Anda di halaman 1dari 20

BELL’S PALSY

Oleh:

dr. Matrianis Haria

Pendamping:

dr. Febrianti, Sp.S

RSUD CURUP

REJANG LEBONG

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Kasus dan Portofolio yang Berjudul:

BELL’S PALSY

Oleh:

dr. Matrianis Haria

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat guna menyelesaikan program
internship dokter Indonesia di wahana RSUD CURUP 2018-2019.

CURUP, Juli 2019

Pembimbing,

dr. Sunaryo
Kasus I

Topik : BELL’S PALSY

Tanggal (kasus) : 2019 Presenter : dr. Matrianis Haria

Tanggal presentasi : - Pendamping : dr. Sunaryo


Tempat presentasi : RSUD CURUP
Obyektif presentasi :
• Keilmuan • Keterampilan • Penyegaran • Tinjauan Pustaka
• Diagnostik • Manajemen • Masalah • Istimewa
• Neonatus • Bayi • Anak • Remaja ✓Dewasa • Lansia • Bumil
• Deskripsi :
• Tujuan :
Bahan bahasan : • Tinjauan • Riset • Kasus • Audit
Pusaka
Cara membahas : • Diskusi • Presentasi • Email • Pos
dan diskusi

Data pasien : Nama : Tn. A.32 thn No. registrasi :


Nama RUMAH SAKIT Telp : - Terdaftar sejak :
RSUD CURUP
Data utama untuk bahan diskusi : Bell’s Palsy
1. Diagnosis/Gejala klinis :
Seorang pasien laki-laki berumur 32 tahun datang ke Poliklinik Neurologi RSUD
CURUP pada tanggal 22 Mei 2019, dengan :

Keluhan Utama :

Wajah mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu


Riwayat Penyakit Sekarang
- Wajah mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
- Awalnya 3 hari yang lalu pasien merasa wajahnya terasa tebal, lidah juga terasa
tebal, hingga ketika pasien bangun tidur keesokan harinya pasien merasakan
wajahnya tiba-tiba mencong ke kiri.
- Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa kering
sejak 2 hari yang lalu. Gangguan pendengaran tidak ada
- Gangguan pengecapan tidak ada
- Riwayat demam sebelum mulut mencong tidak ada
- Riwayat trauma pada kepala tidak ada
- Kelemahan anggota gerak tidak ada
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
- Riwayat hipertensi tidak ada
2. Riwayat Pengobatan :
Tidak ada
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit :
Tidak ada
4. Riwayat Keluarga/ Masyarakat :
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
5. Riwayat Pekerjaan :
Pasien seorang tukang ojek, berkendara sampai malam hari, sering kelelahan dan terpapar
udara dingin
6. Lain-lain : -
Daftar Pustaka :

1. Wiratman W, Safri AY, Indrawati LA, Octaviana F, Hakim M. Neuropati. Dalam: Anindatha
T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Jakarta: Departemen Neurologi FKUI. 2017.

2. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Bell’s palsy. Dalam: panduan praktik klinis
neurologi. Perdossi. 2016.

3. Angulo M and Babcock E. Bell Palsy. Journal of the American Academy of Physician
Assistants. 2015.

4. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Badan Penerbit
FKUI. 2013.

5. Estiasari R, Zairinal RA, Islamiyah WR. Pemeriksaan saraf kranialis. Dalam: pemeriksaan
klinis neurologi praktis. Kolegium neurologi Indonesi perhimpunan dokter spesialis saraf
Indonesia. 2018.

6. Allan HR and Robert HB. Adams and Victor’s Principle of Neurologi. 8 th edition, page 1181-
1182. USA : Mc Graw-Hill Companies. 2005

7. Gilchrist JM. Facial nerve palsy. Dalam: Roos, KL. Emergency neurology. Springer science.
2012.

8. De Almeida, JR et al.. Management of bell’s palsy: Clinical Practice

Guideline. CMAJ: Canadian Med. Ass. J, Vol: 186 (12); 917– 922. 2014.

9. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, Vincentiis M.

Bell’s Palsy and Autoimmunity. Italy : Elsevier. 2015.

10. Danette CT. Bell Palsy. 2017. Diakses dari https://emedicine.medscape. com
/article/1146903-overview#a7 pada tanggal 11 Oktober 2018.

11. Mardjono M, Sidharta P, 2004. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian
Rakyat

12. Aminoff, MJ et al. 2005. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth Edition, Mcgraw-
Hill.

13. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. Dalam Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai
Penerbit FK-UI, 2007.
14. Ropper, AH., Brown, Robert H. Dalam: Adams & Victors’ Principles of Neurology, Eight
Edition, McGraw-Hill. 2005.
Hasil Pembelajaran :
1. Patogenesis
2. Gambaran klinis
3. Penegakkan Diagnosa
4. Tatalaksana

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subyektif
Keluhan Utama :

Wajah mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu


Riwayat Penyakit Sekarang
- Wajah mencong ke sebelah kiri sejak 2 hari yang lalu
- Awalnya 3 hari yang lalu pasien merasa wajahnya terasa tebal, lidah juga terasa
tebal, hingga ketika pasien bangun tidur keesokan harinya pasien merasakan
wajahnya tiba-tiba mencong ke kiri.
- Pasien juga merasakan mata kiri tidak bisa tertutup sempurna dan terasa kering
sejak 2 hari yang lalu. Gangguan pendengaran tidak ada
- Gangguan pengecapan tidak ada
- Riwayat demam sebelum mulut mencong tidak ada
- Riwayat trauma pada kepala tidak ada
- Kelumpuhan anggota gerak tidak ada
- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
- Riwayat hipertensi tidak ada

2. Objektif
- Keadaan umum : Tampak sakit sedang
- Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4 M6 V5
- Vital Sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/menit
Frekuensi pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7 ºC
- Berat Badan : 50 kg
- Tinggi badan : 155 cm
- Gizi : Kesan baik
Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), seklera ikterik (-/-),
Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
● Paru
Inspeksi : Gerakan nafas cepat, simetris kanan dan kiri
Palpasi : Fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
● Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midclavicularis
sinistra ICS V
Perkusi :Batas jantung kanan di ICS IV linea
parasternalis dextra. Batas jantung kiri di ICS
V Linea midclavicularis sinistra.
Auskultasi : Murmur (-/-), Gallop (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Hepar dan Lien tidak teraba membesar, Nyeri tekan
abdomen (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal.
Ekstremitas : CRT < 3 detik, oedem (-/-)
kekuatan motorik ekstermitas atas 555 555
kekuatan motorik ekstermitas bawah 555 555
Pemeriksaan Nervus VII
Kanan

Waktu diam

- Kerutan dahi - -
- Sudut mata Normal turun

Waktu gerak

- Mengerutkan dahi Baik Dahi tidak mengerut


- Menutup mata
Baik Sulit
- Mengembungkan pipi
- Angkat alis Baik Pipi tidak kuat
- Sudut mulut
Baik Sulit diangkat
- menyeringai
- sekresi air mata (selalu Baik Hilang
di usap)
Baik Mulut mencong kekiri

- +

3. Assesment :
Bell’s Palsy

4. Planning & Therapy :


➢ Methylprednisolon 3 x 8 mg
➢ Ranitidine 2 x 150 mg
➢ Mecobalamin 3 x 1 tab
➢ Fisioterapi
➢ Rawat jalan, control ulang 1 minggu
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Bell’s Palsy


Bell’s palsy merupakan paralisis nervus fasialis ipsilateral idiopatik yang muncul sekunder
akibat adanya inflamasi, pembengkakan ataupun kompresi nervus fasialis. Biasanya
timbul secara akut tanpa ada kelainan neurologik lainnya yang menyertai, dimana
sebagian besar akan menyembuh dan beberapa meninggalkan gejala sisa.
2. Anatomi Nervus Fasialis
Nervus fasialis (N.VII) merupakan nervus kranialis yang memiliki fungsi motorik,
sensorik dan otonom. Fungsi motorik merupakan fungsi yang paling dominan dari nervus
fasialis. Fungsi nervus fasialis dapat dibagi menjadi:5
1. Brankial motorik (eferen viseral khusus), mempersarafi otot ekspresi wajah, otot
digastrik bagian posterior dan otot stapedius.
2. Viseral motorik (eferen viseral umum), untuk persarafan parasimpatis kelenjar
lakrimal, submandibula dan sublingual serta membran mukosa nasofaring dan
palatum.
3. Sensorik khusus (aferen khusus), untuk sensasi pengecapan dua pertiga depan lidah
dan palatum.
4. Sensorik umum (aferen somatik umum), sebagai sensasi umum
(eksteroseptif) kulit konka dan area belakang telinga.

Secara anatomi, sistem persarafan motorik nervus fasialis terpisah dari sistem sensorik
dan parasimpatis. Persarafan supranukelar untuk otot yang mengatur ekspresi wajah
berasal dari sepertiga bawah girus presentralis kontralateral pada area wajah homunculus
motorik. Dari girus presentralis, serabut saraf membentuk traktus kortikobulbar menuju
inti N VII di pons melalui korona radiata, genu kapsula interna dan pedunkulus serebri
bagian medial. Otot wajah bagian dua pertiga bawah mendapat kontrol persarafan yang
dominan dari supranuklear kontralateral, sedangkan sepertiga atas mendapat kontrol
persarafan bilateral. Otot bagian bawah wajah juga mendapatkan persarafan kortikal yang
lebih banyak dibandingkan dengan otot wajah bagian atas dan dahi. Inti N VII di pons juga
mendapatkan persarafan dari sistem ekstrapiramidal yaitu ganglia basalis dan hipotalamus
bilateral. Persarafan ini bertanggung jawab dalam mempertahankan tonus otot wajah
terkait dengan ekspresi wajah spontan serta emosional.5
Inti N VII (nukleus fasialis) terletak di tegmentum pons sisi kaudal,
anteromedial dari traktus spinalis nukleus trigeminus, anterolateral dari nukleus
abdusens, serta posterior dari nukleus olivarius superior. Nukleus fasialis memiliki
tiga subnukleus yaitu lateral, intermedial dan medial. Subnukleus lateralis
diperkirakan mempersarafi otot businator, subnukleus intermedial mempersarafi
otot temporal, orbital dan zigomatikus, sedangkan subnukleus medial mempersarafi
5
otot servikal dan aurikularis posterior serta stapedius.

Inti motorik nervus fasialis terletak di pons, dimana serabutnya mengitari


inti nervus absdusen (VI) dan keluar dari lateral pons. Nervus fasialis bersama
dengan nervus intermedius berjalan dari meatus akustikus eksternus kemudian
kedalam kanalis fasialis dan kemudian masuk kedalam os mastoid dan keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid dan bercabang untuk mensarafi
4
wajah.

3. Epidemiologi dan Etiologi Bell’s Palsy

Bell’s palsy merupakan 70% diagnosa dari fasial neuropati sebagai sindrom
neulogis tersering. Insiden tahunan Bell’s palsy mencapai 25 per 100.000 penduduk
dengan risiko kejadian 1 diantara 60-70 orang. Frekuensi usia tersering antara 10-70
tahun,7 dan insidensi puncak antara usia 15 dan 40 tahun. 8

Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital,


infeksi, keganasan, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit
tertentu yang menyebabkan edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus
fasialis.11,12 Penyebab pasti dari bell’s palsy belum diketahui (idiopatik), umumnya
penyakit ini diakibatkan lesi nervus fasialis yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan atau
tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis, disebabkan oleh
penekanan atau terjepitnya nervus ini dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.12 Namun terdapat berbagai
hipotesis tentang faktor-faktor penyebab bell’s palsy diantaranya infeksi HSV-1 yang
diduga sebagai agen etiologi dalam bell’s palsy. Terdapat penelitian dengan melakukan tes
PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII pada penderita Bell’s
palsy berat yang menjalai pembedahan, hasilnya berupa penemuan HSV dalam cairan
endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensori dan
menempati sel ganglion (dorman), namun penderita mengalami stres atau penurunan
sistem imun lain, maka akan terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan
lokal pada myelin saraf.9 Selain infeksi HSV, kemungkinan etiologi termasuk infeksi lain
(misalnya herpes zoster, penyakit Lyme, sifilis, infeksi virus Epstein-Barr,
cytomegalovirus, human immunodeficiency virus/HIV, mycoplasma), inflamasi dan
penyakit mikrovaskular (diabetes mellitus dan hipertensi).10

Kelainan autoimun juga diduga menyebabkan demielinisasi nervus fasialis yang


menyebabkan kelumpuhan wajah unilateral. Riwayat keluarga dengan Bell’s palsy telah
dilaporkan pada sekitar 4% kasus.9,10

4. Patofisiologi

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, teori yang dianut saat ini
yaitu teori vaskuler. Pada Bell’s Palsy terjadi iskemi primer pada nervus fasialis yang
disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara nervus fasialis dan dinding
kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain: infeksi virus, proses
imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural
yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n.
fasialis di daerah foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang
disebut sebagai Bell’s Palsy.12 Selain itu salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental
sehingga adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis dapat mengalami gangguan
di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear terletak di daerah wajah
korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang
berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy
menyebabkan nervus fasialis menjadi bengkak atau sembab sehingga nervus ini terjepit di
dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi
LMN biasa terletak di pons, sudut serebelo-pontin, os petrosum atau kavum timpani, atau
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis.
Sehingga paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus
lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan
timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap
dengan 2/3 bagian depan lidah).

Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah


reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat
sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

Paralisis wajah pada Bell’s palsy akan terjadi mulai dari bagian atas hingga bagian
bawah dari otot wajah (seluruhnya akan lumpuh). Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura
palpebra tidak dapat ditutup (lagoftalmus) dan pada usaha untuk memejamkan mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Selain itu pada sudut mulut juga tidak bisa
digerakkan, bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Akibat
lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara normal. Gejala-gejala penyerta
seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di
foramen stilomastoideum yaitu serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi
muskulus stapedius sudah tidak ada.

5. Manifestasi Klinis

Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,
menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di
daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikan lebih cermat dengan menggunakan
cermin. Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmus), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola
mata tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila berkumuur
atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh

6. Diagnosis

Diagnosis umumnya dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya


kelumpuhan nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab
lain dari kelumpuhan nervus fasialis perifer.

11
a. Anamnesis

Sebagian besar pasien datang dengan keluhan kelemahan pada salah satu sisi
wajah. Selain itu, terdapat beberapa keluhan lain diantaranya:

1) Nyeri postauricular: Sebanyak 50% pasien menderita nyeri di regio


mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan parese, tetapi
parese muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.

2) Aliran air mata: Umumnya pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air
mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga saccus lacrimalis
dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.

3) Perubahan rasa: Pada sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,


empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat yaitu 2/3 anterior.

4) Mata kering.

5) Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga akibat


peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.

11
b. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik. Pemeriksaan motorik N.VII diawali dengan


inspeksi otot wajah pada keadaan istirahat, saat pasien berbicara, dan saat
mengekspresikan emosinya. Hal yang perlu diperhatikan antara lain kesimetrisan
wajah, tonus otot, atropi otot maupun gerakan involunter, seperti distonia,
sinkinesia, tremor, tik, mioklonik. Kesimetrisan wajah dapat dinilai dengan
mengobservasi lipatan nasolabial, kerutan dahi, dan lebar fisura palpebra. Selain
itu, inspeksi nervus facialis dapat dilakukan dengan menilai 10 otot-otot utama
wajah yang dipersarafi oleh nervus fasialis perifer dan berfungsi untuk
menciptakan mimik dan ekspresi wajah.
Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :

a diperiksa dengan cara mengangkat alis


. M. Frontalis : ke

atas.

b
. M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis

c diperiksa dengan cara mengangkat


. M. Piramidalis : dan

mengerutkan hidung ke atas

d M. Orbikularis Okuli diperiksa dengan cara memejamkan


. : kedua

mata kuat-kuat

e diperiksa dengan cara tertawa lebar


. M. Zigomatikus : sambil

memperlihatkan gigi

f M. Relever
. Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan

memperlihatk
mulut kedepan sambil an

Gigi

diperik dengan cara


g. M. Businator : sa menggembungkan

kedua pipi

h M. Orbikularis diperiksa dengan cara menyuruh


. Oris : penderita

bersiul

i : denga ca menarik
. M. Triangularis diperiksa n ra kedua

sudut bibir ke bawah


j : denga ca memoncongka
. M. Mentalis diperiksa n ra n

mulut yang tertutup rapat ke depan

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri.

Manuver yang dapat dilakukan pada pemeriksaan N.VII. pasien diminta


memejamkan mata dengan sekuat mungkin dan pemeriksa mencoba memberikan tahanan
pada m.orbikularis okuli untuk membuka mata pasien. Selain itu pasien juga diminta
menggembungkan pipinya, kemudian pemeriksa menekan kedua pipi pasien dengan jari
secara bersamaan hingga udara keluar dari mulut pasien. Pemeriksa memperhatikan
apakah udara keluar dari salah satu mulut atau dari tengah bibir

2. Pemeriksaan Tonus Otot,


Pada keadaan istirahat atau tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
kesempurnaan mimik/ekspresi wajah. Fungsi tonus otot penting diperiksa dengan
penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot wajah, bukan pada setiap otot. Tonus
yang terganggu memberikan gambaran prognosis yang buruk.
3. Pemeriksaan sensorik.
Pemeriksaan dengan Gustometri, sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi

oleh cabang nervus fasialis yaitu nervus korda timpani. 1 Kerusakan pada N.VII
sebelum percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya
pengecapan). Lesi yang terletak distal dari foramen stilomastoideus tidak
mempengaruhi fungsi pengecapan. Gangguan pengecapan lain dapat berupa
hipoageusia (berkurangnya sensasi pengecapan), dan parageusia (persepsi pengecapan

yang abnormal).13Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan


lidah, kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada
lidah penderita. Hal ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk
ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan
tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang
persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita diminta menyebutkan pengecapan yang
dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk

rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.13

4. Pemeriksaan Otonom Parasimpatis.


Uji Salivasi, pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi
kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen nomor 50
kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus lemon
ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua
tabung. Volume ini dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar
25% dianggap abnormal. Karena pengecapan dan salivasi ditransmisi oleh saraf

korda timpani, maka gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini.14
5. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex, dianggap sebagai pemeriksaan terbaik
untuk pemeriksaan fungsi serabut-serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang
disalurkan melalui saraf petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum.
Kerusakan pada atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya
14
produksi air mata. Fungsi lakrimasi dari mata dinilai dengan tes schimer. Cara
pemeriksaan dengan meletakkan kertas lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-10 cm pada
konjungtiva inferior. Panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan
dengan sisi satunya setelah 5 menit. Normal jika air mata membasahi kertas lakmus
sepanjang 10-30mm.
6. Refleks Stapedius, untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans
meter, caranya memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan
untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.
7. Uji audiologik, pemeriksaan audiogram lengkap harus dilakukan pada pasien yang
menderita paralisis nervus fasialis. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran
tulang, timpanometri dan reflex stapes. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi
kanalis akustikus internus. Jika terjadi paralisis nervus fasialis pada otitis media akut,
maka mungkin terdapat gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat
dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan suatu nada
yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot stapedius.
Jika nada tersebut diperdengarkan pada telinga yang normal, maka reflek ini pada
perangsangan kedua telinga menjelaskan suatu kelainan pada bagian aferen saraf
13
kranialis.

c. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui parase
nervus fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf
13
yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG).

 Elektromiografi (EMG), pemeriksaan EMG berfungsi untuk menentukan


perjalanan impuls atau reinervasi pasien. Interpretasi pola EMG dapat
diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau
suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati.
Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis
akut. EMG akan memperlihatkan potensial denervasi, jika sebelum 21 hari
wajah tidak dapat bergerak. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif
yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum
21 hari.

 Elektroneuronografi (ENOG), ENOG dapat memberikan informasi lebih awal


dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik
sementara pada pengukuran EMG haruus dilakukan pada satu titik yang lebih
distal dari saraf yang diperiksa. Kecepatan hantaran saraf dapat dinilai. Jika
dalam 10 hari terdapat reduksi 90% pada ENOG yang dibandingkan dengan
sisi lainnya, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna.
Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77% pasien
yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami
13
penyembuhan normal pada nervus fasialisnya.
7. Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan bell’s palsy adalah untuk mempercepat proses


penyembuhan, mencegah terjadinya kelumpuhan komplit dari kelumpuhan parsial,
meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan angka terjadinya sinkinesis
dan kontraktur wajah serta mencegah kelainan pada mata. Pasien Bell’s palsy juga harus

melakukan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.9

Canadian Society of Otolaryngology Head and Neck Surgery dan Canadian


Neurological Sciences Federation melakukan review terhadap beberapa modalitas terapi
Bell’s palsy. Keduanya meenjelaskan mengenai tentang bukti penanganan Bell’s palsy
dengan kortikosteroid dan antiviral, latihan fasial, elektrostimulasi, fisioterapi dan
operasi dekompresi. Selain itu mereka juga membahas mengenai terapi perlindungan
mata, rujukan spesialis, dan investigasi lebih jauh pada pasien yang memiliki

kelemahan wajah yang persisten dan progresif. 8


a) Medikamentosa

● Kortikosteroid, berdasarkan pedoman American Academy of Neurology tahun


2012 menyatakan bahwa steroid sangat efektif dan meningkatkan
kemungkinan pemulihan fungsi nervus fasialis pada Bell’s Palsy onset baru.
Selain itu pedoman dari American Academy of Otolaryngology– Head and
Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) dikeluarkan pada November 2013
juga mendukung pedoman AAN. Pedoman ini merekomendasikan
penggunaan kortikosteroid dalam 72 jam sejak timbulnya gejala.
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pasien yang diobati dengan
prednisolon dalam 48 jam memiliki tingkat pemulihan komplit secara
bermakna yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak diobati, sedangkan
tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat pemulihan yang terlihat antara
pasien yang diobati pada 49-72 jam dan pasien yang tidak diobati sehingga
pemberian prednisolon direkomendasikan untuk 48 jam sejak timbulnya
gejala. Dosis prednison yang dianjurkan untuk pengobatan Bell’s Palsy
adalah 1 mg / kg atau 60 mg / hari selama 6 hari, diikuti oleh taper, untuk

total 10 hari.10Steroid dosis tinggi (prednison >120 mg/hari) telah aman


digunakan untuk mengobati Bell’s palsy dengan diabetes melitus. Namun,
dosis optimal belum ditetapkan. Pemberian steroid pada kasus ini harus
diperhartikan karena terdapat risiko hiperglikemia akibat penggunaan
10
steroid.

 Agen Anti Viral10


Pengobatan antivirus merupakan cara terbaru dalam menangani Bell’s Palsy
akut yang disebabkan oleh virus. Berdasarkan spectrum aktivitasnya dan
toksisitasnya yang rendah, asiklovir (acycloguanosine), analog nukleosida purin
sintetik dapat digunakan untuk mencegah Herpes Simpleks tipe I dan II,
Varisella Zooster, dan Epstein Barr virus serta cytomegalovirus. Asiklovir
mencegah polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi
(difosforilasi), sehingga asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida. Dickens,
Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir pada gejala defisit
neurologis yang disebabkan oleh herpes zooster otikus dengan asiklovir
intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari) segera setelah timbulnya
gejala dapat mencegah degenerasi dari saraf yang dapat menyebab hilangnya
10
pendengaran.
b) Non-Medikamentosa

 Dekompresi Nervus Fasial


Pembedahan untuk mendekompresi nervus masih kontroversial. Pasien yang
diidentifikasi akan menderita kelumpuhan persisten akibat kerusakan nervus
yang ireversibel, tampaknya paling menguntungkan dari intervensi bedah.
Pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien dengan Bells palsy komplit
yang belum berespon terhadap terapi medikamentosan dan telah terjadi
degenerasi aksonal lebih dari 90%, seperti yang ditunjukkan pada EMG nervus
fasialis dalam waktu 3 minggu sejak onset kelumpuhan. Sebelumnya harus
dilakukan penentuan lokasi dengan MRI. Dokter bedah kemudian dapat
memutuskan apakah segmen rahang atas harus didekompresi secara eksternal
atau jika segmen labirin dan ganglion geniculate harus didekompresi dengan
kraniotomi fossa tengah.10,13
 Fisioterapi

Fisioterapi dapat dilakukan kepada pasien antara lain (1) massage, (2)
stimulasi elektris, (3) terapi latihan dengan menggunakan cermin (mirror
exercise), (4) edukasi kepada pasien. Adapun untuk pelaksanaannya dapat
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Massage adalah pijitan
tangan yang akan merangsang reseptor sensorik dari kulit dan jaringan
subcutaneous sehingga dapat memberikan efek rileksasi dan mengurangi
kaku pada wajah. Terapi latihan dengan menggunakan cermin (mirror
exercise) dapat memberikan biofeedback & untuk mencegah terjadinya
kontraktur dan melatih kembali gerakan volunter pada wajah pasien. Sering
dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut.

8. Prognosis

Kebanyakan pasien yang menderita Bell palsy mengalami neurapraxia atau blok
konduksi saraf lokal. Pasien-pasien ini cenderung memiliki pemulihan saraf yang cepat
dan komplit. Pasien dengan axonotmesis, dengan gangguan akson, memiliki pemulihan
yang cukup baik, tetapi biasanya tidak komplit. Faktor risiko dianggap terkait dengan
keluaran yang buruk pada pasien dengan Bell’s palsy yaitu (1) usia lebih besar dari 60
tahun, (2) paralisis komplit, dan (3) penurunan sensasi rasa atau aliran saliva pada sisi
wajah yang paralisis (biasanya 10- 25% dibandingkan dengan sisi wajah yang normal).
Pasien dapat sembuh tanpa pengobatan (71%), terdapat 84% pasien yang sembuh total atau
mendekati pemulihan normal. Faktor-faktor lain yang dianggap terkait dengan hasil yang
buruk termasuk nyeri di daerah aurikularis posterior dan penurunan lakrimasi. Semakin
cepat pemulihan, semakin kecil kemungkinannya bahwa sekuele akan berkembang, seperti
yang dirangkum di bawah ini:

- Jika terjadi pemulihan fungsi dalam 3 minggu, maka pemulihan kemungkinan


besar akan komplit

- Jika pemulihan terjadi antara 3 minggu hingga 2 bulan, maka hasil akhir
biasanya memuaskan

- Jika pemulihan tidak dimulai sampai 2-4 bulan sejak onset, kemungkinan
gejala sisa permanen, termasuk sisa paresis dan sinkinesis akan lebih tinggi
tinggi

- Jika tidak ada pemulihan yang terjadi selama 4 bulan, maka pasien mungkin
memiliki gejala sisa dari penyakit, yang meliputi sinkinesis, crocodile tears,
dan spasme hemifasial yang bersifat jarang.

Anda mungkin juga menyukai