Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

EARLY WARNING SYSTEM FOR COVID CASE

Disusun Oleh:

Elvierahayu Sundari (180070200011170)

Rafif Ulya Aditya (180070200011175)

Pembimbing:

dr. Buyung Hartiyo Laksono, Sp.An, KNA

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RSUD DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2020

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................................2
BAB 1...........................................................................................................................................................2
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................3
BAB 2...........................................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................................................6
2.1 Definisi Early Warning System.....................................................................................................6
2.2 Deteksi Dini Kasus Covid-19.........................................................................................................6
2.3 Intervensi Dini............................................................................................................................11
2.4 Tatalaksana Covid-19 oleh Ahli Nestesi.....................................................................................13
BAB 3.........................................................................................................................................................17
PENUTUP...................................................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan......................................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................18

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Coronavirus adalah penyakit jenis baru dan belum diidentifikasi sebelumnya


pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-Cov-2 yang dapat
menyebabkan penyakit ringan sampai sedang dengan gejala berat seperti Middle East
Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Virus
corona adalah zoonosis yang ditularkan dari hewan dan manusia dengan tanda dan
gejala dari penyakit Covid-19 yaitu demam, batuk dan sesak nafas. Masa inkubasi rata-
rata 5-14 hari. pada kasus yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom
pernapasan akut, gagal ginjal bahkan kematian (Kemenkes RI, 2020).

Wabah yang berasal dari Kota Wuhan China dilaporkan pada 31 Desember 2019
adanya kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya telah menyerang berbagai
negara dan penambahan jumlah kasus Covid-19 berlangsung cukup cepat. dengan
tanggal 25 Maret 2020, dilaporkan total kasus konfirmasi 414.179 dengan 18.440
kematian (CFR 4,4%) dimana kasus dilaporkan di 192 negara/wilayah. Diantara kasus
tersebut, sudah ada beberapa petugas kesehatan yang dilaporkan terinfeksi (S Zhao
dkk, 2020).

Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus konfirmasi COVID-19


sebanyak 2 kasus. Sampai dengan tanggal 25 Maret 2020, Indonesia sudah
melaporkan 790 kasus konfirmasi COVID-19 dari 24 Provinsi. Berdasarkan bukti ilmiah
tersebut, COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui percikan
batuk/bersin (droplet), tidak melalui udara. Orang yang paling berisiko tertular penyakit
ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat
pasien COVID-19 (Kemenkes RI, 2020).

Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci


tangan secara teratur menggunakan sabun dan air bersih, menerapkan etika batuk dan

3
bersin, menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan liar serta
menghindari kontak dekat dengan siapapun yang menunjukkan gejala penyakit
pernapasan seperti batuk dan bersin. Oleh karena itu perlu penerapan deteksi dini pada
pasien kritis selain itu menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat
berada di fasilitas kesehatan terutama unit gawat darurat dapat menurunkan tingkat
mortalitas (Perdatin, 2020). Selain itu solusi yang lain dengan langkah-langkah social
distancing, yang dapat disebut "lockdown" telah dipertimbangkan dan diumumkan untuk
membatasi interaksi manusia pada jarak dekat di daerah tertentu serta dalam skala
nasional. Untuk mengevaluasi efektivitas langkah-langkah jarak sosial pada
penyebaran COVID-19, Tobías atau Saez et al. telah menganalisis tren kasus dan
kematian yang dikonfirmasi di Spanyol dan Italia sebelum dan sesudah penguncian
nasional masing-masing menggunakan statistik pada serangkaian waktu. Hasil
penelitian menunjukkan insiden berkurang di kedua negara setelah tindakan sosial
jarak (Tobías, 2020; Saez et al., 2020).

Berbagai jumlah penelitian telah dilaksanakan tentang efektivitas langkah-


langkah social distacing di daerah tertentu. Bagaimanapun, kondisi tergantung pada
skala ekonomi, institusi politik atau sistem medis di negara tersebut masing-masing
negara sangat berbeda. Selain itu, periode dan skala penyebaran COVID-19 di
berbagai negara juga berbeda. Oleh karena itu, tingkat dan waktu tindakan jarak sosial
yang diambil serta efektivitas langkah-langkah ini tidak sama antara negara. Akibatnya,
keefektifan langkah-langkah jarak sosial pada penyebaran COVID-19 harus dievaluasi
secara obyektif berdasarkan data skala yang lebih luas. Analisis yang difokuskan pada
hubungan antara waktu, tingkat tindakan sosial dan tingkat pertumbuhan atau
penurunan kasus terkonfirmasi COVID-19 di berbagai negara adalah referensi yang
berguna untuk tindakan sosial berikutnya selama virus corona masih ada di masyarakat
(Tobías, 2020; Saez et al., 2020).

Langkah-langkah social distancing, yang dapat disebut "lockdown" telah


dipertimbangkan dan diumumkan untuk membatasi interaksi manusia pada jarak dekat
di daerah tertentu serta dalam skala nasional. Untuk mengevaluasi efektivitas langkah-
langkah jarak sosial pada penyebaran COVID-19, Tobías atau Saez et al. telah

4
menganalisis tren kasus dan kematian yang dikonfirmasi di Spanyol dan Italia sebelum
dan sesudah penguncian nasional masing-masing menggunakan statistik pada
serangkaian waktu (Tobías, 2020; Saez et al., 2020). Hasil penelitian menunjukkan tren
insiden berkurang di kedua negara setelah tindakan sosial jarak.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana definisi, klasifikasi, dan intervensi dini ditinjau dari segi kegawat
daruratan anestesi pada pasien COVID-19 ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui definisi, klasifikasi, dan deteksi dini ditinjau dari segi kegawat
daruratan anestesi pada pasien COVID-19.

1.4 Manfaat

 Untuk menambah pengetahuan dokter muda rotasi anestesi mengenai topik


early warning system covid case yang harus dipelajari dan mengenalinya.
 Untuk menambah pengetahuan awal terhadap intervensi dini dari segi kegawat
daruratan anestesi pada pasien COVID-19.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Early Warning System

Early Warning System for Covid Case maksutnya adalah suatu sistem
peringatan/deteksi dini untuk melihat adanya pasien yang terinfeksi Covid-19 dan
deteksi dini pasien yang memerlukan tatalaksana intensif. Tenaga kesehatan dilatih
untuk mendeteksi atau mengenali perubahan kondisi pasien yang memburuk dan
mampu melakukan tindakan. Mendeteksi adanya tanda bahaya dini seperti tanda-tanda
vital yang memburuk dan perubahan kecil status neurologisnya sebelum mengalami
penurunan kondisi klinis yang meluas dan menghindari kejadian yang tidak diharapkan.
Penerapan early warning system (EWS) membuat staf mampu mengidentifikasi
keadaan pasien memburuk sedini-dininya sehingga hasil asuhan pasien akan lebih
baik. Pelaksanaan early warning system (EWS) dapat dilakukan menggunakan sistem
skor yang disebut Early Warning Score (EWS) (Kemenkes RI, 2020). Early Warning
Score adalah sistem penilaian kumulatif yang menstandarkan penilaian tingkat
keparahan penyakit akut menggunakan alat sederhana dan digunakan di semua rumah
sakit, fungsinya adalah untuk menunjukkan tanda-tanda, awal pemburukan dan skoring
dihitung dengan parameter penilaian tertentu (NEWS, 2017).

2.2 Deteksi Dini Kasus Covid-19


Menurut Buku Pedoman Penanganan Pasien Kritis Covid-19 oleh Kemenkes RI,
deteksi dini dalam penanganan COVID-19 dibagi menjadi dua yaitu mendeteksi adanya
pasien yang terinfeksi Covid-19 dan deteksi dini pasien yang memerlukan tatalaksana
intensif.

1. Deteksi dini untuk infeksi Covid-19


Diagnosis Covid-19 selama ini dilakukan dengan menggunakan real-time
reverse transcriptase polymerase chain reaction (rRT-PCR). Menurut laporan
WHO China idealnya deteksi dini Covid-19 menggunakan rRT-PCR pada seluruh
penderita influenza dan infeksi pernafasan akut yang berat. Namun metode ini
6
tidak tersedia secara luas sehingga klinisi mencoba mengevaluasi kondisi klinis
untuk menentukan diagnosis Covid-19 dengan menggunakan CT scan thoraks.
Setelah berhasil ditemukan penggunaan rapid test telah dapat dilakukan secara
luas. Penggunakaan alat rapid test yang berkualitas dan cepat dapat
memberikan sensitivitas sebesar 88.66% dan spesifisitas mencapai 90%. Rapid
test mendeteksi immunoglobulin M (IgM) dan immunoglobulin G (IgG) yang
dapat terdeteksi beberapa hari setelah awitan gejala.
Gambaran Ct scan pada kasus Covid-19 adalah terdapat gambaran
ground glass opacity bulateral, gambaran ini tidak spesifik dan merupakan
gambaran pneumonia secara umum. Metode lain yang diperkenalkan saat ini
adalah early warning score (EWS) yang dikembangkan di Universitas Zhejiang,
EWS menggunakan parameter yang cukup sering ditemukan pada penderita
Covid-19 yaitu pneumonia pada CT-scan, riwayat kontak dengan pasien positif
Covid-19, demam, usia >40 tahun, adanya gangguan pernafasan dan rasio
neutrofil-limfosit. Penggunaan Covid-19 EWS dapat sangat membantu, walaupun
CT-scan sebagai parameter pertama tidak tersedia di seluruh wilayah Indonesia,
namun dapat disiasati dengan foto thorax yang lebih umum tersedia.

Gambar 1. Tabel EWS Covid-19 yang telah digunakan oleh berbagai rumah
sakit di Indonesia Sumber: Kemenkes RI, 2020

7
Permasalahannya adalah EWS belum dikonfirmasi penggunaanya untuk
di Indonesia, namun EWS dapat digunakan sebagai indikasi untuk isolasi pasien,
penelurusan kontak dan prioritas pemeriksaan rRT-PCR. Pasien-pasien yang
memiliki nilai Covid-19 EWS >10 merupakan indikasi untuk dilakukannya
pemeriksaan rRT-PCR untuk konfirmasi diagnosis.

Manfaat EWS diantaranya :


● Sistem EWS untuk deteksi dini penyakit akut dengan mengukur
parameter fisiologis spesifik dengan format standar
● Sistem penilaian standar untuk menentukan tingkat keparahan penyakit
untuk mendukung pengambilan keputusan klinis yang konsisten dan
respons klinis yang tepat
● Standardisasi pelatihan dalam pendeteksian penyakit akut dan
manajemen pasien yang mengalami penurunan secara klinis
● Adopsi sistem penilaian standar di seluruh rumah sakit, tidak hanya
dalam konteks perburukan klinis akut tetapi juga untuk pemantauan terus-
menerus dari semua pasien
● Kesempatan untuk memperluas penerapan NEWS ke perawatan pra-
hospital dan layanan primer untuk membakukan penilaian penyakit akut
dalam
● Membantu audit dan perencanaan kapasitas kebutuhan sumber daya
manusia dan alokasi mereka untuk menyesuaikan keparahan penyakit
● Alat penelitian untuk menilai dampak intervensi, kualitas perawatan dan
hasil klinis.

Pengenalan secara dini dan klasifikasi keparahan penyakit


● Skor peringatan berdasarkan parameter fisiologis digunakan untuk
memfasilitasi pengenalan dini pasien dengan infeksi parah dan keputusan
masuk sesuai dengan klasifikasi tingkat keparahan.

8
● Skor tersebut adalah versi modifikasi dari National Early Warning Score
(NEWS) dengan usia ≥65 tahun ditambahkan sebagai faktor risiko
independent berdasarkan laporan terbaru
● Pasien dibagi menjadi empat kategori risiko berdasarkan skor: rendah,
median, tinggi, dan luar biasa.
● Seorang dokter yang ditugaskan khusus atau tim perawatan kritis
khusus memutuskan pasien mana yang perlu dirawat di ICU, dengan
mempertimbangkan keparahan penyakit, peluang untuk mendapatkan
manfaat, dan sumber dukungan.

Gambar 2. Skor EWS untuk melihat respon pasien Covid-19 dalam

9
menggolongkan atau mengkategorikan pasien tersebut termasuk resiko
rendah, sedang atau tinggi .
(Sumber: Liao, X., Wang, B., & Kang, Y., 2020).

Gambar 3. Tabel EWS untuk pasien Covid-19 dalam keadaan hamil


(Sumber: Donders, 2020)
2. Deteksi dini pada pasien yang memerlukan penanganan intensif
Penderita Covid-19 yang berada di fasilitas ICU perlu deteksi dini untuk
mengoptimalkan perawatan agar dapat menurunkan durasi rawat intensif dan
mencakup lebih banyak penderita. Dilakukan pengawasan laju napas, nadi, dan
saturasi oksigen sebanyak dua kalu sehari. Untuk pasien yang memiliki risiko
tinggi adalah seperti pasien dengan kategori berikut:
1. Usia tua >65 tahun
2. Limfopenia/penurunan
3. Pasien yang perlu terapi oksigen
4. Pasien dengan infiltrat paru yang luas

10
Selama pengawasan semua perburukan gejala harus segera di
identifikasi, jika terdapat satu dari tanda berikut di bawah perlu dipindahkan ke
ruang rawat intensif. Tanda yang dimaksud adalah:
1. SpO2 <93% dengan udara bebas
2. RR >30 kali/menit
3. HR >120 kali/menit
4. Tanda kegagalan organ

2.3 Intervensi Dini


Kelanjutan dari deteksi dini dalam penanganan Covid-19 adalah bagaimana
melakukan intervensi secara dini agar pasien punya kesempatan untuk sembuh.
Walaupun belum ada gols standard untuk penanganan Covid-19, selama ini
penanganan berpusat pada upaya pencegahan perburukan penyakit seperti:

1. Gunakan ventilasi high flow nasal canulla (HFNC) pada pasien dengan ARDS atau
efusi paru luas

2. Pembatasan resusitasi cairan pada pasien edema paru

3. Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone position)

Prinsip terapi oksigen dengan NRM 15 liter per menit, HFNC jika dibutuhkan tenaga
kesehatan harus menggunakan respirator batasi flow tidak melebihi 30 liter/menit, NIV
jika dibutuhkan tenaga kesehatan juga harus menggunakan respirator berikan selama 1
jam lalu dievaluasi, jangan gunakan NIV pada pasien syok, untuk kasus ARDS berat
disarankan untuk dilakukan ventilasi invasif.

Bila pasien masih belum ada perbaikan klinis setelah dilakukan terapi oksigen maka
harus dilakukan penilaian lebih lanjut dan disarankan melakukan intubasi dan ventilasi
mekanik secara dini jika terdapat tanda-tanda seperti dibawah:

Penilaian klinis

- Kesadaran gelisah atau menurun


- Pasien merasa tidak nyaman

11
- Usaha nafas meningkat >30 kali/menit disertai otot bantu nafas tambahan yang
berlebihan
- Nadi meningkat >120 kali/menit

Penilaian oksigenasi

- Jika menggunakan HNFC >30 liter/menit dan FiO2 >60% tidak dapat menjaga
Sp)2 >92% (95% dengan komorbid)

Gambar 4. Alur penanganan dini pasien kritis


(Sumber: Sun Q, Qiu H, Huang M, Yang Y. 2020)

Gambar 5. Alur penanganan pasien Covid-19 dengan gagal napas

12
Gambar 6. Alur manajemen anetesi dan pengendalian infeksi pada pasien dengan
coronavirus sesuai dengan novel Covid-19 (Sumber: S Zhao dkk, 2020).

2.4 Tatalaksana Covid-19 oleh Ahli Nestesi

Anestesi dan Teknik Jalan Napas pada Intubasi Endotrakeal Emergensi


(Cook TM, El-Boghdadly K, McGuire B, McNarry AF, Patel A, Higgs A. Consensus
guidelines for managing the airway in patients with COVID-19. Anaesthesia, 2020)
1. Teknik Rapid Sequence Induction (RSI) menjadi pilihan tetapi gunakan jika ada
asisten yang dapat melakukan dan secepatnya dilepas jika menyebabkan
kesulitan intubasi.
2. Preoksigenasi dengan teliti menggunakan facemask yang pas selama 3-5 menit.
Sirkuit tertutup optimal digunakan (misal: breathing circuit pada mesin anestesi)
dan rebreathing circuit (misal: sirkuit mapleson’s C (‘waters’) lebih diutamakan

13
dibanding bag-mask yang mengeluarkan gas ekshalasi yang mengandung virus
ke dalam ruangan.
3. Tempatkan pemanas dan humidifier (HME) filter antar ujung endotracheal tube
dan sirkuit. Ventilasi non invasif harus dihindari. High flow nasal oxygen (HFNO)
tidak direkomendasikan.
4. Posisi pasien, seperti posisi menyamping pada pasien obese dan reverse
trendelenberg untuk memaksimalkan safe apnea time.
5. Pada pasien dengan agitasi, lebih cocok menggunakan teknik delayed sequence
tracheal intubation.
6. Jika terdapat risiko tinggi ketidakstabilan kardiovaskuler, direkomendasikan
induksi dengan ketamin 1-2 mg/kgBB. Pelumpuh otot, rocuronium 1.2 mg/kgBB
diberikan secepatnya. Tujuannya untuk meminimalkan masa apnea dan
mengurangi risiko pasien batuk. Jika menggunakan suksametonium dosisnya
adalah 1.5 mg/kgBB.
7. Pastikan pelumpuh otot bekerja maksimal sebelum melakukan intubasi
endotrakeal. Untuk memastikannya dapat menggunakan nerve stimulator perifer
atau ditunggu hingga 1 menit.
8. Pastikan bolus atau infus segera vasopresor untuk mengatasi jika terjadi
hipotensi.
9. Hanya jika pasien sudah kehilangan kesadaran dapat diberikan continuous
positive airway pressure (CPAP) untuk menghindari batuk dan jika facemask
berfungsi baik untuk mengurangi kebutuhan ventilasi. Bag-mask ventilasi
digunakan sebagai bantuan ventilasi dan mencegah hipoksia. Gunakan
oropharyngeal airway (guedel) untuk mempertahankan patensi jalan napas.
Gunakan teknik 2 tangan 2 orang dengan VE-grip untuk memperbaiki ventilasi
terutama pada pasien obesitas. Jika menggunakan ventilasi bag-mask,
minimalkan aliran oksigen dan tekanan jalan napas dengan tetap mencegah
terjadinya hipoksia.
10. Sebagai alternatif, lakukan pemasangan generasi kedua SGA setelah pasien
hilang kesadaran dan sebelum intubasi endotrakeal dilakukan. Hal ini untuk
menghindari penggunaan bag-mask ventilasi jika ada kesulitan ventilasi.

14
11. Lakukan laringoskopi dengan alat yang memungkinkan keberhasilan intubasi
sekali coba oleh petugas terlatih, dan laringoskopi ini yang disarankan adalah
videolaryngoscope.
a. Berdiri dengan menjaga jarak aman dari jalan napas pasien, tetapi dengan
praktis memberikan teknik optimal saat menggunakan laringoskop apapun juga.
b. Penggunaan videolaryngoscope dengan layar terpisah membuat operator
menjaga jarak aman dari jalan napas pasien dan teknik ini direkomendasikan
bagi yang sudah terbiasa menggunakannya.
c. Jika menggunakan videolaryngoscope dengan bilah Macintosh, perlu
disiapkan bougie.
d. Jika menggunakan videolaryngoscope dengan bilah yang hiperangulasi, perlu
menggunakan stylet (mandrin)
e. Jika tidak menggunakan videolaryngoscope, bilah Macintosh standar dan
bougie (yang digunakan langsung pada endotracheal tube) merupakan pilihan
yang terbaik.
f. Jika menggunakan bougie atau stylet, hati-hati saat mengeluarkannya dari
rongga mulut untuk mencegah percikan sekret ke anggota tim lainnya.
12. Intubasi menggunakan endotracheal tube ukuran 7.0-7.5 mm diameter internal
(ID) pada wanita dan ukuran 7.5-8.0 mm ID pada laki-laki, disesuaikan dengan
kondisi di lapangan. Jika memungkinkan gunakan endotracheal tube yang
memiliki port suction subglotik.
13. Saat melakukan intubasi endotrakeal, tanpa menghilangkan pandangan dari
layar, masukkan endotracheal tube 1-2 cm di bawah plica vocalis untuk
menghindari terjadinya intubasi bronkial.
14. Kembangkan balon cuff dengan tekanan udara 20-30 cmH2O segera setelah
intubasi dilakukan.
15. Fiksasi endotracheal tube seperti biasa.
16. Jalankan ventilasi mekanik setelah mengembangkan cuff dan pastikan tidak ada
kebocoran.
17. Pastikan keberhasilan intubasi dengan adanya gelombang pada capnopgraph.

15
18. Mengkonfirmasi kedalaman insersi endotracheal tube dalam kondisi ini sangat
sulit.
a. Saat menggunakan APD, melalukan auskultasi dada sangat sulit dan
meningkatkan risiko kontaminasi stetoskop dan petugas lainnya, sehingga tidak
direkomendasikan.
b. Memperhatikan simetrisasi pengembangan dada bilateral saat ventilasi
direkomendasikan.
c. USG paru dan rontgent dada diperlukan jika masih terjadi keraguraguan.
19. Jika dapat memastikan kebenaran posisi endotracheal tube, jangan lupa
mencatat kedalaman insersi endotracheal tube tersebut.
20. Lakukan pemasangan pipa nasogastrik setelah tindakan intubasi endotrakeal
selesai dilakukan dan ventilasi telah dijalankan untuk meminimalkan intervensi
selanjutnya.
21. Jika pasien belum terkonfirmasi positif COVID-19, ambil sampel sekret dari
dalam endotrakeal menggunakan closed suction untuk pemeriksaan COVID-19.
Kadang-kadang sampel yang diambil dari jalan napas atas memberikan hasil
negatif.
22. Rekaman visual intubasi endotrakeal harus dapat terlihat dari kamar pasien.

16
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
COVID-19 merupakan penyakit jenis baru dan belum diidentifikasi sebelumnya
COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui percikan batuk/bersin
(droplet), tidak melalui udara. Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah
orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat, oleh karena
karena itu perlu penerapan deteksi dini pada pasien kritis selain itu menerapkan
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di fasilitas kesehatan
terutama unit gawat darurat dapat menurunkan tingkat mortalitas
Early Warning System for Covid Case maksutnya adalah suatu sistem
peringatan/deteksi dini bagi tenaga kesehatan untuk mengenali perubahan kondisi
pasien yang memburuk dan mampu melakukan tindakan menggunakan sistem skor
yang disebut Early Warning Score dan dihitung dengan parameter penilaian tertentu.
Alat penilaian ini memungkinkan tenaga medis mendeteksi COVID-19 dengan lebih
cepat dan relatif akurat. Early Warning Score tidak menggantikan penilaian klinis yang
kompeten, namun bisa digunakan untuk menunjukkan tanda-tanda awal pemburukan.
Ada modifikasi EWS dewasa pada masa pandemic COVID-19s eperti Penambahan
usia dan beberapa pengkategoria pasien yang berbeda.
Tatalaksana pasien COVID-19 harus mempertimbangkan keselamatan petugas
dan pasien. Penggunaan APD harus secara hati-hati dan tepat untuk mencegah
kontaminasi. Akurasi sangat penting, dan petugas kesehatan tidak boleh menggunakan
teknik yang tidak valid, tidak familiar dan pengulangan teknik saat tatalaksana
mengingat tindakan ini berisiko tinggi menyebabkan terjadinya paparan infeksi.
Tatalaksana seperti jalan napas harus aman, akurat dan cepat. Cepat dengan maksud
pada waktunya, tidak terburu-buru dan tidak terlambat.

17
DAFTAR PUSTAKA

S. Zhao., K. Ling., H. Yan., L. Zhong., X. Peng., S. Yao., J. Huang., dan X. Chen. Anesthetic
Management of Patients with COVID 19 Infections during Emergency Procedures.
Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia 34 Page 1125-1131. 2020.
Atangana, A. Modelling the spread of COVID-19 with new fractal-fractional operators: can the
lockdown save mankind before vaccination?. Chaos, Solitons Fractals 136, 109860.
2020.
Katz, R., Vaught, A., Simmens, S.J. Local decision making for implementing social distancing in
response to outbreaks. Public Health Rep. 134, 150–154. 2019.
Middleton, J.,Martin-Moreno, J.M., Barros, H., et al. ASPHER statement on the novel
coronavirus disease (COVID-19) outbreak emergency. Int. J. Public Health 65, 237–238.
2020.
Saez, M., Tobías, A., Varga, D., Barceló, M.A.. Effectiveness of the measures to flatten the
epidemic curve of COVID-19. The case of Spain. Sci. Total Environ. 727, 138761. 2020.
Sen-Crowe, B., McKenney, M., Elkbuli, A. Social distancing during the COVID-19 pandemic:
staying home save lives. Am. J. Emerg. Med. 2020.
West, R., Michie, S., Rubin, G., Amlôt, R.. Applying principles of behaviour change to reduce
SARS-CoV-2 transmission. Nat. Hum. Behav. 2020.
Yu, Y., Xu, D., Shang, Y.. Patients with COVID-19 in 19 ICUs in Wuhan, China: across-sectional
study. 2020.
Kemenkes RI. Buku Pedoman Penanganan Pasien Kritis COVID-19. Perhimpunan Dokter
Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN). Versi 1 April 2020.
Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease
(COVID-19). Revisi ke-4 1. 2020.
Donders, F., Lonnée-Hoffmann, R., Tsiakalos, A., Mendling, W., Martinez de Oliveira, J., Judlin,
P& COVID,ISIDOG Recommendations Concerning COVID-19 and Pregnancy.
Diagnostics, 10(4), 243. 2020.
Komisi Akreditasi Rumah Sakit . Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1. Jakarta:
KARS. 2018.

Liao, X., Wang, B., & Kang, Y. (2020). Novel coronavirus infection during the 2019–2020
epidemic: preparing intensive care units—the experience in Sichuan Province, China.
Intensive care medicine, 46(2), 357-360.

18
Royal College of Physicians. National Early Warning Score (NEWS) 2: Standardising the
assessment of acute-illness severity in the NHS. Updated report of a working party.
London: RCP, 2017
World Health Organization. (2020). Clinical care for severe acute respiratory infection: toolkit:
COVID-19 adaptation.2020.rld Health
Sun Q, Qiu H, Huang M, Yang Y. Lower mortality of COVID-19 by early recognition and
intervention: experience from Jiangsu Province. Ann Intensive Care. Springer
International Publishing; 2020;10(1):2–5.Organ
Cook TM, El-Boghdadly K, McGuire B, McNarry AF, Patel A, Higgs A. Consensus guidelines for
managing the airway in patients with COVID-19. Anaesthesia. 2020;1–15.ization.

19

Anda mungkin juga menyukai