Anda di halaman 1dari 14

BAB 1 PENDAHULUAN

Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi yang dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal secara berkala, Pada epilepsi terjadi dua atau lebih bangkitan kejang tanpa provokasi yang dipisahkan oleh interval lebih dari 24 jam akibat lepas muatan listrik neuron-neuron serebral secara berlebihan. Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologis yang utama. Epilepsi sering dihubungkan dengan disabilitas fisik, disabilitas mental, dan konsekuensi psikososial yang berat bagi penderitanya (pendidikan yang rendah, pengangguran yang tinggi, stigma sosial, rasa rendah diri, kecenderungan tidak menikah bagi penyandangnya). Epilepsi terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut. Prevalensi epilepsi di Indonesia berkisar antara 0,5%-2% dari
jumlah penduduk. Penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan, namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang epilepsi16.

Epilepsi merupakan penyakit kronik dengan jangka waktu terapi yang relatif lama. Pemberian informasi yang jelas terhadap penderita dan keluarganya merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan kepatuhan terhadap terapi. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan, baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Pengetahuan tentang prognosis akan sangat berguna untuk pemberian informasi yang adekuat pada penderita epilepsi dan keluarganya, serta membantu dalam pengambilan keputusan medis. Tujuan penulisan makalah ini adalah mengkaji berbagai hasil penelitian terkini tentang prognosis epilepsi15.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan Prognosis adalah ramalan kemungkinan perjalanan dan hasil akhir gangguan. Konsep dasar utama prognosis epilepsi adalah kesempatan untuk mencapai remisi serangan dan kemungkinan terjadinya kematian prematur. Remisi adalah pengurangan atau meredanya gejala suatu penyakit, sedangkan relaps adalah kembalinya gejala suatu penyakit setelah tampaknya mereda dan masa pengobatan selesai. Batasan remisi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi5,6. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala. Batasan lain yang banyak pula dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE18. Prognosis epilepsi menurut berbagai penelitian dapat ditinjau dari banyak faktor predeiktor antara lain jenis kelamin, usia saat onset, kausa, tipe bangkitan, jumlah bangkitan sebelum terapi, defisit neurologi yang menyertai, kepatuhan berobat, riwayat keluarga, gambaran EEG18.

2.2 Pengehentian OAE, remisi, dan relaps Dalam penghentian pemberian OAE ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain19 : 1. Syarat umum : a. Penghentian OAE didiskusikan dengan pasien / keluarganya setelah bebas bangkitan minimal 2 tahun. b. Gambaran EEG normal c. Harus dilakukan bertahap, umumnya 25 % dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3 6 bulan. d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama. 2. Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan : - Semakin tua usia kemungkinan kekambuhan makin tinggi. - Epilepsi simtomatik. - Gambaran EEG yang abnormal 2

- Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan. - Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita. - Penggunaan lebih dari satu OAE - Masih timbul 1 / lebih bangkitan saat memulai terapi. - Mendapat terapi 10 tahun / lebih. 3. Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan selama 3 5 tahun / lebih dari 5 tahun. Dalam pengehentian pemberian OAE juga harus diberikan pendampingan konsultasi sosial terhadap penderita melalui keluarga terdekatnya tentang (pengenalan gejala epilepsi/ faktor pencetus, pencegahan, pengobatan, aspek kehidupan sosial, aspek kecerdasan, dan gangguan mental yang mungkin saja bisa timbul). Pengetahuan tentang prognosis akan sangat berguna untuk pemberian informasi yang adekuat pada penderita dan keluarganya, serta membantu dalam pengambilan keputusan medis. Kajian yang dilakukan oleh Neville dan Gilliam menyatakan bahwa pengetahuan tentang faktor prediktor prognosis sebaiknya digunakan untuk membantu tindakan penatalaksanaan medis pasien epilepsi. Penderita sindrom epileptik yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan penderita tidak menngalami epilepsi lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30 % penderita tidak akan mengalami remisi walaupun minum obat dengan teratur. Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya epilepsi, etiologi, tipe epilepsi, umur awal terjadi epilepsi. Pada epilepsi tonik-klonik dan epilepsi parsial kompleks akan mengalami remisi lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadi epilepsi, remisi lebih sering terjadi17. Sesudah terjadi remisi, kemungkinan terjadinya serangan ulang paling sering didapat pada epilepsi tonik-klonik dan epilepsi parsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi17.

2.3 Remisi Epilepsi Batasan remisi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala. Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Penelitian prospektif terhadap 792 orang pasien epilepsi menunjukkan bahwa 87% pasien akan mencapai remisi 3 tahun. 3

Penderita epilepsi sekunder (simptomatik) memiliki kemungkinan remisi yang lebih rendah dan dihubungkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Remisi pada penderita epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu dapat disimak pada tabel berikut ini15. Tabel 1. Tingkat Remisi Epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu

Di antara berbagai penelitian di atas, penelitian Silampaa, dkk, Kwan dan Brodie Berg, dkk, merupakan penelitian yang paling menarik untuk disimak. Penelitian Silampaa, dkk menunjukkan bahwa 64% penderita epilepsi akan mencapai remisi 5 tahun. Epilepsi idiopatik merupakan epilepsi dengan tingkat remisi paling tinggi (92%). Tingkat remisi paling rendah didapatkan pada epilepsi simptomatik dengan tingkat remisi 45%. Sedangkan penelitian Kwan dan Brodie menunjukkan bahwa tingkat remisi 1 tahun mencapai 63,4%. Angka remisi paling tinggi didapatkan pada penderita epilepsi kriptogenik (43%), dan pada penderita dengan jumlah serangan sebelum terapi yang kurang dari 20 kali (73%). Penelitian Berg, dkk memperlihatkan bahwa remisi 2 tahun dapat dicapai oleh 74% penderita. Waktu tengah (median time) untuk mencapai remisi adalah 2.3 tahun (antara 2-6 tahun). Probabilitas

untuk tercapainya remisi pada pengamatan 2 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun berturut-turut adalah 7%, 50%, dan 73%15.

2.4 Relaps Epilepsi Segera setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat ihentikan. Dokter harus benar-benar mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat, sehingga keputusan untuk penghentian obat adalah bersifat individual. Tingkat relaps setelah penghentian obat anti epilepsi dari berbagai penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel berikut ini15. Tabel 2. Kejadian relaps pada penderita epilepsi setelah obat dihentikan

Kajian penelitian di atas menunjukkan bahwa kejadian relaps berkisar antara 18-66% setelah OAE dihentikan. Tingkat relaps setelah penghentian obat anti epilepsi rutin adalah 5

sebesar 25% pada tahun pertama, dan 29% pada tahun kedua. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja/dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG. Penelitian Bouma, dkk menunjukkan bahwa faktor prediktor utama terjadinya relaps adalah defisit neurologi yang menyertai epilepsi. Penelitian Berg, dkk memperlihatkan bahwa faktor prediktor utama terjadinya relaps dalam analisa multivariat adalah: 1. gambaran perlambatan fokal pada EEG, dan 2. bangkitan epilepsi mioklonik Penelitian lain oleh Speechio, dkk di Italia terhadap 225 penderita epilepsi anak dan dewasa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa faktor prediktor utama terjadinya relaps adalah penghentian obat dan status psikiatrik abnormal.

2.5 Kematian pada Penderita Epilepsi Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal seperti terlihat pada tabel 3. Risiko kematian ditunjukkan dengan nilai Standarized Mortality Ratio (SMR) yang merupakan hasil bagi antara jumlah kematian pada penderita epilepsi dibanding dengan populasi rujukan. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital dengan SMR sebesar 50, epilepsi simptomatik di urutan kedua dengan SMR sebesar 4,3. Penderita epilepsi idiopatik memiliki risiko kematian yang paling rendah dengan SMR sebesar 1,6. Jumlah, persentase dan faktor penyebab kematian penderita epilepsi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Kejadian kematian pada penderita epilepsi

Pada tabel di atas angka kematian paling tinggi didapatkan pada penelitian Silampaa, dkk, yaitu sebesar 17.9%. Angka insidens kematian pada penderita epilepsi adalah 6,8 per 1.000 orang penduduk, risiko kematian meningkat pada penderita yang berumur kurang dari 20 tahun. Sebuah kajian ahli (expert panel) terhadap 45 kematian epilepsi menunjukkan bahwa 18 kematian bersifat mendadak dan tidak

terjelaskan/SUDEP (Sudden Unexplained Death in Epilepsy), dengan angka kejadian 3,5 per 1.000 penderita epilepsi. Penyebab SUDEP sampai saat ini masih kontroversial, hipotesa yang diajukan sampai saat ini adalah hipoventilasi sentral dan gangguan jantung. Penelitian Camfield, dkk menunjukkan bahwa kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi (84.6%). Faktor prediktor kematian yang paling bermakna dalam analisa multivariat adalah adanya defisit neurologis penyerta15. 7

2.6 Faktor Prediktor Data yang lengkap dan teliti tentang prognosis epilepsi akan sangat penting untuk menentukan terapi yang rasional dan pemberian penyuluhan dan nasihat yang tepat. Kajian yang dilakukan Wong terhadap berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada sebagian besar kasus remisi akan dicapai pada 2 tahun pertama terapi. Angka remisi spontan tanpa terapi akan tercapai pada kurang lebih 50% penderita epilepsi. Pada penderita epilepsi anak-anak faktor prognosis yang dihubungkan dengan kemungkinan remisi yang lebih besar adalah tidak adanya defisit neurologis, fungsi psikomotor yang normal, intelegensi normal, umur awitan di atas 2 tahun, frekuensi serangan yang rendah sebelum terapi rutin OAE, gambaran EEG yang normal, dan respon terhadap terapi yang cepat. Prognosis remisi epilepsi ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor karakteristik awal bangkitan (jumlah dan frekuensi serangan), usia awitan, tipe dan etiologi bangkitan epilepsi, gambaran EEG, pemilihan terapi, dan kepatuhan penderita terhadap regimen terapi. Kajian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa peran berbagai faktor prediktor prognosis epilepsi masih kontroversial dan tidak konklusif15.

2.6.1 Remisi 6 bulan Penderita epilepsi yang pernah mencapai remisi 6 bulan berturut-turut dalam minimal 2 tahun terapi adalah 86 orang (78,2%). Tabel 4. faktor prediktor tercapainya remisi 6 bulan berturut-turut dalam terapi.

Tabel 4 menunjukkan bahwa faktor prediktor yang bermakna untuk tercapainya remisi 6 bulan berturut-turut dengan terapi obat antiepilepsi adalah tipe bangkitan, jumlah serangan sebelum terapi, dan defisit neurologi. Subyek dengan tipe bangkitan parsial kompleks memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mencapai remisi dibanding dengan subyek yang memiliki bangkitan general tonik klonik (RR: 0,56,0,29-0,87, p<0,05). Penderita epilepsi dengan bangkitan konvulsif yang tinggi dijumpai pada 33,6%. Pasien dengan jumlah bangkitan yang tinggi sebelum terapi rutin obat anti epilepsi memiliki probabilitas lebih kecil untuk mencapai remisi 6 bulan berturut-turut dalam terapi dibanding dengan subyek yang bangkitannya rendah (< 10 kali). Faktor prediktor lain yang bermakna adalah adanya defisit neurologi yang menyertai epilepsi. Defisit neurologi dijumpai pada 17 (15,5%) subyek epilepsi dengan bangkitan konvulsif. Penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi memiliki probabilitas yang lebih rendah untuk mencapai remisi 6 bulan berturut-turut dengan terapi OAE dibanding penderita tanpa defisit neurologi. Jenis kelamin, usia saat onset, tipe bangkitan, jenis bangkitan, riwayat kejang demam, riwayat keluarga penyandang epilepsi, dan kepatuhan terhadap 9

terapi tidak terbukti sebagai faktor prediktor yang bermakna untuk tercapainya remisi 6 bulan berturut-turut. Penemuan ini kurang sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu yang memperlihatkan bahwa penderita epilepsi simptomatik memiliki probabilitas yang lebih kecil untuk yang didiagnosis epilepsi simptomatik hanya didasarkan pada anamnesis. 2.6.2 Remisi 12 bulan Penderita epilepsi yang pernah mencapai remisi 12 bulan berturut- turut dalam 2 tahun terapi adalah sebesar 48 orang (43,6%). Tabel 5 menunjukkan faktor prediktor tercapainya remisi 12 bulan dalam terapi.

Tabel 5 menunjukkan bahwa faktor prediktor yang bermakna untuk tercapainya remisi 12 bulan berturut-turut dengan terapi obat antiepilepsi adalah jumlah serangan sebelum terapi, defisit neurologi, dan kepatuhan terhadap program terapi. Tidak ada subyek dengan tipe bangkitan parsial komples yang mencapai remisi 12 bulan berturut-turut. Pasien dengan jumlah bangkitan yang tinggi sebelum terapi rutin obat antiepilepsi memiliki probabilitas yang lebih kecil untuk mencapai remisi 12 bulan berturut-turut dalam terapi dibanding dengan subyek yang bangkitannya rendah (RR: 0,587, 95% CI: 0,34-0,92, p: 0,036). Faktor prediktor lain yang bermakna adalah adanya defisit neurologi yang menyertai epilepsi. Defisit neurologi dijumpai pada 17 (15,5%) subyek epilepsi dengan bangkitan konvulsif. Penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi memiliki probabilitas 10

yang lebih rendah untuk mencapai remisi 12 bulan berturut-turut dengan terapi OAE dibanding penderita tanpa defisit neurologi (RR: 0,238, 95% CI: 0,06-0,889, p: 0,004). Faktor prediktor lain yang bermakna adalah kepatuhan terhadap program terapi epilepsi. Kepatuhan terhadap program terapi dijumpai pada 70 (63,6%) subyek epilepsi dengan bangkitan konvulsif. Penderita epilepsi yang patuh terhadap program terapi memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk mencapai remisi 12 bulan berturut-turut dengan terapi OAE dibanding penderita yang tidak patuh (RR: 0,583, 95% CI : 0,345-0,986)). Jenis kelamin, usia saat onset, tipe bangkitan, jenis bangkitan, riwayat kejang demam, dan riwayat keluarga penyandang epilepsi tidak terbukti sebagai faktor prediktor yang bermakna untuk tercapainya remisi 12 bulan berturut-turut. Data yang lengkap dan teliti tentang prognosis epilepsi akan sangat penting untuk menentukan terapi yang rasional dan pemberian penyuluhan dan nasihat yang tepat. Kajian yang dilakukan Wong terhadap berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada sebagian besar kasus remisi akan dicapai pada 2 tahun pertama terapi. Angka remisi spontan tanpa terapi akan tercapai pada kurang lebih 50% penderita epilepsi. Pada penderita epilepsi anak-anak faktor prognosis yang dihubungkan dengan kemungkinan remisi yang lebih besar adalah tidak adanya defisit neurologis, fungsi psikomotor yang normal, intelegensi normal, umur awitan di atas 2 tahun, frekuensi serangan yang rendah sebelum terapi rutin OAE, gambaran EEG yang normal, dan respon terhadap terapi yang cepat. Prognosis remisi epilepsi ditentukan oleh banyak faktor, baik faktor karakteristik awal bangkitan (jumlah dan frekuensi serangan), usia awitan, tipe dan etiologi bangkitan epilepsi, gambaran EEG, pemilihan terapi, dan kepatuhan penderita terhadap regimen terapi. Kajian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa peran berbagai faktor prediktor prognosis epilepsi masih kontroversial dan tidak konklusif15.

11

BAB 3 KESIMPULAN

1. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada sebagian besar kasus remisi akan dicapai pada 2 tahun pertama terapi. 2. Kejadian relaps berkisar antara 18-66% setelah OAE dihentikan. 3. Penderita epilepsi memiliki resiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal 4. Prognosis remisi epilepsi ditentukan oleh banyak faktor, yang bermakna antara lain : Jumlah serangan sebelum terapi Defisit neurologi Kepatuhan pengobatan Faktor-faktor lain seperti Jenis kelamin, usia saat onset, tipe bangkitan, jenis bangkitan, riwayat kejang demam, dan riwayat keluarga juga berpengaruh namun tidak terlalu bermakna.

12

DAFTAR PUSTAKA

1. WHR. Epilepsy in The World Health Report, Mental Health : New Understanding, New Hope. WHO, 2001. 2. Shafer PO. Improving The Quality of Life in Epilepsy: Non Medical Issues Too Often Overlooked. Postgraduate Medicine, January 2002. 3. Harsono. Epilepsi. Edisi Pertama. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001 4. Dreifuss FE. Prognosis of Childhood Seizure Disorders : Present and Future, Epilepsia 1994; 35 (suppl 2): s30-s34 5. Gilliam F. Epilepsy Outcomes : Prognosis and Predictive Factors. Epilepsy Quarterly 2001; 9 (2). 6. Smith D, Chadwick D. The Management of Epilepsy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001 ; 70(Suppl 2) ( June ) 7. Carpay HA, Arts WFM, Geerts AT, Stroink H, dkk. Epilepsy in Childhood : An Audit of Clinical Practice. Arch Neurol 1998;55(5): 668-673 8. Page RM, Cole GE, Timmreck TC. Basic Epidemiological Methods and Biostatistics; A Practical Guide Book, Jones and Bartlet Publisher. London, 1996 9. Arts WFM, Geerts AT, Brouwer OF, Peters ACB, Stroink H, Donselaar CAV. The Early Prognosis of Epilepsy in Childhood : The Prediction of Poor Outcome. The Dutch Study of Epilepsy in Childhood. Epilepsia 1999;40 (6): 726-734 10. Laupacis A, Wells G, Richardson S, Tugwell P. sers Guide to The Medical Literature; How to Use an Article About Prognosis. JAMA 1994;272(3): 234-237 11. Kyngas H. Predictors of Good Compliance in Adolescents with Epilepsy. Seizure 2001; 10: 549-553 12. Basuki A, Dikot Y. Evaluasi Penatalaksanaan pada Penderita Epilepsi yang Tidak Terkendali. Epilepsi 1998 ;3(1): 44-49 13. Kaliaperumal VG, Sundararaj N, Mani KS. Seizure Prognosis for Partial Epilepsies in India. Epilepsy Res.1989(3):86-91 14. Amang A. Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Pengobatan Epilepsi di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Laporan Penelitian Akhir IP Saraf FK UGM Yogyakarta, 1990 15. Pinzon, R. 2006. Karakteristik prognosis Epilepsi. Dexa Media: Jakarta 16. Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi. Gajahmada University Press : Yogyakarta 17. Universitas Sumatra Utara. Epilepsi. [serial online]http://digilib.unsri.ac.id.pdf

13

18. Pinzon, Harsono, Rusdi. 2009. Profil Remisi Epilepsi Onset Anak-anak CDK 173/vol.36 no.71. SMF Saraf RS Bethesda: Yogyakarta 19. Kelompok studi epilepsi. 2006. PERDOSSI: Jakarta

14

Anda mungkin juga menyukai