Anda di halaman 1dari 5

DEFINISI

- Epilepsi merupakan gangguan neurologis kronik yang ditandai dengan seizure berulang dan
akan berhenti secara spontan (Wells et al. 2017). Seizure terjadi karena sinkronisasi dari
impuls otak yang tidak normal atau aktivitas neuronal yang berlebihan. Seizure yang timbul
akan memengaruhi kemampuan kognitif, psikologis, serta kehidupan sosial pasien
- Epilepsi adalah kejang berulang tanpa pencetus (provokasi) ≥ 2 dengan interval > 24 jam
antara kejang pertama dan berikutnya. Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan
kesadaran, motorik, sensoris, autonom atau psikis (Shorvon, 2007; Swaiman dan Ashwal,
2012).

ETIOLOGI

- International League Against Epilepsi 2017 membagi etiologi epilepsi menjadi struktural,
genetik, infeksi, metabolik, imun, tidak diketahu
- Kelainan genetik yang menyebabkan epilepsi antara lain (Mangunatmaja, dkk., 2016),
1. Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.
2. Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat dan
leukoensefalopati Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi
antara lain,
- Kelainan neurokutan:
1 tuberosklerosis, neufibromatosis, hipomelanosis Ito, sindrom Sturge-Weber
2 Palsi serebral (PS): epilepsi didaapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia atau
hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik
3 Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga mengubah rangkaian
sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial temporal sclerosis
4 Malformasi serebral atau kortikal, hemimegaelensefali, focal cortical dysplasia (FCD),
heteropia nodular periventrikular, agiria, pakigiria, skizensefali, polimikrogiria.
5 Tumor otak dan lesi lain; astrositoma, gangliositoma,ganglioglioma, angioma
kavernosum.
6 Trauma kepala
7 Infeksi; ensefalitis herpes simplek, meningitis bakterial, malaria serebral, sistiserkosis
8 Kelainan metabolik bawaan

KLASIFIKASI

- Klasifikasi jenis epilepsi menurut The International League Epilepsy (ILAE) ada tiga tingkatan.
3 kelompok utama: kejag fokal, kejang umum dan kejang tidak terklasifikasikan. Pada kejang
fokal dapat disertai gangguan kesadaran atau tanpa gangguan kesadaran. Beberapa hal yang
disorot adalah baik pada kejang fokal dan umum dibagi berdasarkan gejala non-motor onset
dan motor onset, manifestasi antara kejang non-motor onset pada fokal dan umum dapat
berbeda. Selain itu, terdapat jenis bangkitan yang bisa masuk ke dalam fokal dan umum
(kejang tonik). Istilah secondary generalized seizure sudah digantikan dengan
terminologi focal to bilateral tonic-clonic.
- Tabel 2.1 Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017
I. Klasifikasi tipe kejang (dipergunakan bila tidak terdapat EEG, Imaging, video)
A. Onset Fokal
B. Onset General
C. Unknown Onset
II. Berdasarkan tipe epilepsi (dipergunakan pada fasilitas dengan akses pemeriksaan
penunjang diagnostik epilepsi)
A. Onset Fokal
B. Onset General
C. Combine focal and general onset
D. Unknown Onset
III. Berdasarkan sindrom epilepsi (ditegakkan saat ditemukan secara bersamaan jenis kejang
dengan gambaran EEG atau imaging tertentu, bahkan sering diikuti dengan gambaran
usia, variasi diurnal, trigger tertentu, dan terkadang prognosis) Sumber : Scheffer, dkk.
Classification of the epilepsies, 2017
- klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 1981 berdasarkan etiologi sebagai berikut (Cockerell dan
Shorvon, 1996):
1. Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya kelainan struktur
otak dan tidak ditemukan defisit neurologi. Faktor genetik diduga berperan, dan pada
umumnya khas mengenai usia tertentu.
2. Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan satu atau lebih
kelainan anatomi dan ditemukan defisit neurologi.
3. Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom epilepsi yang
diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum diketahui. Dengan kemajuan ilmu
pengetahuan (pemeriksaan pencitraan, genetik, metabolik) klasifikasi kriptogenik banyak
yang digolongkan sebagai epilepsi simtomatik

EPIDEMIOLOGI

- Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, individu dengan gejala epilepsi di seluruh dunia sekitar
50 juta individu dengan perkiraan 2,4 juta yang baru terdeteksi penderita epilepsi. Secara
global, tiap tahunnya diperkirakan ada insiden epilepsi 86 per 100.000 golongan anak, 23-31
per 100.000 golongan dewasa, dan 180 per 100.000 golongan lansia (Beghi 2019). Di
Indonesia, prevalensi kejadian epilepsi 8,2 per 1.000 populasi dengan 50 per 100.000 insiden
epilepsi dan 1,8 juta pasien epilepsi membutuhkan pengobatan (Maryam, 2018).
- Berdasarkan penelitian dari World Health Organization (WHO), ditemukan sekitar 50 juta
orang di seluruh dunia menderita epilepsi. Sekitar 85% dari total penderita epilepsi di
seluruh dunia ditemukan di negara berkembang. Insiden epilepsi pada anak dilaporkan dari
berbagai negara dengan variasi yang luas (Harsono, dkk., 2006). Secara keseluruhan insiden
epilepsi pada anak – anak (sejak lahir sampai usia 16 tahun) di negara perkembang
mendekati 40 kasus per 100.000 anak per tahun (Camfield dan camfield, 2012). I
- Epilepsi merupakan salah satu kelainan dengan prevalensi cukup tinggi di antara kelainan
neurologis lainnya. Diperkirakan 70 juta penduduk dunia mengalami epilepsi. Rata-rata
insidensi epilepsi adalah 50,4 per 100.000 populasi per tahun, di mana negara
berpendapatan tinggi (high income countries) memiliki insidensi yang lebih rendah yaitu 45,0
per 100.000 populasi per tahun sementara di negara yang berpenghasilan rendah (low
middle income countries) insidensinya 81,7 per 100.000 populasi per tahun

PATOFISIOLOGI

- Mekanisme terjadinya pada epilepsi diawali dengan depolarisasi. Peningkatan


neurontransmitter eksitatori glutamat dan penurunan neurotransmitter inhibitori GABA
mengakibatkan depolarisasi membran. Depolarisasi menginduksi banyaknya ion positif
Natrium (Na+ ) atau kalsium (Ca2+ ) yang masuk sampai ke ujung terminal akson. Seizure
akan muncul saat tubuh tidak bisa mengontrol ketidakseimbangan antara eksitasi dan
inihibitori (Samuels and Ropper 2017). Secara umum, gejala epilepsi yang utama yaitu kejang
secara berulang, lalu diikuti dengan gangguan gerak (tremor), gangguan tidur, gangguan
mental sehingga menyebabkan perubahan perilaku dan kesulitan berkomunikasi (Samuels
dan Ropper, 2017).
-

DIAGNOSIS

DIAGNOSIS BANDING

1. Diagnosis banding untuk diagnosa epilepsi antara lain sebagai berikut:


- Syncope -> Syncope dapat terjadi Bersama kondisi inkontinensia dan gerakan ekstremitas
yang bersifat involunter, sehingga dapat disalah artikan sebagai kejang. Berbeda dengan
kejang, syncope umumnya berhubungan dengan posisi berdiri dalam waktu lama, disertai
rasa penglihatan berkunang-kunang, penurunan pendengaran, mual, diaphoresis, serta
pasien tampak pucat. Sedangkan kejang dapat terjadi pada pasien dalam posisi apapun,
serta pemulihan lebih lambat serta dapat disertai dengan gejala post iktal.[9,12]
- Gangguan Irama Jantung -> Gangguan irama jantung yang dapat menyebabkan kondisi
pingsan seperti kejang adalah transient atrioventricular (AV) blocks, sindrom Brugada, dan
gelombang QT yang memanjang, kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya episode
ventrikular takikardi atau fibrilasi ventrikel.[12]
Pada kondisi gangguan irama jantung ini, serangan umumnya terjadi setelah pasien
melakukan aktivitas fisik, dengan tanda klinis awal berupa palpitasi, nyeri dada dan tanda
presyncope. Diagnosis pada kondisi ini dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
elektrokardiografi.[12,15]
- Nonepileptic Attack Disorder -> Non-epileptic attack disorder paling sering terjadi pada
wanita dalam rentang usia 15 hingga 35 tahun. Pada gangguan ini umumnya pasien akan
melakukan Gerakan tidak beraturan pada bagian kepala dan pelvis, dengan kedua mata yang
cenderung menutup. Saksi mata umumnya akan mengira ini adalah kejang tonik-klonik.
Gerakan dapat berlangsung dalam waktu lama tetapi pasien akan pulih dalam waktu yang
relatif cepat tanpa adanya reaksi postictal.

PROGNOSIS

Karena prognosis sangat bergantung pada tipe epilepsi serta sindrom epilepsi yang diderita,
prognosis untuk tiap pasien bisa berbeda. Persentase rekurensi berkisar antara 15 hingga 70% pada
pasien dengan abnormalitas pada pemeriksaan EEG dan MRI. Terapi obat antiepilepsi juga hanya
efektif pada 70% pasien saja.[13]

Pasien epilepsi, terutama yang telah terdiagnosis dengan sindrom epilepsi umumnya memiliki
berbagai komorbid yang sangat mempengaruhi prognosis pasien kedepannya.. Faktor komorbid ini
memiliki rentang yang cukup luas, mulai dari penyulit sederhana hingga berat contohnya gangguan
belajar hingga tingkat intelektual yang rendah. Gangguan kejiwaan juga umum ditemukan mulai dari
autisme hingga depresi.[6]

Deteksi dini komorbid seperti gangguan kejiwaan, gangguan proses pembelajaran, gangguan gait,
skoliosis dan cerebral palsy penting untuk dilakukan sehingga dapat dilakukan tatalaksana yang
sesuai kepada pasien.

KOMPLIKASI
1. Epilepsi alias ayan bisa memicu berbagai komplikasi, seperti:

- Kesulitan belajar
- Pneumonia aspirasi, yakni masuknya makanan atau air liur ke paru-paru saat kejang
- Cedera akibat jatuh atau kecelakaan ketika kejang
- Tenggelam akibat kejang saat berenang
- Kerusakan otak permanen, termasuk stroke
- Masalah psikologis, seperti depresi dan gangguan kecemasan
- Ancaman pada kehamilan
- Efek samping obat-obatan
- Kematian mendadak yang tak dapat dijelaskan pada epilepsi (SUDEP)

KORELASI

TATALAKSANA

EDUKASI DAN

Epilepsi adalah penyakit yang membutuhkan perhatian khusus dari keluarga dan lingkungan sekitar
pasien. Epilepsi dapat terjadi kapan saja. Risiko kecelakaan terutama pada tipe dengan gangguan
kesadaran, sering terjadi. Pasien membutuhkan pengawasan khusus pada saat berdekatan dengan
lingkungan air seperti di sekitar kolam atau saat mandi. Epilepsi tidak memungkinkan pasien untuk
berkendara sendiri, berenang atau bekerja pada bidang yang berdekatan dengan penggunaan api
atau alat berat.

PENCEGAHAN

1. Epilepsi yang berkaitan dengan genetik tak bisa dicegah. Tapi faktor risiko lainnya bisa
dikendalikan, misalnya dengan:
- Mencegah cedera otak dengan menerapkan standar keamanan dalam berbagai kegiatan,
terutama olahraga dan berkendara
- Langsung mencari perawatan medis ketika mengalami cedera kepala
- Menjaga kesehatan jantung dan pembuluh darah lewat penerapan gaya hidup sehat dan
aktif
- Menjalani imunisasi sesuai dengan rekomendasi dokter
- Menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah infeksi
- Menjaga kehamilan dengan memperhatikan asupan makanan dan rutin menjalani kontrol

Lamotrigin dengan dosis dari 0,3-13mg/kgBB dan 150- 400mg

Anda mungkin juga menyukai