KEGIATAN ................................................................ 22
A. Metode Penerapan Kegiatan ...................................................................... 22
B. Analisis Data .............................................................................................. 22
BAB IV ................................................................................................................. 23
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 23
A. HASIL KEGIATAN SKRINING VCT ..................................................... 23
BAB V................................................................................................................... 45
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 46

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
HIV atau Human Immuno-deficiency Virus merupakan suatu virus yang
menyerang sistem kekebalan atau imun tubuh manusia dan melemahkan
kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang datang sehingga penderitanya
mudah untuk diserang berbagai penyakit. Tertularnya seseorang dengan HIV
ini dapat menyebabkan orang tersebut menderita AIDS atau Acquired Immuno
Deficiency Syndrome. AIDS adalah sekumpulan gejala yang muncul akibat dari
penurunan sistem kekebalan tubuh yang didapat, disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency Virus (Murtiastutik, 2008).
Virus HIV pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan berkebangsaan
Perancis (Institute Pasteur, Paris) bernama Montagnier, yang mengisolasi virus
dari seorang penderita limfadenopati, sehingga saat itu dinamakan
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV) (Purwaningsih, 2013). Virus HIV
termasuk dalam golongan retrovirus, yaitu virus yang memasukkan materi
genetiknya ke dalam sel tuan rumah ketika melakukan infeksi dengan cara
yang berbeda (retro), yaitu dari RNA menjadi DNA, yang kemudian menyatu
dalam DNA sel host yang kemudin membentuk pro-virus kemudian melakukan
replikasi (Murtiastutik, 2008).
HIV dapat menyebar baik melalui hubungan sesama jenis (homoseksual)
atau berbeda jenis (heteroseksual) ketika pasangannya telah terinfeksi HIV.
Selama melakukan hubungan seks, kerusakan lapisan organ seksual bisa
menularkan HIV dari pasangan yang terinfeksi dengan pertukaran cairan tubuh,
selain melakukan hubungan seksual dengan vaginal yang berisiko, ada perilaku
seksual berisiko lainnya utuk tertular HIV, misalnya hubungan seks melalui
anal maupun oral (Lenny, 2015)
Menurut Komisi penanggulangan AIDS Nasional mengemukakan bahwa
sebagian besar penderita HIV/AIDS di Indonesia ditemukan di antara pekerja
seks komersial yang jumlahnya diperkirakan berkisar 190.000-270.000 orang.
Depkes RI menegaskan bahwa tingginya angka berganti-ganti pasangan pada

2
wanita pekerja seks komersial merupakan penyebab menyebarnya penyakit
menular seksual yang salah satunya yaitu HIV/AIDS (Depkes RI, 2003).
Menurut World Health Orgnanization (WHO) dalam Laporan Kemajuan
2011, pada akhir Tahun 2010, diperkirakan 34 juta orang (31.600.000-
35.200.000) hidup dengan HIV di seluruh dunia, termasuk 3,4 juta anak-anak
(<15 tahun). Ada 2,7 juta (2.400.000- 2.900.000) baru terinfeksi HIV pada
tahun 2010, termasuk 390.000 anak di antaranya <15 tahun (Sianturi, 2012).
Data yang diambil dari Puskesmas Kecamatan Grogol menunjukan
penderita HIV di wilayah Kecamatan Grogol yang terdeteksi melalui skrining
VCT dari bulan Januari hingga Oktober 2017 terdiri dari 36 orang. Sehingga
perlu adanya kegiatan yang dapat mencegah bertambahnya jumlah penderita
HIV. Puskesmas Grogol menggunakan skrining VCT dalam mendeteksi secara
dini penyebaran HIV-AIDS di wilayah kecamatan Grogol.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah: pencapaian dari deteksi dini penyebaran HIV-AIDS
dengan skrining VCT di wilayah Puskesmas Grogol Sukoharjo.
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pencapaian deteksi dini penyebaran HIV-AIDS
dengan skrining VCT di wilayah Puskesmas Grogol Sukoharjo
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
Dapat memahami dan mengerti pentingnya deteksi dini terhadap penyakit
HIV-AIDS dan menghilangkan stigma negatif masyarakat terhadap
penderita.
2. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam merancang dan
melaksanakan penelitian ilmiah dalam bidang kesehatan masyarakat.
3. Bagi Peneliti Lain
Dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian lebih lanjut di masa yang akan
datang.

3
4. Bagi Puskesmas
Dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penyelesaian masalah
deteksi penyebaran HIV-AIDS di wilayah Puskesmas Grogol Sukoharjo.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Human Immunodeficiency Virus (HIV)

1. Definsi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4
berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem
kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai
CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai nol) (DEPKES RI, 2013).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau
retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang
tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel
mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara
lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-
masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe
secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup
tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di
seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Umar dan Zain, 2014).
2. Definisi AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome,
yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai

5
6

kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar seperti kuman,


virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan
tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain
(Yatim dan Danny, 2016).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup
dalam sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh
ke dalam kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan
AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus,
bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan
infeksi oportunistik (Umar dan Zain, 2014).
3. Etiologi dan Patogenesis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus
penyebab AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili
lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya
nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini
mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag,
pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yang
penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein replikasi fase awal yaitu
protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus terlibat
dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada
HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein
Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev membantu
keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi
sel yang lain (Yatim dan Danny, 2016).
Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton
(kD) yang kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-
kD (transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120
yang berikatan dengan CD4 dan mempunyai peran yang sangat penting
dalam membantu perlekatan virus dangan sel target (Borucki, 2016).
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit
CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4.
7

Virus ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik


mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut
reverse transcriptase. Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan
sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi tersebut
menyebabkan gangguan respon imun yang progresif (Borucki, 2016).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama
masa ini, virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid.
Pada tahap ini telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun
terhadap HIV terjadi 1 minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia
plasma menurun, dan level sel CD4 kembali meningkat namun tidak
mampu menyingkirkan infeksi secara sempurna. Masa laten klinis ini bisa
berlangsung selama 10 tahun. Selama masa ini akan terjadi replikasi virus
yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar partikel HIV dihasilkan
dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam plasma adalah
sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit TCD4
yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi
virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan,
diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi
dalam basis harian.
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan
penyakit klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma.
Level virus yang lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap
infeksi yang lebih lanjut. HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama
tahap infeksi yang lebih lanjut dan lebih virulin daripada yang ditemukan
pada awal infeksi. Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap
HIV terjadi penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat
rendah, sehingga beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-
bagian tubuh tertentu. Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal
bisa jadi ganas dan menimbulkan penyakit (Umar dan Zain, 2014).
8

4. Cara penularan HIV


Terutama melalui cairan tubuh manusia. Cairan yang berpotensial
mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu
ibu. Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak
seksual, kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak
selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu)
(Umar dan Zain, 2014).
a. Seksual Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling
dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan
seksual dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan
atau laki-laki dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual
dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral (mulut) antara dua
individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak
terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
b. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar
dengan virus HIV.
c. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau
tertusuk ke dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV,
seperti jarum tato atau pada pengguna narkotik suntik secara
bergantian. Bisa juga terjadi ketika melakukan prosedur tindakan
medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja (tidak sengaja) bagi
petugas kesehatan.
d. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian
hendaknya dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali
benda-benda tersebut disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
e. Melalui transplantasi organ pengidap HIV.
f. Penularan dari ibu ke anak Kebanyakan infeksi HIV pada anak
didapat dari ibunya saat ia dikandung, dilahirkan dan sesudah lahir
melalui ASI.
g. Penularan HIV melalui pekerjaan : pekerja kesehatan dan petugas
laboratorium. Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil
namun defenitif, yaitu pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan
9

orang lain yang bekerja dengan spesimen/bahan terinfeksi HIV,


terutama bila menggunakan benda tajam
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat
menularkan infeksi baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya
sewaktu bekerja pada pekerja kesehatan. Selain itu menurut Fauci,(2015)
air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV. Menurut WHO (2016),
terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat ditularkan antara lain:
a. Kontak fisik .Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita
HIV/AIDS, bernapas dengan udara yang sama, bekerja maupun
berada dalam suatu ruangan dengan pasien tidak akan tertular.
Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi, tangan dan kening
penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang tertular.
b. Memakai milik penderita Menggunakan tempat duduk toilet, handuk,
peralatan makan maupun peralatan kerja penderita HIV/AIDS tidak
akan menular.
c. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
d. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
5. Gejala Klinis
Gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum terjadi)
dan gejala minor (tidak umum terjadi):
a. Gejala mayor:
1) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
4) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
5) Demensia/ HIV ensefalopati
b. Gejala minor:
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2) Dermatitis generalisata
3) Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
4) Kandidias orofaringeal
5) Herpes simpleks kronis progresif
10

6) Limfadenopati generalisata
7) Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research
(MFMER) (2013), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase:
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-
tanda infeksi. Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti
demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan
kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi,
penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun
atau lebih. Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan
penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai
memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah
bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan
menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih
setelah terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi
tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut AIDS.
6. Pengobatan Pemberian anti retroviral (ARV)
Infeksi penyakit oportunistik lain yang berat dapat disembuhkan.
Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan penurunan produksi
sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi pertumbuhan. Obat
ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transkriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non
nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat
ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa
menghilangkan virus yang telah berkembang. Vaksin terhadap HIV dapat
diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah baik infeksi
maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin
11

HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi


pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah
sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun
perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi
pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna
oleh respon imun inang setelah infeksi primer (Djoerban dan Djauzi,
2014).
7. Pencegahan
Menurut Muninjaya (2013), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS
adalah Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan
hubungan seks, Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be
faithful/fidelity), artinya tidak berganti-ganti pasangan seks, dan
penggunaan Kondom (K) pada setiap melakukan hubungan seks yang
beresiko tertular virus AIDS atau penyakit menular seksual (PMS) lainnya.
Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan PSK. Bagi mereka yang
belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu diberikan pendidikan.
Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu dilengkapi
informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai bentuk
rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan remaja sendiri
(Muninjaya, 2013). Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita
tidak dapat melakukan tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS
karena tidak adanya obat-obatan atau vaksin yang memungkinkan
penyembuhan AIDS. Oleh karena itu kita perlu melakukan pencegahan
sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi yang benar tentang AIDS sangat
dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat berita yang salah agar
penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk akal.
Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor
perilaku sehingga perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh
kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari
pendidikan kesehatan. Kemudian perilaku kesehatan akan berpengaruh
pada peningkatan indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran
12

(outcome) pendidikan kesehatan (Notoadmodjo, 2015). Paket komunikasi,


informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS adalah salah satu cara
yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia khususnya
kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum
konsisten (Muninjaya, 2013). Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat
jalur pendidikan mempunyai arti yang sangat strategis karena besarnya
populasi remaja di jalur sekolah dan secara politis kelompok ini adalah
aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran remaja yang paling
mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed community)
(Muninjaya, 2013). Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta
tertekannya jiwa menyebabkan remaja berusaha untuk melarikan diri dari
kenyataan hidup dan ingin diterima dalam lingkungan atau kelompok
tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan keimanan dan ketaqwaan
melalui ajaran-ajaran agama. Sebagian masyarakat Indonesia menggangap
bahwa seks masih merupakan hal yang tabu. Termasuk diantaranya dalam
pembicaraan, pemberian informasi dan pendidikan seks. Akibatnya jalur
informasi yang benar dan mendidik sulit dikembangkan.
Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks
aman yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi
penis ke dalam vagina, anus, ataupun mulut. Bila air mani tidak masuk ke
dalam tubuh pasangan seksual maka resiko penularan akan berkurang.
Apabila ingin melakukan senggama dengan penetrasi maka seks yang
aman adalah dengan menggunakan alat pelindung berupa kondom (Yatim
dan Danny , 2016). Hindari berganti-ganti pasangan dimana semakin
banyak jumlah kontak seksual seseorang, lebih mungkin terjadinya infeksi.
Hindari sexual intercourse dan lakukan outercourse dimana tidak
melakukan penetrasi. Jenis-jenis outercourse termaksuk masase, saling
rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh tanpa kontak vaginal, anal,
atau oral (Hutapea, 2015). Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan
memakai suntik, resiko penularan akan meningkat. Oleh karena itu perlu
mendapat pengetahuan mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat
rehabilitasi obat dapat dimanfaatkan untuk menghentikan penggunaan obat
13

tersebut. Bagi petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk


digunakan sebagai pencegah antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas
laboratorium, pelindung muka atau masker, dan pelindung mata. Pilihan
alat tersebut sesuai dengan kebutuhan aktivitas pekerjaan yang dilakukan
tenaga kesehatan (Muninjaya, 2013).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut
kepada bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau
menyusui. ASI juga dapat menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah
terinfeksi HIV pada saat mengandung maka ada kemungkinan si bayi lahir
sudah terinfeksi HIV. Maka dianjurkan agar seorang ibu tetap menyusui
anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang tidak diberi ASI beresiko lebih besar
tertular penyakit lain atau menjadi kurang gizi .Bila ibu yang menderita
HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil maka dapat mengurangi
penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang tidak mendapat
pengobatan (Spiritia, 2016).
8. Sikap Masyarakat terhadap Penderita HIV/AIDS
Mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan
narkoba dan kematian, banyak orang yang tidak peduli, tidak menerima,
dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh lapisan masyarakat.
Stigma sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan akan
mendorong munculnya pelanggaran HAM bagi ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS) dan keluarganya. Diskriminasi terjadi ketika pandangan-
pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan
seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada prasangka mereka akan
status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi para staf
rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan
kepada ODHA; atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan
status atau prasangka akan status HIV mereka; atau keluarga/masyarakat
yang menolak mereka yang hidup, atau dipercayai hidup, dengan
HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah bentuk
pelanggaran hak asasi manusia (Sulianti, 2015).
B. Definisi Konseling dalam Voluntary Counseling and Testing (VCT)
14

1. Definisi
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang
menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan
HIV/AIDS, mencegah penularan HIV, mempromosikan perubahan
perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan antiretroviral (ARV) dan
memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS
yang bertujuan untuk perubahan perilaku ke arah perilaku lebih sehat
dan lebih aman (DEPKES RI, 2016).
Prinsip Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) VCT
merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu
masuk ke seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan yang
berdasarkan prinsip:
a. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV Pemeriksaan HIV hanya
dilaksanakan atas dasar kerelaan klien tanpa paksaan dan tanpa
tekanan. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan terletak ditangan
klien. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak
direkomendasikan untuk testing wajib pada pasangan yang akan
menikah, pekerja seksual,Injecting Drug User (IDU), rekrutmen
pegawai/tenaga kerja Indonesia dan asuransi kesehatan.
b. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas. Layanan
harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua
klien. Semua informasi yang disampaikan klien harus dijaga
kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak
diperkenankan didiskusikan diluar konteks kunjungan klien. Semua
informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat
dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus
klien selanjutnya dengan seijin klien maka informasi kasus dari diri
klien dapat diketahui.
c. Mempertahankan hubungan relasi konselor dan klien yang efektif
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing
dan mengikuti pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi
prilaku beresiko. Dalam VCT dibicarakan juga respon dan perasaan
15

klien dalam menerima hasil testing dan tahapan penerimaan hasil


testing positif.
d. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT. WHO dan
Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat
digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing
senantiasa diikuti oleh konseling pasca testing oleh konselor yang
sama atau konselor lain yang disetujui oleh klien.
2. Model Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Pelayanan VCT dapat dikembangkan diberbagai layanan terkait yang
dibutuhkan, misalnya klinik Infeksi Menular Seksual (IMS), klinik
Tuberkulosa (TB), Klinik Tumbuh Kembang Anak dan sebagainya. Lokasi
layanan VCT hendaknya perlu petunjuk atau tanda yang jelas hingga
mudah diakses dan mudah diketahui oleh klien VCT. Namun klinik cukup
mudah dimengerti sesuai dengan etika dan budaya setempat dimana
pemberian nama tidak mengundang stigma dan diskriminasi.
Model layanan VCT terdiri atas :
a) Mobile VCT (Penjangkauan dan keliling) Mobile VCT adalah model
layanan dengan penjangkauan dan keliling yan dapat dilaksanakan
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau layanan kesehatan
yang langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang
memiliki perilaku berisiko atau berisiko tertular HIV/AIDS di wilayah
tertentu. Layanan ini diawali dengan survei atau penelitian atas
kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survei tentang layanan
kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.
b) Statis VCT (Klinik VCT tetap) Statis VCT adalah sifatnya terintegrasi
dalam sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya, artinya
bertempat dan menjadi bagian dari layanan kesehatan yang telah ada.
Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus memiliki
kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan VCT, layanan
pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan terkait dengan
HIV/AIDS (Pedoman Pelayanan VCT, 2016).
3. Tahapan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
16

a. Pre-test counseling
Pre-test counseling adalah diskusi antara klien dan konselor yang
bertujuan untuk menyiapkan klien untuk testing, memberikan
pengetahuan pada klien tentang HIV/AIDS. Isi diskusi yang
disampaikan adalah klarifikasi pengetahuan klien tentang HIV/AIDS,
menyampaikan prosedur tes dan pengelolaan diri setelah menerima
hasil tes, menyiapkan klien menghadapi hari depan, membantu klien
memutuskan akan tes atau tidak, mempersiapkan informed consent
dan konseling seks yang aman.
Pada beberapa setting (misalnya penyuluhan kesehatan secara
umum) Konselor memberikan penyuluhan informasi umum tentang
HIV/AIDS, VCT dan Mother to child transmission (MTCT) Di
masyarakat Klien menerima informasi dan memutuskan untuk pergi
ke klinik VCT Di klinik VCT Klien diberi informasi mengenai
prosedur termasuk pilihan untuk menunggu selama 2 jam dan
menerima hasil tes pada hari yang sama Klien diajak berdiskusi
mengenai keyakinan menjalani tes Klien menerima informasi tentang
HIV/AIDS Adanya biaya yang dikeluarkan Klien terdaftar tanpa
nama/rahasia.
Jika klien banyak, konselor melakukan pre tes secara
berkelompok bagi yang membutuhkan VCT. Syarat untuk pre-tes
kelompok:
1) Pernyataan kesediaan untuk menjalani tes kelompok.
2) Kerahasiaan terjaga.
3) Tidak lebih dari 6 orang per kelompok.
4) Bila mungkin, anggota kelompok pada usia dan jenis kelamin yang
sama.
5) Diberikan informasi pre-tes yang sama seperti konseling pada
individu.
6) Melengkapi data VCT pada setiap anggota kelompok.
7) Mendapatkan inform consent jika klien memutuskan untuk
melakukan tes HIV.
17

8) Melakukan pengambilan darah selama proses pemeriksaan sampel


dilakukan diskusi dan demonstrasi penggunaan kondom.
9) Melakukan penilaian tentang kesiapan klien mengetahui status
HIV.
10) Rencana klien setelah mengetahui status HIV.
11) Hambatan untuk mengubah perilaku.
12) Rencana dan cara mengatasi jika klien HIV positif.
13) Dukungan dari keluarga dan teman.
14) Jika klien sedikit, konselor melakukan pre tes secara individu bagi
yang membutuhkan VCT. Syarat untuk pre-tes:
1) Informasi dasar mengenai infeksi HIV dan AIDS.
2) Arti tes HIV termasuk window period.
3) Prosedur tes dan kebijakan dalam menyampaikan hasil tes.
4) Pre-test counseling termasuk penilaian resiko individu dan
rencana pengurangan resiko.
5) Formulir VCT.
6) HIV testing.
Pada umumnya, tes HIV dilakukan dengan cara mendeteksi
antibodi dalam darah seseorang. Jika HIV telah memasuki tubuh
seseorang, maka di dalam darah akan terbentuk protein khusus yang
disebut antibodi. Antibodi adalah suatu zat yang dihasilkan sistem
kekebalan tubuh manusia sebagai reaksi untuk membendung serangan
bibit penyakit yang masuk. Pada umumnya antibodi terbentuk di
dalam darah seseorang memerlukan waktu 6 minggu sampai 3 bulan
tetapi ada juga sampai 6 bulan bahkan lebih. Jika seseorang memiliki
antibodi terhadap HIV di dalam darahnya, hal ini berarti orang itu
telah terinfeksi HIV.
Tes HIV yang umumnya digunakan adalah Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), Rapid Test dan Western Immunoblot
Test. Setiap tes HIV ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
berbeda. Sensitivitas adalah kemampuan tes untuk mendeteksi adanya
18

antibodi HIV dalam darah sedangkan spesifisitas adalah kemampuan


tes untuk mendeteksi antibodi protein HIV yang sangat spesifik.
a. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Tes ini digunakan untuk mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh
terhadap virus HIV. Tes ELISA ini dapat dilakukan dengan
sampel darah vena, air liur, atau air kencing. Hasil positif pada
ELISA belum dapat dipastikan bahwa orang yang diperiksa telah
terinfeksi HIV karena tes ini mempunyai sensitivitas tinggi tetapi
spesifisitas rendah. Oleh karena itu masih diperlukan tes
pemeriksaan lain untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan
ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif,
masih ada dua kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak
terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi HIV.
b. Rapid Test
Penggunaan dengan metode rapid test memungkinkan klien
mendapatkan hasil tes pada hari yang sama dimana pemeriksaan
tes hanya membutuhkan waktu 10 menit. Metode pemeriksaan
dengan menggunakan sampel darah jari dan air liur. Tes ini
mempunyai sensitivitas tinggi (mendekati 100%) dan spesifisitas
(>99%). Hasil positif pada tes ini belum dapat dipastikan apakah
dia terinfeksi HIV. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan tes
lain untuk mengkonfirmasi hasil tes ini.
c. Western Immunoblot Test
Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi
antibodi terhadap HIV. Western blot digunakan sebagai tes
konfirmasi untuk tes HIV lainnya karena mempunyai spesifisitas
yang lebih tinggi untuk memastikan apakah terinfeksi HIV atau
tidak.
d. Post-test counseling
Post-test counseling adalah diskusi antara konselor dengan
klien yang bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien,
membantu klien beradaptasi dengan hasil tes, menyampaikan
19

hasil secara jelas, menilai pemahaman mental emosional klien,


membuat rencana dengan menyertakan orang lain yang bermakna
dalam kehidupan klien, menjawab, menyusun rencana tentang
kehidupan yang mesti dijalani dengan menurunkan perilaku
berisiko dan perawatan, dan membuat perencanaan dukungan.
Menyampaikan hasil tes memberikan hasil tes dengan situasi
yang tenang dalam ruangan yang tertutup menyampaikan hasil
pada klien sesegera mungkin memberikan kesempatan pada klien
untuk mengekspresikan perasaannya tentang hasil tes dan lainnya
memberikan waktu pada klien untuk bertanya menawarkan
konseling individu atau konseling bersama pasangan tergantung
pada keinginan klien. Atas permintaan klien, anggota keluarga,
teman atau orang yang diminta klien diizinkan masuk ke ruangan
pada saat hasil diberikan.
Untuk hasil tes HIV positif:
1) Memberikan konseling untuk hidup positif, yaitu: menjaga
sikap positif menghindari paparan tambahan terhadap virus
HIV dan infeksi menular seks (IMS) lain.
2) Memberikan rujukan pelayanan medis.
3) Menjaga berat badan dengan makanan yang bergizi dan
menghindari diare.
4) Bergabung dengan kelompok Orang dengan HIV/AIDS
(ODHA) dan kelompok dukungan sosial lainnya.
Untuk hasil tes HIV negatif:
1) Menyarankan kepada klien yang mempunyai perilaku beresiko
untuk kembali melakukan VCT sesudah 3 bulan, karena
mereka mungkin sekarang sedang berada dalam periode
jendela.
2) Menyarankan pada klien yang berada pada window period
untuk mengurangi perilaku beresiko.
20

Klien dengan hasil tes HIV negatif dan tidak memiliki


kemungkinan terpapar HIV, tidak perlu melakukan confimatory
testing.
Untuk hasil tes positif dan negatif:
1) Mendorong klien untuk memberitahu hasil tes kepada
pasangannya (mengetahui hasil tes bersama adalah cara yang
paling baik).
2) Memberikan pendidikan dan konseling mengenai keluarga
berencana.
3) Memberikan pendidikan dan demonstrasi pemakaian kondom
dan menyediakan kondom bagi klien yang ingin memakai
kondom (dengan tidak memaksa klien). Memberikan informasi
konseling dan dukungan tambahan.
4) Memberikan rujukan sesuai dengan keinginan klien.
Layanan VCT adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara
konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS beserta resiko dan
konsekuensi terhadap diri, pasangan, keluarga dan orang di sekitarnya
dengan tujuan utama adalah perubahan perilaku ke arah perilaku yang
lebih sehat dan lebih aman (Pedoman Pelayanan VCT, 2016). Dari
definisi diatas dapat disimpulkan bahwa individu dikatakan
memanfaatkan layanan VCT jika dia tahu informasi mengenai layanan
VCT dan mau menggunakan layanan VCT untuk tujuan yang
bermanfaat. Dengan demikian pemanfaatan layanan VCT adalah sejauh
mana orang yang pernah melakukan perilaku beresiko tinggi tertular
HIV/AIDS merasa perlu menggunakan layanan VCT untuk mengatasi
masalah kesehatannya, untuk mengurangi perilaku beresiko dan
merencanakan perubahan perilaku sehat (KPA NASIONAL, 2015).
4. Pemanfaatan Layanan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Menurut kamus pintar Bahasa Indonesia (2015), pemanfaatan
berasal dari kata dasar manfaat yang artinya guna atau faedah. Dengan
demikian kata pemanfaatan berarti menggunakan sesuatu dengan
tujuan untuk mendapatkan kegunaan atau faedah dari objek tersebut.
21

Layanan VCT adalah suatu prosedur diskusi pembelajaran antara


konselor dan klien untuk memahami HIV/AIDS beserta resiko dan
konsekuensi terhadap diri, pasangan, keluarga dan orang di sekitarnya
dengan tujuan utama adalah perubahan perilaku ke arah perilaku yang
lebih sehat dan lebih aman.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa individu
dikatakan memanfaatkan layanan VCT jika dia tahu informasi mengenai
layanan VCT dan mau menggunakan layanan VCT untuk tujuan yang
bermanfaat. Dengan demikian pemanfaatan layanan VCT adalah sejauh
mana orang yang pernah melakukan perilaku beresiko tinggi tertular
HIV/AIDS merasa perlu menggunakan layanan VCT untuk mengatasi
masalah kesehatannya, untuk mengurangi perilaku beresiko dan
merencanakan perubahan perilaku sehat (Pedoman Pelayanan VCT, 2016).
BAB III
METODE PENERAPAN KEGIATAN

A. Metode Penerapan Kegiatan


Metode penerapan kegiatan yang digunakan dalam pembuatan laporan
ini adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
Data HIV yang digunakan dalam laporan ini diperoleh dari data primer
laporan kerja Puskesmas Grogol dan data peran skrining VCT dalam
mendeteksi secara dini penyebaran HIV-AIDS di wilayah Puskesmas
Grogol Sukoharjo.
2. Pendeskripsian Data
Data primer yang terkumpul dianalisa untuk mengetahui pencapaian
deteksi dini penyebaran HIV-AIDS dengan skrining VCT di wilayah
Puskesmas Grogol Sukoharjo.
B. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam laporan ini adalah analisis fishbone.
Analisis fishbone berarti analisis tulang ikan disebut juga dengan fishbone
diagram, cause effect diagram, atau ishikawa diagram. Analisis ini
merupakan alat yang umum digunakan untuk membantu organisasi
memecahkan masalah dengan melakukan analisis sebab dan akibat dari suatu
keadaan dalam sebuah diagram yang terlihat seperti sebuah tulang ikan.

22
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL KEGIATAN SKRINING VCT


1. Identifikasi Masalah
Data untuk melakukan identifikasi masalah diambil dari Puskesmas
Grogol pada tahun 2016, didapatkan laporan cakupan hasil kegiatan
sebagai berikut:
Tabel 1. Pencapaian program di Puskesmas Grogol tahun 2016
No Jenis Kegiatan Pencapaian Target
2016 (%) 2016(%)
1. Promosi Kesehatan 81,42 85
2. Kesehatan Lingkungan 83,3 85
3. Kesehatan Ibu dan Anak termasuk KB 98,74 98

4. Upaya Kesehatan Gizi Masyarakat 88.96 90


5. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyakit Menular
TB Paru 15,6 20
IMS 100.00 100
Diare 76,00 80
ISPA 100.00 100
DBD 100.00 100
Pencegahan dan Penanggulangan PMS 3,17 10
dan HIV/AIDS
Pelayanan Imunisasi 100.00 100
6. Upaya Pengobatan 93,86 95
7. Upaya Kesehatan Pengembangan 81,00 83

Berdasarkan tabel diatas, pada tahun 2016 didapatkan beberapa


program di puskesmas Grogol yang belum tercapai hingga 100%, yaitu
kesehatan lingkungan (83,3%), diare (76,0%), promosi kesehatan
(81,42%), TB Paru (15,6%), dan HIV (3,17%).

23
24

2. Penentuan Prioritas Masalah


Untuk menentukan prioritas masalah menggunakan kriteria matriks
berdasarkan dari tingkat urgensi (U), tingkat perkembangan (G), dan
tingkat keseriusan (S).
Tabel 2. Penentuan prioritas Masalah
Kriteria Urgensi Keseriusan Perkembangan Total

Masalah

Kesehatan 4 3 3 10
lingkungan
Diare 4 4 4 12
TB 4 5 4 13
Penemuan pasien 5 5 4 14
baru HIV

Setelah dilakukan matrikulasi masalah dalam menentukan prioritas


masalah di atas dapat simpulkan bahwa prioritas masalah yang akan di
susun alternative pemecahan masalahnya adalah mengenai penemuan
pasien baru HIV positif.
3. Hasil Pencapaian Kegiatan Skrining VCT HIV Per Bulan
Data yang dikumpulkan dari kegiatan skrining VCT HIV didapatkan
jumlah penemuan kasus HIV perbulan dimulai pada Januari 2016 sampai
September 2017, dap
at dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Jumlah Penemuan kasus HIV dari kegiatan skrining VCT pada Januari
2017 sampai September 2017
No Bulan VCT HIV+ Presentase

1 Januari 111 5

2 Februari 26 1

3 Maret 75 7
25

4 April 92 4

5 Mei 112 4

6 Juni 21 4

7 Juli 109 6

8 Agustus 109 2

9 September 65 3

720 36 5%

Sumber: Laporan tahunan pasien HIV Puskesmas Grogol tahun 2017

Dari tabel diatas disebutkan bahwa angka capaian VCT untuk tahun
2017 yaitu sebanyak 5%, dimana untuk suspek yang didapatkan dari mulai
bulan januari 2017 hingga september 2017 yaitu sebanyak 720 suspek dan
dari 720 suspek tersebut yang ditemukan HIV (+) sebanyak 36 orang.

Tabel 4. Jumlah Penemuan Kasus HIV di Puskesmas Grogol pada Januari 2017
sampai September 2017
No Bulan TIPK HIV + Presentase

1 Januari 86 0

2 Februari 123 0

3 Maret 146 0

4 April 92 0

5 Mei 111 0

6 Juni 138 0
26

7 Juli 98 1

8 Agustus 146 0

9 September 62 0

1.002 1 0,1%

Sumber: Laporan tahunan pasien HIV Puskesmas Grogol tahun 2017

Dari tabel diatas disebutkan bahwa angka capaian TIPK untuk tahun
2017 yaitu sebanyak 0,1 %, dimana untuk suspek yang didapatkan dari
mulai bulan januari 2017 hingga september 2017 yaitu sebanyak 1002
suspek dan dari 1002 suspek tersebut yang ditemukan HIV (+) hanya 1
orang.
27

Tabel 5. Jumlah Penemuan Kasus HIV di Puskesmas Grogol pada Januari 2016
sampai September 2016
No Bulan VCT HIV + Presentase

1 Januari 58 2

2 Februari 65 3

3 Maret 23 0

4 April 39 1

5 Mei 19 0

6 Juni 78 2

7 Juli 55 0

8 Agustus 45 0

9 September 86 2

468 10 2,15%

Sumber: Laporan tahunan pasien HIV Puskesmas Grogol tahun2016

Dari tabel diatas disebutkan bahwa angka capaian VCT untuk tahun
2016 yaitu sebanyak 2,15%, dimana untuk suspek yang didapatkan dari
mulai bulan januari 2016 hingga September 2016 yaitu sebanyak 468
suspek dan dari 468 suspek tersebut yang ditemukan HIV (+) sebanyak 10
orang.

Tabel 6. Jumlah Penemuan Kasus HIV di Puskesmas Grogol pada Januari 2017
sampai September 2017
No Bulan TIPK HIV + Presentase
28

1 Januari 68 0

2 Februari 89 1

3 Maret 75 0

4 April 73 0

5 Mei 34 0

6 Juni 98 0

7 Juli 84 0

8 Agustus 45 0

9 September 89 0

655 1 0,16%

Sumber: Laporan tahunan pasien HIV Puskesmas Grogol tahun 2016

Dari tabel diatas disebutkan bahwa angka capaian TIPK untuk tahun 2016
yaitu sebanyak 0,16 %, dimana untuk suspek yang didapatkan dari mulai bulan
januari 2016 hingga September 2016 yaitu sebanyak 655 suspek dan dari 655
suspek tersebut yang ditemukan HIV (+) hanya 1 orang.
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan angka
kejadian HIV dari Januari 2016 – September 2016 dan dari bulan Januari
2017 - September 2017 di puskemas Grogol berubah-ubah tiap bulannya.
Dan mengalami peningkatan di tahun berikutnya, Pada tahun 2016
penemuan pasien HIV (+) sebanyak 11 orang dan pada tahun 2017
sesebanyak 37. Hal tersebut menunjukkan kejadian HIV (+) di Grogol
mengalami peningkatan.

Tabel 6 : pencapaian penemuan Kasus HIV (+) dipuskesmas Grogol dari tahun
2016 hingga 2017
29

No Jenis Kegiatan Tahun Suspect HIV (+) Cakupan


HIV Subvariable

1. Pencapaian Kasus 2016 1123 11 0,98 %


Suspek HIV
2. Pencapaian Kasus 2017 1722 37 2,15 %
Suspek HIV

Sumber: Laporan tahunan pasien HIV Puskesmas Grogol tahun 2016-2017

Berdasarkan tabel diatas didapatkan bahwa, dari tahun 2016 hingga


tahun 2017 terdapat kenaikan tiap tahunnya. Kurangnya angka capaian bisa
disebabkan oleh beberapa faktor:
a. Belum eratnya komitmen antara tenaga kesehatan, kader, maupun
masyarakat sendiri dalam memberantas HIV
b. Kurang aktifnya petugas dalam upaya pemberantasan HIV
c. Komunikasi dan koordinasi yang kurang antara puskesmas dengan
pelayanan kesehatan swasta
d. Sistem rujukan yang tidak terrealisasi atau pusling dan pustu yang
tidak mengirim suspek
e. Pengetahuan tentang HIV pada masyarakat yang rendah dan kondisi
kesehatan suspek yang masih tertutup terhadap tenaga medis.
f. Kurangnya alat edukasi ke masyarakat seperti leaflet, pamfleat, poster,
dll mengenai penyakit HIV.
g. Penyebab lain, seperti petugas ahli yang hanya 3 orang dari puskesmas
yang harus membawahi sekitar 118 ribu penduduk, penjaringan terlalu
longgar (terlalu sensitif), banyak orang yang tidak memenuhi kriteria
suspek terjaring.
30

4. Analisis Penyebab Masalah


Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan
seseorang berdasarkan teori BLUM yaitu perilaku, lingkungan, pelayanan
kesehatan, dan underlying disease. Sehingga untuk mendapatkan alternatif
pemecahan masalah perlu di lihat sumber-sumber permasalahan dari faktor-faktor
penunjang kesehatan tersebut dalam diagram tulang ikan (fish bone) sebagai
berikut :
143

Bagan
Diagram Fish Bone Peranan skrining VCT dalam mendeteksi secara dini penyebaran HIV-AIDS di wilayah Puskesmas Grogol
Sukoharjo.

MANUSIA METODE

Petugas kewalahan dalam


melaksanakan skrining VCT Kegiatan yang jarang
terlaksana
Waktu kegiatan terbatas
dan banyaknya agenda lain Kegiatan terlaksana hanya apabila
ada undangan dari komunitas tertentu
Kurangnya tenaga medis
Capaian
(hanya 4 orang) deteksi
dini
skrining
Kurangnya media promosi Kurangnya dana utk Stigma buruk VCT
belum
seperti leaflet, pamflet dll kegiatan skrining VCT masyarakat mencapai
target
terhadap
Pengadaan media promosi Anggaran dana banyak penderita

tidak terlaksana karena dialihkan utk program lain

kurang dana yang dianggap lebih Kurangnya penyuluhan terhadap

memerlukan masyarakat
DANA LINGKUNGAN
SARANA
42

Keterangan :
a. Manusia
1) Petugas kewalahan dalam melaksanakan skrining VCT
2) Waktu kegiatan terbatas
3) Kurangnya tenaga medis
b. Metode
1) Kegiatan yang jarang terlaksana
2) Kegiatan terlaksana hanya apabila ada undangan dari komunitas tertentu
c. Sarana
1) Kurangnya media promosi seperti leaflet, pamflet, dll
2) Pengadaan media promosi tidak terlaksana karena kurang dana
d. Dana
1) Kurangnya dana untuk kegiatan skrining VCT
2) Anggaran dana banyak dialihkan untuk program lain yang dianggap lebih
memerlukan
e. Lingkungan
1) Stigma buruk masyarakat terhadap penderita
2) Kurangnya penyuluhan terhadap masyarakat

5. Alternatif Pemecahan Masalah

Berdasarkan penyebab-penyebab yang ada didapatkan beberapa


alternatif penyelesaian masalah sebagai berikut :
Tabel 8. Alternatif Pemecahan Masalah

Masalah Alternatif Pemecahan Masalah

1. Komunikasi antara kader dan Meningkatkan kerjasama antara kader


Puskesmas dalam pelaporan masih dengan puskesmas dengan cara
kurang dan komunikasi yang mengadakan pertemuan berkala agar
kurang dengan penyedia layanan komunikasi dapat berjalan sehingga
kesehatan swasta dalam program dapat terlaksana secara optimal
penjaringan suspek HIV
2. Jumlah Suspek HIV yang banyak 1. Menambah jumlah tenaga ahli dan melatih
sementara tenaga ahli yang kader di bidang P2PL terutama pada
mengurus penjaringan HIV hanya penyakit HIV untuk meningkatkan angka
3 orang. penemuan kasus.
43

Masalah Alternatif Pemecahan Masalah

2. Lebih melibatkan peran serta tokoh


masyarakat dan organisasi masyarakat
setempat untuk ikut secara aktif dalam
penjaringan HIV
3. Pengetahuan pasien tentang 1. Mengoptimalkan program sistem informasi
penyakit HIV juga masih sangat HIV terpadu
kurang contohnya pasien yang 2. Sosialisasi atau penyuluhan kepada
diare kronis, penurunan berat serta masyarakat tentang penanggulangan HIV.
sering terkena penyakit jarang
memeriksa kesehatannya karena
biasanya beli obat sendiri diapotek,
ataupun pasien malu untuk
memeriksakan penyakitnya.

Membuat media deteksi dini HIV melalui


Leaflet dan pamfleat mengenai penyakit HIV
4. Kurangnya alat edukasi ke
dan cara mengeluarkan dahak yang benar
masyarakat seperti leaflet, pamfleat,
ditempelkan di sarana kesehatan dan balai desa
poster, dll mengenai penyakit HIV .
daerah Grogol.

Untuk meningkatkan program pada tahun mendatang Puskesmas Grogol


dapat melakukan:
a. Meningkatkan kerjasama dengan klinik-klinik swasta atau praktek dokter dalam
penjaringan suspek HIV dilingkungan puskesmas Grogol
b. Meningkatkan kegiatan promosi kesehatan dengan melakukan pendekatan secara
personal melalui kader-kader desa agar dapat memberi penyuluhan pada saat
kegiatan masyarakat (misal rapat karang taruna, rapat PKK, rapat RT, dsb) atau
pada komunitas yang terdapat dimasyarakat
c. Mengoptimalkan program sistem informasi HIV terpadu.
d. Sosialisasi ke masyarakat penanggulangan HIV baik melalui penjaringan maupun
melalui bidan desa.
44

e. Selektif dalam melakukan penjaringan suspek HIV dengan menambah pelatihan.


f. Membuat alat edukasi tentang penanggulangan HIV seperti pamflet dan leafleat
g. Meningkatkan peran serta kader dalam mendukung P2PL khususnya HIV serta
lebih melibatkan peran serta tokoh masyarakat dan organisasi masyarakat setempat
untuk ikut secara aktif dalam program P2PL
h. Melakukan survei sejauh mana pemahaman masyarakat tentang HIV dan
pencegahannya serta meningkatkan kegiatan-kegiatan promosi kesehatan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Pencapaian program HIV/AIDS belum mencapai target yaitu sebesar 3,17%
pada tahun 2016.
2. Jumlah Penemuan kasus HIV dari kegiatan skrining VCT pada Januari 2017
sampai dengan September 2017 yaitu sebanyak 5%, suspek yang didapatkan
sebanyak 720 orang dan ditemukan HIV (+) sebanyak 36 orang.
3. Prioritas masalah terkait angka HIV AIDS di puskesmas grogol adalah
tingkat kesadaran masyarakat yang rendah mengenai HIV-AIDS, belum
optimalnya penyuluhan yang diberikan pada masyarakat dari sejak dini, dan
kurangnya komunikasi dan kerjasama masyarakat untuk menanggulangi.
4. Alternatif pemecahan masalah pengendalian penyakit HIV AIDS di
Puskesmas Grogol dapat dilaksanakan dengan :
a. Penyuluhan tentang HIV
b. Melakukan pemeriksaan VCT pada orang-orang yang berisiko terinfeksi
HIV.

B. Saran
1. Meningkatkan pengetahuan petugas dan masyarakat tentang HIV dengan
penyuluhan.
2. Menggerakan pengobatan ARV sejak dini pada HIV (+) agar menekan
perkembangan virus agar terhindar dari infeksi oportunitis.
3. Kerjasama yang kokoh antar lintas program antara Puskesmas, serta warga
masyarakat untuk mewujudkan tercapainya keberhasilan penurunan dan
pengendalian angka HIV.

45
DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Geo. F., Butel, Janet S., dan Morse, Stephen A., 2005. AIDS dan
Lentivirus. Dalam: Sjabana, Dripa, ed. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika; 292-300.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. HIV/AIDS Ancaman Serius
Bagi Indonesia. Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jendral Departemen
Kesehatan.Diperolehdari:http://www.depkes.go.id/index.php?option=news
&task=viewarticle&sid=32 43&Itemid=2. Diunduh tanggal 20 Oktober
2017.
Depkes RI. 2006. Pedoman Pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS secara
sukarela (Voluntary Counseling and Testing). Depkes RI. Jakarta.
http://www.aids ina.org/files/publikasi/panduanvct.pdf. Diunduh tanggal
19 Oktober 2017.
Djoerban, Zubairi dan Djauzi, Samsuridjal, 2006. HIV/AIDS di Indonesia.
Dalam: Sudoyo, Aru. W, dkk., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV
jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1803-1807.
Fauci, Anthony S., dan Lane, H. Clifford, 2005. Human Immunodeficiency
Virus Disease: AIDS and Related Disorders. In: Kasper, Dennis S., ed.
Harrison’s Principles of Internal Medicin 16th edition. United States of
America: Mc Graw Hill;1076, 2372-2390.
Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2008. HIV/AIDS.
Diperoleh dari: http://www.mayoclinic.com/health/hiv-
aids/DS00005/symptoms.htm. Diunduh tanggal 22 Oktober 2017.
Muninjaya, A.A. Gde, 1999. Tiga Cara Untuk Pencegahan AIDS. Dalam: AIDS
di Indonesia: Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 29-32.
Haruddin,dkk. 2007. Studi Pelaksanaan HIV Voluntary Counseling And Testing
(VCT) Di RSUP DR. Sarjito Yogyakarta. http//irc.kmpk.ugm.ac.id.

46
KPA Nasional. 2007. Strategi nasional penanggulangan HIV dan AIDS Tahun
2007-2010. The national hiv&aids strategy 2007-2010(Indonesia).pdf
Yayasan Spiritia, 2008. Strategi Nasonal Penanggulangan HIV/AIDS. Diperoleh
dari: http://spiritia.or.id/art/pdf/a1056.pdfhtm. Diunduh tanggal 19
Oktober 2017.
Kelompok Kerja HIV-AIDS, 2005. Remaja Dinilai Rentan Tertular HIV.
Jakarta: Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso. Diperoleh
dari: http://www.aids-rpiss.com. Diunduh tanggal 20 Oktober 2017
Yatim, Danny Irawan, 2006. Dialog Seputar AIDS. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia;
Zein, Umar, dkk., 2006. 100 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS Yang Perlu Anda
Ketahui. Medan: USU press; 1-44.

47

Anda mungkin juga menyukai