Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

DISUSUN OLEH :
dr. RATIH PUSPA WARDANI

PENDAMPING :
dr. ALJUNED PRASETYO
dr. JAMALUDIN MALIK

DPJP:
dr. DONY ARDIANTO, Sp.S

DOKTER INTERNSIP WAHANA RSUD SALATIGA


PERIODE 15 SEPTEMBER 2016 15 SEPTEMBER 2017
KOTA SALATIGA

1
Borang Portofolio

Nama Peserta: dr. Ratih Puspa Wardani

Nama Wahana: RSUD Salatiga

Topik: Bells palsy

Tanggal (kasus): 3 Juni 2017 No. RM: 17-18-XXXXXX

Nama Pasien: Ny. W / 57 tahun DPJP : dr. Dony Ardianto, Sp.S

Nama Pendamping: dr. Aljuned Prasetyo


Tanggal Presentasi : 4 Juli 2017
dr. Jamaludin Malik

Tempat Presentasi: Kafe Ole

Obyektif Presentasi:

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi:
Seorang perempuan, 57 tahun dengan keluhan mulut mencong ke kanan

Tujuan:

2
Menegakkan diagnosis kerja, melakukan penanganan awal serta konsultasi dengan spesialis saraf untuk penanganan lebih lanjut terkait kasus
bells palsy serta memberikan edukasi tentang penyakit pada pasien dan keluarga.

Bahan bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit

Presentasi dan
Cara membahas: Diskusi Email Pos
diskusi
Data pasien: Nama: Ny. W Nomor Registrasi: 17-18-XXXXXX

Nama klinik: RSUD Salatiga Telp:- Terdaftar sejak: 4 Juli 2017

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keluhan Utama : mulut mencong ke kanan

2. Riwayat Kesehatan / Penyakit Sekarang


Pasien datang mengeluh mulut mencong ke kanan sejak pagi ( 3jam SMRS). Keluhan ini terjadi secara tiba-tiba saat bangun tidur. Pasien
mengeluh wajah sebelah kiri terasa tebal dan kaku. Selain itu pasien juga mengeluh mata kiri tidak bisa menutup dengan rapat bila dipejamkan.
Pasien kesulitan dalam menggerakkan alis, merasa bila menaikkan alis, alis bagian kiri tertinggal. Pipi kiri terasa kencang. Waktu mencucukan
bibir, bibir bagian kiri lebih tertinggal atau lemah. Pasien merasa tidak nyaman bila mengunyah makanan pada mulut sebelah kiri dan
mengeluhkan makanan menumpuk pada pipi sebelah kiri, tetapi masih bisa makan minum tanpa tersedak. Pasien juga mengeluh pusing dan
kesemutan pada kedua tangan dan kaki. Kelemahan pada ekstremitas disangkal. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri tidak ada. Tidak ada

3
keluhan nyeri di sekitar telinga kiri. Tidak ada gangguan pendengaran. Keluhan pusing berputar, gangguan pendengaran, gangguan
merasakan makanan, batuk, dan pilek tidak ada.

3. Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat untuk keluhan ini.

4. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Riwayat penyakit serupa (-)
Riwayat hipertensi (+) rutin minum amlodipin 5 mg
Riwayat diabetes mellitus (-)
Riwayat herpes (+)
Riwayat kolesterol tinggi (-)
Riwayat alergi (-)

5. Riwayat Keluarga
Riwayat keluhan serupa (-), Riwayat hipertensi (-), Riwayat DM (-)

6. Riwayat Pekerjaan
Ibu rumah tangga

7. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik


Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya di Salatiga. Pasien berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS.

8. Riwayat Kebiasaan :
Sering tidur menggunakan kipas angin karena merasa gerah

4
Pemeriksaan fisik
a. Kesan umum : kesadaran kompos mentis, gizi kesan cukup
b. Tanda vital : TD : 140/90 mmHg
nadi : 81 kali/menit
respirasi : 18 kali/menit
suhu : 36,5 o C
c. Kepala dan leher : kepala : mesocephal
leher : pembesaran KGB(-), JVP tidak meningkat
ketiak dan lipatan paha : pembesaran KGB (-)
d. Jantung : Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : kesan batas jantung tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-)
e. Paru & dada : Inspeksi : pengembangan simetris,
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan,
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan (-/-)
f. Abdomen Inspeksi : cembung, vena tidak tampak
Auskultasi : bising usus (+) kesan normal
Perkusi : timpani

5
Palpasi : supel, hepar,lien dan massa tak teraba
g. Genitourinaria : BAK normal, BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-)

h. Ekstremitas :

Akral Dingin CRT < 2 Edema

+ + - -
- -

+ - -
+
- -

9. Status Neurologis
Fungsi kesadaran : GCS E4 V5 M6
Fungsi luhur : dbn
Nervus craniales :
a. Nervus I
Kanan Kiri
Anosmia : tidak dilakukan
Parosmia : tidak dilakukan
Halusinasi : tidak dilakukan

6
b. Nervus II
Kanan Kiri
Visus : tidak dilakukan
Kacamata : tidak dilakukan
Lapang Pandang : tidak dilakukan
Warna : tidak dilakukan
Funduskopi : tidak dilakukan

C. Nervus III, IV, VI


Kanan Kiri
Celah mata : simetris simetris
Posisi bola mata : ditengah ditengah
Gerak bola mata : dbn dbn
Pupil : ukuran : 3 mm 3 mm
Bentuk : bulat bulat
R. cahaya langsung : (+) (+)
R. cahaya tidak langsung : (+) (+)
Konvergensi : (+) (+)
Akomodasi : (+) (+)

7
c. Nervus V
Kanan Kiri
Otot kunyah : dbn dbn
Refleks masseter : dbn dbn
Refleks kornea : + +

d. Nervus VII
Saat diam Saat gerak
Kanan kiri kanan kiri
Otot dahi : asimetris kiri tertinggal
Tinggi alis : asimetris kiri lebih rendah
Sudut mata : asimetris kiri lebih rendah
Sudut mulut : lebih rendah kiri tertarik ke kanan
Lipatan nasolabial : lebih datar bagian kiri lebih datar bagian kiri
Memejamkan mata : lebih lemah kiri
Meringis : mencong ke kanan
Sekresi air mata : dbn dbn
Pengecap lidah : dbn dbn
Hiperakusis : - -

8
e. Nervus VIII
Kanan kiri
Rinne : tidak dilakukan
Weber : tidak dilakukan
Swabach : tidak dilakukan

f. Nervus IX dan Nervus X


Kanan Kiri
Refleks muntah : dbn dbn
Pengecapan : dbn dbn
Posisi uvula : ditengah
Arkus faring : simetris
Menelan : dbn
Bersuara : dbn
Fenomena Vernet Rideau : simetris

g. Nervus XI
Kanan Kiri
Bentuk otot : dbn dbn
Mengangkat bahu : dbn dbn
Berpaling : dbn dbn

9
h. Nervus XII
Kanan Kiri
Atrofi lidah : (-) (-)
Kekuatan : Simetris
Fasikulasi : (-) (-)
Gerak spontan : N N
Posisi diam : Di tengah
Posisi dijulurkan : Di tengah

Fungsi sensorik :
Lengan Tungkai
Kanan Kiri kanan kiri
a. Rasa eksteroseptif : tidak dilakukan
b. Rasa proprioseptif : tidak dilakukan
c. Rasa kortikal : tidak dilakukan

Pemeriksaan Sistem Motorik dan Refleks

a. Ekstremitas superior
Lengan Atas Bawah Tangan
Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri
Pertumbuhan : normal/normal normal/normal normal/normal

10
Tonus : normal/normal normal/normal normal/normal
Kekuatan
Fleksi : 5/5 5/5 5/5
Ekstensi : 5/5 5/5 5/5

Reflek fisiologis
Bisep : (+2/+2)
Trisep : (+2/+2)
Reflek patologis
Hoffman : (- / -)
Tromner : (- / -)

b. Inferior
Tungkai Atas Bawah Kaki
Kanan Kiri Kanan Kiri Kanan Kiri
Pertumbuhan : normal / normal normal / normal normal / normal
Tonus : normal / normal normal / normal normal / normal

Kekuatan :
Fleksi : 5/5 5/5 5/5
Ekstensi : 5/5 5/5 5/5

11
Klonus
Lutut : (- / -)
Kaki : (- / -)

c. Refleks
kanan kiri
Refleks Patella : +2 +2
Refleks Achilles : +2 +2
Reflkes Babinski : (-) (-)
Refleks Chaddock : (-) (-)
Refleks Openheim : (-) (-)
Refleks Gordon : (-) (-)
Refleks Stransky : (-) (-)
Refleks Gonda : (-) (-)
Refleks Schaeffer : (-) (-)
Refleks Mendel B : (-) (-)
Refleks Rosolimo : (-) (-)

10. Pemeriksaan Penunjang


EKG : Normo sinus rhythm
Laboratorium : dbn

12
11. Resume
Pasien mengeluh mulut mencong ke kanan sejak pagi 3jam SMRS secara tiba-tiba saat bangun tidur. Wajah sebelah kiri terasa
tebal dan kaku, mata kiri tidak bisa menutup dengan rapat bila dipejamkan. Pasien kesulitan dalam menggerakkan alis, merasa bila
menaikkan alis, alis bagian kiri tertinggal, pipi terasa kencang. Waktu mencucukan bibir, bibir bagian kiri lebih tertinggal atau lemah,
tidak nyaman bila mengunyah makanan pada mulut sebelah kiri dan mengeluhkan makanan menumpuk pada pipi sebelah kiri. Pusing (+)
dan kesemutan (+) pada kedua tangan dan kaki. Sering tidur menggunakan kipas angin. Riwayat hipertensi rutin minum amlodipine 5mg.
Riwayat herpes (+). Tekanan Darah 140/90 mmHg. Dari pemeriksaan neurologis didapatkan parese nervus VII sinistra perifer.

12. Diagnosis
Bells Palsy

13. Penatalaksanaan

Rawat inap Sp.S


Inf. Asering 20 tpm
Inj. Methylprednisolone 125mg/12jam
Inj. Mecobalamin drip 1 amp/8jam
Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
Inj. Citicoline 500 mg/12 jam
p.o Acyclovir 400 mg 5 x1
p.o Gabapentin 150 mg 2 x 1

13
14. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

Daftar Pustaka:

1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical
Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005. p. 182.

2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy. Eastern Virginia: Medscape. 2010.

3. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of Bells palsy in the population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin
Proc. 1971;46:258.

4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam
and Victors Principles of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.

5. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, Ruggiero DA. Cranial nerves and chemical senses. In: Strominger NL, editor. The human nervous
system: structure and function. 6th Ed. New Jersey: Humana Press; 2005. p. 253.

6. Sabirin J. Bells palsy. In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan RB, Husni A, Soetedjo, editors. Gangguan gerak. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro. 1996. p. 163-72.

14
7. Seok JI, Lee DK, Kim KJ. The usefulness of clinical findings in localizing lesions in Bells palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2008;79:418-20.

8. Burgess RC, Michaels L, Bale JF Jr., Smith RJ. Polymerase chain reaction amplification of Herpes Simplex Viral DNA from the geniculate
ganglion of a patient with Bells palsy. Ann Otol Rhinol Laryngol. 1994;103:775.

9. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashino Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial palsy.
Neurology. 1998;51:1202.

10. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor. Lecture Notes-Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005. p. 35.

Hasil Pembelajaran:
1. Penegakkan diagnosis bells palsy.
2. Penatalaksanaan awal pada bells palsy.
3. Edukasi preventif.
4. Penatalaksanaan farmakologis pada pasien bells palsy.

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subyektif
Pasien datang mengeluh mulut mencong ke kanan sejak pagi ( 3jam SMRS). Keluhan ini terjadi secara tiba-tiba saat bangun tidur. Pasien
mengeluh wajah sebelah kiri terasa tebal dan kaku. Selain itu pasien juga mengeluh mata kiri tidak bisa menutup dengan rapat bila
dipejamkan. Pasien kesulitan dalam menggerakkan alis, merasa bila menaikkan alis, alis bagian kiri tertinggal. Pipi terasa kencang. Waktu
mencucukan bibir, bibir bagian kiri lebih tertinggal atau lemah. Pasien merasa tidak nyaman bila mengunyah makanan pada mulut sebelah

15
kiri dan mengeluhkan makanan menumpuk pada pipi sebelah kiri, tetapi masih bisa makan minum tanpa tersedak. Pasien juga mengeluh
pusing dan kesemutan pada kedua tangan dan kaki. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri tidak ada. Tidak ada keluhan nyeri di sekitar
telinga kiri. Tidak ada gangguan pendengaran. Keluhan pusing berputar, gangguan pendengaran, rasa makanan, batuk, dan pilek tidak ada.
Riwayat sering menggunakan kipas angina saat tidur. RPD : HT (+) rutin minum amlodipin
2. Objektif
Status Neurologis :
Fungsi kesadaran : GCS E4 V5 M6
N. Cranialis : parese n. VII sinistra perifer
Fungsi luhur : dbn
Fungsi sensorik : tidak dilakukan
Fungsi motorik : dbn
Reflek fisiologis : dbn
Reflek patologis : dbn
Tonus : dbn
3. Assesment
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan Bells Palsy.
4. Plan
- Pengobatan: pengobatan diberikan ketika di IGD yaitu Inf. asering 20 tpm, Inj. Methylprednisolon 125 mg / 12 jam, Inj mecobalaim 1
amp/8 jam, Inj. ranitidine 1 amp/12 jam, Inj. citicoline 500 mg/12 jam, p.o Acyclovir 400 mg 5x1, p.o Gabapentin 150mg 2 x 1
Pendidikan: diedukasi pencegahan dan mengenali gejala bells palsy sedini mungkin sehingga bisa dilakukan terapi yang sesuai dan
bisa terhindarkan dari komplikasi bells palsy.

16
Konsultasi: -

Rujukan: -
Kontrol: -

17
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Bells palsy merupakan parese nervus fasialis yang bersifat akut penyebabnya idiopatik dan tidak ada penyakit neurologik penyerta
lainnya. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell.
Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh
atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat permanen.
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak parase fasial akut. Insiden Bells palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua
kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 1030 pasien per 100.000 populasi per tahun. Sedangkan di
Indonesia insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama.
Akan tetapi wanita berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilam trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan
timbulnya bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai lebih dari 10 kali lipat. Tidak didapati juga perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan.

2. Anatomi Nervus Fasialis


Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius
(lebih kecil dan lebih lateral). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otot- otot
ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior, membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar

18
lakrimal, submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut- serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan
lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (Monkhouse 2006).
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan
saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan
perineurium (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009).
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3
segmen yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion
genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf,
paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit
yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk
kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan palatina (Ronthal dkk,
2012; Berg 2009).
Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan
percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani,
yang terletak 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan
melewati membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke
anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).
Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral
untuk pengecapan, Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan berjalan malalui saraf intermedius
ke traktus solitarius (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).
Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis
dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di

19
kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal
mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi otot - otot ekspresi
wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma (Gambar 5) (Ronthaldkk, 2012; Berg 2009;
Monkhouse 2006).

3. Etiologi dan Patologi


Secara klinis, Bells palsy telah didefinisikan idiopatik, dan penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga
sebagai penyebab dari Bells palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab (Berg 2009;
Kanerva 2008).
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama
perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf.
Teori ini merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan Bells palsy. Bells palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi
saraf fasialis pada ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak didalam kanalis
fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Tiemstra
dkk, 2007).
Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga
Hughes dkk, menemukan transformasi limfosit pada pasien Bells palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab Bells palsy merupakan
hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi
lainnya (Berg 2009).
Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan
terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang (Kanerva 2008). Suatu penelitian systematic review
berdasarkan Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang berkualitas tinggi telah menyimpulkan

20
bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien Bells palsy. Karena tidak
efektifnya antivirus dalam mengobati pasien Bells palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya penyebab Bells palsy yang lain (Lockhart
dkk, 2010).
Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bells palsy, terutama kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau
kontralateral. Kebanyakan kasus yang dijumpai adalah autosomal dominant inheritance (Garg dkk, 2012). Sejumlah penelitian telah berusaha
rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari BeIIs palsy, dan kebanyakan terpusat pada sistem Human leucocyte antigen (HLA),
yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan berbagai penyakit autoimun (Kubik dkk, 2012).

4. Manifestasi Klinis
Bells palsy adalah suatu gangguan saraf fasialis perifer akut, yang biasanya mengenai hanya satu sisi wajah. Gambaran klinis bervariasi,
tergantung lokasi lesi dari saraf fasialis sepanjang perjalanannya menuju otot. Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya pada serabut
motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan
pengecapan pada dua pertiga lidah melalui korda timpani (Finsterer 2008).
Pasien Bells palsy biasanya datang dengan paralisis wajah unilateral yang terjadi secara tiba-tiba. Temuan klinis yang sering termasuk
alis mata turun, dahi tidak berkerut, tidak mampu menutup mata, dan bila diusahakan tampak bola mata berputar ke atas (Bell's phenomen),
sudut nasolabial tidak tampak, dan mulut tertarik ke sisi yang sehat. Gejala lainnya adalah berkurangnya air mata, hiperakusis, dan atau
berkurangnya sensasi pengecapan pada dua pertiga depan lidah (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007). Beberapa literatur juga
menyebutkan tentang nyeri sebagai gejala tambahan yang sering dijumpai pada pasien BeIls palsy. Nyeri postauricular dapat ditemukan
pada hampir 50% pasien Bells palsy. Nyeri ini dapat terjadi bersamaan dengan paralisis wajah (beberapa hari atau minggu) atau terjadi
sebelum onset paralisis (Peitersen 2002; Garg dkk,2012; Setyapranoto, 2009).
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bells palsy dapat berbeda. Bila lesi di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit
yang menyebabkan paralisis semua otot wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata melakukan rotasi ke atas (Bells phenomenon).

21
Selain itu, mata dapat terasa berair karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu. Manifestasi
komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar dari
sudut mulut.
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala
seperti lesi di foramen stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga anterior lidah pada sisi yang sama.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi hiperakusis (sensitivitas nyeri terhadap suara keras). Selain
itu, lesi pada ganglion genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat melibatkan saraf kedelapan.

5. Diagnosis
a. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting
ditanyakan untuk membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bells palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral
pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dengan perjalanan penyakit yang progresif.
b. Pemeriksaan Fisik
Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP
(supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer adalah tidak dijumpainya paralisis
dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan defisit neurologis
lainnya, sekurang- kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral (Tiemstra dkk, 2007).
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf
dan kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini
akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi
yang terkena memutar ke atas. Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih

22
jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan stroke atau kelainan yang
bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas
normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
Fungsi motorik
1) Mengangkat alis dan mengerutkan dahi
Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris tidak. Minta pasien mengerutkan dahi, nilai apakah musculus
oksipitofrontalis, musculus corrugator supercilli, musculus procerus simetris tidak. Pada kelumpuhan perifer asimetri
2) Memejamkan mata
Minta pasien memejamkan mata, bila lumpuh berat tidak dapat memejamkan mata, bila lumpuh ringan maka tenaga pemejaman mata
kurang kuat. Hal ini dapat dinilai dengan jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap
memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan mata satu persatu. Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan mata pada
sisi yang lumpuh. Disini dinilai apakah musculus orbicularis ocuculi dapat berkontraksi dengan baik atau tidak, simetris atau tidak.
3) Menyeringai
Minta pasien menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah simetris atau tidak dan perhatikan sudut mulutnya. Jika tidak
dapat melakukannya maka terdapat gangguan persarafan pada musculus zigomaticus mayor.
4) Mencucurkan bibir
Minta pasien mencucurkan bibir, perhatikan simetris tidak. Jika tidak simetris maka dicurigai gangguan persarafan musculus orbicularis
oris.
5) Menggembungkan pipi
Minta penderita menggembungkan pipi, simetris atau tidak. Apabila tidak simetris, ada gangguan persarafan musculus buccinators.

23
Fungsi sensorik
Kerusakan nervus facialis sebelum percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi pada 2/3 lidah depan. Untuk memeriksanya
pasien disuruh menjulurkan lidah kemudian berikan pada lidah bubuk gula, kina, atau asam.

6. Pemeriksaan Penunjang
Umumnya pasien Bells palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan
berikut dapat dianjurkan, seperti:
1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance
Diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit
saraf kranial multipel dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan pada wajah atau
spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging.
2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neurom akustikus.
3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu (Garg dkk,
2012 Ronthal dkk, 2012).

7. Diagnosa Banding
Beberapa penyakit juga memiliki gejala paralisis fasialis yang identik dengan Bells palsy. Penyakit ini juga memiliki gejala lainnya yang
membedakannya dari Bells palsy. Penyakit- penyakit tersebut adalah:
a. Stroke
Bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer cerebri kontralateral.
b. Trauma kapiti
Bila terdapat fracture os temporalis pars petrosus, basis cranii, atau terdapat riwayat sebelumnya.

24
c. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid (seperti cholesteatoma, tumor saliva)
Pasien dengan tumor memiliki perjalanan penyakit yang panjang, dan berprogresif secara lambat dalam beberapa minggu atau bulan dan
gejala sering bertahan tanpa ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau dua cabang distal dari saraf fasialis juga menduga tumor,
penyakit telinga tengah yang aktif atau suatu massa di kelenjar parotid (Ronthal dkk, 2012; May dkk, 1987).
d. Guillain Barre Syndrome (GBS)
Guillain Barre Syndrome merupakan suatu poliradikuloneuropati inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis bilateral
dapat dijumpai pada 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah kelumpuhan pada saraf motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks tendon
negatif pada daerah yang terlibat (May 2000).
e. Miastenia Gravis
Tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbicularis occuli bilateral
f. Otitis media
Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri telinga dan demam (Tiemstra dkk, 2007).
g. Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster)
Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan sering berkembang erupsi vesikel pada kanal telinga dan
faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau
keseimbangan (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007).
h. Sarcoidosis
Pasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis fasialis bilateral dan uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari
asal yang tidak ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ. Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi
jaringan yang terlibat oleh sarcoid (May 2000; Tiemstra dkk, 2007).

25
8. Terapi
Tujuan penatalaksanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit,
meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata.
a. Anti Virus
Herpes simpleks tipe 1 dan Varicella zoster virus (VZV) merupakan dua virus yang dipercaya bertanggung jawab pada kasus Bells
palsy. Reaktivasi dari virus- virus ini dapat menyebabkan inflamasi pada saraf fasialis. Pengobatan anti virus dengan asiklovir dan
valasiklovir telah digunakan pada beberapa studi, sering dengan kombinasi dengan prednisolon dan hasilnya beragam. Asiklovir diberikan
lima kali sehari. Valasiklovir, merupakan prodrug asiklovir, hanya diberikan tiga kali sehari karena biovaibilitasnya lebih tinggi dari
asiklovir. Dijumpai keuntungan menggunakan valasiklovir dibandingkan asiklovir karena obat ini digunakan dengan dosis yang kurang
sering, dan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi di serum dan CSF (Marsk, 2012).
Satu studi membandingkan prednisolon dengan asiklovir dan menemukan manfaat pengobatan pada kelompok prednisolone.
Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari.
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg per hari secara
oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan
keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.
b. Kortikosteroid
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat
mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Pengobatan dengan
kortikosteroid (metylprednisolon, kortison, prednison atau prednisolon) pada Bells palsy diperkenalkan pertama sekali pada tahun 1950
dan telah secara luas digunakan hingga saat ini. Kortikosteroid berperan dalam mengurangi inflamasi, degenerasi, dan regenerasi yang
salah dari saraf fasialis (Kanerva 2008). Dua penelitian systematic review dari Salinas dkk (2010) dan Gronseth dkk (2012) menyimpulkan

26
terdapatnya efikasi dari pemberian kortikosteroid terhadap perbaikan klinis pasien Bells palsy dan tidak didapatkan efek samping yang
berbahaya pada penggunaan terapi kortikosteroid tersebut (Marsk 2012).
Terdapat dua penelitian yang menggunakan prednisolon dalam pengobatan BeIIs palsy. Penelitian pertama yang dilakukan oleh
Engstrom dkk (2008) menggunakan dosis prednisolon oral 60 mg/hari selama 5 hari, kemudian dosis diturunkan 10 mg setiap harinya,
dengan total waktu pengobatan 10 hari. Obat diberikan dalam 72 jam setelah onset Bells palsy. Follow up dilakukan antara hari ke 11-
17, dan pada 1,2,3,6,12 bulan setelah randomisasi dengan menilai fungsi saraf fasialis menggunakan dua sistem grading, yaitu House
Brackmann (HB) grading system dan Sunnybrook scale. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa pasien yang mendapatkan prednisolon
memiliki waktu yang lebih pendek untuk sembuh sempuma dan outcome setelah 12 bulan yang lebih baik (kejadian sinkinesia yang lebih
sedikit) dibandingkan pasien yang tidak mendapat prednisolon. Penelitian lainnya dilakukan oleh Sullivan dkk (2007) yang menggunakan
prednisolon dengan dosis 25 mg dua kali sehari selama 10 hari yang diberikan dalam 72 jam setelah onset. Penilaian fungsi saraf fasialis
dengan menggunakan HB grading system. Penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang diberikan prednisolon memperoleh outcome
yang lebih baik dengan kesembuhan sempurna sebesar 90 % pada pasien yang diobati dengan prednisolon dan 75% pada pasien yang
tidak mendapatkan prednisolone. 5 mg prednisone equivalen dengan 0.75 mg dexamethasone, 4 mg methylprednisolone, dan 5 mg
prednisolone (Marsk 2012).
c. Bedah
Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus
yang berat dalam 14 hari onset.
d. Rehabilitasi Medika
Diberikan setelah fase akut, latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata, dan mengangkat sudut
mulut, tersenyum, bersiul atau meniup (dilakukan di depan kaca dengan konsentrasi penuh). Pada fase akut bells palsy diberi gentle
massage secara perlahan dan berirama. Hal ini memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan
tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneuding Massage sebelum latihan gerakan volunter wajah. Deep Kneuding Massage

27
memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat, mengurangi
edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage
daerah wajah dibagi 4 daerah yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.
Program terapi okupasi memberikan latihan gerakan pada otot wajah. Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam
bentuk permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur,
latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.
e. Home Program
1) Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit
2) Massage wajah yang sakit kearah atas dengan menggunakan tangan dari sisi wajah yang sehat
3) Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit, minum dengan sedotan, mengunyah permen karet
4) Perawatan mata
a) Beri obat tetes mata golongan artificial tears 3 kali sehari
b) Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari
c) Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

9. Komplikasi
a. Regenerasi motoric incomplete
Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis. Dapat terjadi akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot
ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi dari
deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung tersumbat.
b. Regenerasi sensorik inkomplit
Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia.

28
c. Reinervasi yang salah dari nervus fasialis
1) Sinkinesis
Gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata
2) Crocodile tear phenomenon
Timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada
saat mengkonsumsi makanan
3) Clonic facial spasm (hemifacial spasm)
Timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian
mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).

10. Prognosis
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar
80-90% pasien dengan Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50- 60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10%
mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat
mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular,
gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat),
dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas. Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada
fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu
pertama. House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan
prognosis pasien Bells palsy.

29
House-Brackmann Facial Nerve Grading System

30

Anda mungkin juga menyukai