Anda di halaman 1dari 51

REFERAT

TATALAKSANA SLE PADA KEHAMILAN

DISUSUN OLEH:

Callista Adine Limarta (1102017054)


Rika Alivia Agustin (1102017196)

PEMBIMBING:

dr. Faizal Drissa Hasibuan, Sp.PD-KHOM

PEMBELAJARAN JARAK JAUH


KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 28 JUNI – 25 JULI 2021


DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................... 2
LAPORAN KASUS ......................................................................................................... 3
REFERAT..................................................................................................................... 15
1. DEFINISI .................................................................................................................. 15
2. KLASIFIKASI SLE .................................................................................................. 15
KRITERIA KLASIFIKASI LES .................................................................................. 16
3. FAKTOR RISIKO LES............................................................................................. 17
4. PATOGENESIS ........................................................................................................ 18
5. GAMBARAN KLINIS LES....................................................................................... 19
6. DIAGNOSIS SLE ...................................................................................................... 28
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................................... 31
8. DIAGNOSIS BANDING ........................................................................................... 35
9. SLE PADA KEHAMILAN ........................................................................................ 35
10. TATALAKSANA SLE PADA KEHAMILAN ......................................................... 36
11. TATALAKSANA SLE ............................................................................................ 43
I. EDUKASI / KONSELING ................................................................................................ 43
II. PROGRAM REHABILITASI .......................................................................................... 43
III. TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA ........................................................................ 44
12. TATALAKSANA SLE BERDASARKAN DERAJAT PENYAKIT ........................ 47
1. SLE ringan........................................................................................................................ 47
2. SLE sedang ....................................................................................................................... 47
3. SLE berat atau mengancam nyawa ................................................................................... 47
PEMANTAUAN............................................................................................................ 49
13. PROGNOSIS ........................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 51
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. C
Umur : 28 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Cempaka Putih Tengah, Jakarta Pusat
Tanggal dan jam masuk RS : 10 juni 2021, jam 10.00 WIB
Tanggal pemeriksaan : 10 juni 2021

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara : Autoanamnesa
Keluhan Utama : Nyeri sendi sejak 1 minggu SMRS
Keluhan Tambahan : Bengkak pada lutut dan siku, bercak merah pada
area pipi dan batang hidung, sariawan, mudah lelah

III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pada tanggal 10 juni 2021 pukul 10.00 Ny. C G2P1A0 dengan usia kehamilan 34
minggu datang ke RS YARSI dengan keluhan nyeri sendi sejak 1 minggu SMRS. Pasien
mengatakan bahwa nyeri sendi dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, namun memburuk sejak
seminggu yang lalu. Pasien mengatakan nyeri dirasakan secara bersamaan dan terjadi pada
kedua sisi dibagian bahu, siku, pergelangan tangan, pergelangan kaki dan lutut. Nyeri
dirasakan setiap hari, terus menerus dan bersifat panas. Nyeri memberat apabila pasien
sedang kelelahan dan membaik pada saat istirahat. Pasien mengeluhkan bengkak pada
sendi lutut dan siku sejak 3 hari SMRS, disertai kemerahan pada kulit dan memanas.
Keluhan juga disertai adanya bercak kemerahan pada area pipi dan batang hidung sejak
1 bulan yang lalu. Bercak bersifat panas, tidak gatal, tidak nyeri dan tidak bengkak.
Keluhan bercak hilang timbul dan memerah pada saat terkena sinar matahari. Pasien juga
mengeluhkan sariawan pada mulut sejak 4 hari SMRS, dan pasien juga mengatakan mudah
lelah sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan sesak napas, demam, nyeri menelan, dan mual
muntah disangkal. Kerontokan rambut dalam jumlah banyak dan kebotakan pada kulit
kepala disangkal, keluhan perubahan mood dan pola pikir juga disangkal oleh pasien. BAB
dan BAK normal.
IV. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
− Hipertensi : Disangkal
− Diabetes Melitus : Disangkal
− Penyakit jantung : Disangkal
− Kelainan ginjal : Disangkal
− Riwayat alergi : Disangkal
− Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan nyeri sendi sejak 3 bulan yang lalu

V. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


− Hipertensi : Disangkal
− Diabetes Melitus : Disangkal
− Penyakit jantung : Disangkal
− Kelainan ginjal : Disangkal
− Riwayat alergi : Disangkal

VI. RIWAYAT PEMAKAIAN OBAT


− Pasien belum mengonsumsi obat untuk mengurangi keluhan

VII. RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL


− Merokok : Disangkal
− Minum alkohol : Disangkal
− Pasien seorang ibu rumah tangga yang kegiatan sehari-harinya mengurus rumah .
Pasien juga aktif mengurus taman setiap pagi hari
− Hubungan sosial baik dengan lingkungan sekitar
VIII. STATUS GENERALIS
− Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
− Kesadaran : Komposmentis, GCS:15 (E4M6V5)
− Tekanan Darah : 120/80 mmHg
− Nadi : 75x/menit, reguler, tegangan kuat, volume cukup
− Suhu : 36,5 º C, aksila
− Pernapasan : 20x /menit, reguler. Pernapasan patologis (-)
− Gizi
• BB : 65 Kg
• TB : 160 cm
• IMT : 25,3 kg/m2 (Normal)

IX. ASPEK KEJIWAAN


1. Tingkah laku : Baik
2. Proses pikir : Koheren
3. Kecerdasan : Baik

X. PEMERIKSAAN FISIK
1. KULIT
• Warna : Kuning langsat
• Pucat : Tidak pucat
• Jaringan parut : Tidak ada
• Turgor : Baik, < 2 detik
• Lain – lain : Bercak kemeraahan pada pipi dan batang hidung
2. KEPALA
• Bentuk : Normocephal
• Rambut : Warna, terdistribusi merata dan tidak mudah dicabut
• Kulit kepala : Tidak ada tumor, tidak ada sikatriks, ketombe (-)
3. MATA
• Palpebra : udem (-/-), hiperemis (-/-)
• Konjuntiva : pucat (-/-)
• Sklera : Ikterik (-/-)
• Pupil : Bulat, isokor (3mm/3mm), RCL (+/+), RCTL (+/+)
4. TELINGA
• Bentuk daun telinga : Normal
• Nyeri tekan tragus : (-/-)
• Serumen : (-/-)
5. HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
• Napas cuping hidung : Tidak ada
• Septum : Tidak deviasi
• Nyeri tekan : (-/-)
• Sekret : -/-
6. MULUT
• Bau pernapasan : Tidak ada
• Faring : Hiperemis (-)
• Tonsil : T1/T1, hiperemis (-/-)
• Lidah : Ukuran normal, tidak deviasi, Atrofi (-), tidak kotor
• Uvula : Tidak deviasi, Hiperemis (-)
7. LEHER
• JVP : 5 + 2 cmH2O
• Trakea : Letak di tengah, tidak deviasi
• Kelenjar tiroid : Tidak teraba pembesaran
• Kelenjar lymphonodi : Tidak teraba pembesaran
8. PARU-PARU
• Inspeksi : bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis dan
dinamis kanan kiri, jaringan parut (-), retraksi otot intercostal (-)
• Palpasi : fremitus vocal & taktil simetris pada kedua lapang
paru
• Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
• Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
9. JANTUNG
• Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
• Palpasi : ictus cordis tidak teraba
• Perkusi : batas kanan jantung ICS IV linea sternalis dextra,
batas kiri jantung ICS V linea midclavicula sinistra
• Auskultasi : bunyi jantung I-II, katup pulomonal P2>P1, katup
Aorta A2>A1, katup mitral M1>M2, katup Trikuspid T1>T2dan pulmonal, murmur (-
), gallop (-)
10. ABDOMEN
• Inspeksi
- Tampak membuncit simetris,
- Hiperpigmentasi linea alba menjadi linea nigra
- sikatrik (-), striae gravidarum (+)
• Palpasi
- Leopold I : Tinggi fundus uteri 31 cm diatas simfisi pubis
- Leopold II : Teraba bagian lengkungan kontinus di sebelah kanan, dugaan
punggung janin di sebelah kanan ibu.
- Leopold III : Bagian terbawah presentase kepala, sulit digerakkan
- Leopold IV : Janin sudah masuk 4/5 PAP
• Perkusi : Tidak dilakukan
• Auskultasi : DJJ 140x/menit

11. EKSTREMITAS
Pemeriksaan Keterangan Atas Bawah
Motorik 5555/5555 5555/5555
Sensorik Raba +/+ +/+
Nyeri +/+ +/+
Reflek fisiologis Bicep +/+

Tricep +/+

Patella +/+

Achilles +/+

Reflek patologis Hoffman -/-

Tromner -/-
Babinski -/-

Pulsasi A. Radialis +/+

A. Dorsalis Pedis +/+

A. Poplitea Posterior +/+

12. GENITALIA : Tidak dilakukan pemeriksaan


13. ANOREKTAL : Tidak dilakukan pemeriksaan

XI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Parameter Hasil Nilai Normal


Pemeriksaan darah lengkap
Hemoglobin 13 g/dL 12-15 g/dL
Hematokrit 38% 36%-47%
Leukosit 8 x 10^3/µL 4-10 x 10^3/µL
Trombosit 280 x ^3/µL 150-400 x 10^3/µL
Eritrosit 5 x 10^6/µL 4,4 – 5,9 x 10^6/µL
MCV 85 fl 80 – 100 fl
MCH 26 pg 26-34 pg
MCHC 32 g/dL 30-35 g/dL
RDW 12.7% 11.5%-14.5%
CRP - <0,5mg/dL
Hitung Jenis
Eosinofil 1% 0-6%
Basofil 0% 0-2%
Neutrofil batang 0% 2-6%
Neutrofil segmen 60% 50-70%
Limfosit 20% 20-40%
Monosit 3% 2-8%
Kimia Darah
Ureum 42mg/dL 16,6-48,5mg/dL
Kreatinin 0,8 mg/dL 0,7-1.1 mg/dL
SGOT 18 U/L 0-32 U/L
SGPT 15 U/L 0-33 U/L
GDS 98mg/dL <200mg/dL
Elektrolit
Kalium 3,5 mEq/L 3,5- 5 mEq/L
Natrium 140mEq/L 135-145 mEq/L
Klorida 100 mEq/L 95-105 mEq/L
Kalium 4 mEq/L 3.5-5 mEq/L

Parameter Hasil Nilai Normal


Pemeriksaan Urin Rutin
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1.020 1.001-1.035
pH 6,5 5-7,5
Glukosa (-) (-)
Darah (-) (-)
Keton (-) (-)
Albumin (-) (-)
Urobilinogen (-) (-)
Nitrit (-) (-)
Leukosit Esterase (-) (-)
Sel epitel 0 0-2
Kristal (-) (-)

Parameter Hasil
Pemeriksaan Feses Rutin
Konsistensi Lunak
Warna Cokelat kekuningan
Lain-lain Darah (-), jamur (-),
bakteri (-), cacing (-)
FOTO THORAX

• COR
− CTR 45%
• Aorta
− Tidak melebar, tidak elongasi
• Sinus dan Diafragma
− Sinus costrophrenicus dextra dan sinistra lancip
− Diafragrma tidak dapat dinilai
• Pulmo
− Hilus pada paru kanan dan kiri tidak dapat dinilai
− Corakan vaskular paru <2/3 lapang paru
− Infiltrat (-), kavitas (-) , kalsifikasi (-)
• Trakea
− Ditengah
• Tulang dan soft tissue
− Tulang costae, clavicula, vertebra intak, dalam batas normal
− Tidak nampak adanya massa dan udara pada jaringan lunak
EKG

Irama jantung Sinus reguler


Heart Rate 75x/menit
Aksis jantung Normal
Interval PR 0,12 detik
Gelombang P 0,12 detik, 0,2 mv
Gelombang QRS 0,08 detik
Morfologi kompleks QRS Normal
Gelombang Q Tidak ada Q patologis
Segmen ST isoelektrik
Gelombang T Upward
Gelombang U Tidak ada
XII. RESUME
Ny. C G2P1A0 dengan usia kehamilan 34 minggu datang ke RS YARSI dengan keluhan
artralgia sejak 1 minggu SMRS, dan bengkak pada sendi disertai kemerahan dan panas sejak
3 hari SMRS. Terdapat ruam malar dan fotosensitivitas (+). Stomatitis (+) sejak 4 hari SMRS
dan keluhan malaise sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dispneu, febris, disfagia, nausea dan
vomitus disangkal. Keluhan alopecia (-), perubahan kognitif dan perubahan mood juga
disangkal pasien. Riwayat pasien pernah mengeluhkan artralgia 3 bulan SMRS dan belum
pernah diobati. Pasien sering terpapar sinar matahari, riwayat konsumsi alkohol dan merokok
disangkal. Riwayat alergi juga disangkal oleh pasien.
Status generalis pasien tampak sakit sedang, kesadaran composmentis. Tekanan darah,
nadi, suhu dan frekuensi napas dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik, pada kulit
terdapat malar rash, jantung, paru dalam batas normal, dan pemeriksaan abdomen sesuai
dengan usia kehamilan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil anemia,
pemeriksaan foto thorax dan EKG normal.

XII. PERMASALAHAN
1) Lupus Eritematosus Sistemik
• Assessment: nyeri sendi dan bengkak, malar rash, fotosensitivitas (+), ulkus pada mulut
• Plan diagnosis : Pemeriksaan Autoantibodi (Ana test, anti ds-DNA test)
• Plan terapi : kortikosteroid, hidroksiklorokuin
• Plan monitoring : Darah lengkap, urinalisis, foto thorax, pemeriksaan SGOT dan SGPT
• Plan edukasi : Menjelaskan tentang penyakit dan perjalanan penyakit, perencanaan
pengobatan, dan menghindari paparan sinar matahari

XIV. Diagnosis Banding


− Kehamilan dengan SLE
− Reumatoid arthritis
− Sindrom antibodi antifosfolipid
− Undifferentiated connective tissue disease
− Sindrom Sjorgen
XV. Diagnosis Kerja
Kehamilan dengan SLE

XVI. RENCANA PEMERIKSAAN


− Test autoantibodi (ANA test, ds-DNA test)
− Urinalisis
− Pemeriksaan fungsi ginjal
− Pemeriksaan SGOT/SGPT
− USG
− Konsul dokter spesialis obgyn

XVII. PENATALAKSANAAN
a. Non-medikamentosa
• Tirah baring
• Diet
Berat Badan Ideal (BBI):
− (Tinggi badan – 100) - 10% (Tinggi badan - Berat badan)
(160-100) - 10% (160- 65) = 50,5 kg
Kebutuhan Kalori Basal (KKB)
− 30 kkal x BBI
25 kkal x 50,5= 1262,5 kkal
Kebutuhan Kalori Total (KKT)
− KKB + (% aktivitas harian x KKB) - (% faktor koreksi x KKB)
1262,5 + (20% x 1262,5) - (0% x 1142,5) = 1515 kkal + 300 kalori =1815 kkal
• Makanan biasa
b. Terapi medikamentosa
- Prednison 1x5 mg P.O dan/atau (jika tidak responsif, dapat diberikan
Hidroksiklorokuin 1x200 mg P.O)

XVIII. PROGNOSIS
− Quo Ad vitam: Dubia Ad Bonam
− Quo Ad functionam: Dubia Ad Bonam
− Quo Ad sanactionam: Dubia Ad bonam
XIX. EDUKASI
− Nutrisi optimal, diet gizi seimbang
− Hindari pajanan rokok dan pajanan sinar matahari berlebih. Disarankan memakai
pelindung seperti topi atau payung dan tabir surya spf minimal 30.
− Kurangi konsumsi makanan yang mengandung gula dan natrium berlebih
− Patuh konsumsi obat
REFERAT

1. DEFINISI
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) atau Lupus Eritematosus
Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas
penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit
yang beragam. LES mempunyai keterlibatan berbagai sistem organ ditubuh, sehingga
manifestasi kliniknya sangat luas dan bervariasi.

2. KLASIFIKASI SLE
Klasifikasi berdasarkan derajat berat ringannya penyakit yaitu:

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:


1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan
saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:



1. Nefritis ringan sampai sedang (Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3) 

3. Serositis mayor 


Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan:


1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,
tamponade jantung, hipertensi maligna.

2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru , fibrosis interstisial, shrinking lung.

3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika. Ginjal: nefritis proliferatif dan
atau membranous.
4. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).

5. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindrom demielinasi.
6. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia
< 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.

KRITERIA KLASIFIKASI LES


Kriteria untuk klasifikasi penyakit telah dibuat oleh ACR (The American College of
Rheumatology), yaitu:
1. Ruam malar:
Eritema yang menetap tipis atau tebal di atas eminensia malar atau
dapat melebar sampai lipatan nasolibial 


2. Ruam discoid:
Warna kemerahan pada kulit dengan penebalan keratin kulit,

penyumbatan kelenjar folikel rambut dan atropi kulit. 



3. Foto sensitivitas:
Perubahan warna kulit ataupun bentuk rash dikulit bila terkena
cahaya matahari baik dirasakan oleh penderita atau dilihat oleh dokter. 

4. Ulkus di mulut (stomatitis):
Ulkus pada daerah mulut atau naso faring tanpa nyeri 

5. Artritis non erosif:
terlibatnya 2 atau lebih sendi perifer dengan ciri khusus nyeri
tekan, bengkak atau adanya efusi (tanda- tanda artritis) 

6. Pleuritis atau perikarditis: 

a. pleuritis secara klinik ditemukan adanya nyeri pleura dan dengan stetotoskop
terdengar "pleural Friction rub" atau ditemukan adanya efusi baik pada
pemeriksaan fisik atau pemeriksaan rongent
atau
b. perikarditis ditemukan secara klinik dengan mendengar suara pericardia/ friction
rub dengan stetoskop atau dengan pemeriksaan rongent ada efusi perikardial atau
dengan pemeriksaan EKG
7. Gangguan ginjal: proteinuria yang menetap > 0,5 gram/hari atau 
> (+++) pada
pemeriksan urin secara kualitatif atau 

ditemukan silinder eritrosit, granular, tubular atau campuran. 

8. Gangguan neurologik: adanya kejang tanpa ditemukan sebab lain seperti
a. karena obat atau gangguan metabolik (misal uremia.ketoasidosis, gangguan
keseimbangan elektrolit)
atau
b. psikosis tanpa ditemukan sebab lain seperti karena obat atau gangguan metabolik
(misal uremia, ketoa-sidosis, gangguan keseimbangan elektrolit).
9. Gangguan hematologik:
paling sedikit didapat 1 kelainan dibawah ini:;
a. anemia hemolitik dengan retikulositosis 

b. leukopenia (leukosit <4000/mm 3) pada minimal 2x pemeriksaan 

c. limfofenia (limfosit < 1500/mm3)pada minimal 2x pemeriksaan 

d. trombositopenia (trombosit <100.000/mm3) dengan tidak ada obat-obatan lain
yang menjadi penyebabnya 

10. Gangguan imunologik: paling sedikit didapat 1 kelainan di bawah ini:
a. titer anti ds DNA yang meningkat 

b. anti Sm(+) 

c. antibodi anti posfolipid (+) berupa: 
Kadar lgG atau lgM anti kardiolipin yang
meningkat:
lupus antikoagulan (+) atau hasil positif palsu paling sedikit 6 bu
Ian dengan menggunakan tes immobilisasi atau tes antibodi absorbsi dengan
fluorosensi terhadap Treponema pallidum 

11. Test Ana (+):
Dengan mengesampingkan obat-obatan yang dapat mempengaruhi tes.

Kriteria LES positif bila memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria tersebut diatas.

3. FAKTOR RISIKO LES


a. Hormonal/reproduksi: Pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES) wanita
lebih dominan bila dibanding pria hal ini mendapat perhatian yang serius para peneliti
yang mana dikatakan bahwa pada penderita LES wanita secara signifikan didapatkan
kadar hormon androgen yang rendah (testosteron dan dehidro epiandrosteron sulfat)
(DHEAS), sedangkan kadar hormon prolaktin dan estrodial sedikit lebih tinggi pada
wanita dengan LES dibandingkan kontrol pada studi meta analisis, perlu ditambahkan
peningkatan ringan sampai sedang hormon prolaktin didapatkan pada 20-30 kasus
wanita dengan LES yang aktif. Akan tetapi data menunjuk-kan hubungan antara LES
dan faktor hormon reproduktif tidak selalu konsisten, beberapa data penelitian di
Amerika serikat mengatakan wanita yang mendapat mentruasi lebih awal mempunyai
kecenderungan kejadian insidensi LES yang lebih tinggi dibandingkan orang normal
dikemudian hari, begitu pula wanita yang menyusui bayinya lebih jarang mendapat
LES dibandingkan wanita yang tak menyusui.
b. Merokok sigaret: Beberapa penelitian epidemiologik, walaupun tidak semuanya
melaporkan adanya kenaikan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan risiko
terjadi LES. Hal ini dihubungkan dengan pada penderita perokok aktif didapatkan
antibodi ds DNA karena merokok sigaret menyebabkan masuknya sel inflamasi ke
paru dan menyebabkan sel makrofag yang ada di paru melakukan pembersihan atau
clearance apoptosis yang kurang efektif.
c. Ultraviolet: Paparan sinar ultra violet akan mencetuskan flare up penyakitnya
termasuk didalamnya foto sensitivitas, demam dan gejala sistemik lainnya. Studi
kasus kon- trol di Swedia mengatakan riwayat paparan sinar ma- tahari terus menerus
di usia yang lebih dini di bawah 20 tahun akan meningkatkan risiko terkena LES akan
tetapi studi yang lain meragukan pendapat ini, studi lebih lanjut sedang dilakukan
observasi lebih jauh.

4. PATOGENESIS

Patogenesis SLE dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik.


Fase preklinik: pembentukan autoantibodi. Fase klinik: flares dan kerusakan organ.
Kerusakan tahap awal berhubungan dengan penyakit. Kerusakan tahap lanjut disebabkan
komplikasi penyakit yang telah berlangsung kronik, dan akibat terapi imunosupresif.
5. GAMBARAN KLINIS LES

Manifestasi umum
Manifestasi klinik LES sangat bervariasi tergantung sistem organ mana yang terlibat
misalnya dari kulit, membrana mukosa, sendi, ginjal, otak, paru, jantung, gastrointestinal,
hematologik dan lain-lainnya. Pada kelainan otoimun yang bersifat sistemik biasanya
dijumpai kelainan konstitusional seperti: cepat lelah, nafsu makan menurun, demam dan,
menurunnya berat badan hal ini merupakan gejala awal atau bahkan merupakan komplikasi
dari penyakitnya. Keluhan fatique dan malaise (tidak enak badan) sering timbul bila keadaan
penyakitnya yang masih aktif, penderita merasa cepat lelah dan tidak enak badan dan
dihubungkan karena proses inflamasinya, stres psiko sosial dan efek dari penyakitnya.

Manifestasi pada kulit


Manifestasi pada kulit merupakan yang paling umum pada kelainan LES, bila kita
perhatikan 4 dari 11 kriteria diagnosis LES 4 diantaranya merupakan kelainan pada kulit
seperti: foto sensitivitas, ruam malar, lesi diskoid serta lesi mukokutan (lesi pada mulut).
Kelainan pada kulit dapat di bagi menjadi kelainan yang bersifat spesifik dan non spesifik,
sedangkan spesifik Lesi dibagi menjadi tiga bagian: yang pertama kelainan yang besifat akut,
kedua kelainan yang ber-sifat subakut dan terakhir kelainan yang bersifat kronik (lebih
dikenal sebagai lesi diskoid).
Pada kelainan yang bersifat akut timbul rash atau ruam setelah terpapar sinar
matahari dan rash akan berkurang sampai menghilang setelah paparan sinar matahari
dihindari. Kelainan kulit yang yang paling ringan berupa foto sensitivitas dimana dapat
dirasakan pada kulit yang terpapar sinar matahari secara langsung dirasakan oleh penderita
sendiri seperti rasa "terbakar".
Pada lesi yang yang bersifat sub akut atau sering dikenal juga dengan istilah SCLE
(Sub acute cutaneous lupus erythematosus) biasanya lesi bersifat simetrik, superfisial dan
tidak mengalami jaringan parut dan umumnya yang terkena pada daerah bahu, bagian
ekstensor ektremitas atas (lengan bawah), leher, dada sebelah atas dan punggung belakang.
Lesi ini umumnya bentuknya kecil, kemerahan dan berbentuk papula atau plak yang sedikit
menebal kadang-kadang berbentuk papula squamosa atau bentuk cincin polisiklik dan
menjadi besar berkelompok dengan hipo pigmentasi. Yang membedakan antara lesi sub akut
dan kronik pada lesi sub akut tidak terjadi jaringan parut (scarring).
Pada lesi yang bersifat kronik seperti lupus diskoid lesinya mempunyai ciri-ciri
khusus yaitu, plak yang sering kali berwarna kemerahan, seolah-olah kulit menebal dan
disertai dilatasi folikel rambut. Kelainan pada kulit yang kronik ini umumnya terjadi di
daerah yang mudah terpapar dengan sinar matahari secara langsung seperti pada muka, leher,
kulit kepala dan belakang telinga, sedangkan punggung atas agak jarang.
Kelainan lesi LES yang bersifat spesifik yang lain antara lain: alopesia (kebotakan)
dan profundus lupus yakni lesinya berbentuk noduler dengan atau tanpa disertai dengan lesi
kulit diatasnya. Nodul ini sering dijumpai didaerah kulit kepala, muka, tangan, dada,
punggung, paha serta daerah pantat.

Lesi spesifik pada LES


a. Lesi kulit akut (acute cutaneous LE)
- Lokal
- General
b. Lesi kulit sub akut (subacute cutaneous LE)
- Anuler
- Papulo-skuamosa (psoriasiform)
c. Lesi kulit kronis (chronic cutaneous LE)
Lesi discoid klasik (classic discoid LE)
• Lesi discoid hipertropik
• Lupus panikulitis
• Lupus mukosa
• Lupus tumid
• Lupus Chiblain

Lesi non-spesifik pada LES


1. Penyakit kulit vaskular
Vaskulitis
Leukositoklastik


- Purpura yang dapat diraba


- Vaskulitis urtikarial
Mirip poliarteritis nodosa
Papulo-nodular musinosis
Mirip penyakit Degos

Mirip penyakit Atropi Blanche
Livedo retikularis
2. Tromboplebitis
Fenomena Raynaud's
Eritromelalgia
3. Lesi lupus non spesifik bentuk bulosa
Epidermolisis bullosa didapat

Dermatitis herpetiformis-mirip lupus bulosa
Eritematosus Pemfigus
Porfiria kutanea tarda
4. Urtikaria
5. Vaskulopati

6. Anetoderma/kutis laxa

7. Akantosis nigrikan (resistensi insulin tipe B)
8. Periungal telangiektasia

9. Eritema multiformis
10. Ulkus kaki

11. Liken planus

12. Alopesia (non scarring)
"Rambut Lupus"
Telogen efluvium
Alopesia areata
13. Sklerodaktili

14. Nodul reumatoid
15. Kalsinosis kutis
Manifestasi Muskuloskeletal
Artritis: Terlibatnya sendi baik atralgia atau artritis, kedua-duanya sering timbul pada
awal penyakit dan merupakan gejala klinik yang tersering pada penderita dengan LES aktif.
Artritis sendi pada penderita LES umumnya poli artritis mirip dengan artritis reumatoid yang
mana daerah yang sering terkena pada sendi-sendi kecil pada tangan, pergelangan tangan dan
lutut. Sendi yang terkena dapat mengalami pembengkakan atau sinovitis. Artritis pada LES
walaupun sudah berlangsung cukup lama tidak meng-alami erosi dan destruksi sendi,
meskipun dokter terlambat memberikan terapi. Seringkali pada penderita lupus yang berat
yang mengenai sendi tangan dikenal sebagai (Jaccoud artropati) dengan gambaran kliniknya
mirip dengan artritis reumatoid seperti adanya swan neck-deformity hal ini terjadi bukan
karena kerusakan sendi tetapi karena peradangan pada kapsul sendi dan tendon serta ligamen
sendi yang mengalami kekenduran jaringan ikat sendi (laxity) akibatnya kedudukan sendi
menjadi tidak stabil, bila prosesnya masih awal dapat pulih kembali bila penyakit LESnya
mendapat pengobatan yang adekuat, sedangkan bila terlambat pengobatannya seringkali
sudah terjadi fibrosis maka akan menimbulkan kecacatan yang menetap. Pada pemeriksaan
radiologik didapatkan subluksasi minimal dan deformitas akan tetapi tidak dijumpai kelainan
erosi dan destruksi pada sendi tangan walaupun kelainan artritis sudah berlangsung lama
(bertahun-tahun).
Miositis dan myalgia: Rasa sakit pada otot pada penderita LES dikenal sebagai
mialgia bila pada pemeriksaan enzim creatine phosphokinase (CPK) dalam batas normal,
sedangkan miositis bila terjadi kenaikkan enzim creatine phosphokinase (CPK), hal ini
seringkali kita sulit membedakan dengan kelainan otot karena fibromialgia yang disebabkan
karena depresi, yang mana perlu kita ketahui seringkali pasien LES juga menderita kelainan
itu pada 22 % kasus. Pada fibromialgia kelainan nyeri pada daerah-daerah tertentu yang
bersifat simetrik.

Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus: Komplikasi pada ginjal merupakan salah satu komplikasi yang serius
pada penderita LES sebab akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas penderita LES.
Insidensi terjadinya progresifitas gagal ginjal masih cukup tinggi, hal ini karena seringkali
kita mengalami kesulitan mengidentifikasi penderita LES yang mengenai ginjal secara klinik,
karena seringkali komplikasi nefritis lupus terjadi secara diam- diam dan gejala dini sering
tidak terdeteksi. Yang paling mencolok keterlibatan ginjal pada penderita LES yakni berupa
adanya protein uria atau silinder eritrosit atau granular pada pemeriksaan sedimen urin,
bahkan pada keadaan yang lebih ringan dijumpai hematuri-piuria tanpa gejala, sedangkan
pada keadaan yang lanjut dapat terjadi kenaikan serum ureum-kreatinin dan hipertensi.

Manisfestasi Neuro Psikiatrik



Diagnosis neuro-psikiatrik pada lupus tidaklah mudah. Manifestasi yang tersering
ialah: sakit kepala, gangguan psikiatrik dan gangguan kognitif. Sindrom ini bisa berdiri
sendiri atau bersamaan dengan manifestasi neuro psikiatrik yang lain.

Gangguan Sistem Saraf Pusat


- Bingung (acute confusional state)


- Psikosis
Gangguan mood (mood disorder)

- Cemas


- Sakit kepala


- Cerebra-vascular accident
- Mielopati


- Gangguan gerak


- Sindrom demielinisasi


- Kejang meningitis aseptik

Gangguan Sistem Saraf Perifer


- Neuropati kranial
- Poli-neuropati
- Plexopati
- Mono-neuropati
- Sindrom Guillen Barre
- Miastenia gravis
- Gangguan saraf otonom
Manifestasi Gastrointestinal
Komplikasi gastrointestinal bisa berupa kelainan pada esofagus, vaskulitis
mesenterika, radang pada usus, pankreatitis, hepatitis dan peritonitis. Kelainan disfagia
termasuk komplikasi lupus yang jarang biasanya dihubungkan dengan gangguan irama
esofagus pada pasien yang manifes dengan kelainan fenomena Raynoud dihubungkan dengan
antibodi hn RNP- 1protein A 1. Kelainan yang sering didapat berupa nyeri abdomen, karena
vaskulitis dari pembuluh daerah usus, begitu pula lupus enteritis, yang melibatkan pembuluh
darah mesenterika yang berupa vaskulitis atau trombosis. Diagnosis ditegakkan pada
pemeriksaan arteriografi akan didapatkan kelainan berupa vaskulitis, sehinggga selain
keluhan nyeri abdomen juga dapat berupa perdarahan per-rektum baik pada usus besar
maupun usus halus dan bila ini terjadi diperlukan investigasi yang lebih seksama untuk
mencegah terjadinya perforasi.

Manifestasi Hepar
Manifestasi pada hati relatif lebih sering terjadi dibandingkan pada gastro-intestinal,
manifestasi pada hati berupa: hepatitis kronik aktif, hepatitis granulomatosa, hepatitis kronik
persisten dan steatosis. Biasanya diperlihatkan dengan meningkatnya enzim hati seperti
SGOT, SGPT dan alkali-fosfatase. Keterlibatan hati ini dihubungkan dengan anti fosfolipid
antibodi yang menyebabkan trombosis arteri atau vena hepatika yang akhirnya menyebabkan
infark, untuk membedakan kelainan hati karena lupus atau kelainan autoimun yang lain
tidaklah mudah ataupun kedua-keduanya sangatlah sulit, biopsi hati dan adanya antbodi anti
P ribosom mungkin akan terlihat pada hepatitis karena otoimun dibandingkan dengan
hepatitis karena lupus.

Manifestasi pada Sistem Hematologik


Sitopenia termasuk didalamnya anemia, trombositopenia, limfofenia, leukopenia
sering terjadi pada penderita LES. Anemia pada pasien dengan LES bervariasi antara anemia
penyakit kronik, anemia hemolitik, kehilangan darah, insufiensi ginjal, infeksi dan mielo
displasia dan anemia aplastik. Yang sering terjadinya anemia pada LES disebabkan supresi
eritropoesis karena inflamasi yang kronik. Sangat mungkin terdapat anemia karena proses
autoimun atau bukan, anemia yang didapat berupa anemia penyakit kronik, defisiensi besi
dan diikuti anemia hemolitik autoimun. Tes Comb positif pada 10 % pasien LES yang
signifikan adanya hemolisis. Anti bodi eritrosit pada penderita biasanya tipe "hangat'' lgG
Antibody.
Leukopenia yang mana leukosit <4500 /μL dilaporkan terjadi kurang lebih 50% kasus
penderita lupus dengan aktivitas penyakitnya yang meningkat, sedang limfositofenia (limfosit
<1500/uL) terjadi kurang lebih 20% dari kasus. Pada pasien LES dengan leukopeni umumnya
produksi sumsum tulang umumnya normal, jadi terjadi neutropeni pada penderita dengan
LES yang aktif karena pemakaian imunosupresif atau adanya auto antibodi yang
menghambat Granulosit Growth Coloning Forming Unit di sumsum tulang.
Trombositopenia (trombosit < 100.000/uL) karena sistem imun merusak trombosit
yang beredar di darah di samping itu dapatjuga karena supresi produksi trombosit di sumsum
tulang.

Manifestasi pada Paru


Manifestasi pleuritis: Pleuritis merupakan manifestasi LES yang tersering pada paru
dari beberapa studi dikatakan berkisar antara 41-56%. Keluhannya berupa nyeri dada baik
unilateral atau bilateral biasanya pada pinggir kostoprenikus baik anterior atau posterior,
seringkali diikuti dengan batuk, sesak napas dan demam serta umumnya akan berkembang
menjadi suatu efusi pleura.
Manifestasi LES pada paru sangat bervariasi dari pleuritis lupus, pneumonitis,
perdarahan paru, emboli paru dan hipertensi pulmonal. Kasus manifetasi lupus pada pleura
berkisar antara 30-60 % dari kasus, keluhan awal berupa nyeri pleuritik atau nyeri dada tanpa
kelainan radiologik yang nyata, pada keadaan berat dapat ditemukan suatu efusi pleura yang
jelas baik dari pemeriksaan fisik atau rongen foto dada. Bila adanya efusi pleura sebaiknya
dilakukan torako-sentesis untuk menyingkirkan sebab lain seperti infeksi. Pada pemeriksaan
efusi pleura akan ditemukan eksudat dengan kadar glukosa yang tinggi, laktat dehidrogenasi
yang rendah dan antibodi terhadap ANA dan anti bodi ds DNA sering positif. Pada
pneumonitis lupus keadaannya umumnya lebih berat yang mana keluhan sistemik pada organ
lain juga nyata misalnya pasien mengeluh demam tingggi, sesak, batuk, nyeri dada dan
hemoptisis. Pada pemeriksaan fisik didapatkankan krepitasi pada basal paru an keadan yang
berat bisa terjadi sianosis sentral. Untuk diagnosis tidak mudah apabila dilakukan
pemeriksaan CT scan paru dapat ditemukan infilltrat unilateral atau bilateral pada jaringan
paru dengan kekeruhannya mirip ground glass opacification atau ditemukan nodul miliar
pada paru mirip dengan tuberkulosis paru. Hal penting juga yang harus diketahui oleh dokter
yakni untuk membedakan apakah penyebabnya karena jamur atau infeksi banal yang lain,
maka diperkenankan untuk memberikan antibiotika spektrum luas secara empiris pada kasus
yang sulit. Perdarahan paru merupakan keadaan yang serius dengan mortalitas yang tinggi
antara 50-90% kasus. Keluhan yang ada pada perdarahan paru ialah: sesak secara mendadak,
batuk, demam, ronki paru menyeluruh dan hemoglobin yang tu run dengan cepat, sedangkan
batu darah dijumpai sekitar 50% dari kasus. Perdarahan pada paru sebenarnya karena terjadi
vaskulitis yang masif pada kapiler paru dan mikro angitis arteriole atau arteri kecil pada paru.

Manifestasi Kardiovaskular atau Jantung


Gangguan perikardium: Manifestasi LES pada jantung atau kardio vaskular dapat
mengenai perikardium, miokardium, sistem kelistrikan jantung, katup jantung dan pembuluh
darahnya. Yang paling sering tentu saja berupa perikarditis baik penebalan atau efusi dengan
prevalensinya 16-61 % kasus LES2 dengan pemeriksaan ekokardiografi dapat telihat dengan
mudah biasanya jumlah cairan yng minimal ataupun dalam jumlah yang cukup banyak, bila
cairan banyak ditakutkan akan terjadi kardiak tamponade sehingga diperlukan pemberian
steroid dosis tinggi diikuti dengan perikardial sentesis, walaupun begitu bila kita
mendapatkan cairan hasil perikadial sentesis dan harus dipikirkan juga apakah karena sebab
lain seperti tuberkulosa, kuman banal atau infeksi jamur.
Gambaran klinik pericarditis: Gejala klinik akut atau simptom perikarditis dapat
berupa nyeri dada pada perubahan posisi, nyeri bertambah bi la tidur terlentang atau dengan
inspirasi dalam dengan lokasi pada pre kordium atau substernal, seringkali disertai dengan
demam, sesak nafas dan takikardi. Tanda klinik yang lain:suara jantung melemah, gesekan
perikardium (pericardia/ rub), hipotensi dan pulsus paradoksus Pada pemeriksaan tambahan
yang diperlukan ialah: EKG, rongent thorak dan ekokardiografi. Pada EKG akan ditemukan
depresi dan melebarnya PR segmen, ST segment konkaf keatas dan kadang-kadang
gelombang T inversi, elektrik alternan serta berkurangnya voltase gelombang QRS bila
ditemukan efusi cairan yang cukup banyak. Pada foto rongent akan terlihat bayangan jantung
yang membesar (enlarged cardiac silhoutte) bila terdapat efusi. Pada ekokardiografi akan
terlihat dengan jelas jumlah cairan dan tanda-tanda bahaya adanya cardiac tamponade.
Gangguan miokardium: Gambaran miokarditis didapatkan pada 10 % kasus
biasanya manifestasi yang ada berupa disfungsi ventrikel, penyakit jantung iskemik, aritmia,
gangguan konduksi atau blokjantung serta adanya kardiomegali yang tak dapat diterangkan
karena sebab lain dengan atau tanpa gagal jantung kongestif. Endokarditis pada LES
walaupun jarang dapat mengenai katup jantung berupa stenosis atau insufisiensi katup
jantung serta vegetasi pada katup jantung (verrucous non infectious growth) baik pada katup
jantung mitral, aorta ataupun katup yang lain, hal ini dapat dilihat dengan ekokardiografi
dikenal sebagai Libman-Sack-endocarditis, pada pembuluh darah koroner dapat berupa
aterosklerosis karena vaskulitis yang terjadi pada pe~buluh koroner tersebut.
Gambaran klinik disfungsi miokardium: Diagnosis miokardial disfungsi pada
pasien LES tidaklah mudah, diagnosis didasari atas gejala dan tanda klinik yang ada
kemungkinan gejala yang harus dicari: ada tidaknya keluhan cepat lelah, sesak, takikardi,
dyspneu d'effort, paroxismal noctunal dyspneu. Pada pemeriksaan jantung dicari ada tidaknya
gagaIjantung kongestif seperti: jugular venous pressure (JVP) yang meningkat, edema,
bising jantung. Pada pemeriksaan EKG tidak dijumpai tanda yang khas mungkin didapat:
perubahan gelombang ST-T, atrial atau ventrikular prematur, aritmia dan gangguan konduksi
jantung, sedangkan dengan ekokardiografi didapatkan dilatasi bilik jantung, disfungsi
sistolik, diastolik dan sumbatan pembuluh darah jantung.

Manifestasi yang Lain


Manifestasi vasculitis: Vaskulitis adalah peradangan pada pembuluh darah,
vaskulitis pada LES dihubungkan dengan gambaran klinik, histopatologik dan kriteria
arteriografi. Kejadian vaskulitis pada penderita LES bisa secara kutaneus ataupun viseral.
Wujud kelainan kulit pada vaskulitis kutaneus di kulit dapat berupa lesi pungtuata (bintik-
bintik), purpura, papula, urtikaria, ulkus, plakat, dan panikulitis, sedang vaskulitis viseral
dapat berupa mono-neuritis multiplek, nekrosis jari-jari dan pembuluh darah besar seperi
arteritis mesenterika dan arteritis arteri koronaria. Menurut Calamia dan Barbaria kasus
vaskulitis pada lupus berkisar 4% saja. Pembuluh darah yang terlibat bisa pembuluh darah
kecil, sedang ataupun besar ataupun kombinasinya. Pada kutaneus vaskulitis termasuk
didalamnya kapilaritis.
Fenomena Raynaud:
Gambaran ini sering terkadi pada penderita LES karena
pengaturan kontrol neuro endotelial yang abnormal paada tonus vaskular, fenomena Raynaud
ada antara 10-57% kasus. Selain penderita LES fenomena Raynaud sering dijumpai pada
kasus sklerosis sistemik ataupun pada artritis reumatoid. Fenomena Raynaud atau
vasospasme paroksimal pada jari-jari tangan seringkali dijumpai pada penderita dengan LES
menunjukkan regulasi neuroendotel yang abnormal dalam mengontrol tonus vaskular dikenal
sebagai disotonomia. Kelainan ini seringkali dijumpai pada kelainan otoimun yang lain
seperti skleroderma dan artritis reumatoid, dan dermatomiositis. Vasospasme pada Fenomena
Raynaud jarang bersifat permanen dan biasanya keluhan akan berkurang bila penyakitnya
membaik. Komplikasi vaskulitis kutaneus: ulserasi dan gangren. Persentasi kecil penderita
dengan aktif vaskulitis bermanifestasi ulserasi nekrotik, gangren jari-jari, dan atau infark
pada kulit.

6. DIAGNOSIS SLE

Kewaspadaan terhadap LES


Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
• Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

• Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan.
• Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
• Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau molar rash), fotosensitivitas, lesi membrana
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
• Ginjal: hematuria, proteinuria, silinder, sindrom nefrotik
• Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
• Paru-paru : pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkim paru .
Jantung: perikarditis,
endokarditis, miokarditis
• Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)

• Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
• Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindrom otak organik, mielitis transversa, gangguan
kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap penyakit lainnya.

Diagnosis
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah
mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain
misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan
diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria dibawah ini, diagnosis SLE memiliki sensitivitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang
diperlukan.

Kriteria diagnosis: Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4
dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. 


Kriteria Batasan

Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.


Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada
SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik

Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari,
baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.


Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter

Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai
oleh nyeri tekan, bengkak atau efusi

Serositis

-Pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar oleh
dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura, atau

b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau


-Perikarditis
terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif atau

b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,


tubular atau campuran.

Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan


neurologi metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit), atau


b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan


metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).

Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis, atau



hematologik
b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih, atau


c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih, atau


d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan

Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang


imunologik abnormal, atau

b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm, atau

c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas:

1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik lgG atau lgM


2) Tes lupus antikoagulan positif meng- gunakan metoda standard, atau
3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis paling tidak selama 6
bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau
tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.

Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan


antinuclear imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu
positif perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindrom lupus yang diinduksi obat.
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring:

1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, Laju Endap Darah (LED)*

2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin
urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid) * 

4. PT, aPTT pada sindrom antifosfolipid 

5. Serologi ANAi$, anti-dsDNA!, komplemen! (C3,C4)) 

6. Foto polos toraks 


$: pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring.


* : Setiap 3-6 bulan bila stabil

! : Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk
monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.

Pemeriksaan Serologi

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes
ANA generik. (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada
pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA
yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasii tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit
lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD),
artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi
perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah,
mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika
didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel
Hep-2 sebagai substrat, negatif dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis
SLE dapat disingkirkan.

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibodi
terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB),
Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA
merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya
hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE
dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi
pada pasien yang bukan SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti- dsDNA positif menunjang diagnosis
SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-
Sm didapatkan pada 15%-30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau
orang normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis
SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang
negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
KRITERIA ENTRI (ENTRY CRITERIA)
Titer ANA ≥ 1:80 pada sel HEp-2 atau tes ekuivalen lain minimal diperiksa positif 1 kali.
Sangat direkomendasikan pemeriksaan menggunakan metode immunoflouresens pada sel
Hep-2 atau fase padat ANA screening immunoassay dengan performa tes yang ekuivalen.
POLA ANA

HUBUNGAN POLA ANA DENGAN ANTIBODI YANG UMUMNYA TERDEKTEKSI


8. DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat
gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu:
• Undifferentiated connective tissue disease
• Sindrom Sjogren
Sindrom antibodi antifosfolipid (APS)
• Fibromialgia (ANA positif)
• Purpura trombositopenik idiopatik
• Lupus imbas obat

• Artritis reumatoid dini

• Vaskulitis

9. SLE PADA KEHAMILAN


Rekomendasi:
• Kehamilan pada pasien LES disarankan minimal 6 bulan serelah remisi atau stabil
dengan aktivitas penyakit rendah.
• Pasien hamil dengan LES memerlukan pemantauan kondisi ibu dan janin selama
masa kehamilan oleh dokter spesialis terkait.
• Penggunaan obat pada pasien LES perlu diperhatikan selama masa konsepsi,
kehamilan, laktasi, dan perioperative.
• Pasien LES perlu mendapat vaksinasi sesuai indikasi dengan memperhatikan manfaat
risiko.
• Sindrom antifosfolipid perlu diperhatikan pada pasien LES dengan riwayat keguguran
atau thrombosis.
• Penatalaksanaan APS menggunaan aspirin dan/atau heparin (LMWH/unfractionated).
10. TATALAKSANA SLE PADA KEHAMILAN
Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun
umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60%
eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 buIan sebelum konsepsi
hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan.
Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eclampsia juga meningkat pada
penderita dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindrom anti
fosfolipid (APS). Penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca persalinan
sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
• Jika penderita SLE ingin hamil dianjurkan sekurang- kurangnya setelah 6 bulan
aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Pada lupus nefritis
jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total. Hal ini dapat mengurangi
kekambuhan lupus selama hamil.
• Medikamentosa:
1. Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin 
yaitu tidak melebihi 20
mg/hari prednison atau 
setara. 

2. DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya 
diberikan dengan penuh kehati-
hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan obat-obat tersebut
seperti tertera pada tabel :
Kriteria untuk terapi LES pada pasien hamil tidak berbeda dengan pasien tidak hamil.
Pilihan penggunaan OAINS, antimalaria dan obat imunosupresif dibatasi oleh beratnya
cedera untuk fetus namun masih dapat mengendalikan penyakit ibu. Anemia (hemoglobin<
8g/dl), demam (> 38,50C) dan hipoalbuminemia (albumin< 3g/dl) membutuhkan terapi yang
lebih agresif pada pasien hamil karena mengancam pertumbuhan fetus.
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki peran yang sangat penting dalam pengobatan LES pada
kehamilan. Tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita LES yang hamil akan mengalami
eksarbasi selama kehamilannya sampai pada masa postpartum. Jika penderita LES
mengalami eksarsebasi akut selama masa kehamilan, penggunaan kortikosteroid dalam dosis
adekuat harus segera diberikan sampai 6 bulan postpartum untuk menekan aktivitas penyakit.
Penggunaan kortikosteroid tertentu seperti prednison, prednisolon, hidrokortison dan kortisol
dalam jangka panjang pada ibu selama hamil umumnya relatif aman. Diperkirakan hanya
10% dari dosis yang diterima oleh ibu akan melintasi plasenta dan sampai kepada janin.
Sedangkan penggunaan deksametason dan betametason hendaknya dihindari selama
kehamilan karena kemampuannya lebih besar dalam melintasi plasenta. Pemberian steroid
juga akan menstimulasi pematangan paru janin pada janin yang preterm.
Pada wanita hamil yang hanya menunjukkan gejala konstitusional yang ringan atau
tidak ada keterlibatan organ vital misalnya arthritis, ruam kulit ataupun alopesia umumnya
hanya memerlukan terapi prednison oral 5-15 mg/hari. Untuk penderita yang mengalami
demam, serositis, flebitis dan miositis dapat diberikan prednison 15- 45 mg/hari. Untuk
pengobatan kelainan organ vital yang aktif seperti nefritis diperlukan prednison oral dosis
tinggi sebesar 1mg/kg/bb/hari atau 60-80 mg/hari. Untuk penderita yang tidak respon dapat
diberikan metilprednisolon 100 mg intravena setiap 4-8 jam. Jika 24-48 jam keadaan tidak
membaik, maka dosis metilprednisolon dapat ditingkatkan sampai 25-100% dari dosis awal.
Bila terjadi efek sistemik yang berat dapat diberikan steroid dengan dosis yang sangat tinggi
dalam waktu singkat (pulse steroid therapy), walaupun umumnya efektif tetapi cara ini akan
memberikan efek samping yang berbahaya. Steroid dosis tinggi juga diberikan pada penderita
LES yang akan menjalani seksio sesaria yaitu metilprednisolon intravena sampai 48 jam
pasca operasi, kemudian dilakukan tapering off.

2. Obat anti inflamasi non steroid
Obat anti inflamasi non steroid merupakan asam lemah yang terikat pada protein yang
tidak mudah masuk ke dalam ASI. Ahli kandungan menggunakan dosis rendah aspirin (60-
100 mg/hari) untuk mencegah preeklamsi pada wanita berisiko tinggi terjadi hipertensi.
Trombositopenia, antibodi antifosfolipid atau preeklamsi bukan prediktor independen
dari kematian fetus. Wanita yang memulai kehamilan dengan trombositopenia ringan, pada
saat hamil akan memburuk. Penurunan pada jumlah platelet dari 120 menjadi 80 X109/ml
tidak membutuhkan terapi tambahan. Trombositopenia ringan (70 X 109/l) yang
berhubungan dengan antibodi antifosfolipid dapat berespon baik setelah pemberian aspirin 80
mg/hari beberapa hari tetapi tidak ada bukti bahwa terapi trombositopenia ringan akan
memperbaiki prognosis ibu maupun fetus. Penggunaan OAINS sedapat mungkin dihindari
selama kehamilan karena menyebabkan penutupan duktus arteriosus in utero.
3. Antimalaria
Penggunaan antimalaria tidak dianjurkan pada LES dengan kehamilan walaupun efek
samping yang terjadi sangat jarang. Klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400
mg/hari dapat digunakan dengan aman selama kehamilan. Jika antimalaria tidak
menunjukkan hasil yang baik setelah digunakan selama 6 bulan maka dihentikan
penggunaannya. Jika penggunaannya memberikan respon yang baik, penghentian secara
mendadak menyebabkan peningkatan aktivitas LES sehingga harus dihindari pada penderita
LES dengan kehamilan.
Keamanan klorokuin dan hidroklorokuin belum ditetapkan (kategori C). Berdasarkan
data percobaan pada binatang dilaporkan dapat menyebabkan ototoksik dan oftalmotoksik
namun hal ini belum pernah dilaporkan terjadi pada manusia.

4. Imunosupresan
Penderita LES yang tidak memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid dan
antimalaria dapat dicoba dengan penggunaan golongan imunosupresan seperti azathioprine
dan siklofosfamid. Penggunaan Azathioprine selama kehamilan masih kontroversi. Obat ini
melewati plasenta dan memberikan efek terhadap janin. Walaupun dilaporkan tidak bersifat
teratogenik tetapi sangat mempengaruhi sistem imunitas janin. Dosis inisial harian berkisar
100-200 mg/hari yang diberikan bersama dengan kortikosteroid dan dosis dikurangi jika
dijumpai perbaikan klinis. Penggunaan siklofosfamid selama kehamilan tidak dianjurkan
karena menyebabkan efek teratogenik pada janin, diberikan jika penyakit mengancam
keselamatan ibu. Pemberian biasanya bersamaan dengan kortikosteroid dan secara pulse
therapy. Dosis yang diberikan adalah 750-1000 mg/m2 permukaan tubuh bersama dengan
kortikosteroid dosis tinggi setiap 3 minggu sampai 3 bulan.
Azatioprine (kategori D) sering digunakan pada pasien transplantasi ginjal yang
sedang hamil dan secara umum aman digunakan selama persalinan. Siklofosfamid (kategori
D) merupakan kontraindikasi pada awal kehamilan karena efek teratogenik dan abortif.
Beberapa wanita yang diberikan siklofosfamid selama kehamilan lanjut mempunyai janin
normal, tetapi dengan berat badan kecil. Metotrekstat (kategori X) merupakan kontraindikasi
pada trimester pertama kehamilan. Obat ini berefek abrotif dan menyebabkan
kraniosinostosis. Siklosforin (kategori C) dapat menyebabkan toksisitas maternal yang
bermakna terutama nefrotoksik namun aman bagi fetus.
5. Imunoglobulin G intravena (IVIG)
Imunoglobulin G intravena digunakan untuk trombositopenia dan antibodi
antifosfolipid yang hilang pada kehamilan. Titer Antibodi antikardiolipin dapat menurun
akibat terapi IVIG. Remisi sementara terhadap trombositopenia parah dapat di atasi dengan
pemberian platelet lewat infus (respon dalam beberapa menit dengan durasi beberapa jam
sampai 2 hari) atau imunoglobulin G bebas agregat intravena (berespon dalam beberapa hari,
durasi 2-3 minggu). Imunoglobulin G bebas agregat intravena dapat menambah kelebihan
volume cairan pada pasien yang berisiko hipertensi atau kardiomiopati kongestif dan pada
kehamilan lanjut secara teori juga akan menambah volume cairan ke fetus, meningkatkan
kekentalan darah fetus dan menghambat sintesis imunoglobulin fetus. Aturan penggunaan
rituximab (monoklonal anti CD20), argatroban atau lepirudin (penghambat trombin,
digunakan pada trombositopenia yang diinduksi heparin) pada pasien lupus dengan
kehamilan tidak diketahui. Argatroban atau lepirudin direkomendasikan oleh FDA dan
merupakan kategori B sedangkan yang lainnya termasuk kategori C.

Kontraindikasi untuk hamil pada wanita dengan SLE


(Sebaiknya penderita lupus tidak hamil dalam kondisi berikut ini):
• Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >SO mm Hg atau
simptomatik)

• Penyakit paru restriktif (FVC < 1 I)

• Gagal jantung
• Gagal ginjal kronis (Kr >2.8 mg/di)

• Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindrom HELLP walaupun
sudah
diterapi dengan aspirin dan heparin

• Stroke dalam 6 bulan terakhir

• Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir
Pengaruh kehamilan pada SLE terhadap fetus adalah adanya kemungkinan peningkatan risiko
terjadi fetal heart block (kongenital) sebesar 2%.46 Kejadian ini berhubungan dengan adanya
antibodi anti Ro/SSA atau anti La/SSB.
11. TATALAKSANA SLE
Batasan operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai digunakannya/diterapkannya
prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan hanya terbatas pada pemakaian obat saja,
namun perlu pendekatan yang lebih holistik yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-sosial.
Tujuan khusus pengobatan SLE adalah a). mendapatkan masa remisi yang panjang, b)
menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, c). mengurangi rasa nyeri dan memelihara
fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang
optimal.

I. EDUKASI / KONSELING
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.

3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan
pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet,
mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.

4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga
atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.

5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang
contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.

II. PROGRAM REHABILITASI


Salah satu hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila
pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu.
Disamping itu penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5%
per hari dalam kondisi
imobilitas. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas
fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, meng-
hilangkan kekakuan atau spasme otot.
Program rehabilitasi secara garis besar meliputi:
• lstirahat

• Terapi fisik

• Terapi dengan modalitas
• Ortotik

• Lain-lain.

III. TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA


a. Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan
obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi.
lndikasi Pemberian Kortikosteroid: Dosis rendah sampai sedang digunakan pada
SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis
sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis
luas, nefritis lupus, lupus serebral.
Efek Samping: Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu,
dengan meminimalkan jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek samping.


Cara Pemberian Kortikosteroid: Pulse Terapi Kortikosteroid
Pulse terapi KS


digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa, induksi atau pada kekambuhan .
Dosis tinggi ini biasanya diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon.
Diberikan selama 3 hari berturut- turut.
Cara Pengurangan Dosis Kortikosteroid:
Karena berpotensial mempunyai efek
samping, maka dosis KS mulai dikurangi segera setelah penyakitnya terkontrol. Tapering
harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kembalinya aktivitas penyakit, dan
defisiensi kortisol yang muncul akibat penekanan aksis hipotalamus- pituitari-adrenal (HPA)
kronis. Tapering secara bertahap memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal. Tapering
tergantung dari penyakit dan aktivitas penyakit, dosis dan lama terapi, serta respon klinis.
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg sehari maka dapat
dilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti dengan penurunan 5 mg setiap 1-2
minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari. Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3
minggu bila dosis prednison < 20 mg/hari.
Sparing Agen Kortikosteroid
lstilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk
memudahkan menurunkan dosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat
yang sering digunakan sebagai sparing agent ini adalah azatioprin, mikofenolat mofetil,
siklofosfamid dan metotrexate. Pemberian terapi kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek
samping KS.
12. TATALAKSANA SLE BERDASARKAN DERAJAT PENYAKIT
1. SLE ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta
ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu :
• Obat-obatan penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

• Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan
nyeri dan inflamasi.

• Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi
ringan)
• Klorokuin basa 4 mg/kg BB/hari (250-500 mg/hari) dengan catatan periksa mata pada
saat awal akan pemberian dan dilanjutkan 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis
5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
• Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg/hari atau yang setara.

• Tabir surya: Gunakan tabir surya topical minimum sun protection factor 15 (SPF 15)

2. SLE sedang
Pilar pengobatan pada SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20
mg/hari prednison atau setara. (Lihat algoritme terapi SLE).

3. SLE berat atau mengancam nyawa


Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatannya. Pada
SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan berupa:

• Glukokortikoid dosis tinggi: Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40-60


mg/hari (1 mg/kgBB) prednison selama 4-6 minggu yang kemudian dirutunkan secara
bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intravena 500 mg sampai 1
g/hari selama 3 hari bertutut-turut.
• Obat imunosupresan atau sitotoksik: Terdapat beberapa obat kelompok
imunosupresan/ sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin,
siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu
seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, sering- kali
diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan/sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. 


B. Terapi lain

Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:

• Intra vena imunoglobulin terutama lgG, dosis 400 mg/ kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis,
manifestasi mukokutaneus, dan demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
• Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus
serberitis.

• Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
• Danazol pada trombositopenia refrakter.
• Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect pada
SLE ringan.
• Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan
obat lainnya.

• Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat.
• Terapi eksperimental diantaranya antibodi mono- klonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).

• Dialisis, transplantasi autologus stem-ceU.

PEMANTAUAN
Batasan operasional pemantauan adalah dilakukannya observasi secara aktif
menyangkut gejala dan tanda baru terkait dengan perjalanan penyakit dan efek pengobatan/
efek sampingnya, baik yang dapat diperkirakan memerlukan pemantauan yang tepat. Proses
ini dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:

• Anamnesis :
Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat,


nyeri dada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini dilakukan setiap kali
pasien LES datang berobat. 

• Fisik:
Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid, alopesia, ulkus membran mukosa,
lesi vaskulitis, fundus, dan edema.
• Penunjang:
Hematologi, analisis urin, serologi, kimia darah dan radiologi tergantung
kondisi klinis
13. PROGNOSIS
Dengan berkembangnya cara penatalaksanaan LES, prognosa penderita LES saat ini jauh
lebih baik. Prognosa ibu pada penderita LES ditentukan pada saat konsepsi, bila konsepsi
pada masa LES tidak aktif maka prognosanya lebih baik. Hal ini bisa dicapai dengan
manipulasi terapetik selama beberapa bulan sebelum konsepsi, evaluasi klinis dan
laboratorium secara rutin.
DAFTAR PUSTAKA

Chen, S., Sun, X., Wu, B. and Lian, X. (2015). Pregnancy in Women with Systemic Lupus
Erythematosus: A Retrospective Study of 83 Pregnancies at a Single
Centre. International Journal of Environmental Research and Public Health, [online]
12(8), pp.9876–9888. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4555317/pdf/ijerph-12-09876.pdf
[Accessed 24 Oct. 2020].
Infodatin .(2017). Departemen Kesehatan
Kajsmir, Y.I. (2012). Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Knight, C. and Nelson-Piercy, C. (2017). Management of systemic lupus erythematosus
during pregnancy: challenges and solutions. Open Access Rheumatology: Research
and Reviews, Volume 9, pp.37–53.
Lateef, A. and Petri, M. (2013). Managing lupus patients during pregnancy. Best Practice &
Research Clinical Rheumatology, 27(3), pp.435–447.
Setiatis, Alwi, L., Sudoyo, A.W., Stiyohadi, B. and Syam, A.F. (2014). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing.
Tanzilia, M.F., Tambunan, B.A. and Dewi, D.N.S.S. (2021). TINJAUAN PUSTAKA:
PATOGENESIS DAN DIAGNOSIS SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS. Syifa’
MEDIKA: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 11(2), p.139.
Wang, P.H., Teng, S.W. and Lee, F.K. (2015). Disease activity of Pregnant women with
Systemic Lupus Erythematosus. J. Chin. Med. Association.

Anda mungkin juga menyukai