Anda di halaman 1dari 20

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Epilepsi
1. Definisi Epilepsi
Epilepsi (Yun. = serangan ) atau sawan/penyakit ayan adalah suatu
gangguan saraf yang timbul secara tiba-tiba dan berkala, biasanya dengan
perubahan kesadaran. Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak dari
sekelompok besar sel-sel saraf diotak (Rahardja K dan Tjay, 2008:415).
Epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit
susunan saraf pusat yang timbul spontan dan berulang dengan episode singkat
(disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure) dengan gejala utama
kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang
(konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu
disertai gambaran letupan EEG (abnormal dan eksesif). Untuk penyakit
epilepsi dapat dinamakan disritmiaserebral yang bersifat paroksismal
(Farmakologi dan Terapi ed.V, 2012).
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada
semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga
terdapat sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia (WHO, 2012).
Populasi epilepsi aktif (penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang
memerlukan pengobatan) diperkirakan antara 4 hingga 10/1000penduduk
/tahun, di Negara berkembang diperkirakan 6 hingga 10/1000 penduduk
(PERDOSSI, 2014).
2. Etiologi Epilepsi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
a. Idiopatik: tidak terdapat les structural di otak atau deficit neurologis.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan
dengan usia.

b. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.


Termasuk di sini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

6
7

c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada


otak, misalnya; cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik,
kelainan neurodegeneratif.
3. Tipe Bangkitan Epilepsi
Pemilihan obat untuk terapi masing-masing bentuk epilepsi tergantung
dari bentuk bangkitan epilepsi secara klinis dan kelainan EEG nya. Tidak ada
satupun klasifikasi epilepsi yang dapat memuaskan dan diterima oleh semua
ahli penyakit syaraf. Klasifikasi epilepsi secara internasional tidak banyak
membantu sebagai pedoman untuk pembahasan obat antiepilepsi. Untuk
maksut ini digunakan klasifikasi yang lazim dipakai diklinik dan berkaitan
erat dengan efektivitas obat epilepsi. Pada dasar nya epilepsi dapat dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu :
a. Bangkitan umum primer (epilepsi umum) terdiri dari :
1) Bangkitan tonik-klonik(epilepsi grand mal), merupakan jenis bangkitan yang
paling dramatis, terjadi pada 10% populasi epilepsi. Terdiri atas 3 fase: fase
tonik, fase klonik, fase pasca kejang. Terapi sama dengan terapi pada
bangkitan parsial.
2) Bangkitan lena (epilepsi petit mal atau absences), terjadi secara mendadak
dan juga hilang secara mendadak(10-45 detik). Manifestasi klinis: berupa
kesadaran menurun sementara, namun kendali atas postur tubuh masih baik
(pasien tidak jatuh), biasanya disertai automatisme (gerakan-gerakan
berulang), gerakan mengunyah. Terjadi sejak masa kanak-kanak (4-8 tahun).
Remisi spontan 60-70% pasien pada masa remaja. Seringkali disertai oleh
bangkitan umum sekunder.
3) Bangkita lena yang tidak khas (atipical absences), bangkitan tonik, bangkitan
klonik, bangkitan atonik,bangkita infantile (spasme infantil)
b. Bangkitan parsial atau fokal atau lokal ( epilepsi parsial atau fokal )
1) Bangkitan parsial sederhana, dapat menyebabkan gejala-gejala motorik,
sensorik, otonom dan psikis tergantungkorteks serebri yang aktivasi, namun
kesadaran tidak terganggu, penyebaran cetusan listrik abnormal minimal,
pasien masih sadar.
8

a) Berasal dari lobus motor frontal (tonik, klonik, tonik-klonik, Jacsonian’s)


b) Berasal dari somatosensoris (visual, auditorik, olfaktorius, gustatorius,
vertiginosa)
c) Autonom
d) Psikis murni
2) Bangkitan parsial kompleks, misalnya epilepsi psikomotor (epilepsi lobus
temporalis). Penyebaran cetusan listrik yang abnormal lebih banyak.
Biasanya terjadi dari lobus temporal karena lobus ini rentan terhadap
hipoksia/infeksi. Klinis: ada tanda peringatan yang disertai oleh perubahan
kesadaran, diikuti oleh automatisme, yakni gerakan otomatis yang tidak
disadari seperti menjilat bibir, menelan, menggaruk, berjalan yang biasanya
berlangsung selama 30-120 detik. Kemudia biasanya pasien kembali normal
yang disertai kelelahan selama beberapa jam.
3) Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum, biasanya
terjadi pada bangkitan parsial sederhana.
c. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk bangkitan umum primer atau bangkitan
parsial atau focal atau local)
4. Pentalaksanaan Epilepsi
Tujuan utama pengobatan atau terapi epilepsi adalah mengupayakan
penyandang epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup optimal
untuk penyandang mental yang dimilikinya. Harapannya adalah ”bebas
bangkitan, tanpa efek samping”. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan
beberapa upaya, antara lain degan efek samping yang minimal, menurunkan
angka kesakitan dan kematian. Prinsip terapi farmakologi :
a. OAE diberikan bila : diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum
dua bangkitan dalam setahun, bangkitan terjadi berulang walaupun faktor
pencetusnya sudah dihindari, penyandang dan atau keluarganya sudah
menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan serta efek samping dari
penggunaan OAE
b. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan
jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi
9

c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis
efektif tercapai
d. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila : bangkitan tidak terkontrol dengan
dosis efektif, diduga ada perubahan farmakokinetik OAE, diduga penyandang
tidak patuh terhadap pengobatan
e. Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua
f. OAE kedua harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE
pertama
g. Penyandang dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai
terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi
h. Efek samping OAE perlu diperhatikan
i. Strategi untuk mencegah efek samping : pilih OAE yang paling cocok untuk
karakteristik penyandang, gunakan titrasi dengan dosis kecil dan rumatan
terkecil mengacu pada sindrom epilepsi dan karakteristik penyandang.
5. Kepatuhan Minum Obat
Dalam penatalaksanaan epilepsi kepatuhan minum obat merupakan masalah
tersendiri dan memegang peranan penting untuk tercapainya remisi.
Kepatuhan didefinisikan sebagai dimana seseorang atau penderita akan
mengikuti anjuran klinis, melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang
disarankan dari dokter yang merawat. Penderita epilepsi dikatakan patuh
minum obat apabila memenuhi 4 hal, yaitu dosis obat yang diminum sesuai
dengan yang dianjurkan, durasi waktu minum obat diantara dosis yang sesuai
dengan yang dianjurkan, jumlah obat yang diambil pada suatu waktu sesuai
dengan yang ditentukan, dan tidak mengganti dengan obat lain yang tidak
dianjurkan (Ley, 1997 cit Hakim, 2006 dalam Maretta 2017). Menurut Baker
dkk (1999) cit Hakim (2006), berbagai alasan mengapa penderita tidak teratur
dalam meminum obat adalah: bosan minum obat karena merasa penyakitnya
tak kunjung sembuh, terdapat kecenderungan menghentikan pengobatan oleh
karena merasa sudah tidak mengalami bangkitan, tinggi rendahnya
pendidikan penderita, status sosial yang buruk, kurang baiknya hubungan
antara petugas kesehatan dengan penderita serta jarak antara tempat-tempat
10

pelayanan kesehatan dengan rumah penderita jauh, kurangnya pengertian dan


pengetahuan baik penderita maupun keluarga serta adanya pengaruh efek
samping obat.
6. Kejadian Remisi pada Penderita Epilepsi
Remisi didefinisikan sebagai periode bebas serangan yang dialami oleh
seorang pasien yang sebelumnya mendapatkan lebih dari 1 serangan. Hal ini
bisa bersifat permanen atau sementara.
Untuk mencapai remisi dalam terapi perlu diketahui faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Kepatuhan merupakan salah satu faktor yang sangat
berperan untuk terjadinya remisi. Remisi epilepsi ditentukan oleh banyak
faktor diantaranya, baik faktor karakteristik awal bangkitan (frekuensi
serangan), usia awitan, tipe dan etiologi bangkitan epilepsi, gambaran EEG,
pemilihan terapi, dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan (Cockerel et
al, 1997). Menurut Wada et al (1993), mendapatkan beberapa hal yang
mempengaruhi remisi, yaitu: usia saat onset, respon awal yang kurang
terhadap terapi, ada atau tidaknya lesi otak serta jarak antara onset dengan
dimulainya terapi.
Penelitian prospektif oleh Silampaa et al (1998) di Filandandia
terhadap 24 penderita epilepsi menunjukkan bahwa 64% akan mencapai
remisi 5 tahun terus menerus, dimana epilepsi idiopatik merupakan epilepsi
dengan tingkat remisi yang paling tinggi, sementara epilepsi simtomatik
menunjukkan tingkat remisi yang paling rendah. Risiko relaps akan
meningkat 2,03 kali pada penderita epilepsi yang menunjukkan adanya
gambaran aktivitas epileptiform pada rekaman EEG dibanding mereka yang
dengan gambaran EEG yang normal (Anderson et al, 1997 dalam Maretta,
2017).
7. Obat Anti Epilepsi
a. Golongan hindantoin
Fenitoin
Senyawa imidazolin ini tidak bersifat hipnotik seperti senyawa barbital
dan suksinimida. Fenitoin terutama efektif pada grand mal dan serangan
psikomotor, tetapi tidak boleh diberikan pada petit mal, karena dapat
11

memprovokasi absences. Sediaan tablet dari dua tablet yang berlainan dapat
sangat berbeda kesetaraan biologisnya dan kadar darahnya, maka selama
terapi sebaiknya jangan mengganti pabrik. Efek samping nya yang sering
timbul adalah hyperplasia gusi (tumbuh berlebihan) dan obstipasi, efek
lainnya adalah menyebabkan pusing, mual dan bertambahnya rambut dan
bulu badan
b. Golongan barbiturat
1) Fenobarbital
Senyawa hipnotik ini terutama digunakan pada serangan grand mal dan
status epileptikus berdasarkan sifatnya yang dapat memblokir pelepasan
muatan listrik diotak. Untuk mengatasi efek hipnotiknya, obat ini dapat
dikombinasi dengan kafein. Tidak boleh diberikan pada absences karena
justru dapat memperburuknya. Efek sedativ dalam hal ini dianggap sebagai
efek samping
2) Primidon
Struktur kimia obat ini sangat mirip fenobarbital, tetapi bersifat kurang
sedativ. Sangat efektif terhadap serangan grand mal dan psikomotor. Didalam
hati terjadi biotransformasi menjadi fenobarbital dan feniletilmalonamida
(PEMA), yang juga bersifat antikonvulsi. Efek samping pada SSP berupa
kantuk, ataksia, pusing, sakit kepala, dan mual.
c. Golongan oksazolidindion
Trimetadion
Merupakan obat antiepilepsi tipe absences, namun setelah etosuksimid
dipakai secara luas pada tahun 1960, trimetadion sudah jarang digunakan
d. Golongan suksinimid
Etosuksimida
Derivat-pirolidin ini sangat efektif terhadap serangan absences. Daya
kerjanya panjang dengan plasma-t1/2-nya 2-4 hari. Praktis tidak terikat pada
protein, ekskresinya melalui ginjang, yaitu50% sebagai metabolit da 20%
dalam keadaan utuh. Efek samping yang timbul ialah mual, sakit kepala,
kantuk, dan ruam kulit.
12

e. Golongan karbamazepin
Karbamazepin
Senyawa-trisiklis yag mirip imipramine selain kerja antikonlvusi, juga
berkhasiat antidepresif dan antideuretis, mungkin berdasarkan peningkatan
sekresi dihipofisis atau penghambatan perombakannya. Efek samping yang
terjadi setelah pemberian obat jangka lama berupa pusing, vertigo, ataksia,
diplopia, dan penglihatan kabur.
f. Golongan benzodiazepine
1) Diazepam
Disamping khasiat ansiolitis, relaksasi otot dan hipnotiknya ,senyawa
benzodiazepin ini juga berdaya antikonlvusi. Berdasarkan khasiat ini,
diazepam digunakan pada epilepsi dan dalam bentuk injeksi i.v. terhadap
status epileptikus. Pada penggunaan oral dan dalam bentuk suppositoria
lambat dan tidak sempurna. K.I. 97-99% diikat pada protein plasma. Efek
samping berat dan berbahaya ialah obstruksi saluran napas oleh lidah, akibat
relaksi otot.
2) Klonazepam
Adalah derivatklor dari nitrazepam dengan kerja antikonvulsi yang lebih
kuat. Khasiatnya diperkirakan berdasarkan perintangan langsung dari pusat
epilepsi diotak dan juga merintangi penyebaran aktivitas listrik berlebihan
pada neuron lain. Klonazepam terutama digunakan pada absences anak-anak
dan merupakan obat pilihan utama (i.v.) pada status epileptikus karena
khasiatnya lebih kuat dan 2-3kali lebih pesat daripada diazepam.
3) Nitrazepam
Nitrazepam dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan hipsaritmia,
spasme infantile dan bangkitan mioklonik. Namun kurang efektif
dibandingkan dengan klonazepam. Nitrazepam secara spesifik bermanfaat
untuk jenis bangkitan yang sebelumnya diobati dengan ACTH atau
prednisone dan kortikosteroid lain tetapi hasilnya kurang memuaskan.
g. Asam valproat
Antikonvulsi dari derivat asam valerian ini ditemukan secara kebetulan
(Maurnier, 1963) dan dianggap sebagai obat pilihan pertama pada absences.
13

Dalam kombinasi degan obat-obat lain juga efektif pada grand mal dan
serangan psikomotor. Mekanisme kerja nya diperkirakan berdasarkan
hambatan enzim yang menguraikan GABA, sehingga kadar neurotranmiter
ini diotak meningkat.
h. Antiepilepsi lain
1) Penghambat karbonik anhidrase
Asetazolamid, mekanisme kerjanya sebagai antiepilepsi tidak bergantung
pada efek diuresis atau asidosis metabolisme ringan pada otak yang dapat
ditimbulkan oleh asetazolamid.
2) Vigabatrin
Senyawa heksen ini juga termasuk generasi kedua dan merupakan derivat
sintetis dari GABA. Berkhasiat menghambat secara spesifik enzim GABA-
transminase yang berfungsi menguraika GABA. Dengan demikian kadar
neurotransmitter ini meningkat dengan efek antikonvulsi. Obat ini digunakan
sebagai obat tambahan pada pengobatan epilepsi yang kurang responnya
terhadap antiepileptik lain. Efek samping berupa pusing, pertambahan berat
badan, agitasi psikosis.
3) Lamotrigin
Senyawa triazin ini berdaya antikonvulsi atas dasar menstabilisir
membrane sel saraf, sehingga menghambat pembebasan neurotransmitter
glutamate, yang berperan penting timbulnya serangan epilepsi. Obat ini
digunakan antara lain pada epilepsi grand mal dan parsial
4) Gabapentin
Senyawa-sikloheksilasetat ini memiliki struktur kimiawi yang berkaitan
dengan GABA, tetapi mekanisme kerjanya berlainan dan belum diketahui.
Obat ini digunakan sebagai obat tambahan pada epilepsi parsial dan untuk
penderita pada siapa antiepilepsi biasa kurang memberikan efek. Disamping
itu juga digunakan pada depresi manis bersama litium dan pada nyeri
neuropati dengan efek setelah 1-3 minggu.
14

5) Topiramat
Digunakan untuk terapi bangkitan parsial dan bangkitan umum tonik-
klonik. Mekanisme kerjanya adalah melalui blok kanal Na+, inhibisi efek
GABA. Absorbsinya cukup cepat (±2jam), waktu paruhnya 20-30 jam.
6) Zonisamida
Adalah suatu derivate dari benzisoksazol-sulfonamida yag termasuk
dalam kelompok baru entiepileptika. Mekanisme kerjanya adalah memblokir
pencetusan reaksi saraf via saluran (channel) Na serta Ca dan dengan
demikian mengurangi menjalarnya serangan epilepsi. Digunakan sebagai obat
tambahan pada epilepsi parsial. Efek sampingnya berupa reaksi terhadap
SSP, hipersensitivitas dan pembentukan batu ginjal.
7) Tiagabin
Merupakan turunan asam nipekotik, suatu inhibitor GABA sehingga
meningkatkan kadar GABA dalam otak. Efek samping tiagabin meliputi
gugup, pusing, tremor, gangguan berfikir, depresi, somnolen, dan ataksia.
8) Levetirasetam
Merupakan analog pirasetam, diindikasikan sebagai obat tambahan pada
bangkitan parsial dan bangkitan tonik-klonik umum sekunder. Efek
sampingnya berupa somnolen, asthenia, dan pusing.
Tabel 2.1 Pemilihan obat antiepilepsi
(sumber: Farmakologi dan Terapi ed.V)

Jenis bangkitan Obat Pilihan Utama Obat Alternatif


I. Bangkitan parsial
A. Parsial Karbamazepin, fenitoin, Fenobarbital, lamotrigin,
sederhana valproat primidon, gabapentin,
levetirasetam, tiagabin,
topiramat, zonisamid
B. Parsial Karbamazepin, fenitoin, Lamotrigin , primidon,
kompleks valproat gabapentin,
levotirasetam, tiagabin,
topiramat, zonisamid
15

C. Parsial yang Karbamazepin, fenitoin, Gabapentin, lamotrigin,


menjadi umum valproate, fenobarbital, topiramat, zonisamid
primidon
II. Bangkitan umum
A. Bangkitan Karbamazepin, fenitoin, Lamotrigin, topiramat,
umum tonik- valproate, fenobarbital, zonisamid, felbamat
klonik (grand primidon
mal)
B. Bangkitan lena Valproate, etosuksimid Lamotrigin, klonazepam
(petit mal) /
absences
C. Bangkitan lena Valproate,klonazepam Lamotrigin, felbamat,
yang tidak khas topiramat
(atipikal)

III. Obat-obat untuk


keadaan konvulsi yang
khusus
A. Kejang demam Fenobarbital Primidon
pada anak
B. Status epileptikus Diazepam, fenitoin, Fenobsrbitsl, lidokain
tipe grand mal fosfenitoin
C. Status epileptikus Benzodiazepine Valproate IV
tipe absences

B. Penggunaan Obat Rasional


1. Definisi Penggunaan Obat Rasional
Penggunaan obat dikatakan rasional (WHO 1985) bila pasien menerima
obat yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat
dan dengan harga yang paling murah untuk pasien dan masyarakat
(Kemenkes RI, 2011).
16

2. Peraturan Penggunaan Obat Rasional


Menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 tentang modul
penggunaan obat rasional yaitu obat dikatakan rasional apabila memenui
kriteria meliputi tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat pemilihan obat, tepat
dosis, tepat cara pemberian, tepat interval waktu pemberian, tepat lama
pemberian, waspada terhadap efek samping, tepat penilaian kondisi pasien,
tepat informasi, tepat tindak lanjut (follow-up), tepat penyerahan obat
(dispensing) dan kepatuhan pasien terhadap perintah pengobatan yang
dibutuhkan.
3. Tujuan pengobatan Rasional
Tujuan pengobatan rasional adalah untuk menjamin pasien
mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode
waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau (Kemenkes RI, 2011).
4. Kriteria Penggunaan Obat Yang Rasional
Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011, penggunaan
obat dikatakan rasional jika memenui kriteria :
a. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang
tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat
akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat
yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi
Tepat indikasi ialah tepat dalam melihat kondisi pasien, bisa dilihat dari
tanda-tanda yang terlihat atau keluhan yang dirasakan oleh pasien.
c. Tepat Pemilihan Obat
Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis
ditegakkan dengan benar. Dengan demikian obat yang dipilih harus memiliki
efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis
Tepat dosis ialah jumlah obat yang dikonsumsi pasien sesuai dengan
kondisi pasien, bisa dilihat dari besarnya keluhan dan umur pasien.
17

e. Tepat Cara Pemberian


Tepat cara pemberian ialah cara untuk mengkonsumsi obat. Misalnya
antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan.
f. Tepat Interval Waktu Pemberian
Tepat interval waktu pemberian ialah jarak waktu penggunaan obat
sesuai dengan peraturan yang tertera pada obat.
g. Tepat Lama Pemberian
Lama pemberian obat ialah harus tepat sesuai penyakitnya. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian
obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan
berpengaruh terhadap hasil pengobatan.
h. Waspada Terhadap Efek Samping
Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang
timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulnya mual,
muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya.
i. Tepat Penilaian Kondisi Pasien
Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus
memperhatikan: kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui, lanjut
usia atau bayi.
j. Tepat Informasi
Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting
dalam menunjang keberhasilan terapi.
k. Tepat Tindak Lanjut (Follow-Up)
Tepat tindak lanjut ialah Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila
sakit berlanjut konsultasikan ke dokter.
l. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat dan pasien sendiri
sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan
obat di Puskesmas, Apoteker/Asisten Apoteker akan dipersiapkan obatnya
dan diserahkan kepada pasien dengan informasi yang tepat.
18

m. Kepatuhan Pasien
Kepatuhan pasien ialah pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang
dibutuhkan.
5. Dampak Penggunaan Obat Tidak Rasional
Penggunaan suatu obat dikatakan tidak rasional jika kemungkinan
dampak negatif yang diterima oleh pasien lebih besar dibanding manfaatnya.
Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional ini dapat saja hanya
dialami oleh pasien yaitu berupa efek samping, dan biaya yang mahal,
maupun oleh populasi yang lebih luas berupa resistensi kuman terhadap
antibiotik tertentu dan mutu pelayanan pengobatan secara umum (Kemenkes
RI, 2011).
C. Rumah Sakit
1. Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat
(Permenkes, No.56, 2014).
Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Provinsi Lampung adalah Rumah
Sakit swasta tipe C. Rumah Sakit ini mampu memberikan pelayanan
kedokteran spesialis terbatas. Rumah Sakit ini juga menampung pelayanan
rujukan dari puskesmas. Rumah Sakit ini menyelenggarakan pelayanan
pengobatan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap.
Rawat jalan adalah pelayanan medis kepada seorang pasien untuk tujuan
pengamatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi, dana pelayanan kesehatan
lainnya, tanpa mengharuskan pasien tersebut dirawat inap. Keuntungannya,
pasien tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menginap (opname). Dalam
pelayanan pasien rawat jalan terdapat pasien rawat jalan terdapat pasien dari
IGD dan poliklinik dengan pembiayaan dan BPJS (JKN).
Pasien umum adalah pasien yang pembiayaannya ditanggung sendiri,
sedangkan pasien BPJS adalah yang pembiayaannya ditanggung oleh
BPJS/asuransi.
19

2. Tugas dan fungsi Rumah Sakit


Menurut UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tugas dan
fungsi Rumah Sakit adalah:
a. Tugas Rumah Sakit
Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna.
b. Fungsi Rumah Sakit
Untuk menjalani tugas secara benar, Rumah Sakit memiliki beberapa
fungsi yaitu:
1) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan Rumah Sakit.
2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningktan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
4) Penyelengaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengtahuan bidang kesehatan.
3. Klasifikasi Rumah Sakit
Dalam rangka penyelengaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan
fungsi rujukan, Rumah Sakit umum dan Rumah Sakit khusus diklasifikasikan
berdasarkan fasilitas pelayana Rumah Sakit. Menurut UU RI No. 44 tahun
2009 tetang Rumah Sakit yaitu :
a. Rumah Sakit Umum tipe A
Rumah Sakit umu tipe A adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5
(lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain, dan 13 (tiga
belas) subspesialis.
b. Rumah Sakit umum tipe B
Rumah Sakit umum tipe B adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4
20

(empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain, dan 2 (dua)


subspesialis dasar.
c. Rumah Sakit Umum tipe C
Rumah Sakit umum tipe C adalah Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar,
dan 4 (empat) spesialis penunjang medik
d. Rumah Sakit Umum tipe D
Rumah Sakit umum tipe D adalah Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas
dan kemamuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.
21

D. Kerangka Teori

Pasien Dengan Diagnosa Epilepsi

Obat Antiepilepsi

Evaluasi
Pengobatan

Penggunaan Obat Penggunaan Obat


Rasional Tidak Rasional

1. Tepat Diagnosis
2. Tepat Indikasi
3. Tepat Pemilihan Obat
4. Tepat Dosis
5. Tepat Cara Pemberian
6. Tepat Interval Waktu
7. Tepat Lama Pemberian
8. Waspada Terhadap Efek Samping
9. Tepat Penilaian Kondisi Pasien
10. Tepat Informasi
11. Tepat Tindak Lanjut (Follow-Up)
12. Tepat Penyerahan Obat (dispending)
13. Kepatuhan Pasien
(Kemenkes RI, 2011)

Gambar 2.1 Kerangka Teori


22

E. Kerangka Konsep

Penggunaan obat 1. Tepat Indikasi


antiepilepsi 2. Tepat Pemilihan Obat
3. Tepat Dosis
4. Tepat Aturan Pakai

Tidak
Tepat Tepat

Tidak
Rasional Rasional

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


23

F. Definisi Operasional
Tabel 2.2 Definisi Operasional

No Variable Definisi Cara Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Ukur Ukur
1 Karakteristik
Sosiodemografi:
a. Usia Usia dihitung Observasi Lembar 1. <18 tahun Ordinal
dari tahun data rekam pengumpul 2. 15-65 tahun
pasien hingga medik data 3. >65 tahun
tahun 2018
saat pasien
terdiagnosa

b. Jenis Kelamin Identitas Observasi Lembar 1. Laki-laki Nominal


gender data rekam pengumpul 2. perempuan
responden medik data

c. pekerjaan Jenis Observasi Lembar 1= PNS Nominal


pekerjaan data rekam pengumpul 2= Wiraswasta
yang medik data 3= Buruh
dilakukan 4= Ibu Rumah
responden Tangga
5= Mahasiswa
6= Pelajar
7= Tidak Bekerja
2 Rasionalitas
Penggunaan Obat
Antiepilepsi:

1. Tepat Ketepatan Observasi Lembar 1. Tepat Ordinal


Indikasi pemilihan data rekam pengumpul 2. Tidak Tepat
obat yang medik data
sesuai dengan
indikasi
berdasarkan
diagnosis,
yang
berdasarkan
Drug
Information
Handbook
sebagai
pedoman
pertama, serta
Medscape
sebagai
pedoman
kedua
(apabila
pedoman
pertama tidak
lengkap)
24

2. Tepat Ketepatan Observasi Lembar 1. Tepat Ordinal


Pemilihan pemilihan data rekam pengumpul 2. Tidak Tepat
Obat obat dalam medik data
pertimbangan
efek terapi
sesuai dengan
penyakit
berdasarkan
Drug
Information
Handbook
sebagai
pedoman
pertama, serta
Medscape
sebagai
pedoman
kedua
(apabila
pedoman
pertama tidak
lengkap)

3. Tepat Dosis Kesesuaian Observasi Lembar 1. Tepat Ordinal


jumlah obat data rekam pengumpul 2. Tidak Tepat
yang medik data
dikonsumsi
pasien
berdasarkan
Drug
Information
Handbook
sebagai
pedoman
pertama, serta
Medscape
sebagai
pedoman
kedua
(apabila
pedoman
pertama tidak
lengkap)

4. Tepat Aturan Frekuensi Observasi Lembar 1. Tepat Ordinal


Pakai pemberian data rekam pengumpul 2. Tidak Tepat
obat yang medik data
sesuai
berdasarkan
Drug
Information
Handbook
sebagai
pedoman
pertama, serta
Medscape
sebagai
25

pedoman
kedua
(apabila
pedoman
pertama tidak
lengkap)

3 Rasionalitas Rasional Observasi Lembar 1. Rasional Ordinal


apabila apabila ke 4 data rekam pengumpul 2. Tidak
memenuhi 4 kriteria sudah medik data Rasional
kriteria yaitu, tepat, tidak
tepat rasional
(indikasi, apabila salah
pemilihan satu kriteria
obat, dosis, tidak tepat
aturan pakai)

Anda mungkin juga menyukai